—My Heart is Yours—
Author: Rin
Chapter: 1/?
Disclaimer: All casts is belong to theirselves.
Rated: T to M
Pair: YeKyu (Yesung x Kyuhyun), slight HaeHyuk, HanChul, SiBum, and other couples.
Genre: Romance – Hurt/Comfort
.
Warning: AU, Vamp!Fic, Crack Pair, YAOI, OOC untuk keperluan cerita, dll.
.
.
DON'T LIKE DON'T READ
.
Suara peluit tanda keberangkatan kereta terakhir—pun merupakan tanda kedatangan kereta dari arah kota. Asap membumbung tinggi, membuat garis keabuan tampak di langit berwarna jingga dengan semburat keunguan yang bersih tanpa satu pun awan yang menggantung. Kereta terakhir tiba beberapa detik setelah suara peluit berakhir. Beberapa penumpang bergegas turun. Tak banyak penumpang yang menuju daerah ini—kecuali mungkin karena beberapa hal yang memaksa mereka untuk melakukannya.
Senja mulai menjelang, ketika seorang namja bersurai coklat madu itu menjejakkan kakinya—dengan malas tentunya—di dataran yang sebentar lagi akan ia tinggali selama satu tahun ke depan. Malas, jelas saja. Daerah ini akan menjadi satu-satunya tempat yang akan ia datangi—kalau tidak ada lagi tempat yang menarik di Korea untuk dikunjungi. Tempat ini terlalu terpencil di tengah padatnya dataran Korea saat ini. Yang lebih menyedihkannya lagi, tempat—atau desa ini—bahkan tidak bernama.
Ia melengos perlahan, sebelum kemudian menyeret koper kecilnya beranjak dari stasiun itu. Tak banyak orang yang mau mengunjungi tempat tidak menarik ini. Mungkin hanya ia satu-satunya orang di Korea ini yang bukan hanya mengunjungi tempat ini, tapi juga malah berencana—atau lebih tepatnya direncanakan—untuk tinggal di desa tanpa nama ini.
Perlahan, walau dengan kemalasan tingkat tinggi, ia merogoh saku blazer biru tua miliknya. Diambilnya secarik kertas kumal—karena terlalu sering ia remas di perjalanan—yang menunjukkan tempat dimana ia akan tinggal selama satu tahun ke depan. Ia mendongakkan kepalanya, iris obsidiannya menyapu tempat di sekitarnya. Hampir sepi, hanya ada beberapa orang yang tampak lalu lalang di sekitarnya—yang bisa ia tebak kalau mereka bukanlah para penumpang dari kereta yang—kelihatannya—akan berangkat sebentar lagi. Kelihatannya orang-orang itu adalah para pegawai yang bekerja di tempat ini.
Ia menghela nafas perlahan, memutuskan kalau mengamati hal seperti itu tidak ada gunanya. Lagipula ia masih memiliki urusan lain yang harus ia selesaikan dengan segera saat ini, menemukan tempat yang lima tahun lalu pernah ia tinggali.
Namja itu melangkahkan kakinya ke luar stasiun. Tak dipedulikannya beberapa pasang mata yang memandanginya—heran, penasaran atau bahkan bingung—sebelum kemudian para pemilik mata tersebut kembali meneruskan pekerjaannya kembali. Kecuali seorang namja di bagian pelayanan penumpang, yang terus menatapnya hingga punggung sang namja berambut coklat tersebut menghilang tertutup kerumunan orang-orang yang mengejar kereta terakhir di hari itu—dengan tatapan panik sambil menggigit bibir bagian bawahnya.
"Aigoo, dia sudah kembali rupanya…"
.
.
Ia menarik nafas perlahan. Kalau boleh memilih, sebenarnya ia benar-benar malas untuk mendatangi tempat ini. Selain karena letak tempat ini yang jauh dari mana-mana ditambah dengan status desa ini yang sangat tidak jelas, juga karena—entah disebabkan oleh apa—ia sedikit memiliki trauma akan tempat ini. Tak bisa diingatnya dengan jelas, namun jauh di dalam hatinya ada bagian yang seolah membisikkan sesuatu kalau ia tak seharusnya mengingat apapun itu yang pernah terjadi di masa lalu dan berhubungan erat dengan pemukiman ini. Tidak, tidak, bahkan lebih dari itu. Suara hatinya justru mengatakan kalau ia tidak boleh berada di tempat ini. Tapi apa mau dikata, walau sudah jelas ia akan mengikuti kata hatinya yang sebenarnya terkesan absurd itu, ia bahkan tidak bisa menolak permintaan—walau ia lebih memilih untuk menyebutnya sebagai pemaksaan—appanya yang entah dengan tujuan apa, menyuruhnya untuk menempati salah satu rumah milik keluarganya yang dibangun di tempat ini.
