— Miracle Chain —
.
Diamond no Ace
Belongs to
Terajima Yuuji
Happy Reading, guys!
.
.
.
.
.
Eijun menutup pintu lokernya keras. Penuh amarah dan emosi. Ia tak menyangka hari sial datang padanya. Eijun tak pernah merasakan kesialan seperti hari ini. Selama sembilan belas tahun ini, ia selalu menikmati hari-harinya. Ceria seperti biasanya. Tapi hari ini, hari pertamanya memasuki bangku perkuliahan. Eijun memiliki jadwal untuk kelas pukul delapan pagi hari ini. Tidak. Bukan salah Eijun bangun kesiangan. Hari ini pun ia bangun pagi seperti biasanya, bahkan menyempatkan diri untuk pergi jogging. Hanya saja, satu makhluk yang kini tinggal bersamanya sedang sakit. Merengek layaknya bayi. Padahal usianya jelas lebih tua empat tahun dari Eijun. Eijun harus merawatnya terlebih dahulu sebelum berangkat ke kampusnya. Menyiapkan keperluan makan dan juga obat pereda demamnya. Eijun berangkat pukul tujuh lebih lima menit pagi. Estimasi jarak dari apartemennya ke kampus kurang lebih tiga puluh menit menggunakan bus. Ia bahkan turun di halte bus pukul tujuh lebih empat puluh menit, sesuai dengan estimasinya. Jadi ia tenang karena masih ada sisa dua puluh menit untuk beristirahat. Namun naas, kejadian tak terduga menantinya. Awal dari segala malapetaka untuknya.
"Dasar sialan." Gerutu Eijun dalam hati. Ia merasa masih menyesalkan kesialannya hari ini. Dan tentu saja, menyalahkan pemuda yang ia temui tadi pagi sebagai tokoh utama penyebab kesialannya.
Eijun mengacak rambutnya frustasi. Hari ini sungguh melelahkan baginya. Lelah kesulurahan, baik fisik maupun psikis. Ia memutuskan kembali ke apartemennya tepat pukul lima sore. Hari ini ia belum memulai kegiatan diluar perkuliahannya. Ia berlalu dengan terburu, bus selanjutnya akan berangkat sepuluh menit lagi. Eijun harus segera sampai di halte. Bergerak cepat. Meningkatkan laju langkahnya. Membelah kumpulan manusia yang juga berjalan kaki sepertinya. Tak sampai lima menit ia sudah duduk manis di halte. Menunggu bus yang ia tunggu datang.
Eijun duduk di bangku kedua dari belakang, dekat jendela yang sengaja ia buka. Menikmati hembusan angin sore yang menyegarkan. Menyandarkan punggung yang terasa ingin hancur. Pegal luar biasa. Matanya baru saja terpejam, merasakan sedikit ketenangan dalam sehari ini.
Drrt drrt drrt..
Manik emas yang sempat menutup, kini terbuka kembali. Alisnya bertaut sangat dalam. Memberikan sumpah serapah bagi siapapun yang baru saja mengiriminya pesan. Ketenangannya baru saja dinodai oleh seseorang yang tak tahu permisi. Tangan yang sedari tadi terlipat manis di depan dada, mulai bergerak mengambil ponsel disaku celananya. Ponsel flip warna merah marun sudah berada ditangan. Sepasang netra emasnya membaca pesan itu dengan teliti. Eijun menggeram sekilas. Kembali menghela nafas panjang. Mencoba menahan segala amarah. Mendinginkan kepala yang sempat mendidih. Mencoba menarik kembali sumpah serapah yang ia ucapkan tadi. Bergidik ngeri menatap nama pengirim pesan. Sungguh, Eijun masih sayang nyawa.
From: Mochi-nii
To: Eijun
Jangan lupa pergi berbelanja. Stock bahan makanan sudah habis.
Jangan menolak! Atau kau mau mati kelaparan?!
