Kau adalah sebuah kesalahan.
Ketika pandangan seorang pemuda berusia dua puluh enam yang siap melabuhkan hati pada seorang wanita yang sebaya dengannya, menyapa sosok berambut panjang yang kedua telapak tangannya mengapit mikrofon di sebuah malam pada pertengahan july.
.
.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
MELLIFLUOUS © Nunnallyy
Sasuke Uchiha & Hyuuga Hinata
OOC, Typo, AU.
.
.
.
.
Chapter 1
Naruto memintanya untuk menunggu. Di sebuah cafe terpencil di pusat kota yang tidak pernah tidur. Hanya sebuah bangunan kecil yang sekilas seperti rumah tinggal sederhana. Namun ketika kau membuka pintunya akan tersaji kabinet berbentuk U, yang sejujurnya lebih mirip dengan meja bar, juga seorang barista bertato segitiga merah di kedua pipinya yang siap melayangkan senyuman lima jari yang mampu menunjukkan gigi taringnya.
Ia agak kesulitan mencari bangunan yang Naruto utarakan lewat saluran udara. Jika bukan tanda jelas yang Naruto katakan, ia nyaris tidak akan temukan.
Bangunan bernuansa klasik yang setiap sisinya dibangun oleh kayu, tidak akan diduga dengan mudah bahwa itu adalah sebuh cafe sederhana, yang pintunya tidak pernah terbuka. Seolah tidak mempersilakan siapapun masuk ke dalamnya.
Sasuke membuka pintunya dengan ragu, mudah saja baginya untuk nememukan satu satunya makhluk hidup di sana yang merendahkan badannya ketika ia mendekati meja ditengah ruangan.
Segelas kopi tanpa gula dan krim menjadi pilihannya. Ia sibuk dengan ponselnya ketika sebuah musik menyapanya lembut.
.
.
.
.
Ada sebuah kesalahan.
Ketika seseorang dihadapannya yang sibuk dengan lap basah, kehabisan gelas. Melengos pergi dari hadapannya yang tidak mengacuhkan sekitar. Ia disergap oleh rasa bosan.
.
.
.
.
Kau adalah sebuah kesalahan.
Ketika Sasuke temukan seorang gadis dengan rok midi berwarna navy, bermodel klok yang cantik. Mirip bunga mekar jika saja gadis itu berputar.
Berbalut kardigan yang panjangnya melebihi pergelangan tangan. Ia menyanyi dan matanya terpejam.
Suaranya tidak terlalu bagus, lebih mirip lullaby seorang ibu untuk anaknya yang enggan tidur. Hanya saja, ada pupil yang melebar ketika kelopak mata seseorang di sebrangnya menampakkan retina berwarna nila. Oh tidak, itu lebih pudar. Bersamaan dengan itu, ada yang bergetar di tangannya, juga sudut hatinya.
.
.
.
.
Sasuke sudah mulai lupa walau dia enggan. Pesonanya masih terasa ketika Naruto datang, berceloteh tentang apa yang mereka permasalahkan dan pulang dengan mata berat dan pening yang menyerang.
Bahkan sampai saat di mana Sasuke mencuci wajahnya di pagi hari, ia seakan bisa melihat pantulan selain dirinya yang terlihat buram. Di samping penglihatan matanya yang memang memiliki kekurangan. Ia seolah menangkap refleksi lain yang berusaha diwujudkan oleh pikirannya yang mudah lupa. Ia tidak ingat persisnya, hanya saja pesonanya masih begitu kentara.
Calon istrinya berceloteh panjang dengan gaun yang tidak sesuai ukuran. Ia berkelit bahwa semua karena berat badannya yang naik. Ia mengklaim bahwa bobotnya masih sama, itu hanya kesalahan perancang busana.
Sesekali ia menanggapi walau seperlunya, terkadang menoleh, ataupun melirik sekilas pada sepion di atas, seringnya ia berfokus pada jalanan yang ramai di depan kemudi.
"Seharusnya aku membatalkannya, wedding organizer yang ini begitu amatir!"
Padahal Sasuke sendiri tidak menemukan kendala dalam pakaiannya.
Ia tidak memikirkan hal yang lain, dekorasi ataupun jamuan tamu, itu tidak penting.
"Ah Sasuke, aku harus menemui seorang teman di depan Rumah Sakit."
"Rumah Sakit?"
Sasuke mengulang kata terakhir kekasihnya sambil mengeryit.
"Dia bekerja di sana."
"Siapa?"
"Ino Yamanaka."
