Setelah melakukan latihan basket rutin sepulang sekolah, Sasuke berniat mengambil tasnya yang masih berada di kelas. Sekolah sudah sepi. Wajar saja sebenarnya, ini sudah tiga jam sejak pelajaran terakhir usai.
Sebuah handuk kecil tersampir di bahunya, sementara tangan besar milik lelaki itu mulai membuka tutup botol air mineral dan meneguknya hingga tandas. Melihat ada tempat sampah terdekat, lelaki kelas dua sekolah menegah pertama ini melemparnya hingga masuk.
Pandangan Sasuke mengedar ke seluruh pejuru kelas. Kemudian, ia mendapati seorang gadis sedang duduk dengan kepala merah muda yang tengah tertunduk—sedang membaca buku.
Sebuah senyum tipis terbentuk.
"Kau masih menungguku?"
Menyadari ada kehadiran orang lain, lantas sang gadis menengadah, lalu menatap lelaki yang berdiri tak jauh darinya dengan datar sebelum atensinya kembali pada buku.
"Mm," gumamnya tidak jelas. "Kau saja yang terlalu percaya diri. Aku sedang membaca, tidak lihat?"
Senyum Sasuke bertransformasi menjadi seringai. Lelaki itu berjalan mendekat.
"Benarkah?"
Kedua tangan Sasuke terulur untuk memeluk leher sang sahabat—sedikit menariknya ke belakang agar dagu milik lelaki itu dapat diposisikan di puncak kepala Sakura.
"Sasuke. Posisi," Sakura mengingatkan. Namun, Sasuke tampak tak peduli.
"Apa yang kau baca?" Mata Sasuke melirik judul di sudut bawah kiri buku. "Western—lagi?"
Sakura mengangguk cepat. "Aku suka novel bergenre itu."
Fokus Sakura kembali pada buku. Sementara Sasuke masih bertahan di posisinya.
Sebuah helaan napas meluncur dari mulut Sakura.
"Hei. Sampai kapan kau akan memeluk leherku seperti ini? Sana, cepat ganti baju!" omelnya, tapi tak berusaha melepaskan diri.
"Biarkan aku seperti ini, sebentar saja."
Sakura tak mengubris lagi, pertanda bahwa gadis itu telah menyerah. Sasuke memejamkan matanya, menghirup dalam-dalam aroma buah ceri yang menguar dari rambut gadis dalam rangkulannya.
Lima belas menit berlalu dalam keheningan. Sakura bertanya-tanya dalam hati, apa Sasuke tidak lelah berdiri dengan tubuh membungkuk seperti itu?
Setelah mendaratkan sebuah kecupan singkat di puncak kepala Sakura, Sasuke melepaskan tangannya dari leher gadis itu.
Sakura melirik Sasuke yang berjalan ke tempat duduknya—di samping Sakura—dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tas.
"Tidak ganti baju?" tanyanya ketika melihat Sasuke memakai jaket.
Sasuke menoleh setelah mengancingi jaket."Dan membuatmu menunggu lagi? Tidak, terima kasih."
Gadis dengan rambut unik itu merotasi manik kembar sehijau klorofil itu.
"Sudah kukatakan sebelumnya, aku tidak menunggumu," Sakura mendengus. Kemudian, memasukkan novel yang tadi dibacanya ke dalam tas.
"Oh, yeah." Sasuke menolak untuk percaya. "Ayo, pulang."
Tangan kiri Sakura digamit, menarik sahabat sejak kecilnya itu untuk keluar kelas. Dan Sakura menurutinya. Hal biasa yang selalu terjadi. Sakura adalah sahabatnya. Kenapa tidak?
Ya, sahabat.
Sahabat sekaligus gadis yang telah berhasil membuat Sasuke jatuh cinta.
.
Opportunity
Bagian Satu
.
Sebuah mobil berjalan dengan kecepatan sedikit di atas rata-rata membelah keheningan malam. Tak masalah, jalan lenggang karena ini sudah larut.
Penerbangannya ditunda karena ada beberapa kesalahan pada pesawat, hingga ia berakhir harus sampai di Tokyo semalam ini.
Itachi melirik adiknya yang tampak lelah di jok samping. "Istirahatlah. Nanti akan kubangunkan saat sampai di rumah."
