Berita ini sungguh mengejutkan baginya.
Bagi Hinata yang begitu menyayanginya. Bagi Hinata yang begitu menginginkan orang dihadapannya ini menjadi kekasihnya.
"Eh?"
Hanya itu yang bisa diucapkan Hinata. Sementara pemuda itu hanya tertawa merasa bersalah. Hinata meletakkan telapak tangannya di meja. "Apa maksudmu, Naruto-kun?"
"Yah..." Uzumaki Naruto salah tingkah. Menggaruk pipinya yang tidak gatal kemudian menunduk rapat-rapat.
"Maaf Hinata-chan, aku memang menyayangimu, tapi hanya sebagai sahabat."
Hinata merasa petir menyambar kepalanya.
"Aku ternyata menyayangi Sakura-chan," kata Naruto. Hinata semakin membatu. Matanya berkilat tak percaya. "Saat aku tak bertemu dengannya aku baru menyadarinya. Bagiku, Hinata-chan adalah adik perempuanku. Tak bisa lebih."
Lalu kenapa kau mengatakan sayang kepadaku saat itu? Batin Hinata. Namun gadis itu tidak mengatakannya. Hinata hanya tersenyum kemudian menggenggam tangan Naruto.
"Aku tahu kok," ucap Hinata. "Aku tahu, Naruto-kun hanya menyayangiku sebagai sahabat, tidak lebih. Pernyataan dua bulan yang lalu juga, adalah pernyataan bahwa aku sangat menyayangi Naruto-kun sebagai..." Hinata meneguk ludah. Air matanya hendak mengalir, namun Hinata berusaha menahannya. Dia tidak mau menangis di depan Naruto lagi. Tidak.
"Aku menyayangi Naruto-kun bukan sebagai sahabat," ucap Hinata. Dadanya terasa nyeri saat Hinata akan mengatakan kalimat selanjutnya. "Aku menyayangi Naruto-kun sebagai perasaan 'adik' kepada 'kakak'nya." Hinata tersenyum. Berusaha menunjukkan raut wajah kalau dia bersungguh-sungguh dengan perkataannya.
Dan Naruto yang memang tidak terlalu peka dengan keadaan seseorang hanya menghela nafas lega. "Ah, syukurlah," kata Naruto. "Entah apa yang harus kulakukan kalau Hinata-chan menyukaiku sebagai seorang perempuan. Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
Hinata tersenyum. Menyingkirkan tangannya sendiri dari punggung tangan Naruto. Senyap untuk beberapa saat hingga Naruto mulai memecah keheningan itu dengan satu kalimat.
"Kau tahu, Sakura-chan adalah cinta pertamaku."
Hinata mengangguk, mengiyakan. Apa sih yang tidak diketahui Hinata tentang sahabatnya ini?
"Makanya aku tak menyangka saat Sakura-chan menerima cintaku," Naruto terkekeh. Hinata ikut tertawa, meski dia merasakan hatinya perih. "Dan rencananya dua bulan lagi kami akan bertunangan."
Senyum Hinata lenyap seketika.
"Eh?"
Naruto tersenyum dengan rona bahagia. Tak menyadari raut wajah Hinata yang pucat karena sapphire Naruto terlalu terpaku kepada gelas minuman yang dipesannya.
"Jangan kaget begitu! Aku tahu ini terlalu mendadak."
"Me-memang," kata Hinata menyetujui, dengan gugup.
"Aku tahu sih ini terlalu mendadak," aku Naruto. "Tapi kurasa bertunangan dengan Sakura-chan dua bulan lagi tidak terlalu cepat. Aku sudah mengenal Sakura-chan sejak aku masih berumur sebelas tahun."
Dan sejak bertemu itulah, kau menyukainya. Kau jatuh cinta pada Sakura-chan sejak pandangan pertama. Lanjut Hinata dalam hati. Kepala gadis itu menunduk, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sama sepertiku.
"Padahal daripada bertunangan aku lebih ingin langsung menikah saja."
Hinata meneguk ludah. Pernyataan itu membuat hati gadis itu semakin remuk. Menggenggam roknya erat-erat, Hinata mencoba mengeluarkan suaranya.
"Apa Naruto-kun berencana..." Rasanya sulit sekali mengatakan satu kata selanjutnya. "Menikah dengan Sakura-chan?"
Naruto menggaruk-garuk pipinya yang tidak gatal. Dari balik poninya, Hinata dapat melihat rona merah di pipi pemuda itu.
"Ya..." Naruto tampak menimbang-nimbang sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "Hinata-chan tahu kan kalau aku sudah tingkat dua dan tahun depan aku sudah memasuki tingkat akhir..."
Hinata mengangguk. Hatinya berdetak semakin dan semakin cepat. Suhu tubuhnya mendadak turun hingga mendekati nol derajat celcius, begitu dingin.