Miris rasanya mengingat hal itu. Seorang Cho Kyuhyun—yang notabenenya adalah orang yang selalu berbuat semaunya—bahkan tidak bisa menolak atau bahkan melawan keinginan aneh tersebut. Bahkan kalau dipikir lebih jauh lagi, sebenarnya appanya itu masih waras atau tidak? Menyuruh putra satu-satunya untuk tinggal di suatu tempat tanpa alasan yang jelas.
Ia semakin mempercepat langkahnya ketika dilihatnya waktu yang terpampang di layar ponselnya sudah menunjukkan angka lima. Dahinya berkerut ketika dilihatnya signal bar di layar ponselnya. Tch, aku bahkan tidak yakin akan bisa tahan tinggal di tempat ini selama sebulan.
Sepasang kaki jenjangnya melangkah lebar menyusuri jalanan yang hampir sepi, lurus menuju sebuah bangunan besar yang hampir tak terawat di kaki gunung. Sedikit menjauh dari pemukiman penduduk, ia bahkan ragu ada yang berani menginjakkan kakinya di tempat itu. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk membuat rumah itu tampak seperti reruntuhan. Ia heran kenapa appanya masih saja mempertahankan rumah ini dan tidak menjualnya, padahal tidak pernah ia perhatikan sedikit pun. Tidak, bahkan untuk menyuruh orang lain membersihkan tempat itu pun tidak pernah dilakukannya.
Ia terus melangkahkan kakinya tanpa henti, ketika ia berpapasan dengan seorang namja berkulit putih dengan kacamata berlensa persegi yang membingkai iris obsidian yang sama dengannya. Sebuah buku yang cukup tebal terselip di jari-jarinya. Tak dipedulikannya namja itu, karena saat ini yang sedang dipikirkannya hanyalah ia harus berada di rumah itu sebelum hari benar-benar gelap.
Sepeninggal Kyuhyun, namja berkacamata itu menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya hingga pandangannya beradu pada punggung Kyuhyun yang berjalan semakin jauh. Iris obsidiannya mengarah pada apa yang dituju oleh namja berambut coklat itu. Menghela nafasnya, ia pun kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Selamat datang kembali… di masa lalumu… Cho Kyuhyun...
.
.
Kyuhyun berhenti di depan pintu pagar sebuah bangunan yang masih merupakan rumahnya. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang cukup sukses hingga orang itu bisa memiliki banyak harta kekayaan—salah satunya adalah rumah ini, dimana ia heran dengan pemikiran appanya itu yang memilih untuk membangun salah satu rumah miliknya di tempat terpencil seperti ini.
Ia menggelengkan kepalanya, memutuskan kalau hobi appanya yang aneh itu bukan hal penting yang harus ia pikirkan.
Kyuhyun mendorong pintu pagar setinggi dua meter itu perlahan. Karat yang menempel di pagar besi itu menyamarkan warna aslinya yang sebenarnya berwarna putih gading. Kyuhyun ingat betul mengenai hal itu, karena dulu kakak perempuannya sering mengajaknya berkeliling di tepian pagar dimana ia sebenarnya lebih memilih untuk menghabiskan waktu di perpustakaan dan berkutat dengan ratusan soal matematika. Yah jangan memanggilnya freak atau apalah karena hobinya yang terbilang cukup aneh itu, itu hanya sebuah kebiasaan yang benar-benar sulit dihilangkan hingga sekarang.
Suara derit tertahan mengiringi ketika Kyuhyun mendorong pintu pagar tersebut. Melihat keadaan pagarnya yang mengenaskan seperti ini, Kyuhyun yakin kalau sejak keluarga mereka pindah ke Seoul, tak ada seorang pun yang memasuki tempat ini.
Ia melangkahkan kakinya di jalan setapak yanga ditumbuhi oleh rerumputan setinggi sepuluh sentimeter. Kyuhyun menyapukan pandangannya ke sekitarnya. Beberapa bebatuan besar yang ada di sana sudah hampir tertutupi oleh lumut, sementara rerumputan yang cukup tinggi sudah menutupi hampir semua pekarangannya. Matanya kini tertuju pada bangunan yang kini berdiri menjulang di hadapannya. Tidak terawat, jelas saja. Walau keadaannya masih bisa dikategorikan lumayan, dengan cat yang terkelupas di hampir semua bagian bangunan, tanaman rambat yang memenuhi bagian selatan bangunan dan lumut di beberapa bagiannya, membuatnya harus mengernyit. Yang benar saja, ia disuruh pindah ke tempat ini dengan keadaan bangunan yang bahkan berada di bawah standar kelayakan huni.
