DISCLAIMER :
Togashi-Sensei
angelofdeath1119 (for the original fic, I already got the permition)
PAIRING :
Absolutely KuroPika^^
SUMMARY :
It's undeniable, you know. It's unavoidable. Sometimes things have to happen. Collection of KuroPika oneshots, an Indonesian version!
GENRE :
Romance
WARNING :
AU, FemKura. Based on songs.
Song : I Need You Now by Lady Antebellum
CHAPTER 1 : NEED YOU NOW
Picture perfect memories scattered all around the floor
And I wonder if I ever cross your mind
For me it happens all the time
And I don't know how I can do without
I just need you now
Kurapika merasa kacau. Konsentrasinya terpecah, dan usahanya untuk menenangkan diri tak berhasil sedikitpun. Dia merasa lelah...dan frustasi. Dia benar-benar kesal, jengkel. Kurapika merasa marah. Semua ini tidak benar. Kurapika merasa bingung.
Kebingungan yang terasa begitu menyiksa hingga sampai ke tingkat di mana seolah-olah dunianya terbelah dua.
"Ada masalah, Kurapika?" Leorio bertanya dengan ramah ketika Kurapika tiba-tiba melamun saat mereka sedang makan malam bersama Gon dan Killua. Garpu tergantung begitu saja di tangan Kurapika, dan gadis itu hanya menatap piringnya dengan tatapan kosong.
"Tidak, tak ada apa-apa," jawab Kurapika, di mana hal itu merupakan kebohongan. Dia memasukkan sepotong kentang ke dalam mulutnya dan menelannya. Dengan canggung gadis pirang itu tersenyum untuk membuktikan bahwa dia baik-baik saja. Leorio mengangguk, menerima respon yang diberikan Kurapika.
Namun sebenarnya, di dalam hati Kurapika mengeluh. Semua kenangan itu terus terbayang di benaknya, dan dia merasa hancur. Kurapika merasa tak tahan lagi.
Tapi kenangan itu terus meneror otaknya yang lelah.
'Tak ada gunanya, Kurapika,' ucap gadis itu dalam hati. 'Kita harus mengakhiri kegilaan ini.'
Jemari Kurapika menelusuri sampul buku tulisnya yang bergaya oriental, dengan benang berkilau yang terjalin di punggung buku dan di seluruh sampulnya. Benang itu berkilau tertimpa sinar matahari, dan ketika akhirnya matahari itu terbenam, kilauannya pun menghilang.
"Kilauannya tidak menghilang, Kurapika," dia menirukan ucapan pria itu. "Tapi kilauan itu berpindah ke langit...Lihat!"
Suara Kurapika terdengar serak, dan tampak jelas dia berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Kurapika merasa kekanak-kanakkan saat itu, merasa benar-benar bodoh. Dia begitu ceria dan polos, betapa Kurapika merindukan bagaimana reaksi pria itu akan sikapnya.
"Rasanya sakit, kau tahu," Kurapika berkata, entah pada siapa. "Rasanyas akit, di sini." Dia menunjuk dadanya sendiri dan air matanya pun jatuh. "Sakit...benar-benar sakit. Kau tidak tahu..."
Renungannya terus berlanjut, dan hujan mulai turun membasahi jiwanya yang kelam.
"Bintang-bintang begitu indah malam ini," Kurapika berbisik sambil berdiri di balkon dan menatap langit yang sesungguhnya tak berbintang. Dia sudah melakukan hal itu selama beberapa jam. "Aku bisa melihatnya, kau tahu? Rasi bintang Scorpio pun terlihat indah malam ini," dia terus bicara. Suasana kota begitu hening, dan hanya suara hembusan angin yang menemaninya. "Bahkan rasi bintang Orion pun mudah ditemukan. Apa kau juga melihatnya?"
Lamunannya tiba-tiba terhenti karena apa yang baru saja ia katakan. Sebuah suara tawa setengah hati keluar dari bibirnya yang kering, seolah hal itu dilakukan Kurapika untuk mengurangi rasa sakitnya.
"Ini cukup ironis, bukan? Tadinya langit penuh bintang. Tapi kemudian hujan. Aku ingin tahu...apakah hujan akan turun hari ini?"
Kurapika memaksakan diri untuk tersenyum.
"Apa kau juga merasakannya?"
Ada beberapa buah botol minuman keras di atas meja kopi pria itu, tersusun secara acak dan berantakan memenuhi meja yang sempit. Dia berbaring di sofa, merasa pusing, suram dan kesepian. Tangannya menggenggam bagain leher botol minuman anggur putih, dan tangannya yang satu lagi berpegangan ke sofa untuk mempertahankan posisinya.