"... Tahun depan – ah, tepatnya saat aku lulus – kami – maksudku aku dan Sakura-chan –"
Hinata menutup kedua matanya erat. Seharusnya Hinata tidak perlu melontarkan pertanyaan yang tak perlu seperti itu. Seharusnya Hinata menutup mulutnya rapat-rapat atau seharusnya Hinata langsung pamit pergi saja pasca mendengar cerita Naruto tentang hubungannya dengan Sakura-channya.
Ah, seandainya saja Hinata mempunyai kemampuan untuk bisa menghilang dalam sekejap, Hinata ingin segera menghilang dari hadapan Naruto. Karena Hinata tahu apa yang akan dikatakan Naruto selanjutnya.
" –Berencana untuk menikah. Tahun depan, aku akan mengajukan proposal pernikahan kepadanya."
Saat Naruto mengatakan itu dengan tegas dan raut wajah penuh kebahagiaan, ada sesuatu yang hancur berkeping-keping di dalam tubuhnya.
.
L O V E
Another Fanfiction from me to you
.
Warning :
Dari atas ampe bawah mungkin Hurt/comfort semua. Jadi siapin tissue dan kotaknya, tapi dimohon dengan sangat untuk tidak melemparkan kotak tissue itu kepada author yang sedang gundah gulana ini. #KickedByAll
.
Standar Warning diterapkan disini. (OOC, Typo, GJ, dll)
.
Semoga Fict ini gak mengecewakan :D
Happy reading, minna~
"Maaf."
Hyuuga Hinata menengadah, mengalihkan pandangan matanya dari buku yang sedang dibacanya. Dihadapannya berdiri seseorang yang menatapnya dengan perasaan tidak enak hati. "Maaf, Hinata-san, tapi perpustakaan akan segera ditutup," lanjut perempuan itu lagi. Hinata mengangguk mengerti dan mengucapkan kalimat, 'aku mengerti, aku selesai sebentar lagi' sehingga penjaga perpustakaan itu meninggalkannya dan beranjak untuk mengingatkan beberapa orang lagi di perpustakaan itu.
Pukul 18.00 tepat. Hinata menghela nafas. Seingatnya dia datang ke perpustakaan tepat pada pukul 13.00, mengambil asal salah satu buku kemudian membaca buku tersebut.
"Sudah lima jam berlalu...," gumam Hinata sembari meregangkan tubuhnya. Pantas saja badannya terasa pegal. Sambil berdiri dari duduknya, Hinata meraih novel dan termenung beberapa menit sampai akhirnya menyimpan novel tersebut ke tempat awalnya.
Hinata bahkan tidak ingat pernah membaca novel yang dari tadi menemaninya di perpustakaan itu.
~ Love – SasuHina~
Sudah satu minggu semenjak berita itu didengar oleh Hinata dan Hinata merasa masih terkena efek shock karena berita rencana pertunangan Naruto dan Sakura dua bulan lagi.
Ya, gadis itu masih merasakan hatinya yang sesak dan matanya yang tiba-tiba memanas ketika melihat atau mengingat satu kenangan tentang sahabatnya itu, Uzumaki ini amat sangat menyiksanya. Moodnya berubah drastis, sering uring-uringan dan terlihat lelah kerena selama seminggu ini gadis itu nyaris tak tertidur. Hanya terlelap dua atau tiga jam setiap harinya kemudian terbangun dengan keringat membanjir karena mimpinya tentang Naruto. Selama seminggu terakhir dilaluinya seperti mayat hidup. Terbangun lantas melamun. Khayalannya melayang ke saat-saat dirinya dan Naruto. Saat gadis itu pertama kalinya bertemu dengan Naruto, saat pertama kalinya Naruto memanggilnya 'Hinata-chan', saat Naruto tertawa, saat Naruto mengusap puncak kepalanya karena pertengkarannya dengan ayahnya, saat Naruto mengunjunginya ketika dia sakit selama tiga hari, saat Naruto memberikan tanda peace–nya hanya kepada Hinata ketika Naruto berhasil memasukkan gol di pertandingan sepak bola antar sekolah, saat Naruto menyemangati Hinata ketika dirinya mengikuti olimpiade matematika, saat –
Lagi, Hinata merasakan hatinya sakit. Seolah ada yang menyiramkan alkohol, air garam atau apapun cairan yang membuat luka di hatinya yang belum tertutup kembali terbuka lagi. Hinata juga merasakan matanya memanas dan tenggorokannya tercekat, juga perutnya yang entah kenapa terasa sakit.
Hinata berhenti berjalan. Menyentuh perutnya yang sakit dan memejamkan matanya rapat-rapat. Hatinya berteriak, berucap bagaimana sakitnya dia ketika melihat wajah berseri Naruto yang dengan semangatnya menceritakan perihal pertunangannya dengan cinta pertamanya, dan bukannya dirinya. Hatinya mencemooh ucapan Naruto beberapa bulan lalu. Bahwa Naruto juga menyayanginya lebih dari sahabatnya lantas memeluknya dan mengusap air mata bahagia yang keluar dari mata Hinata.
