The Existence of A Soul

Rating: (err..maybe) T

Summary: Entah mengapa meski sebal dengan tingkah heboh Lizzy tapi Ciel mulai merasakan perasaan aneh tentangnya dan karena perasaannya sendiri itu ia mulai menghadapi dilemma dengan kontrak yang dibuatnya dulu.

Warning: Saya menulisnya seperti novel biasa karena saya terbiasa dengan gaya itu, biasakan saja meski tidak nyaman dalam membacanya

Character: Ciel Phantomhive (for sure), Sebastian (of course), Elizabeth Middleford, and Prince Soma.

A/N: Ini fanfic pertama saya jadi maaf saja jika tidak terlalu bagus dalam susunan kalimat dan grammar yang acak-acakan dan debut pertama saya juga lho, baru bikin account belom lama ini. Tidak ada istilah SebastCiel karena saya mau Ciel dan Sebast yang ganteng (ehem) tetep normal tanpa shonen-ai segala dan saya lebih suka karakter Lizzy yang kali ini sifatnya agak dirubah meski tetep heboh dan ramai. Penyuka pasangan SebastCiel yang saling cinta takkan menemukannya disini. Jangan segera menilai karya ini sebelum membacanya namun jika tidak menyukai tema cerita ini ,do not read this one. Oke I hope you enjoy it! ;)

Prologue: I Can't to Pretend Anymore

Hari itu adalah musim dingin paling dingin yang mendera kota London dan Ciel baru saja kembali dari kediaman Madam Red yang mengundangnya untuk minum the dan tampaknya bibi satu-satunya itu punya maksud lain mengundangnya yaitu untuk bertemu butler-nya yang setia, Sebastian. Itu sudah bukan rahasia umum lagi. Ia segera duduk dikursi kulit favoritnya, menghangatkan diri didepan perapian sambil menyesap secangkir the Earl Grey yang dibuatkan Sebastian sementara sang butler berdiri tepat dibelakangnya seperti penjaga yang setia.

"Aku ingin kau hancurkan saingan terbesar perusahaan Phantomhive secepatnya, Sebastian. Orang itu juga merupakan musuh Ratu, kau tahu maksudku, dia penjahat kelas kakap yang mulai mencampuri urusan bisnis Phantomhive" Ciel menghirup tehnya, menoleh pada Sebastian.

"Anda tahu sebaiknya kita -Anda- agar jangan bertindak gegabah,".

"Persetan dengan itu, Sebastian, musuh Ratu adalah musuhku juga musuh seluruh Inggris. Kita hancurkan mereka malaam ini juga, tepat tengah malam nanti kita pergi kesana,".

"Sebaiknya—"

Ciel menginterupsinya dan menatapnya tajam dengan mata kirinya yang normal."Kau tak bermaksud melanggar kontrak kita, kan Sebastian?,"

"Tentu saja tidak. Sesuai perintahmu, my Lord," sang butler membungkuk dan tersenyum licik. Butler iblis Ciel Phantomhive.

Tiba-tiba saja keadaan gaduh di mansion itu dan Ciel yang tahu penyebab kehebohan itu hanya memutar bola mata jengkel dan muncul Prince Soma yang lari-lari ke sekeliling ruangan dengan bodohnya berpikir bahwa para pesuruh Ciel tengah berburu curut (dia paling takut ama hewan bernama curut, pengalaman digigit sewaktu di India dulu bikin trauma).

"Curut! Ouch!" kakinya menabrak tembok dan ia menyumpah-nyumpah sambil menjerit-jerit kesakitan sambil meloncat karena kakinya sudah bengkak. "Cieeeel.. Curut, Cieeeel..KYAAAA!". Soma menjerit dan naik ke atas sofa yang diduduki Ciel, menunjuk-nunjuk ke arah dapur terus menjerit-jerit dan membuat Ciel jengkel.

"Sebastian, jadwalku untuk hari ini telah selesai bukan? Oh, berarti nanti malam kita bisa segera pergi dengan tenang," Ciel bangkit berdiri, meletakkan cangkir tehnya ke atas meja dan melirik Prince Soma yang gemetar dan bergumam "curut dekil, curut kecil" berulang-ulang dan kemudian Ciel menggeplak ubun-ubun Soma dengan tongkat barunya.

"ADAW! CIEL, KAU KENAPA SIH?" jerit Soma kesakitan, benjolnya kali ini sudah ganda deh. "Kamu tau kan, aku itu takut banget ama curut, pasti Finny, Brad dan Maylene sedang berburu curut kecil nan dekil ganas di dapur HUWEEE LINDUNGI DAKU, CIEEEEL!".

"Kamu sudah berjanji untuk menunjukkan sikap dewasamu sebagai syarat untuk tinggal di mansion milikku ini. Kapan kau akan bersikap dewasa?. Pulang sana ke India jika kau masih terus seperti ini," ujar Ciel dengan nada sedingin es dan setajam katana.