Masih menjinjing kopernya, ia menghela nafasnya. Yah, mau tidak mau, ia tetap harus menjalaninya. Kecuali kalau ia sudah bosan dengan nama Cho di depan namanya dan bersedia untuk dipecat sebagai anak oleh appanya sih tidak masalah kalau ia kabur sekarang juga.
Kyuhyun beranjak menuju pintu depan bercat beige dengan warna yang telah memudar. Didorongnya pintu tersebut hingga terbuka. Kelihatannya sekian tahun berlalu membuat tempat ini tidak pernah didatangi oleh manusia. Keadaan di dalam tak berbeda jauh dengan di luar, walau sebenarnya jauh lebih baik. Setidaknya walau hampir seluruh perabot di dalamnya ditutupi oleh debu dan ada beberapa bagian yang ditumbuhi oleh sarang laba-laba, keadaannya cukup rapi untuk tempat yang tidak pernah dihuni selama lima tahun.
Ia terdiam sejenak di pintu depan. Heran sebenarnya atau bingung kalau mau sekalian saja menggambarkan apa yang ada dalam pikirannya. Manusia mana yang tidak akan heran—terutama orang yang selalu mengutamakan logika di atas segalanya seperti dirinya ini—melihat rumah yang tidak dihuni dan dirawat selama lima tahun ini terlihat seperti hanya ditinggalkan selama beberapa bulan saja. Hampir seluruh perabot yang tertangkap oleh iris obisidiannya masih terlihat bagus, hanya tertutupi oleh debu yang cukup tebal. Hanya beberapa benda saja yang terlihat agak rusak, walau tidak masalah untuk digunakan.
Hanya ada satu hal yang ada dalam pikirannya saat ini. Ada seseorang, entah siapa itu yang sudah tinggal di rumahnya ini sejak ia dan keluarganya pindah dari rumah ini. Masalahnya adalah… siapa?
.
.
Lee Donghae berlari menyusuri jalanan sepi menuju rumah berukuran sedang yang terletak di ujung desa. Sesekali kakinya tersandung oleh akar pepohonan yang mencuat dari dalam tanah, membuat langkahnya semakin terhambat. Biar bagaimana pun, ia harus segera tiba di rumah orang itu.
Namja berwajah tampan itu mempoutkan bibirnya ketika dilihatnya akar-akar yang mencuat semakin banyak ditemuinya. Ia merutuki pilihan orang itu yang memutuskan untuk tinggal di tempat yang agak jauh dari pemukiman penduduk ini. Apa dia tidak tahu kalau ini benar-benar merepotkan untuk orang-orang yang ingin mengunjunginya. Dasar aneh…
Setelah lima belas menit penuh perjuangan melewati jalanan yang benar-benar jauh dari yang namanya bersahabat, namja berambut hitam itu sampai di depan sebuah rumah kayu. Gumpalan asap terlihat mengepul dari bagian kanan rumah, menandakan sang pemilik rumah sedang berada di tempatnya. Yah, setidaknya usahanya berlari dari stasiun kereta menuju tempat ini tidak sia-sia belaka.
Setelah menarik nafas beberapa kali, mengistirahatkan paru-parunya yang tadi terpaksa harus dibuatnya bekerja agak keras, ia pun menaiki undakan kayu menuju pintu depan yang ukurannya dua kali tinggi tubuhnya. Diketuknya pintu tersebut dengan cukup keras kalau tidak mau disebut menggedornya. Toh, orang itu tidak akan pernah mengamuk padanya—ah, bukan, lebih tepatnya tidak akan pernah bisa marah padanya.
"Hyung, aku tahu kau ada di dalam. Ppali, buka pintunya. Ada sesuatu yang harus kuberitahukan padamu!" teriak pemilik suara tenor tersebut.
Terdengar suara gerendel kunci yang dibuka—disertai dengan umpatan yang sebenarnya terdengar kasar, namun setidaknya masih teredam oleh dinding kayu di rumah tersebut, sehingga telinga suci Donghae masih belum ternoda.
"Yaa! Lee Donghae, tidak bisakah kau sedikit pelan mengetuk pintu? Kau tahu kan kalau seluruh bagian rumah ini terbuat dari kayu, dan ketukan kerasmu itu benar-benar sangat mengganggu!" Teriak sang pemilik rumah, tak kalah kerasnya dengan sang tamu.
Pintu terbuka, dan menampilkan seorang namja berambut agak panjang dengan wajah yang cantik layaknya seorang yeoja, berdiri sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Kedua alisnya berkerut, menandakan moodnya agak buruk karena gangguan singkat tersebut.
Donghae hanya bisa nyengir, mendapati salah satu orang di desa ini yang ia anggap hyung tersebut terlihat kesal. Sekali lagi, hanya kesal. "Mian, Heechul-hyung. Masalahnya ini darurat lho..."