Sekali lagi, Eijun menghela nafas lelah. Nyawanya terasa berkurang satu persen tiap berhadapan dengan Kuramochi. Entah secara langsung maupun lewat perantara. Seperti sekarang, walau hanya lewat pesan singkat tetapi kesan indimitasi dari Kuramochi sampai padanya. Tak mau merasakan indimidasi terlalu lama, segera ia kembalikan ponselnya pada tempat semula. Kembali menyamankan posisi duduknya yang sempat tegang. Menyenderkan punggung pada sandaran kursi penumpang.
Eijun memasuki minimarket yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Membeli beberapa sayuran dan telur, makanan cepat saji serta beberapa cemilan dan minuman kalengan. Segera menuju meja kasir setelah selesai memilih belanjaannya. Memberikan beberapa lembar uang untuk membayar barang-barang itu. Dan segera berlalu setelah mendapatkan kembaliannya. Berjalan ringan menuju apartemen yang jaraknya tak terlampau jauh. Kurang lebih seratus meter saja. Ia berjalan santai, menikmati desir angin malam yang menembus kuit tannya. Eijun tak pernah menduga bahwa cuaca malam ini akan selabil perasaannya hari ini. Tiba-tiba saja hujan datang. Mengguyur jalanan malam kota Tokyo. Tanpa permisi barang sedikitpun. Ia merutuki kecerobohannya tak membawa payung dalam tasnya. Sunggul, kesialannya bertambah satu lagi.
Eijun tak sempat berteduh ketika hujan tiba-tiba turun. Jarak ia berdiri kurang lebih hanya sekitar dua puluh langkah menuju apartemen. Ia memutuskan untuk berlari kilat. Mendekap erat tas belanjaannya. Berlari selangkah demi selangkah, menghindari derai air hujan. Tapi tetap saja, ia basah kuyup. Rinai hujannya terlalu lebat. Secepat apapun ia berlari, tetap tak terlindungi dari guyuran air hujannya. Satu lagi kesialanku hari ini, gerutunya dalam hati. Tangan kanan sibuk merogok saku celananya. Mencari kunci apartemen.
"Tadaima." Eijun mengucapkan salam. Tak ada balasan dari rekan satu atapnya. Mungkin sedang beristirahat, pikirnya sesederhana mungkin. Ia letakkan sepatunya didalam rak disudut ruangan. Berjalan menuju dapur. Bergegas meletakkan tas belanjaan, dan segera berlalu menuju kamarnya. Rasanya ingin segera mandi. Berendam dengan air hangat, favoritnya.
Eijun berjengkit saat keluar dari kamar mandi. Terkejut melihat sosok bersurai hijau tengah berada di dapur. Memilah hasil belanja Eijun hari ini. Eijun memutuskan menghampiri sang sepupu. Rambut basahnya ia singkap dengan handuk. Menggunakan kaos piru langit polos, dengan training hitamnya. Berjalan santai menuju dapur. Sang lawan menolehkan kepala. Menyadari keberadaannya yang mulai mendekat. Menatapnya penuh curiga. Entah apalagi yang ia curigai.
"Apa kau sudah makan?" Eijun bertanya basi-basi. Mengalihkan tatapan penuh intimidasi dari lawan bicaranya. Tentu saja Kuramochi belum makan. Tak ada persediaan apapun selain beberapa botol minuman ringan dilemari pendingin. Eijun hanya tidak tahan melihat Kuramochi menatapnya begitu.