Hatinya berteriak, dadanya sangat sesak, tenggorokannya tercekat dan rongga mulutnya serasa kering. Matanya juga memanas, dan perutnya terasa semakin sakit.
Tapi tetap, tak ada air mata yang keluar.
Tak ada satu tetes pun air mata yang keluar, padahal Hinata merasakan dirinya sakit, sangat sakit.
Padahal Hinata ingin sedikit saja, ada air mata yang jatuh. Atau sedikit saja keberanian agar dirinya bisa menangis.
Sebisa yang diingatnya, Hinata memang tidak pernah menangis. Hanya satu kali, yaitu saat Hinata mengutarakan perasaannya dan Naruto membalas perasaannya. Ayahnya bilang dia tidak suka anak yang cengeng, makanya Hinata belajar untuk tidak menitikkan air mata, dalam keadaan apapun. Ibunya bilang menangis hanyalah pekerjaan gadis yang lemah dan seorang anak tertua sepertinya haruslah kuat, harus bisa menjaga adik-adiknya dan dapat diandalkan, maka dari itulah Hinata tidak pernah menangis apapun keadaan sedih yang dialaminya.
Kedua orang tua Hinata tidak pernah mengajari Hinata caranya menangis. makanya, saat Hinata merasakan sesak didadanya, saat Hinata kehilangan benda kesayangannya atau saat Hinata dijauhi teman-temannya karena dirinya yang membosankan, Hinata hanya akan duduk diam di pojok kamar, memeluk lutut sebentar kemudian mengambil komik-komik dan novel-novel yang begitu tertata rapi di rak bukunya dan mulai membaca. Biasanya hal itu akan membuatnya lebih baik. Pikiran Hinata akan teralihkan kepada dunia di dalam komik, atau novel yang tengah dibacanya. Tapi jika itu tidak berhasil, Hinata akan mengambil ponselnya, pergi ke aplikasi note kemudian menuliskan apa yang ada dipikirannya atau menulis sesuatu yang berkebalikan dengan apa yang dipikirannya. Biasanya itu akan sangat berhasil. Hinata akan bisa memakai topeng senyumnya dengan sangat sempurna.
Tapi sekarang entah kenapa rasanya begitu sulit untuk mengenyahkan rasa tidak enak dan sakit di dadanya ini. Padahal selama seminggu ini Hinata sudah berusaha mengenyahkannya. Hinata sudah berada di pojok kamarnya sambil melipat lutut selama berjam-jam. Hinata juga sudah membaca novel-novel miliknya yang belum sempat dibacanya, namun alih-alih memasuki dunia di dalam novel yang dibacanya, Hinata malah semakin merasakan dadanya sesak dan itu membuat Hinata tidak mengingat sedikit saja dari isi novel yang dibacanya, seperti tadi. Hinata juga menulis banyak apa yang dipikirkannya, atau apa yang diinginkannya, bahkan menawarkan diri untuk mengerjakan laporan temannya dengan cuma-cuma. Tapi tetap saja, rasa itu tak hilang.
Rasa kesepian yang selalu dirasakannya kini mulai mengganggunya. Perasaan sesak itu memunculkan semua perasaan-perasaan menyedihkan yang selalu dipendamnya. Setiap harinya selama seminggu, perasaan sesak dan mood yang tiba-tiba berubah menjadi buruk dan semakin banyak membebani dirinya. Selama seminggu ini, bahkan Hinata tidak bisa lagi tersenyum, padahal biasanya dia selalu tersenyum, seberat apapun masalah yang dihadapinya.
Kenapa?
Kenapa hanya karena Naruto memilih orang lain dan bukandirinya, dia menjadi seperti ini? Kenapa hanya karena Naruto tidak menyukainya seperti dirinya yang sangat menyayangi pemuda itu, membuat Hinata sebegini terpuruknya?
Kenapa rasa kehilangan ini terlalu berat untuk dipikulnya sendirian? Kenapa masalah ini begitu sangat menyulitkannya? Kenapa? kenapa? Kenapa?
"Kh..."
Lagi, hanya itulah yang bisa dikeluarkan Hinata saat hatinya kembali berubah kalut. Menghela nafas dengan wajah sangat sangat terluka. Diliriknya lagi jam digital yang ada di ponselnya. 18.15. masih terlalu pagi untuknya pulang ke kamar kost-annya. Hinata mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan akhirnya gadis itu melangkah ke warung internet.
Saatnya untuk menjelma menjadi orang lain.