Sasuke menjawab dengan satu gelengan. "Aku baik-baik saja."
Sang kakak menghela napas kecil. "Ya, terserah."
"Kau sudah mendaftarkan aku sekolah?" tanya Sasuke kemudian. Tangannya dengan lihat menari-nari di atas layar ponsel.
"Mm. Sekolah yang sama dengan Sakura. Kau senang?"
Sasuke mendengus begitu mendengar nada menggoda dari kakaknya. Ia memilih untuk tidak menanggapi. Meskipun dalam hati ia tak dapat memungkirinya.
"Bagaimana kabarnya? Apa dia baik-baik saja?"
Itachi mengangguk. "Sepertinya, begitu."
Sasuke menaikkan sebelah alis ketika jawaban ambigu terlontar dari Itachi. "'Sepertinya'?"
"Oh, aku belum bilang, ya? Sakura pindah rumah tak lama setelah masuk sekolah menengah atas, ke daerah—ah, apa ya nama tempatnya? Masih di Tokyo yang pasti."
"Kenapa?" Sasuke mengernyit heran. Ia melirik Itachi, menuntut jawaban.
"Yaa, kau tahu, perumahan tempat kita tinggal jauh dari letak sekolah. Jadi, Sakura pindah ke sebuah apartemen yang tak jauh dari sana agar tak terlambat berangkat ke sekolah. Hanya Sakura, keluarga Haruno masih menetap di rumah mereka yang sebelumnya," jelas Itachi. Tatapannya tetap mengarah ke jalan di depan.
Sasuke terdiam, terlihat sedang menimbang sesuatu. "Aniki, carikan aku sebuah apartemen yang dekat dengan Sakura."
Sekali lagi, Itachi menoleh. Kali ini bersama dengan kernyitan di dahi. "Hei, Sasuke. Kau tidak sedang merencanakan sesuatu, kan?"
Sasuke menyimpan ponsel ke dalam saku celana. "Kau sudah gila, ya?" Ia berdecak malas kemudian.
Itachi menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu," ujarnya. "Nanti akan coba kucarikan satu untukmu."
"Aniki."
"Hm? Apa lagi?" Itachi menyahut.
"Sakura... dia—apa pernah dekat dengan lelaki lain?"
Itachi diam sesaat sebelum tertawa keras. "Apa ini? Cemburu?"
Sasuke berdecak kesal. "Jawab saja!"
"Jika yang kau maksud Naruto, jawabannya adalah iya," balas lelaki berusia dua puluh lima tahun itu. Sesekali ekor matanya melirik sang adik, takut kalau-kalau ada ekspresi langka yang ia lewatkan. Namun, meskipun tak terlalu jelas—Itachi tahu Sasuke merasa lega.
"Yaa... Naruto, sih, tidak masuk dalam daftar hitungan," tandas Sasuke. Kali ini dengan raut geli yang minim.
Itachi mengernyit lagi, terkekeh juga. "Apa maksudmu? Naruto juga laki-laki, tahu. Kau bisa dihadiahi omelan panjang jika dia mendengar ini."
"Dan aku akan dengan senang hati menyumpal mulutnya dengan sekardus isi ramen instan."
"Wow. Dia akan senang sekali. Tapi, Sasuke. Mulut Naruto dan kardus ramen memiliki ukuran yang sangat berbeda, aku tidak tahu itu akan masuk atau tidak."
Sampai disini, Sasuke tidak tahu harus tertawa atau tidak karena lelucon Itachi sedikit—ia tekankan, hanya sedikit—membuatnya terhibur. Kemudian, lelaki itu memutuskan untuk memberikan cengiran kecil.
Itachi mendelik. Terasa sedikit horor karena Sasuke ternyata juga bisa menyengir.
"Sasuke, kau yakin kau baik-baik saja?"
.
.
Tujuh belas tahun hidup di dunia, mungkin Sasuke akan merasa biasa saja apabila Sakura tidak datang dalam kehidupannya.
Dulu, Sasuke adalah orang yang tertutup dan tak pandai bergaul. Satu-satunya teman yang ia miliki hanya Naruto (itu juga jika bisa disebut sebagai teman, sebenarnya).