Kim Heechul, sang namja pemilik rumah tersebut mengerutkan alisnya. "Mwo?"
"Orang itu sudah kembali, hyung..."
Heechul mengangkat sebelah alisnya, antara merasa heran dan bingung. "Yah, tidak masalah kan kalau orang itu mau kembali lagi ke sini atau tidak. Memangnya kenapa?"
Donghae rasanya ingin menggeplak kepala hyungnya itu dengan batang kayu yang berdiri tegak di samping rumah ini. Sejak kapan hyungnya ini terkena sindrom telat mikir seperti ini? Walau tidak sejenius Kibum, orang ini juga tidak bisa dibilang bodoh. Yah, tapi ia juga masih punya akal sehat untuk tidak melakukannya, mengingat amukan seorang Kim Heechul itu benar-benar menakutkan kalau dia sedang benar-benar marah.
"Yang jadi masalahnya, hyung, rumah itu kan..."
Donghae menggantung kalimatnya, tahu bahwa tanpa dijelaskan pun hyungnya ini sudah mengerti apa yang dimaksud olehnya.
Dan detik berikutnya, Heechul hanya bisa diam tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
.
.
Sepasang iris obsidian terbuka perlahan ketika dirasanya sesuatu mengusiknya. Lengan kanannya yang sejak tadi berada di atas dahinya ia tarik hingga wajah putihnya yang pucat semakin jelas terlihat. Mata sipitnya yang berkilat tajam dan dingin beralih pada pintu berwarna putih gading yang berada sekitar sepuluh meter dari sofa tempatnya terbaring.
Sinar senja berwarna jingga keunguan yang merambat masuk melalui celah-celah jendela yang terbuka mulai menghilang dan tergantikan oleh semburat gelap yang perlahan muncul, menandakan malam akan segera menjelang. Sebuah waktu dimana dirinya bisa bebas berkeliaran.
Ia mendudukkan dirinya di atas sofa yang dipakainya untuk tidur, dan bersandar pada punggung sofa. Helaian hitamnya jatuh menutupi sebagian wajahnya. Sebuah anting berwarna perak berbentuk salib terlihat menggantung di telinga kirinya, memantulkan cahaya yang berasal dari luar sana.
Tak ada satu pun penerangan yang berada di ruangan itu, kecuali cahaya yang berasal dari luar. Jubah hitam yang dikenakannya membuatnya terlihat berbaur dengan kegelapan yang melingkupi ruangan tersebut, kecuali kemeja putih yang dikenakannya membuatnya tidak terlalu tenggelam dalam kegelepan.
Sepasang manik hitamnya kini beralih pada jendela lebar yang berada di samping kanannya, terbuka lebar menampilkan bulan separo yang bersinar tanpa ada satu pun awan yang menutupinya maupun para bintang yang senantiasa menemaninya.
Kembali, iris matanya beralih pada pintu yang masih tertutup. Masih dengan tatapan datar, ia menatap lurus pada pintu berukiran rumit itu, seolah menanti sesuatu akan muncul di baliknya. Detik berikutnya, seulas seringai tersungging di wajahnya, menampilkan sepasang taring yang cukup panjang di kedua sudut bibirnya. Dijilatnya bibir pucatnya, seolah sedang menikmati sesuatu.
"Akhirnya ada juga orang yang mendatangi tempat ini, eoh? Nah, kali ini… orang bodoh atau orang nekat yang datang~?"
Dan ia pun beranjak dari tempatnya duduk, berjalan menuju pintu yang tertutup di hadapannya, menyambut tamu tak diundang yang telah memasuki territorynya.
.
.
Dan roda takdir yang pernah terhenti kembali berputar ketika ia menginjakkan kembali kakinya di tempat ini.
.
.
—To Be Continued—
.
a/n oke, saya kembali lagi, bukan dengan updatean fic lama, tapi dengan fic baru. xD #digampar. Yaa, chingudeul, jangan ngamuk sama saya ya. :'D *kedap-kedip gaje* #diinjek.
Saya sedang terserang sindrom(?) buat suka sama Uke!Kyu, jadi bagi yang gak suka jangan bash cast yang ada di sini, ne? :) kan di atas udah jelas tertulis dengan cetak tebal dan huruf capital semua "DON'T LIKE, DON'T READ". Bagi yang tetep ngebash, padahal udah saya peringatkan, berarti anda butuh pemeriksaan mata ke dokter, atau butuh sekolah mulai dari TK lagi. xD #plak.
Oke, sekian dari saya, see you on the other story~
.
.
~Praise youth and it will prosper~
.
Sign
—Rin—
.
P.S. Should I Delete This? Or Keep This?
.