~ Love – SasuHina~
Mengambil paket tiga jam, Hyuuga Hinata segera menjelajahi jejaring sosial. Gadis itu memasukan alamat emailnya dan passwordnya. Kurang dari tiga detik, gadis itu bisa melihat beranda akunnya.
Tanpa semangat, Hyuuga Hinata melihat status-status orang yang ada di berandanya, kemudian melihat notifikasi dan membukanya. Ada yang menandainya beberapa foto dan sebuah note fanfict yang cukup membuatnya tersenyum, meski hanya tersenyum simpul. Kemudian komentar-komentar teman dunia mayanya yang membuat setidaknya perasaan berat itu berkurang meski hanya sedikit. Mengomentari status adiknya yang terkesan sok puitis, atau ikut ber'bicara' mengenai anime kesukaannya, manga favoritenya atau karakter yang digilainya setengah mati.
Dua jam yang cukup menghiburnya dan mungkin sejenak membuatnya lupa tentang masalahnya sampai akhirnya...
Uzumaki Naruto dan Haruno Sakura sekarang berpacaran.
Deg!
Itu berita satu hari yang lalu tapi muncul di beranda Hinata karena ada yang mengomentari berita itu.
Kembali, rasa dingin menjalari seluruh tubuhnya hingga kemudian membuat seluruh tubuhnya bergetar. Ini bodoh! Kenapa reaksi Hinata seolah baru mengetahui kabar itu? Bukannya Hinata seudah tahu hal itu dari seminggu yang lalu? Harusnya Hinata tidak perlu sekaget ini kan? Seharusnya Hinata tidak perlu merasakan perasaan ini lagi kan? Seharusnya ...
Hyuuga Hinata menggeleng-gelengkan kepala, tertawa hambar kemudian membuka sebuah grup. Nama grup itu nikki, diary. Grup di mana Hinata dapat bebas-bebas saja mencurahkan segala hal yang dia rasakan, apapun. Karena di grup itu tak ada yang mengenalnya di dunia nyata, jadi Hinata merasa nyaman mengatakan apapun di grup itu.
Dengan terburu, Hinata mulai mengetik apa yang ada di pikirannya. Segalanya. Tentang betapa sakit dirinya ketika mengetahui fakta tentang Naruto yang berpacaran dengan orang lain, tentang rencana pertunangan mereka, tentang rencana pernikahan mereka, tentang betapa bodohnya dia menganggap ungkapan perasaan Naruto dua bulan yang lalu kepada dirinya. Tentang betapa bodohnya dia tentang semuanya. Semuanya.
Tentang betapa dia ingin menangis namun nyatanya dia tidak pernah bisa menangis.
Namun setelah semuanya tertuang, Hinata termenung. Ada perasaan yang menyuruhnya untuk tidak menuliskan semua itu di dinding grup. Tidak bisa. Hinata tidak bisa menuliskannya. Ini terlalu... memalukan baginya. Menyukai sahabatmu sendiri, menyatakan cinta kepadanya, dan langsung terbang melayang ketika kamu mengira sahabatmu juga menyayangimu. Dan kini langsung jatuh terpuruk saat sahabatmu hanya menganggapmu sebagai adik perempuannya dan yang lebih parah lagi sahabatmu akan bertunangan dan memiliki rencana untuk menikahi si cinta pertamanya.
Itu benar-benar cerita memalukan ala sinetron yang dibenci Hinata. Namun ironisnya dialami sendiri olehnya.
Jadilah, Hinata menghapus semuanya, dan menuliskan sesuatu yang benar-benar bukan sesuatu yang tidak begitu dipikirkannya, kemudian me-log out akun facebooknya tanpa menuliskan ucapan selamat kepada Naruto dan Sakura, hanya menyukai kabar berita itu dengan hati yang terluka.
Meski masih tersisa waktu 30 menit lagi, Hinata memilih selesai dan beranjak pulang ke kostannya.
~ Love – SasuHina~
"Dari mana saja kau?"
Hinata mendongak. Matanya membulat tak percaya pada seseorang yang menyandar di depan pintu kamarnya.
"Sasuke-kun?"
Pemuda itu, Uchiha Sasuke hanya bergumam tak jelas. Merubah posisi tangannya yang tadinya terlipat dan beranjak mendekati Hinata, Sasuke langsung menarik Hinata hingga gadis itu berada tepat di depan pintu kamarnya sendiri.
"Buka pintunya. Aku sudah menunggumu selama tiga jam penuh di sini. Sendirian!" perintah Sasuke dengan dingin, tak mau dibantah. Hinata gelagapan, panik.
"Ta-tapi sekarang kamarku berantakan sekali," kilah Hinata membuat aura disekitar mereka jadi semakin tak enak dirasakan.
"Jadi, maksudmu aku harus kembali ke Ame, begitu?"
Glek!