Di bangku sekolah dasar, saat duduk di kelas tiga, Naruto memperkenalkan seorang gadis padanya.
"Dia Sakura, tetanggaku—juga tetanggamu. Mungkin kau tak sadar, rumahnya bersebelahan dengan rumahmu."
Awalnya Sasuke sama sekali tak tertarik. Sekadar kenal saja sudah cukup, pikirnya. Hanya saja, lama-kelamaan ia mulai sering memperhatikan Sakura.
'Bagaimana bisa dia memiliki warna rambut seperti itu?' —atau, 'Mengapa manik kembar zambrud itu bisa bebinar begitu indah saat gadis itu sedang dilanda rasa senang?'
Tanpa sadar, Sasuke menaruh ketertarikan terhadap Sakura. Ia mulai menyukai sesuatu yang bewarna merah muda, juga mencoba memakan makanan manis yang biasa ia benci (Itachi bahkan sampai menertawainya tanpa henti). Sasuke mencari tahu apa saja yang Sakura sukai. Mungkin saja dengan itu, Sasuke dapat membuat gadis itu bahagia.
Dan tak perlu menjadi terlalu pintar untuk mengetahui bahwa Sakura juga menyimpan ketertarikan yang sama terhadap Sasuke.
Mereka mulai menjadi dekat. Kemana-kemana selalu bersama. Bahkan Naruto sampai melancarkan aksi demo individunya sebab selalu ditinggal dan diabaikan.
Sasuke memperkenalkan Sakura pada keluarganya yang disambut senyum lebar oleh mereka. Sampai sejauh yang Sasuke tahu, Sakura tampak paling akrab dengan Itachi.
Diusia ke dua belas tahun, ketika memasuki awal tahun ajaran baru, mereka bertiga diterima di sekolah yang sama. Satu kelas pula. Sakura mendapatkan seorang teman baru dan memperkenalkannya pada Sasuke dan Naruto. Gadis cantik berambut pirang, Miko Shion namanya.
Lambat laun, Sasuke menyadari ada gelagat berbeda yang ditunjukkan Shion saat bersamanya. Gadis bermata bulan itu tampak perhatian dan peduli padanya. Dia mulai mengajak Sasuke untuk jalan berdua. Namun, Sasuke menolaknya dengan halus dengan alasan bahwa ia lebih nyaman jika pergi beramai-ramai. Meski pada kenyataannya, Sasuke benci keramaian. Oke, ia hanya berusaha berkilah.
Perayaan musim panas diadakan. Sasuke mengajak Sakura pergi ke sana bersama, hanya berdua. Dan Sakura menerimanya dengan senyum senang. Namun, siapa sangka Shion mendengarnya? Lantas, gadis itu langsung menghampiri mereka.
"Sasuke-kun? Kau bilang tidak bisa saat aku mengajakmu pergi bersamaku? Dan sekarang kau mengajak Sakura?" tanya Shion tidak suka.
Sasuke merutuki kebodohannya. Seharusnya ia memastikan tidak ada si pengacau itu di sekitar sini.
"Tidak masalah. Kau bisa pergi bersamaku dan Sasuke. Kita juga akan mengajak Naruto."
Sasuke langsung mendelik pada Sakura. Apa-apaan?!
"Benarkah? Sasuke-kun?" Shion menatap Sasuke memastikan, terdengar sedikit harapan disana. Baru saja Sasuke hendak menyampaikan keberatannya, kakinya dipijak oleh Sakura.
Sasuke melirik gadis merah muda yang tengah memberikan tatapan seolah menyuruhnya untuk setuju. Lelaki itu menghela napas. Apa boleh buat jika Sakura sudah meminta? Sasuke tak kuasa menolak keinginan gadis itu.
—dan sebuah persetujuan diberikan.
Tetapi, bneak Sasuke telah menyiapkan sebuah rencana untuk mejauhkan dua lalat pengacau dari dirinya dan Sakura saat malam perayaan musim panas. Namun, semuanya berakhir dengan sia-sia.
Shion tak berhenti menempelinya. Astaga!
Ingin mengunjungi ke stan saja, lengan Sasuke ditarik-tarik. Meskipun Sasuke terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaannya—baik dalam perkataan atau sikap—nyatanya Shion lebih memilih untuk tak ambil pusing.