Sasuke berusaha mengingat, si pirang dengan body layaknya barbie. Memiliki tatanan rambut norak dan suara melengking. Oh ia tidak akan lupa kesan pertama saat Sakura mengenalkan ia pada wanita itu.
"Ya Tuhan Sakura! Dia tampan sekali! Kau dapat dari mana?"
Dengan suara menggelegar membuat pejalan kaki sejenak terhenti, menatap ke arah mereka bertiga yang dihadiahi tatapan nyalang miliknya dan rona merah kekasihnya.
"Bukankah dia bekerja di klinik?"
"Entahlah. Dia bilang lebih nyaman di rumah sakit."
Sasuke enggan mengajukan lagi tanya, ia memacu mobilnya ke arah yang Sakura pinta.
Lebih kencang dan ia bosan. Lelah kalau boleh dikatakan, padahal jam belum menyentuh angka tiga tapi ia ingin menghabiskan senja dengan berbaring saja.
Calon istrinya itu lebih banyak maunya, terlalu cerewet dan sentimen. Mengenai segala hal, sampai saat ini di sepanjang hari belum ia temukan sisi manis dari perempuan yang sudah menjadi temannya sejak balita.
"Aku di sini saja."
Katanya saat Sakura melepas belt dan gerakannya terhenti. Sakura menatapnya yang menyandarkan kepala pada bantalan di belakangnya. Matanya terpejam.
"Ah baiklah."
Sakura tahu mungkin hari ini melelahkan, terlebih ia ingat Sasuke pernah menjudge sikap ino yang tidak disukainya. Jadi Sakura memutuskan untuk membiarkannya.
Sekitar tujuh menit waktu yang terambil untuk menunggu, Sasuke tidak memiliki kegiatan selain diam. Membiarkan diri dengan posisi bersandar hanya memgundang rasa kantuk datang. Ia ingin kopi dan tahu dengan benar bahwa ini di parkiran. Tertutup di paling bawah dari bagian rumah sakit elite yang cukup terkenal. Milik swasta dan berdasarkan apa yang ia dengar, pemiliknya begitu loyal pada setiap bawahan. Pantas saja Ino lebih memilih ini ketimbang klinik kecantikkan di persimpangan jalan yang selalu sepi peminat.
Dengan possinya yang menghadap kemudi, sudah beberapa orang yang melewati, datang dan pergi untuk memarkirkan mobil. Namun kali ini ada sosokbyang tidak asing. Dari jauh postur tubunya terasa familiar, Sasuke memicing, seorang perempuan yang tidak asing, tapi itu bukan Sakura.
Dengan stiletto berwarna hitam, haknya terlalu tinggi kalau boleh Sasuke komentari, agak tidak cocok dengan kakinya yang ramping dan postur tubuhnya yang mungil.
Berbalut dress yang panjangnya melewati lutut. Ada pita berwarna peach yang melingkari pinggangnya. Dress tanpa lengan dengan sebuah mantel di tangan. Tangan gadis itu terulur, disusul bunyi yang membuat Sasuke terkejut. Bukan karena bunyi mobil singkat pertanda kunci pengaman terbuka, tapi karena suara yang bersumber dari sebuah mobilbyang persis terparkir di samping mobilnya.
Bukan, itu hanya sedikit pengaruhnya, tapi dari sosok lain yang membuat kepalanya bekerja keras, kali ini ia ingin merekam dengan baik potret yang hampir ia lupa.
Ada keinginan lebih untuk sekedar mengingat, Sasuke nekat membuka kaca tempat duduk Sakura, hingga bisa ia lihat dengan jelas, sosok yang mengemudikan sebuah ferary berwarna putih. Berjalan dengan kecepatan normal. Dengan sebuah wangi yang terbawa udara, seperti ditinggalkan khusus untuknya.
Yang masih bisa Sasuke ingat sampai ia duduk menikmati makan siang di keesokan harinya.
.
.
.
.
Sasuke bertekad datang. Ia baru Sadari cafe yang pernah ia singgahi memiliki nama Lupin. Tertulis keci, di bawah gambar seorang laki laki dengan baju berkerah tinggi lenhkap dengan topi yang wwajahnya hampir tertutupi sempurna, bibinya mengapit pipa.
Membuka pintu dan bunyi bel menyambutnya selain sosok yang membukkukan badan sopan.
Ia duduk di kursi yang sama seperti pertama kali memginjakkan kaki di sana.