"Hiruplah oksigen sebanyak-banyaknya, Bakamura. Setelah itu, temui aku di ruang tengah." Nadanya terkesan dingin. Dan Eijun tahu persis apa makna hari sebaris kalimat yang Kuramochi ucapkan barusan. Ia bergidik ngeri. Segera menyambar apron yang tergantung di sebelah lemari pendingin. Memakainya dengan terburu-buru. Berpikir secepat mungkin untuk memilih hidangan apa yang tepat. Tiga detik kemudian, tiga butir telur sudah berada digenggaman. Dan pilihannya jatuh pada omelette telur kesukaan Kuramochi. Butuh waktu kurang lebih dua puluh menit untuk menghasilkan dua porsi omelette. Ia segera menyiapkan dan menghidangkan makan malamnya diatas meja makan. Dua tangannya melepas ikatan apron dibelakang punggung. Sambil berlari menuju ruang tengah. Memanggil sang kakak, memberi kode bahwa makanan sudah siap.
"Mochi-niisan, makan malam sudah siap." Sang obyek pencarian tengah terduduk tenang di atas sofa ruang tamu. Atensinya jatuh pada berita olahraga di televisi. Segera mendongakkan kepala menuju arah suara. Dan mengangguk sebagai jawaban. Ia bangkit dari sofa ketika Eijun sudah berbalik menuju dapur kembali. Meletakkan apron ketempatnya semula. Segera memposisikan dirinya terduduk. Beberapa saat kemudian, Kuramochi sudah duduk manis didepannya. Mereka makan malam dalam diam. Tak ada Eijun yang berisik seperti biasanya. Kuramochi pun sepertinya tak ingin membuka suara. Manik emas Eijun menatap pemuda dihadapannya sekilas. Wajahnya masih terlihat memerah. Sepertinya demam Kuramochi belum turun.
"Mochi—niisan, jangan lupa minum obatmu." Mengambil jeda sejenak. Eijun mengunyah makan malam terakhirnya. Sebelum akhirnya melanjutkan. "Aku tidak ingin melihat wajahmu yang seakan menunjukkan kiamat akan datang esok hari." Ia berkata tanpa menatap Kuramochi. Pandangannya masih berfokus pada mangkuk nasi yang kini sudah bersih. Kepalanya ia angkat ketika lawan bicaranya mulai bersuara. "Bagaimana kalau kita mulai sekarang? Kulihat kau sudah sangat tidak sabar, Bakamura. Apa kau sangat merindukan pitinganku, hm?" Kuramochi memberikan deathglare mutlak pada Eijun yang mulai bergidik ngeri. Kali ini Eijun sungguh-sungguh sangat menyesal. Merutuki mulutnya yang tak mampu memfilter tiap kata yang ingin dilontarkan. Rahangnya terkatup rapat. Membatasi jalan keluar tiap kata yang berpotensi membahayakan nyawanya. Kembali memeras otak untuk mencari jalan keluar. Menenangkan indukan cheetah yang sangat sensitif ketika sedang sakit seperti saat ini.
"Iie, iie, iie.. nii-san bisa segera istirahat setelah selesai makan. Jangan lupa juga untuk meminum obatnya. Aku akan membereskan dapur. Setelah itu aku harus segera menyelesaikan tugasku." Mengibaskan tangan layaknya mengusir lalat. Tak ingin berlama-lama berhadapan dengan sang kakak sepupu dalam mode sensitif seperti ini. Lalu ia segera bangkit, membawa mangkuk kotor menuju wastafel. Sedang Kuramochi masih menatapnya heran. Merasa ada yang aneh. Tak ada protes seperti biasanya. Eijun patuh tanpa pemberontakan sedikitpun. Itu keajaiban.
Kuramochi tertegun, menatap pemandangan menakjubkan dari ambang pintu kamar tidur Eijun. Rahangnya nyaris menyentuh lantai. Tak mampu mengeluarkan ucapannya. Tergugu melihat sosok Eijun yang sedang bergulat di meja belajar. Bahkan jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Menggelengkan kepalanya cepat. Berusaha mendapatkan kembali kesadarannya.