Alhasil, Sakura malah menjadi mengikuti Naruto untuk memotong pola bersama, —meninggalkan Sasuke bersama makhluk menyebalkan itu. Oh, shit!
Seterusnya selalu seperti itu. Kemana pun ia pergi, Shion selalu mengekorinya. Hingga Sasuke menyadari satu hal, Sakura kian menjauh darinya. Dan ia sangat membenci hal itu.
Suatu ketika, Sasuke mendapati kabar bahwa Sakura dan Shion tengah bertengkar hebat. Ia berniat menghampiri Sakura dan bertanya, namun gadis itu malah menghindarinya. Hal itu membuat Sasuke bingung hingga sulit untuk tidur karena memikirkannya. Jadi, ia memilih untuk bertanya pada Naruto.
"Itu karena kau, Sasuke."
Jawaban yang diberikan Naruto semakin membuatnya bingung. Karena dirinya?
"Apa maksudmu?"
Naruto menghela napas panjang. "Ini sebabnya aku benci pertengkaran antara perempuan." Setelah nyaman memosisikan diri duduk di samping Sasuke, Naruto mulai bercerita.
"Sikap Shion selama ini... kurasa kau tahu apa yang ada dibaliknya, bukan?" Sasuke tak menanggapi. Dan Naruto paham bahwa sahabatnya itu lebih memilih untuk mendengar ketimbang memberi respon. "Ya, dia menyukaimu. Dan melihat kedekatanmu dengan Sakura, dia membenci itu. Jadi, dia melabrak Sakura dan menamparnya cukup keras."
Sepasang netra hitam pekat itu melebar terkejut. "Sakura tak memiliki sangkut paut apapun dengan itu! Aku yang memilih untuk mendekatinya," tukas Sasuke cepat.
Naruto menggeleng. "Tentu saja ini ada sangkutpautnya selama Sakura-lah yang kau dekati, Sasuke."
Lelaki bersurai gelap itu berdesis. "Tapi, mereka sahabat!"
"Kau naif jika kau berpikir begitu. Mereka memang sahabat. Tapi, kuharap kau tidak lupa bahwa tak sedikit orang munafik yang hidup di dunia ini." Naruto mengambil napas sebelum kembali berujar. "Satu-satunya alasan Shion menjadi sahabat Sakura adalah karena dia menyukaimu, dia ingin dekat denganmu. Tidak lebih dari itu."
Sasuke menggeram tertahan dan beranjak dari sana. Ketika matanya mendapati Shion, pergelangan tangan gadis itu ditarik kasar olehnya, tak peduli kalau Shion sudah meringis minta dilepaskan.
Ia menyeret Shion ke atap sekolah yang memang selalu sepi. Kemudian, menghempaskan tangan kecil itu dengan kasar hingga Shion jatuh terduduk.
"Apa yang kau lakukan, Sasuke-kun?"
Sasuke menatap nyalang gadis di hadapannya. "Seharusnya aku yang bertanya demikian. Kaupikir, apa yang telah kau lakukan?!"
Setitik air mata keluar di sudut mata Shion. "A-apa, maksudmu?"
Sasuke mendengus keras-keras. Kesal juga karena Shion masih berpura-pura bodoh seolah tidak tahu apa-apa.
"Kenapa kau menampar Sakura?!"
Setelah mendengar pertanyaan dari Sasuke, bahu Shion menegang. Apalagi saat matanya bertemu dengan sepasang obsidian yang berkilat memancarkan kemarahan dalam kadar luar biasa. Sepasang mata indah yang selalu ia dambakan menatapnya penuh benci. Ada sesuatu di balik rusuknya yang seolah hancur berkeping-keping.
"A-aku—"
"Atas dasar apa kau menamparnya? Punya hak apa kau melakukan itu?" Sasuke terus menuntut Shion dengan banyak pertanyaan yang ia lontarkan bertubi-tubi. "Kaupikir, kau ini siapa?! Berani-beraninya—!"
"Tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan, Sasuke-kun!" Shion akhirnya berteriak. "Aku bisa menjelaskan semuanya." Air mata gadis itu merembes turun. Shion terisak. "A-aku... menyukaimu. Oleh sebab itu, kedekatanmu dengan Sakura membuatku muak."