"Ayo,Sebastian,".

"Yes, my Lord," ia mengikuti tuannya menuju kamar sang tuan muda di lantai dua mansion megah itu.

Kegaduhan itu masih berlanjut bahkan saat Ciel dan Sebastian tengah mendiskusikan rencana tengah malam mereka nanti di dalam kamar dan Ciel mulai kehilangan kesabaran karena suara-suara tidak jelas itu. Setidaknya Soma tidak menjerit lagi soal curut kecil dekil-nya itu, pikirnya malas. Kemudian ia kembali berdiskusi dengan Sebastian yang terus mendampinginya, berdiri dengan mantap dan matanya yang semerah darah menatapnya dengan tatapan yang aneh.

"Ada apa, Sebastian?".

"Saya kagum dengan kecerdasan Anda, Young Master," sang butler menumpukan posisinya dengan satu lutut menyentuh lantai dan berbisik di telinga majikannya. "Bahkan Anda-pun bisa lebih kejam dari sosok iblis, itulah mengapa manusia sulit dimengerti,".

Dari nada bicara Sebastian entah mengapa Ciel merasa seolah bulu kuduknya meremang dan ia hanya mampu melirik butler-nya dan ia baru mau mengakui bahwa itu benar adanya.

"Kau tau aku menuntut kesetiaan penuh darimu, Sebastian," Ciel berdeham untuk mengusir ketegangannya dan ia tak mau menunjukkan kegentarannya. "Aku ingin kau melindungiku bahkan dari kematian, apapun yang terjadi, hingga akhirnya nanti. Dan, kau tau, kau hanya menerima dan menjalankan perintah dariku dan aku tak memperkenankan kau berbohong padaku dalam hal apapun,".

"Tentu saja saya tak akan melanggar kontrak tersebut," Sebastian melirik penutup mata kanan Ciel dan tersenyum licik lagi. "Pasti akan menjadi suatu akhir yang menyenangkan nantinya, bukan, Young Mater?".

"Maksudnya?" Ciel pura-pura bodoh dengan membaca berkas-berkas diatas meja kerjanya dan hendak berganti pakaian dengan piyama agar penghuni rumah lain tak ada yang curiga dengan rencanatengah malam mereka nanti.

"Sebuah akhir yang menyenangkan, Young Master, Anda pun tau saya akan selalu setia mendampingi Anda sampai akhir. Sampai akhir dari semua ini," ia menekankan kalimat terakhirnya, Ciel hanya menggeram saja.

Anak itu tumbuh tidak seperti anak kebanyakan, tentu saja sejak pembunuhan yang menimpa keluarga Phantomhive 3 tahun yang lalu dan meskipun Ciel selamat secara ajaib, ia tak pernah sama lagi. Sang butler yang setia paham betul bagaimana karakter majikannya itu, dia bahkan bisa lebih kejam dari siapapun dan nyaris ia tak pernah tersenyum ,tak pernah, ia seperti sosok yang terus nelangsa tiada habisnya. Tak ada yang tau pasti bagaimana cara si bocah cilik yang baru berusia 10 tahun ketika itu bisa selamat dari pembantaian keluarga Phantomhive yang dilakukan para pesaing terberat perusahaan Phantom dan hendak menghabis seluruh anggota keluarga mereka.

"Perjanjian adalah perjanjian, Sebastian, aku takkan menjilat ludahku sendiri. Percayalah padaku, selama kau menepati kontrak yang kita buat, maka imbalan yang setimpal akan kau dapat. Aku membayarmu, ingat?".

"Dengan jiwa yang amat menggiurkan," bisik Sebastian dengan suara yang belum pernah Ciel dengar dan menunjukkan karakter asli Sebastian yang selama ini baru ia lihat sekali selama ia mengenal butler yang ia beri nama Sebastian itu.

Tak terasa sudah hampir tengah malam dan mereka bersiap-siap untuk pergi dan tampaknya kegaduhan itu sudah selesai, sepertinya perkiraan Ciel salah, mungkin para pesuruhnya memang sedang berburu tikus kecil yang populer disebut sebagai curut yang banyak berkeliaran di seluruh mansion terutama dapur. Ia mengganti piyama yang tadi ia kenakan dengan mantel panjang tebal untuk menahan hawa dingin diluar sana. Didampingi butler-nya yang setia, Ciel hendak keluar dari kamarnya.

Namun baru saja ia membuka pintu kamar sesosok gadis terjungkal ke dalam kamarnya, ditangannya ia memegang sebuah sweter berwarna cerah dari bahan wol murni yang sangat bagus. Gadis itu menatapnya takut-takut dan bangkit berdiri, tatapannya mengindikasikan perbuatan yang baru saja dilakukannya selama ia berdiri di balik pintu kamar Ciel. Wajahnya yang seputih porselen kini kian pucat saat melihat pergantian ekspresi wajah tunangannya, Ciel Phantomhive. Ia tergagap-gagap mencoba menjelaskan dan memberi alasan yang menurut Ciel sama sekali tak perlu.