Hinata benar-benar tidak bisa bertindak apapun ketika menyadari indikasi kekesalan tingkat dewa sang pemuda Uchiha dan background bersifat imajiner yang terlihat akibat ketakutannya kepada pemuda dihadapannya ini.
Kesal karena gadis berambut lavender dihadapannya ini diam saja, Sasuke segera merebut tas yang di pegang Hinata kemudian merogohnya, mengambil kunci kamar kost Hinata – Sasuke tahu di mana biasanya Hinata menaruh kunci kamarnya – kemudian membuka pintu kamar Hinata...
Dan diam membatu.
Hinata menunduk dengan rona merah karena malu.
Kamarnya benar-benar berantakan sekarang. Piring kotor tersimpan di pojok ruangan, baju-baju kotor tertumpuk di ember dan puluhan kertas serta buku-buku berserakan di lantai. Mengingat Sasuke yang sangat mencintai kebersihan, Hinata yakin Sasuke bakal mengamuk saat ini juga.
Tapi Hinata salah besar.
"Bereskan semuanya dan aku akan menunggu ditempat yang paling bersih."
Setelah mengatakan itu, Uchiha Sasuke langsung membanting tubuhnya di tempat tidur Hinata yang memang tempat terbersih di kamarnya saat ini.
~ Love – SasuHina~
Piring-piring kotor sudah dicuci bersih. Karena mustahil mencuci di malam hari karena air yang – menurut Hinata – sangat dingin, akhirnya ember berisi tumpukan baju kotornya dipindahkan ke kamar mandi, dan buku-buku serta lembaran-lembaran yang berserakan di lantai sudah disimpan Hinata ke rak bukunya.
Saat jam kecil yang diletakkan Hinata di atas meja menunjukan pukul sepuluh malam, kamar Hinata benar-benar bersih. Satu jam untuk membersihkan semua kekacauan yang dibuat Hinata selama seminggu ini dengan menyisakan baju-baju kotor yang belum sempat dicuci, tentu saja.
Dan tentu saja, si pemuda dengan rambut mencuat-cuat ke atas itu SAMA SEKALI tidak membantunya. Hanya memandangnya sesekali kemudian membaca komik milik Hinata. Komik shonen tentu saja.
Dan kalau boleh jujur, setelah Hinata membersihkan kekacauan di kamarnya, Hinata merasa bodoh sekali. Hei! Sejak kapan gadis itu langsung meng-iyakan perintah pemuda bertampang datar itu tanpa protes? Baru kali ini saja.
"Kau sudah makan?" pertanyaan tiba-tiba dari Sasuke membuat Hinata langsung memegang perutnya dan Hinata menggeleng pelan.
Dia bahkan tak ingat pernah memasukkan nasi ke dalam perutnya selama seminggu ini.
"Kantung matamu terlalu tebal," komentar Sasuke lagi. "Mirip dengan L di komik ini," ucapnya lagi sembari menunjukkan komik berjilid hitam di tangannya. Hinata hanya tertawa hambar. Sasuke terdiam, kemudian beranjak bangun dari kasur dan mendekati Hinata yang duduk di lantai dengan kepala tertunduk. "Berapa jam kau tidur selama seminggu ini?"
Hinata menggeleng, tanda tak tahu. Meski samar, tapi Hinata tahu bahwa Sasuke sedang menghela nafas sekarang. Tumben sekali. Biasanya pemuda itu tak berekspresi apa-apa.
"Berdiri." Sasuke menarik tangan Hinata hingga gadis itu berdiri, mendorong Hinata kemudian memerintahkan Hinata untuk tidur. Saat tubuh gadis itu terlentang di atas tempat tidur, Sasuke segera menyelimuti seluruh tubuh Hinata dan mendorong tubuh Hinata agar posisi tidur gadis itu menjadi menyamping, dengan wajah menghadap tembok kamar Hinata yang di cat kuning pucat, sewarna dengan warna rambut Naruto.
"Sa-Sasu –"
"Menangislah."
"Eh?"
Hinata gelagapan. Dalam posisinya yang sekarang, Hinata tak banyak bergerak, ingin mengubah posisi tidurnya namun tubuh Sasuke yang duduk dan menjadikan punggung Hinata sandaran membuat Hinata hanya bisa dalam posisi seperti ini.
"Matamu lelah, Hinata." Entah ini perasaan Hinata saja, tapi Hinata mendengar nada suara Sasuke melembut. "Menangislah jika kau tidak bisa tertawa."
Hinata terdiam. Membeku dengan sempurna. Tangannya dingin. Sensasi terluka itu kembali menyerangnya yang sempat terlupa karena kegiatan membersihkan kamarnya tadi. Tenggorokannya kembali tercekat dan hatinya kembali terasa sangat sakit.
"A-apa yang kau katakan Sasuke-kun. A-aku tidak –"
"Naruto akan bertunangan bukan? Dua bulan lagi."