"Aku bertanya-tanya, bagaimana kalian bisa sedekat itu? Dan karena terus memikirkannya, itu membuatku kesal terhadap diriku sendiri. Kenapa aku tidak bisa dekat denganmu seperti kau dekat dengan Sakura?" Isakan Shion semakin keras. Namun, Sasuke tak punya cukup rasa simpati untuk memperdulikannya. "Aku... cemburu. Aku cemburu padanya. Aku cemburu melihat kedekatan kalian. Aku cemburu... melihat segala perhatianmu yang kau curahkan padanya. Aku luar biasa cemburu terhadap semua itu, Sasuke-kun! Apa kau memahaminya?!"
Sasuke mengacak rambutnya frustasi. Apa-apaan gadis ini?!
"Aku tak peduli dengan semua yang kau rasakan, Shion. Tapi, jika kau berani melibatkan Sakura dalam hal seperti ini lagi, aku benar-benar tidak akan bisa memaafkanmu." Sasuke berlalik, hendak pergi meninggalkan. Ketika sampai di depan pintu masuk, lelaki itu berbalik. "Aku tidak akan tinggal diam kalau kau berusaha untuk merusak hubungan antara aku dan Sakura. Kuperingatkan kau!" Dan pintu dibanting kuat.
Shion menangis tersedu-sedu. Ia mencoba menahan tangisnya dengan menggigit bibir, namun yang dilakukan adalah sia-sia. Hatinya hancur. Cintanya ditolak. Bolehkan ia mati? Ia tidak mengira kalau patah hati bisa sesakit ini.
"Aku begitu mencintaimu, Sasuke-kun. Tetapi, mengapa kau tak pernah melihat ke arahku?" ujarnya lirih.
.
.
Kesalahan terbesar Sasuke saat itu adalah karena tidak mencoba menemui Sakura, seakan dia tak peduli—meskipun yang terjadi adalah sebaliknya. Sesuatu yang akhirnya ia sadari dan begitu disesalinya.
—karena esoknya, keluarganya harus pindah ke Finlandia sebab salah satu cabang perusahaan mereka mengalami kemunduran. Itachi tetap tinggal di Tokyo karena harus menyelesaikan kuliahnya.
Sasuke bersikeras untuk menetap bersama Itachi, namun kedua orang tuanya tak memberikan izin dengan dalih bahwa Itachi tak akan mempunyai waktu untuk mengurus segala keperluan Sasuke sementara kakaknya itu sibuk dengan kuliah dan skripsi. Dan ia lakukan selanjutnya hanya mampu menuruti karena tak punya pilihan lain.
Sasuke berdiri di balkon kamarnya, yang langsung menghadap ke balkon kamar Sakura. Ah, disana gelap. Sepertinya Sakura sudah tidur. Sasuke tersenyum sendu.
Setelah kepindahannya nanti, apakah ia bisa melihat senyum ceria gadis itu lagi? Bisa mendengar suara lembut dan tawa gadis itu lagi? Apa ia bisa memandang wajah cantik dan mengacak helaian merah muda yang lembut itu lagi? Apakah bisa?
Jawaban yang sudah pasti. Tidak. Bahkan mempunyai keberanian untuk menemui Sakura saja ia tak punya.
Jika dipikir, dimana letak kesalahannya sehingga membuat ia tak berani bertatap muka dengan Sakura? Ada?
Ada. Tentu saja, ada.
Karenanya... Sakura menjadi dijauhi teman perempuan sekelas akibat asutan dari Shion. Dan Sasuke tahu, ia membuat Sakura sedih. Itu sebab Sakura menghindarinya. Bukankah lebih baik jika Sasuke menghormati keputusan yang telah Sakura buat?
Ya, seharusnya begitu. Tapi, apa itu yang benar-benar diinginkan oleh dirinya? Ia sudah tahu jawabannya, namun terus disangkal.
Sakura bersekolah seperti biasa esoknya. Namun, ada yang terasa janggal. Sasuke tidak masuk. Kemana dia? Apa dia sakit? Mendadak Sakura dilanda rasa khawatir.