Ia pesan segelas kopi tanpa gula, setelah sebelumnya menjatuhkan minat pada vodka. Namun ia menolaknya, dengan asumsi hal sama tidak ingin terulang. Pikiran tak mendasar yang merobek logika. Memberi celah pada setiap kemungkinan yang telah ia perkirakan.
Masih sama, gadis itu duduk di sebuah kursi dengan sebuah kaki, terlalu tinggi. Tapi tetap saja terhalangi oleh pria yang tmgah meracik pesanan untuk tamu lain yang datang.
Sasuke memutuskan untuk pindah satu kursi dari tempatnya. Gadis itu, seratus delapan puluh derajat berbeda dari yang ia lihat terakhir kalinya.
Tidak ada rambut dengan gaya sanggul, menampilkan lehernya yang mulus. Ataupun stiletto tinggi, yang ada hanya flat shoes yang terlihat nyaman di kaki. Masih mengenakan dress, tapi bukan tanpa lengan. Melainkan berlengan panjang, berwarna silk tanpa aksen apapun. Polos kecuali sebuah tali yang dibentuk pita pada bagian dada.
Rambut panjangnya terurai. Sasuke menebak wangi seperti yang pernah ia cium pertama kali.
Bibir yang berlapis lip tin berwarna soft pink itu melantunkan nada yang tidak ia kenal. Persetan dengan nyanyian. Ia duduk disini bukan untuk sekedar minuman, ataupun hiburan. Yang ia cari, ada di bawah lampu temaram. Bernyanyi dengan wajah lepas tanpa beban. Selain penghayatannya yang begitu memukau.
"Aku ingin gadis itu."
Seseorang di depannya terhenti, dengan posisi tangan memegang lap di bibir gelas. Wajahnya terlihat bodoh dengan guratan kalimat, 'Apa-kau-gila?' dan memberikan respon beberapa saat kemudian.
"Kami hanya menjual minuman dan beberapa kudapan, dengan sebuah hiburan berupa nyanyian." Katanya dengan nada profesional. "Dia hanya penyanyi tuan, bukan biduan."
"Aku hanya ingin bicara."
Katanya sambil menggeser sesuatu yang ia keluarkan dari saku jasnya.
Ada sebuah penolakan, namun luluh ketika Sasuke mengeluarkan beberapa kalimat yang meyakinkan. Sebagai balasan pemuda itu mengatakan,
"Tunggu sampai ia selesai dengan lagunya."
Dengan wajah gusar dan sapuan tangan berulang pada mukanya..
Tiga menit dirasa sewindu. Ia merasakan kesemutan dan ujung ujung jari kakinya yang membeku. Penunggu meja bar itu berbalik meninggalkannya, menepuk bahu ringkih seseorang yang hendak berlalu pergi melalui belakang. Menunjuk-nunjuk ia dengan ibu jari ketika orang yang ia ajak negosiasi berbicara dengan gadis yang mengangguk dan berjalan ke arahnya.
"Ada perlu, tuan?"
Seperti dugaannya, suaranya jauh lebih lembut saripada saat ia bernyanyi. Ia tidak tersenyum, wajahnya inosen ketika berbicara. Orang itu enggan duduk. Wajahnya lebih mulus dari dekat, ia menilai sapuan make up yang lebib natural, lebih tipis dari yang biasa kebanyakan wanita kenakan.
"Duduk nona."
Dilihatnya perempuan itu agak ragu, sebelum akhirnya mengusap bagian belakang roknya, duduk dengan anggun. Etika yang perempuan itu miliki patut diapresiasi.
Berawal dari sana. Sasuke berbicara. Perkenalan yang tidak memakan waktu lama. Perempuan itu lebih banyak tunjukkan diam, sesekali tersenyum sopan. Terlihat segan. Karena Sasuke tahu yang ada dianggapan perempuan itu adalah obrolan singkat dengan pelanggan.
Sial, ternyata mereka berdua memang tidak lajang.
Alih-alih logam mulia, Sasuke malah melihat benang merah yang mengikat jari-jari mereka.
.
.
.
.
つづく
.
.
.
.
a/n : Ditulis sekitar dua tahun yang lalu, diposting dengan terburu-buru. Mohon maaf jika kalian menemukan typo dan kalimat rancu di beberapa bagian. Hutang saya di fandom satu ini banyak sekali, tetapi saya berusaha untuk menyelesaikan fict ini dengan segera. Semoga.
Hallo teman berlayar satu kapal! Sampai bertemu di chapter depan.
.
.
Nunnallyy, 25 April 2018