"Memang. Ta-tapi itu bukan alasan untuk aku menangis kan? Lagipula a-aku su-sudah bisa menduganya. Aku... Aku menerimanya kok. Memang te-terasa sakit, sakit sekali. Ra-rasanya ada sesuatu yang hancur di dalam sini," Hinata menyentuh dadanya, kemudian kembali melanjutkan, "Ta-tapi aku merasa tidak perlu menangis kok. Aku –"
Tiba-tiba saja Hinata merasa gelap. Tangan besar Sasuke menutup kedua matanya. Mata Hinata semakin memanas. Ada suatu desakan yang sangat besar ketika tangan yang besar itu menutupi kedua matanya dari belakang. Kemudian Hinata juga merasakan kepalanya yang ditepuk pelan oleh pemuda ini. Pemuda yang ada di kamarnya ini.
"Aku menyukaimu, Hinata," ucapan tak terduga dari orang yang seharusnya sudah diduga. Hinata hanya mampu tercekat. "Menyayangimu," ucapan itu terdengar agak lirih, lembut dan terasa hangat. Membuat perasaan di hati Hinata semakin sesak dan matanya semakin memanas. Ada suatu dorongan, dorongan yang sangat besar untuk menumpahkannya ketika Hinata merasakan telapak tangan besar Sasuke, ketika mendengar suara lembut Sasuke yang mengatakan 'sayang' kepadanya.
"Ke-kenapa..." Saat mengatakan kata ini, bibir Hinata bergetar. Tenggorokannya semakin tercekat. Tangan Sasuke yang hangat, ucapan Sasuke barusan. "Ke-kenapa mengatakannya lagi... Aku... Aku –"
Blank.
Apa yang ingin dikatakan Hinata terlupakan begitu saja. Gadis itu merasakan sesuatu melesak keluar dari kedua matanya yang tertutup oleh telapak tangan Sasuke. Dengan gemetar, kedua tangan Hinata memegang telapak tangan Sasuke, kemudian memindahkan posisi telapak tangan Sasuke yang hangat dari atas matanya, dan meletakan telapak tangan itu di pipinya, menekannya kuat-kuat agar Hinata bisa merasakan hangat tubuh Sasuke melalui telapak tangannya.
Hinata tahu, hati Hinata masih terasa sesak, kenangan-kenangan akan kebersamaannya dengan Naruto terpampang dengan jelas di memorinya dan itu menyayat-nyayat hatinya.
Tapi ketika butiran air mengalir dari kedua matanya, ketika dia bisa mendengar isak tangisnya sendiri, ketika Hinata memeluk telapak tangan Sasuke yang terasa hangat di pipinya, Hinata merasa rasa sesak itu perlahan-lahan menghilang. Bayangan-bayangan Naruto yang semakin deras menghantam memorinya tidak semenyakitkan yang dipikirkannya sekarang. Keberadaan Sasuke di belakang punggungnya membuat Hinata merasa punya keberanian. Keberanian dan kekuatan agar dia bisa menangis, menumpahkan segala hal yang menyulitkannya dalam bentuk air mata.
Terima kasih,
Akhirnya Hinata dapat menangis.
.
.
Hinata tidak ingat berapa jam lamanya dia menangis, yang diingat olehnya adalah kenyataan bahwa ketika Hinata membuka mata, cahaya mentari pagi sudah terlihat dari jendela kamarnya. Dan saat Hinata mencoba untuk bangun, kepalanya terasa dihantam oleh palu, membuatnya terasa pusing dan pandangannya kabur.
"Kau demam," ucap seseorang di ambang pintu kamar Hinata. Tampak segar dengan pakaian yang berbeda dengan semalam. Hinata menyentuh keningnya. Memang terasa hangat. "Dan berantakan," ucap orang itu lagi. Orang itu – Sasuke – melangkah dengan kantong plastik kecil di tangan. Pemuda itu kemudian mengambil mangkuk di rak piring di sebelah pintu dan menuangkan isi dari kantong plastik itu yang ternyata bubur ayam tanpa bawang goreng dan seledri, selera Hinata.
"Kau bisa bangun kan? Makanlah!" Sasuke menyodorkan bubur di tangannya dan Hinata berusaha untuk duduk menyandar. Matanya sakit, Hinata kesulitan membuka kedua matanya, sepertinya matanya bengkak karena kebanyakan menangis semalam. "Mau kusuapi?"
Dengan rona merah di pipi, Hinata menggeleng kuat-kuat. Gadis itu mengambil mangkuk bubur di tangan Sasuke dan memakannya cepat-cepat – secepat yang bisa dilakukan orang sakit sepertinya.