"Apa yang sedang kau kerjakan, Bodoh? Kau tidak lihat sekarang sudah jam berapa, hah?" Sedikit berteriak, Kuramochi menyadarkan Eijun dari tumpukan tugasnya. Eijun bahkan tak mendengarkan derit pintu yang dibuka oleh Kuramochi. Ia tersentak. Secepat kilat menoleh ke belakang. Menatap Kuramochi kesal. Membuang nafas kasar, segera ia merespon pertanyaan Kuramochi. "Essay tambahan." Jawabnya singkat. Ia lantas segera memutar kepalanya. Kembali memusatkan perhatian pada essay yang sempat terbengkalai. Mengabaikan eksistensi Kuramochi yang bertahan di ambang pintu.
Kuramochi mendecak kesal. Merasa sedikit terabaikan. Melangkah gontai mendekati adik kecilnya yang tengah tenggelam ke dalam dunia lain. Mengambil posisi duduk di tepi ranjang ukuran single milik sang adik. Pupil kecilnya masih menatap Eijun yang tak bergeming sedikitpun. Fokusnya pada tugas didepan matanya sungguh diluar nalar. Kuramochi sangat yakin bahwa Sawamura Eijun—adik kecilnya—yang biasa akan sangat mudah teralihkan perhatiannya. Tak seperti sosok didepannya kali ini. Ia penasaran, apa yang terjadi pada Eijun sehari ini. Apa jangan-jangan ada hantu jenius yang sedang merasukinya? Dugaan Kuramochi yang tak pernah tersampaikan.
"Aku terlambat mengikuti perkuliahan di hari pertamaku. Jadi sensei memberikan tugas tambahan sebagai hukuman." Kuramochi mengerjapkan matanya tiga kali. Memproses informasi apa yang baru saja ia dengar. Apa dia berubah menjadi cenayang juga?. Ia bahkan belum sempat menyuarakan isi pikirannya. Tapi Eijun sudah menginterupsi. Menjelaskan dengan detail letak permasalahannya. "Dan aku bukan cenayang, nii-san." Lagi, Eijun bersuara sebelum Kuramochi mampu mengeluarkan satu kata sedikitpun. Kuramochi semakin dibuat bingung oleh kelakuan sang adik kesayangannya satu itu. "Kau bahkan berangkat satu jam sebelum kelasmu dimulai, Sawamura. Bagaimana kau bisa berakhir terlambat mengikuti kelas?" Mengambil jeda sejenak. Menyenderkan punggungnya diujung ranjang Eijun. "Jangan katakan kau tersesat lagi, Sawamura. Itu sungguh memalukan." Lanjutnya dengan nada mengejek. Senyum sejuta watt terukir diwajah preman Kuramochi. Eijun tersedak liurnya sendiri. Memutar badan menghadap Kuramochi. Memelototinya dengan tajam. Terlihat sangat imut, pikir Kuramochi dalam diam. Ia mulai terkekeh geli, sudut bibirnya beralih membentuk sebongkah seringaian. Eijun tak menyangkal. Jujur saja, tadi pagi ia sempat tersesat. Menelusuri dari satu gedung ke gedung berikutnya, mencari letak kelasnya yang mendadak diubah.
"Hentikan senyummu itu, Mochi-niisan. Kau terlihat semakin mengerikan." Tanpa menunggu respon dari lawan bicaranya, ia segera memutar kursinya. Kembali memberikan atensi pada tugas yang harus dikumpulkan esok hari. Tangan yang baru saja ingin menuliskan sesuatu tiba-tiba terhenti. Membuyarkan konsentrasinya sekali lagi.
"Ittai.." Eijun meringis. Mengusap belakang kepalanya yang sakit. Belakang kepalanya disapa dengan manis oleh bola bisbol kecil kesayangannya. Tentu saja tersangkanya tertawa terbahak-bahak. Tak ingin mempedulikan rasa sakit dari sang korban. Eijun benar-benar naik pitam. Amunisi kesabarannya sudah habis kali ini. Eijun bangkit berdiri. Menatap tajam ke arah Kuramochi sambil menunjukkan telunjuknya. "Berhenti bermain-main, Mochi-niisan! Jika kau kemari hanya ingin menggangguku, aku tak kan segan-segan meracuni sarapanmu besok pagi!" Ada asap imajiner yang keluar dari lubang hidung Eijun. Ia segera berbalik. Duduk diatas kursinya kembali.