"Apa yang kau lakukan disini, Elizabeth?" ia berkata dengan ekspresi keras menahan emosi dan dalam hati ia takut akan kemungkinan bahwa gadis itu mendengar percakapannya bersama Sebastian tadi. Tapi rupanya benar dugaannya bahwa kehebohan tadi disebabkan kedatangan Elizabeth Middleford, bukan karena para pesuruhnya berburu curut tukang colong keju.

Jika bukan karena terpaksa, ia takkan pernah mau mengakui bahwa ia bertunangan dengan gadis menyebalkan itu dan dijodohkan sejak mereka masih kanak-kanak oleh orangtua mereka, namun seluruh negeri mengetahui status mereka itu dan tak mungkin ia mengelak lagi. Hanya di dalam mansion ini ia bisa tidak mengakui Elizabeth dan tak perlu berpura-pura bahwa ia menyukainya, tak mungkin dan tak akan. Ia tak pernah memanggil tunangannya itu dengan nama panggilan yang dimintanya untuk ia ucapkan setiap memnaggilnya, Lizzy, nama itu sangat aneh di telinga dan lidahnya dan ia hanya akan memanggilnya Elizabeth. Dan kali ini, seperti biasa, gadis itu datang kemari untuk mencampuri urusannya. Lagi.

"A-a-ku hanya ingin mengantarkan sweter untuk kau, Ciel, aku baru saja menyelesaikannya tadi dan aku segera kesini untuk—" ucapannya terhenti karena tunangannya mengangkat tangan menyuruhnya berhenti.

Ciel terlihat biasa saja dan justru mulai terpancing emosinya, seperti biasa ia bisa dengan mudah meledak. Dengan kesabaran yang dipaksakan ia menatap Elizabeth dengan angkuh dan tidak suka yang kentara. "Kau seharusnya tidak disini, Elizabeth, ini sudah malam, dengan siapa kau datang kemari?," .

"Aku kabur supaya bisa cepat sampai kesini, Ciel," jawabnya dengan halus dan pipinya bersemu merah, menambah kecantikkannya yang innocent. "Aku ingin kamu memakai sweter ini, aku baru saja menyelesaikannya tadi dan—".

"Pulanglah, Elizabeth. Orangtuamu pasti mengkhawatirkanmu, biar Sebastian yang mengantarmu pulang,".

"Ciel, aku ingin kamu pakai dulu sweter ini, aku diajari oleh Mum bagaimana cara merajut, kuharap kau menyukainya. Kau mau, kan, Ciel?,".

"Tidak," tolak Ciel segera, melempar pandang menghina padanya."Terima kasih, tapi mantel jelas lebih mengahangatkan daripada sebuah sweter. Pulanglah, Elizabeth, aku menyuruhmu pulang sekarang. Aku tidak mau kau disini, mengertilah,".

"Tapi, Ciel.."

Ia menatap Elizabeth sekali lagi, mata hijau gadis itu terlihat berkaca-kaca menahan perasaan sakit bahwa ia diusir begitu saja oleh sang tuan rumah langsung, tunangannya sendiri, ia terlihat seperti siap menangis. Bertekad untuk tidak tergerak oleh tangisan Elizabeth yang siap pecah, Ciel tetap mengacuhkannya.

"Kau tidak menguping pembicaraanku tadi kan, Eliza?. Untuk apa kau berdiri disana tadi, apa yang sebenarnya kau lakukan?"

Lizzy yang tidak pandai berbohong gelagapan dan kehabisan kata-kata untuk merangkai kebohongan luar biasa yang hanya bisa memanipulasi tunangannya itu dan reaksi juga tingkahnya telah menjawab pertanyaan Ciel tanpa perlu diucapkan satu patah katapun darinya.

"Kau tahu, itu lancang sekali, Elizabeth Middleford, beritahu aku apa saja yang kau dengar?"

"Aku tidak menguping!" Elizabeth setengah berteriak untuk menahan tangisnya dan air mata sudah menggenang di matanya yang indah.

"Bohong, kau pasti mencuri dengar kan? Jawab aku, Elizabeth!" Ciel berteriak tak kalah lantang dan itu membungkam gadis itu. "Jawab dengan jujur pertanyaanku itu, apa saja yang kau dengar?" ia masih membentaknya dengan kasar. Ia mengangkat tangan kirinya untuk menghentikan Sebastian yang mencoba memotong untuk mencegahnya berteriak pada Lizzy.

"Aku tidak menguping," ulangnya lagi, masih menyangkal.