"Minum obat." Sasuke menyodorkan obat dan segelas air putih. Hinata menerimanya dan menegaknya hingga habis. Gadis itu kemudian melihat jam mungil di atas meja yang berada di depannya. Pukul 09.00, terlalu terlambat untuk pergi kuliah, padahal sekarang adalah mata kuliah yang sangat ingin Hinata ikuti, Kalkulus 2, mata kuliah favoritenya – dengan mengesampingkan dosen pengajarnya.
"Tenten sudah kemari dan membuat surat keterangan sakit dari dokter," ucap Sasuke. "Jadi kau tidak perlu khawatir atas absenmu hari ini."
Hinata memandang Sasuke kemudian tersenyum dengan kepala tertunduk.
"A-arigatou," katanya dan Sasuke hanya bergumam saja. Hening menyelimuti mereka. Suara detak jarum jam terdengar cukup keras.
"Se-semalam, Kau tidur di mana Sa-Sasuke-kun?" tanya Hinata, memecah keheningan. Ini memang bukan yang pertama kalinya Sasuke datang berkunjung bahkan menginap di tempatnya. Biasanya saat Sasuke menginap di kamarnya, Hinata akan menginap di kamar temannya yang masih berada beberapa kamar dari kamarnya. Jadi, ini pertama kalinya Hinata tidur di kamarnya sendiri ketika Sasuke berkunjung ke tempatnya.
"Kamar sebelah," jawab Sasuke acuh tak acuh. "Ibu kost mengizinkanku menggunakan kamar sebelah yang sedang kosong, Aku tidur dengan kasur lipatmu, kalau kau bertanya."
Hinata mengangguk kemudian mengucapkan maaf yang hanya mendapatkan gumaman tak jelas dari Sasuke.
"Sasuke-kun," panggil Hinata lagi. Sungguh, suasana ini benar-benar menyesakkannya. Suasana canggung. Hinata tidak bisa mengabaikan kalimat Sasuke semalam.
"Tidurlah dulu, dengan tidur beberapa jam lagi, kupikir kau akan merasa lebih baik," potong Sasuke menuntun agar Hinata tertidur. "Aku ingin menyelesaikan bacaanku dulu, nanti kita bicara."
Hinata hanya mengangguk lesu.
~ Love – SasuHina~
Hinata bermimpi. Ini memang mimpi tapi terasa nyata. Naruto tersenyum ke arahnya, mengambil tangannya kemudian menyelipkan cincin di jari manisnya.
Seharusnya ini adalah mimpi terindah baginya. Bagi Hinata yang begitu menyayangi Naruto. Namun mungkin karena sadar ini adalah mimpi, Hinata jadi tidak bisa tersenyum bahagia. Dan saat di dalam mimpinya hadir sesosok wajah tampan dengan ekspresi datar yang memandangnya dengan tatapan terluka...
Hinata langsung terperanjat bangun. Tubuhnya berkeringat deras, sepertinya ini karena efek obat, juga mimpinya tadi. Menatap jam yang ada di mejanya, Hinata mencelos.
Tepat jam dua siang.
Waktu berlalu begitu cepat.
"Hinata-chan?"
Hinata menoleh, mendapati Tenten ada di sana, tersenyum ke arahnya. "Ah, demamnya sudah hilang," kata Tenten. "Bajumu basah, mau kuganti?"
Hinata mengangguk dan tanpa banyak tanya lagi, Tenten mengambilkannya baju dari lemari, kemudian sebelum mengganti baju Hinata, mengelap tubuh gadis itu terlebih dahulu.
"Tenten-chan," panggil Hinata. "Sasuke –"
"Membeli makan. Ah, kau tidak tahu betapa aku sudah direpotkan olehnya," ucap Tenten. Hinata menatap tenten bingung "Semalam Sasuke terus menelponku dan memaksaku untuk datang ke sini. Katanya kau demam. Dan saat aku datang, Sasuke datang mencari dokter di sekitar sini. Yang masih bisa bersedia memeriksa pasien di atas jam dua belas malam."
Sejujurnya, Hinata bahkan tidak ingat kalau dia demam, dan diperiksa oleh dokter.
"Kata dokter, kau terlalu tertekan. Kau juga kurang makan dan kurang tidur, tapi tubuhmu kecapekan. Apa sih yang kau lakukan?"
Hinata hanya diam mendengar ceramahan Tenten. Tak ada yang tahu tentang patah hatinya. Mungkin hanya Sasuke yang tahu karena Hinata pernah menulis tentang 'sahabatku sudah punya pacar' di dinding grup dan mungkin pemuda itu bertanya kepada Naruto langsung.
"Padahal sudah kubilangkan kau harus cerita padaku kalau kau punya masalah!" Tenten menatap mata Hinata dalam, sedikit kecewa dan Hinata mendapati dirinya yang tidak suka ketika melihat tatapan Tenten kepadanya. "Pantas seminggu ini kau kelihatan berbeda."
"Gomen."