Kuramochi tak merespon. Ia semakin yakin bahwa terjadi sesuatu padi Eijun hari ini. "Apa yang terjadi?"
Hening beberapa detik. Tak ada jawaban. Hanya suara jarum jam yang berputar. Kuramochi masih menunggu respon lawan bicaranya. Satu detik ekspresinya masih datar. Dua detik, kedua alisnya mulai beradu. Detik ketiga, ia mulai tak sabar dengan kelakuan sang adik. Hendak mengambil bantal, untuk dilempar sebelum ia mendengar helaan nafas lelah. Saat itu pula gerakannya terhenti. Niatnya untuk melempar Eijun dengan bantalnya sendiri diurungkan. Kembali duduk persis posisi awalnya. Menantikan dongeng legenda Sawamura Eijun seri mahasiswa.
Eijun kembali memutar kursinya. Memastikan posisinya berhadapan dengan Kuramochi. Manik emasnya menatap Kuramochi lelah. Kedua tangannya ia lipat dibelakang kepala. Menyandarkan punggung disandaran kursi. Menarik nafas panjang, lalu ia hembuskan perlahan. Baru kemudian ia membuka suara. Menyajikan cerita semenarik mungkin untuk pendengar setianya, Kuramochi Youichi.
"Tadi pagi, aku tidak sengaja menabrak seseorang.." Eijun menjelaskan dengan tenang. Ia simpan segala amarah dan kekesalannya dalam hati. Tak ingin Kuramochi mengetahuinya.
Bruukk
Eijun refleks mundur dua langkah. Menghindari sesuatu yang barusan ia tabrak. Ia mendongakkan kepala. Mencari tahu apa yang ada didepannya.
"Ah, gomen.. gomen." Manik emasnya bertemu manik hazel. Seketika wajahnya memucat. Bulir-bulir keringat dingin mulai menyusuri keringnya. Pemuda dihadapannya menatap tajam. Penuh amarah. Bahkan Eijun melihat tanduk imajiner menghiasi kepala pemuda itu.
"Apa kau yakin sudah menggunakan matamu dengan baik, hm?" Satu alis pemuda itu terangkat naik. Menatap Eijun sekilas, sebelum kembali fokus pada pakaiannya. Tangan kirinya menggenggam secangkir kopi yang sisa setengah. Setengahnya lagi telah tandas diatas pakaiannya.
"APA KATAMU?!" Eijun berteriak. Mengabaikan puluhan pasang mata yang mulai mengalihkan atensinya pada mereka.
"Oh, sepertinya rambut didahimu mulai menghalangi penglihatanmu." Manik hazel itu kembali bersitatap dengan netra emas Eijun. Sorot matanya penuh penghinaan. Jangan lupakan, seringai iblis disudut bibirnya. "Apa perlu bantuan untuk memangkasnya?"
Eijun mencebik kesal. "Dasar sialan!" Memaki penuh amarah. Namun tetap menahan diri untuk tidak menarik kerah bajunya dan menghantam rahang pemuda didepannya. Ia hanya berdiri tak bergeming. Menatap pemuda manik hazel penuh kebencian.
"Hoi, kenapa diam saja? Kau harus bertanggung jawab atas ulahmu." Kedua alis pemuda itu berkerut. Melipat sweater yang sudah ia lepas.
"Apa maumu?" Tanya Eijun skeptis. Pelipisnya ikut berkerut semakin dalam. Manik emasnya menyipit. Menyelidiki makhluk dihadapannya itu.
"Belikan aku expresso disana." Mengangkat dagunya menuju ke arah kedai kopi tak jauh dari posisi mereka. Kurang lebih dua puluh langkah.