Usai sekolah, ada sebuah berita mengejutkan baginya. Sasuke dan orangtuanya pindah ke Finlandia untuk waktu yang belum ditentukan. Sakura merasa dunianya langsung hancur menjadi puing-puing kecil saat itu. Lalu, Itachi memberikannya sebuah surat, katanya dari Sasuke. Sakura hanya bisa mengangguk dan menerimanya, setelah itu ia segera berlari masuk ke kamar.
Sakura terisak, menangis dengan bantal sebagai redaman suara. Kenapa Sasuke tidak memberitahunya? Apa segitu tidak pentingnya Sakura bagi Sasuke?
Tapi, apa yang harus ia tangisi? Bukankah lebin baik jika seperti ini? Bukankah ini keputusannya untuk menjauh dari Sasuke? Dan sekarang, lelaki itu mengabulkannya.
Sialan! Persetan! Sakura tidak peduli lagi. Ia membuang surat pemberian Sasuke asal. Gadis itu tak mau membacanya.
—atau lebih tepatnya, Sakura tidak berani membacanya. Ia takut... takut kalau nanti ia tak bisa berhenti menangis.
.
.
Sasuke duduk di bawah rumah pohon, memandang hamparan bintang-bintang yang bertaburan di langit.
Apakah Sakura ada disana... memandang bintang, sama seperti yang Sasuke lakukan? Memikirkan itu, Sasuke tak mampu menyembunyikan senyumnya lagi.
Tak dapat dipungkiri—meskipun mati-matian disangkalnya—Sasuke begitu merindukan Sakura. Ini sudah empat tahun sejak kepindahannya. Dan sekarang, Sasuke kembali, ke tanah kelahirannya.
Perlahan punggungnya yang semula ia sandarkan di batang pohon menjadi tegak. Ia melirik ke atas pohon—ke rumah pohon miliknya. Dulu, mereka bertiga—Sasuke, Sakura, dan Naruto—sering menghabiskan banyak waktu bersama di sana. Bagaimana keadaan dalamnya saat ini? Apakah Itachi merawatnya dengan baik seperti permintaan Sasuke?
Remaja lelaki berusia tujuh belas tahun itu mulai memanjat tangga yang terpaku kuat di batang pohon. Netranya berpedar kala sampai di atas sana. Ah, semuanya masih seperti sedia kala. Meski ada sedikit debu di sana-sini.
Terdapat sebuah pigura yang berisikan foto mereka bertiga sedang saling merangkul. Sasuke di sebelah kiri, Sakura di tengah, sementara Naruto di sebelah kanan. Itachi yang memotonya saat itu. Lalu ada foto dirinya dan Naruto, foto dirinya dan Sakura, dan foto Sakura dan Naruto. Tapi, tunggu. Ada satu foto yang terlewatkan. Empat orang, berfoto bersama, diabadikan dalam satu pigura dan diposisi sedikit berjauhan dari foto-foto lainnya. Foto saat mereka pertama kali mengajak Shion ke rumah pohon ini. Foto mereka bertiga bersama Shion.
Sasuke berdecih tak suka. Diambilnya pigura tersebut dan dilempar ke bawah. Terdengar bunyi kaca pecah, namun Sasuke tidak peduli. Foto itu tak penting, sama sekali tak berharga. Kemudian, Sasuke kembali turun ke bawah. Diambilnya foto di balik serakan serpihan kaca yang telah pecah dan dipandangi sesaat sebelum memutuskan merobek bagian foto yang terdapat Shion disana.
.
.
Ya Tuhan, Sasuke terlambat!
Ini buruk. Belum pernah ada dalam sejarah kalau Uchiha Sasuke terlambat. Salahkah kejahilan Itachi yang mengubah waktu alarm ponselnya.
Sasuke berlari menyusuri koridor, mencari-cari dimana letak ruang kepala sekolah. Ia menghela napas lega begitu berhasil menemukannya.
Baru saja Sasuke hendak mengetuk pintu, seseorang membukanya. Pria tersebut tampak terkejut ketika melihat Sasuke, namun cepat tersenyum—entahlah, ia memakai masker. Namun matanya menyipit, jadi Sasuke menyimpulkan bahwa pria tersebut tengah tersenyum.
"Uchiha... Sasuke?"