Tenten menghela nafas. Kemudian menepuk bahu Hinata. "Aku tahu tentang sifatmu kok," ucap Tenten lagi. "Dan aku maklum."
Hinata tersenyum, memeluk Tenten erat dan mengucapkan arigatou berkali-kali.
~ Love – SasuHina~
Saat Sasuke berada di sampingnya, Hinata merasa nyaman. Hinata merasa air matanya seakan-akan meloncat keluar dan itu membuatnya senang. Hinata tidak pernah secengeng ini, kan?
"Perasaan cinta itu aneh ya?" Itu kalimat pembuka dari Hinata ketika pemuda bermarga Uchiha itu berada di dekatnya, membaca komik lain yang ada di rak buku Hinata. Kalimat itu juga yang membuat Sasuke menutup komiknya dan menatap Hinata yang memandang ke dinding kamarnya, ke poster karakter animanga yang sangat digilainya. "Perasaan bernama cinta memunculkan banyak perasaan. Perasaan sedih ketika melihat orang yang dicinta sedih, kecewa saat janji bertemu yang batal, cemburu ketika melihatnya dekat dengan orang lain, khawatir ketika dia sedang sakit, Senang ketika melihat dirinya, kagum pada apa yang dimilikinya, merasa aman karena di dekatnya, dan terluka ketika dia memilih orang lain dan bukannya kita."
Hinata meneguk ludah. Matanya tidak begitu bengkak lagi seperti saat bangun tidur tadi pagi. Suhu tubuhnya juga normal, rasa pusingnya juga hilang entah kemana.
Hinata menoleh ke arah Sasuke yang memandangnya tanpa ekspresi. Masih terdiam di tempatnya. Hinata tersenyum pahit.
"Atashi wa Naruto-kun ga daisuki. Tottemo daisuki*."
Hinata merasakan hatinya hangat namun perih di saat yang bersamaan saat mengatakan kalimat itu.
"Hontoni okashii yo ne. Kare no sobani iru to, tottemo ochitsuki no. Dokki-dokki shicatta. Kore o kata'omoi de owarasetakunai**." Hinata tertawa matanya kembali berair ketika melihat Sasuke. "Demo mou owari kana~te***."
Saat Sasuke menggenggam punggung tangan Hinata, Hinata kembali merasakan desakan yang sangat kuat agar dia kembali menangis. Tapi Hinata berusaha untuk menahannya. Gadis itu menatap Sasuke yang memandangnya dalam.
"Jadilah pacarku, Hinata."
Hinata terdiam. Kalimat itu terasa begitu tegas terdengar. Tanpa keraguan sama sekali. Kenapa? Padahal Sasuke tahu bahwa Hinata hanya menyukai Naruto. Kenapa?
"Aku akan membuatmu melupakan si bodoh itu."
"Tapi..."
"Kau harus jadi pacarku!"
Air mata Hinata mengalir. Ah, kenapa dia jadi cengeng begini?
"Tapi ini salah, Sasuke-kun," ucap Hinata lirih. "Aku tidak mau memanfaatkanmu untuk melupakan Naruto-kun. Aku tidak mau! Sasuke-kun adalah temanku yang berharga aku –"
Saat Sasuke memeluknya, saat Hinata merasakan hangat tubuh Sasuke dan wangi khas dari tubuhnya, Hinata tahu dia tidak bisa menolak. Hinata tahu dia butuh seseorang, seseorang yang bisa dijadikannya pelarian. Hinata butuh itu agar dia tidak terpuruk terlalu lama. Agar dia bisa menghadiri pertunangan Naruto kurang dari dua bulan lagi dengan senyum mengembang.
Hinata tahu ini salah. Memanfaatkan perasaan orang yang mencintaimu sungguh tidak bisa dimaafkan. Hinata tahu mungkin dia akan menerima karmanya, tapi dia tak peduli.
Sasuke yang menawarkan dirinya sendiri untuk memanfaatkan dirinya. Sasuke yang menawarkannya. Jadi tidak ada salahnya jika Hinata menerimanya... kan?
Jadi, saat Hinata membalas pelukan Sasuke, saat Hinata menetapkan hatinya, Hinata mengucapkan maaf berkali-kali kepada Sasuke. Berkali-kali sampai akhirnya Sasuke menyuruhnya untuk berhenti.
Maaf, Sasuke-kun.
Maaf dan terima kasih.
To be continued
.
A/n :
*) Aku sangat menyayangi Naruto-kun, Sangat menyayanginya.
**) Ini benar-benar aneh. Berada di sisinya membuat perasaanku nyaman. Hatiku berdetak kencang. Aku tidak ingin semuanya berakhir seperti ini saja.
***) Tapi ternyata semuanya telah berakhir.
(Jika ada kesalahan translate, hontoni gomennasaine.. hehehe. #DitimpukReaders)
.
.
.
.
Review?
.
.
Fuyu-yuki-shiro