Eijun lantas menoleh, mengikut arah dagu lawan bicaranya. Sontak menghela nafas. Bahunya sedikit menurun, tak setegang tadi. Ia berpikir bahwa tanggungjawabnya tak begitu rumit. Hanya perlu membelikan kopi saja. Hanya itu. Eijun kembali menatap pemuda bermanik hazel itu. Alisnya kembali berkerut tat kala mendapati wajah penuh tanya lawan bicaranya. Alis pemuda itu terangkat naik. Meminta penjelasan Eijun. Eijun sekali lagi menghela nafas. Menatap manik hazel itu lekat. "Tunggu aku dis—"
"Sekarang!" Sela pemuda bermanik hazel itu cepat. Memotong kalimat Eijun yang belum sempurna terucap.
"Apa kau bercanda? Aku ada kelas sepuluh menit lagi."
"Tidak peduli."
"Akan kubelikan dua cup jumbo setelah perkuliahanku selesai."
"Aku membutuhkannya sekarang."
"Ayolah.. ini hari pertamaku kuliah. Aku tak mau memberikan kesan buruk pada pertemuan pertamaku."
"Lebih baik kau gunakan waktumu untuk segera membeli kopiku dariada kau habiskan untuk bernegosiasi yang tak akan pernah membuahkan hasil."
"Hee berhentilah bercanda, Tuan."
"Apa aku terlihat sedang bercanda dimatamu?"
"Ayolah, aku berjan—"
"Tidak." Pemuda itu kembali memotong ucapan Eijun. Eijun hanya mampu mengedipkan matanya beberapa kali. "Kubilang tidak ya tidak." Menatap lurus manik emas Eijun. Kedua lengannya sudah terlipat didepan dadanya.
"Aish! Kau keras kepala sekali, Tuan.!" Eijun kembali memaki lawan bicaranya. Menjambak surai coklatnya dengan frustasi. Ia menyerah, berbalik menuju kedai kopi yang dimaksud. Berlari secepat yang ia bisa. Tak ada waktu lagi hanya untuk bernafas tenang.
Pemuda itu menatap punggung Eijun yang kian menjauh. Mencari tempat duduk di bangku panjang tak jauh dari tempat mereka beradu. Mendudukkan diri, menatap jalan raya yang sedang padat. Tak berapa lama, ponselnya berdering.
Pemilik manik hazel itu mengulum senyum. Menatap ke arah Eijun berlalu. Sudah tak terlihat lagi punggung yang lebih kecil darinya itu. Ia lalu bangkit berdiri. Berlalu ke arah berlawanan. Meninggalkan sosok Eijun yang tengah berkutat dengan pengunjung lain. Tak menyadari kepergian netra hazel yang sempat berseteru dengannya.
Manik emas Eijun bergulir menatap jarum arjoli di pergelangan tangan kirinya. Sudah pukul delapan lebih lima belas menit. Ternyata kedai kopi itu sangat ramai pengunjung. Bahkan ia sempat berdesak-desakkan. Ia memutuskan untuk berlari setelah mendapatkan pesanannya. Menuju pemuda menyebalkan yang tadi ia tabrak. Sepasang matanya menilik ke segala penjuru. Mengamati satu per satu. Namun, nihil. Pemuda itu tak terlihat dalam pandangannya. Eijun menggeram. Tangan kirinya mengepal erat. Bahkan buku-buku kukunya sampai memutih. Sedangkan tangan kanannya sontan menjatuhkan cup kopi yang baru ia beli. Ia bersumpah akan menyumpal mulut pemuda menyebalkan itu dengan kaos kaki Kuramochi apabila bertemu lagi.
Inhale .. exhale .. inhale .. exhale ..
Eijun memantapkan keputusannya. Ia kembali berlari menuju kampus. Secepat mungkin untuk mengejar mata kuliah selanjutnya.