Sasuke mengangguk begitu namanya disebut. Pria bersurai perak itu mengulurkan tangan untuk berjabat dan langsung disambut oleh Sasuke.
"Aku Hatake Kakashi, wali kelasmu untuk setahun ke depan. Tak perlu menemui kepala sekolah lagi, kita langsung saja ke kelas." Sekali lagi, Sasuke mengangguk dan mengikuti Kakashi yang menuntunnya menuju kelas.
Sasuke menahan napas ketika sampai di hadapan pintu kelas. Apakah... Sakura ada di dalam? Ia menyunggingkan sebuah senyum—sangat—tipis, namun tak berlangsung lama. Kakashi menyuruhnya masuk.
.
.
Sakura melebarkan matanya kala mendapati seorang lelaki bertubuh tegap berdiri di depan kelas sebagai murid baru. Itu... lelaki yang ia rindukan...
Gadis itu hanya menunduk, tak berani menatap lurus. Bagaimana kau tidak menunduk saat sepasang netra gelap itu memandangmu dengan intens tanpa berkedip?
"Baiklah... Ini Uchiha Sasuke, pindahan dari Finlandia. Kuharap kalian bisa berteman baik dengannya," ujar Kakashi setelah meletakkan bukunya di atas meja.
Sasuke membungkuk. "Mohon bantuannya."
Sakura menggigit bibirnya. Sekarang ia harus apa? Kenapa ia malah menjadi gugup seperti ini?
"Hei, forehead. Hanya perasaanku saja, atau si anak baru itu dari tadi menatapmu terus, ya?" Ino berbisik, Sakura langsung menoleh.
Berarti memang benar, Sasuke melihat ke arahnya terus. "Ha? Masa, sih?"
Ino berdecak. "Jangan pura-pura tidak menyadarinya. Apa kalian pernah kenal sebelumnya?"
Sakura terdiam. Jujur, atau bohong? "Tidak. Kami tidak pernah bertemu—apalagi kenal—sebelumnya." Dan Sakura memilih untuk berbohong.
Ino bergumam kecil, kemudian mendengus. "Jadi kenapa—"
"Haruno, Yamanaka. Apa yang sedang kalian bicarakan hingga lebih memilih untuk tidak mengacuhkan perkenalan teman baru kalian? Bisa beritahu aku?"
Sakura dan Ino sama-sama tersentak kaget. Takut-takut mengangkat wajah menatap wali kelas yang tengah bersikedap dada dan memandang mereka di depan.
Abaikan Uchiha Sasuke. Abaikan Uchiha Sasuke, inner Sakura terus berteriak.
Ino lebih dulu buka suara. "Err... e-etto—" tetapi seperti biasa, dia tak bisa diandalkan.
"—maafkan kami, sensei," ucap Sakura memotong perkataan Ino. Sakura menoleh pada teman sebangkunya dan mengangguk kecil ketika Ino memberikan tatapan bersalah.
"Baiklah, jangan diulangi." Hatake Kakashi berdeham singkat. "Uchiha, ada bangku kosong dua deret di belakang Haruno dan Yamanaka, kau bisa menempatinya."
Akhirnya Sakura mencoba memberanikan diri untuk memandang Sasuke, tetapi buru-buru ia alihkan kembali saat mendapati Uchiha Sasuke masih memandangnya. Oh, Tuhan, kapan dia akan berhenti?!
"Terima kasih." Sasuke berjalan ke tempat yang dikatakan Kakashi. Sementara Sakura semakin menundukkan kepalanya hingga jatuh bertumpu pada tangannya yang terlipat di atas meja.
Begitu melewatinya, telinga Sakura masih berfungsi dengan jelas untuk mendengar dua kata terlontar layaknya bisikan dari Sasuke.
"Aku pulang."
Tubuh Sakura menegang. Organ radiovaskular miliknya bekerja lebih cepat dari biasanya. Seperti ada ribuan ekor kupu-kupu yang mengepakkan sayap di dalam perut Sakura. Dan entah mengapa, wajah dan hatinya terasa... menghangat?
Ada apa ini?
.
—to be continue—
.
argh! apa ini? mc pertama dan kacau banget (/) #dordor
maaf jika ada typo(s) yang luput dari suntingan. bila berkenan, silahkan tinggalkan review ;;