"Sialan," Kuroro berdesis. "Ini salahnya, jadi kenapa..."
-glek, glek-
"...Kenapa..."
-glek, glek-
"...Aku merasa terluka?"
Kuroro meletakkan botol yang kini telah kosong itu di atas meja, bersama dengan beberapa buah botol lain yang isinya sudah habis ia minum malam ini. Penampilannya nampak tidak rapi, bahkan kusut, dengan kemeja putih polos yang basah oleh minuman yang tumpah, dan celana panjangnya tergulung hingga ke lutut. Rambutnya pun berantakan, basah oleh keringat.
Tapi penampilan Kuroro tidaklah sesuram dan sekacau pikiran dan perasaannya saat ini. Dia pun tak tahu bagaimana caranya untuk bisa merasakan. Kuroro sama bingungnya dengan Kurapika. Dia tidak tahu, dan dari mana tepatnya, dia tak melihat jalan lain untuk berbelok.
Dia tersesat.
Kuroro dan Kurapika tenggelam dalam perasaan mereka masing-masing, diam-diam keduanya berharap untuk bisa bersama satu sama lain, tak peduli betapa bodoh kelihatannya untuk pasangan yang baru saja putus. Memang itu bukan merupakan hal yang biasa terjadi.
Jika kau bertanya pada Kurapika, dia akan mengatakan bahwa dialah yang patut untuk disalahkan. Kurapika putus dengan Kuroro tanpa alasan yang jelas. Dia hanya merasa tidak begitu dicintai seperti sebelumnya. Maka pada satu malam, Kurapika berkata, "Maafkan aku. Kita harus putus."
Jika kau bertanya pada Kuroro, dia pun akan mengatakan bahwa ini salahnya. Dia mengendurkan kasih sayangnya pada hartanya yang sangat penting—bahkan mungkin lebih jauh dari itu. Bukannya Kuroro merasa lelah pada Kurapika, bukan itu, tapi ini sepenuhnya berbeda. Jadi ketika gadis itu berkata, "Kita harus putus," Kuroro menjawab, "Tak ada harapan lagi, Kurapika. Kita harus mengakhiri semua kegilaan ini. Di samping itu, ini yang kauinginkan," dan melangkah pergi, walau hatinya memaksanya untuk tinggal, tangisan dan permohonan tertahan di dalam mulutnya.
Itulah ketika hujan mulai turun.
Bagi mereka berdua, satu kenangan mengenai yang lainnya akan menghancurkan keputusan mereka.
Rasa sakit menyelimuti hati Kuroro dan Kurapika, membuat masalah di antara mereka bertambah besar. Hal ini secara tak langsung memisahkan mereka, mencabik kewarasan dan kesadaran keduanya.
Kurapika, meraih mantelnya begitu saja dan melangkah keluar tersiram hujan. Mengabaikan rasa dingin yang menyerang inderanya, dia pergi keluar. "Oh, rasa dingin ini belum seberapa," ucapnya pada dirinya sendiri. "Hatiku merasa lebih dingin lagi."
Kurapika menertawakan kebodohannya. Apakah peristiwa itu menurunkan harga dirinya hingga sampai pada tingkat di mana dia kini berbicara sendiri?
Kuroro berjalan keluar, mabuk, satu-satunya perlindungannya dari hujan adalah mantel hitam dengan lambang pemberontakan berupa salib terbalik. "Dia menyebabkan rasa dingin lebih dari ini," Kuroro berkata, berjalan di dalam hujan dengan rasa pusing menyerang kepalanya. Dia tidak tahu di mana dia akan mendapati dirinya berada besok, dengan keadaanya seperti sekarang ini, tapi ah, siapa yang peduli?
Seolah-olah suatu kesempatan yang disengaja, keduanya bertemu di jalan, dengan sekujur tubuh basah kuyup karena hujan.
"Kuroro."
"Kurapika."
Dengan mata dan pipi yang basah oleh air mata, Kurapika berlari dan meraih Kuroro yang sedang mabuk dalam pelukannya. "Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku," dia berkata. "Aku benar-benar...Aku bertindak tidak rasional, seharusnya tidak begitu..."
Kuroro tersenyum padanya. "Itu bukan salahmu...Aku yang salah...Tidak seharusnya aku tidak peka terhadapmu. Seharusnya aku tidak berpikir kau masih akan peduli, seharusnya aku tidak berpikir kau akan-"
Penjelasannya terhenti karena sentuhan bibir hangat yang menyentuh bibirnya yang dingin.
Ketika Kurapika melepaskan ciumannya, gadis itu berkata, "Ya. Aku tahu."
Dan mereka pun bersatu kembali.
Review please...^^