Ia sampai di depan kelasnya dengan nafas tersengal-sengal. Peluhnya membanjiri dahi dan kening. Meluncur bebas tanpa permisi. Eijun sempatkan untuk menyeka keringatnya dengan punggung tangan kanan. Menarik nafas panjang sekali lagi. Detik berikutnya, tangan kanannya sudah mengetuk pintu kelas. Tak ada respon sampai ketukan ketiganya, ia memberanikan diri membuka pintu yang tak terkunci itu.
Kosong.
Kepalanya tiba-tiba berdenyut. Terasa sangat pening. Ia ambil ponsel dalam saku celananya. Mencari informasi yang mungkin akan ia dapatkan dari grup kelas. Manik emasnya menilisik satu per satu pesan yang masuk.
Oh, kelasnya pindah.
Sontak Eijun menyeret kakinya ke arah barat. Mencari letak kelas barunya. Ia berlari menelusuri lorong, berpindah dari gedung satu ke gedung yang lain. Hampir lima belas menit ia mencari. Namun tak membuahkan hasil. Nafasnya kembali memburu. Dadanya naik turun dengan ritme yang tak stabil. Eijun merasa kakinya sangat berat. Ia berhenti sejenak. Membungkuk, dengan tangan menopang badan diatas kedua lututnya. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.
Drap.. drap.. drap..
Eijun mulai memasang telinganya baik-baik. Ia mendengar derap langkah kaki. Semakin mendekat dari arah belakangnya. Ia menolehkan kepala, saat derap langkah itu berhenti tepat beberapa langkah dibelakang tubuhnya yang kini tengah membungkuk sembilan puluh derajat.
Eijun tertegun. Entah imajinasinya atau memang seperti itu realitanya. Ia melihat beberapa bintang imajiner mengelilingi sosok mungil bersurai pink di depannya. Tubuhnya bersinar, penuh cahaya. Dan dia tersenyum hangat.
"Ei."
"He."
"Hei."
Eijun berkedip tiga kali untuk mendapatkan kesadarannya. Ia mendengar sesuatu. Dilihatnya lagi sosok didepannya. Pemuda mungil itu tengah menatapnya khawatir. Eijun lantas menganggukkan kepala sebagai balasan. Pemuda mungil itu kembali tersenyum.
"Apa yang sedang kau lakukan disini?"
"Etto, aku mencari kelasku yang dipindahkan pada jam pertama tadi."
Pemuda itu mengangguk ringan. Kemudian kembali menatap netra emas Eijun. Tersenyum bagai malaikat kecil. Entah kenapa, Eijun merasa hatinya sedikit menghangat, nyaman dan tenang.
"Kominato Haruichi. Kita teman satu kelas." Jawabnya lugas. Tangan kanannya terulur untuk menjabat tangan Eijun. Beberapa detik berlalu tanpa respon. Eijun masih terbengong, membaca situasi. Butuh delapan detik untuk menyadarkan Eijun. Tepat detik kedelapan tangan Eijun meraih tangan bocah mungil itu dan menjabatnya.
"Sawamura Eijun." Sambil memberikan senyum seribu watt miliknya.
"Cerita selesai." Ucap Eijun. Masih duduk diatas kursi belajarnya. Kedua tangannya ia rentangkan keatas. Menggeliat kecil, merilekskan otot-ototnya yang mulai kaku.
Kuramochi masih mendengarkannya dengan setia. Mencerna satu per satu tiap cerita dari lawan bicaranya. Berusaha merangkai kalimat untuk menyampaikan kesimpulannya. "Jadi kau bertemu dua tokoh utama dalam dunia lain, begitu?" Nadanya terkesan meremehkan, namun tersirat rasa penasaran.
Eijun menghela nafas lelah. Pandangannya ia buang ke langit-langit kamar. "Kurasa begitu." Sambil mengedikkan kedua bahunya ringan.