"ELIZABETH MIDDLEFORD, KAU DENGAR AKU? BERITAHU AKU APA SAJA YANG SUDAH KAU CURI DENGAR ITU? " teriakan Ciel membahana ke seluruh lorong-lorong di mansion itu dan membuat air mata Elizabeth mengalir deras.

Gadis itu tertunduk, terisak-isak pilu, menyeka air matanya dan tak berani menatap Ciel yang terbakar emosi itu. Yang sebenarnya lebih ditakutkan Ciel, gadis itu akan mengetahui rahasia yang telah ia pendam selama ini dan ia tidak pernah berniat atau terpikir untuk memberitahunya. Sebastian berlutut, membantunya menghapus air mata nona muda cantik itu dengan selembaar sapu tangan putih sutera-nya dan ia mencoba menghiburnya.

"Semuanya...hiks, aku dengar semuanya..hiks," tentu saja pengakuan Lizzy itu membuat terkejut dua orang dihadapannya dan meskipun Sebastian bisa menutupi keterkejutannya dengan baik, tidak dengan Ciel. "Aku..hiks,tidak sengaja, kalian bicara serius dan aku..hiks,tak mau mengganggu dan itu..hiks bukan maksudku."

"Pulanglah, Elizabeth, kita bisa bicarakan ini besok," Ciel berusaha meredakan emosinya. Ia menarik gadis itu dengan kasar, mengabaikan butler-nya jauh dibelakangnya, membimbing namun setengah menyeret menuruni tangga menuju pintu belakang, ia membuka pintu itu dan memanggil Finny untuk mengantar Elizabeth kembali ke rumahnya.

"Tunggu, Ciel," Lizzy meraih lengannya namun segera ditepis si pemilik lengan. Ia masih tersedu dan ia menggigil kedinginan tapi melebihi segalanya ia merasa sakit oleh perlakuan tunangannya, Ciel Phantomhive, padanya. "Kau terima sweter buatanku ini dahulu, baru akan pulang, ku-kurasa hiks, ini cocok untukmu,".

"Tidak perlu, terima kasih," Setelah Finny muncul dan terheran-heran melihat Lizzy yang biasanya ceria kini menangis. Ciel melangkah meninggalkan Lizzy tanpa menoleh sedikitpun, urusannya lebih penting daripada menghadapi sosok gadis menyedihkan seperti Lizzy.

Namun tiba-tiba Prince Soma muncul dan berlari melewatinya tatkala melihat Elizabeth masih saja menangis dan ia mengambil alih keadaan dan menyuruh Finny untuk menyiapkan kereta kuda untuk mengantar gadis itu pulang. Soma memeluk Lizzy dengan ucapan menghibur dan menyeka air matanya yang terus mengalir dan demi apapun didunia ini Ciel merasa seolah ada yg menuang timah panas di rongga dadanya melihat adegan itu.

Lizzy tidak menjelaskan alasan ia menangis namun Ciel sadar betul bahwa perlakuan buruknya pada gadis iru selama ini telah menumpuk dan kini ia meledak dalam tangisan pilu yang entah mengapa menyayat hatinya yang setahu ia sendiri telah mati dan layu sejak peristiwa 3 tahun lalu itu.

"Kau menyuruhku untuk bersikap dewasa, Ciel," kata Soma tajam, menatapnya dengan tatapan menuduh dan masih merangkul Lizzy sambl menghangatkannya. "Tapi kau sendiri tidak bisa bersikap dewasa, kau tidak menghargai Lizzy, tunanganmu sendiri yang datang larut malam di tengah dinginnya salju yang menusuk tulang hanya untuk mengantarkan sebuah sweter spesial hanya untukmu, begitu selesai ia rajut ia pergi kesini. Berharap kau memakainya dan memujinya, tapi kamu justru mengusirnya dan meneriakinya seperti tadi. Kau bahkan lebih kekanak-kanakkan daripada usia dan penampilanmu,".

Ucapannya itu meyengatnya begitu dalam dan ia merasa seperti terbakar melihat tunangannya justru dihibur dan dipeluk oleh lelaki lain dan bukan olehnya, Ciel Phantomhive, tunangannya sendiri. Ciel hanya mau mengakui pada pikiran tertutup dan tergilanya bahwa mungkin ini perasaan cemburu.

Yang pertama kali ia rasakan.

"Lizzy?" untuk pertama kalinya Ciel menyebut nama gadis panggilan sayang gadis itu...

~~~Chapter 1 Selesai~~~

A/N:tunggu lanjutan dari chapter ini ya, saya tunggu lho review-nya. Mau nggak mau cerita ini memang harus lanjut kok dan saya masih mencari inspirasi untuk chapter selanjutnya dan selanjutnya. Kalo mau kasih saran juga oke kok, ditunggu aja deh. Arigatou 8D (By: Cassandra).