"Ne, Bakamura.. apa menurutmu si kepala topi sengaja mengerjaimu?" Tanya Kuramochi antusias. Ia tak habis pikir, makhluk macam apa yang ditabrak adik kecilnya tadi pagi. Ia merasa sosok itu sudah kelewat jahil, melebihi dirinya sendiri.
"Tidak tahu, nii-san." Ia membalas singkat. "Aku bahkan berjanji akan menyumpal mulutnya dengan kaos kakimu jika bertemu lagi." Sahut Eijun berapi-api. Ia merasa dendamnya semakin membara. Tertawa terbahak-bahak seperti tawa iblis sungguhan. Sedangkan diujung tempat tidurnya, Kuramochi memandang ngeri. Ia tahu seberapa menyeramkannya kaos kaki miliknya itu. Bahkan ia tak mampu membayangkan seperti apa jadinya korban penyumpalan kaos kaki miliknya oleh Sawamura Eijun. Pelukannya pada bantal Eijun semakin dieratkan. Mendengar suara mengerikan dari tawa adiknya itu.
.
.
.
Siang ini Eijun memutuskan pergi ke kantin. Ia ingat tak sempat membuat bekal tadi pagi. Jadi mau tak mau ia harus pergi ke kantin untuk mengisi energi. Perutnya sudah meronta-ronta minta diperhatikan. Ia berjalan lunglai menuju ke arah kantin. Kedua tangannya sengaja ia masukkan kedalam masing-masing saku celana. Berjalan perlahan menyusuri koridor lantai pertama yang terlihat sepi. Jam istirahat selalu begitu. Langkahnya terhenti di depan ambang pintu kantin. Netra emasnya memicing tajam. Mencari tempat kosong untuk dihuninya. Ia tersenyum bangga ketika sepasang bola emasnya menemukan target pencarian. Bangku kosong disudut ruang dekat dengan jendela. Di depan spot itu ada stand penjual kare. Jackpot. Ia memutuskan untuk segera menuju bangku panjang disana.
"Oba-san, kare dan air mineralnya satu." Eijun mengangkat tangannya untuk menarik perhatian penjaga stand dan memberitahukan pesanannya. Eijun mengusir jenuh dengan bermain game online digawai pintar miliknya. Sepuluh menit kemudian, pesanannya pun sudah siap disantap.
Eijun menyantap nasi kare dihadapannya dengan nikmat. Ia merasa sangat lapar, perutnya sedari tadi sudah bergemuruh. Menggulung semua organ dalamnya tanpa ampun. Mulutnya mengunyah dengan lahap. Ia bahkan menghabiskan setengah porsi hanya dalam waktu kurang dari tiga menit. Suapannya berhenti ketika seorang pemuda asing menduduki bangku dihadapannya. Manik emasnya melebar seiring keterjutannya. Tangan yang masih memegang sendok menunjuk kearah pemuda diseberangnya. Menelan ludah susah payah. Mengumpulkan semua energinya untuk menghabisi makhluk penyebab kesialannya itu.
"K-kauu—" Eijun masih belum menemukan kosa kata dalam otaknya. Oh terkutuklah kalian yang menghilang disaat seperti ini. Ia masih belum sepenuhnya sadar. Mengerjap beberapa kalipun tak memberikan efek yang positif.
Kazuya mengulas sebongkai seringai angkuh. Menatap makhluk yang sedang tergagu dihadapannya. Menatap penuh kesombongannya.
"Doumo, Miyuki Kazuya."
.
.
.
.
.
To be continued
Kei : Haloo minna.. terima kasih sudah mau membaca fic ini.
Bagaimana menurut teman teman ceritanya? Pengennya fokus sama MiyuSawa, malah dichap ini kebanyakan nampilin scenenya sama si Mochi. Uu gomen ne, bila tidak sesuai ekspektasi dari teman-teman semua. :"
Jangan sungkan untuk meninggalkan jejak, review sangat diapresiasi ^^
Sekali lagi terimakasih banyak, :"""
