Malfoy, Malfoy
Harry Potter dan seluruh karakternya (minus karakter ciptaan saya) adalah milik J.K Rowling
...
Malfoy, Malfoy
Author: Juliette Apple
Rated: T
Enjoy reading, Don't read if you hate Dramione
Sorry, I'm Newbie... banyak salah-salahnya
Hope you guys like it, Review please :*
~XOXOXOXOXOXO~
Aku tidak punya tujuan.
Pada saat itu—di Malfoy Manor—ketika si gila Bellatrix menyerangku, aku tidak berhasil kabur bersama Dobby dan yang lainnya. Teriakan Harry yang memanggil namaku masih segar dalam ingatan. Masih terngiang umpatan Ron sebelum ia benar-benar hilang. Kuharap mereka baik-baik saja.
Sekarang, aku disekap di penjara bawah tanah Malfoy Manor.
Siapa aku? Namaku Hermione Jean Disaster. Kemana Granger-ku? Lupakan.
Setelah semua yang terjadi, aku rasanya enggan untuk hidup.
Bayangkan saja! Harry, Ron, Luna, Ginny... kami terpisah! Bahkan kami terpisah dengan cara yang amat sangat memuakkan. Bellatrix benar-benar menjengkelkan. Seandainya saja ia tak menuduhku mengambil pedang itu dan menuliskan kata 'Mudblood' di lenganku, aku mungkin masih bersama Harry dan yang lainnya. Dan yang lebih menyenangkan lagi, aku tak mungkin berada di ruangan berjeruji gelap yang bau dan lembab ini.
Setiap hari, aku diberi makan tiga kali. Akan ada seorang gadis cantik berambut gelap yang membuka kurunganku dan memberiku makan. Ia juga meletakkan buku-buku menarik di nampanku. Aku penasaran siapa dia. Aku memanggilnya dengan sebutan 'Gadis Cantik'—karena ia memang cantik.
Rambutnya hitam panjang sepunggung dengan jepit emas. Matanya cokelat tua, seperti milikku, hanya saja, matanya lebih terang. Bibirnya merah seperti darah, dan kulitnya sendiri pucat seperti es. Jari-jarinya amat langsing dan akhir-akhir ini aku mengetahui kalau ia memakai dua cincin.
Cincin pertama ada di tangan kanan, tepatnya di jari manis, seperti pada umumnya cincin-cincin biasa berada. Cincin itu bertahtahkan permata safir terbaik yang pernah kulihat, warnanya biru gelap dan cemerlang. Samar-samar, kulihat huruf 'L' di tengahnya. Cincin kedua berwarna perak dengan permata hijau emerald—mengingatkanku pada mata Harry. Cincin itu juga ada hurufnya. Sebuah 'M' kutemukan di tengah permatanya. M untuk Malfoy? Mungkinkah dia...? Ah, tak mungkin.
Mana mungkin dia istrinya Si Pirang Draco Malfoy.
Setampan-tampannya Pirang (ya, kuakui, dia tampan) tak mungkin ada seorang wanita-pun yang rela dipersunting olehnya, mengingat tabiatnya yang biadab itu. Kalau begitu, apakah dia putrinya Lucius dan Narcissa? Rasanya tak mungkin. Si Pirang itu putra tunggal, kurasa. Lagipula, rambut gadis itu tidak pirang-menyebalkan, melainkan hitam-cerdas seperti milik Cho Chang, meskipun wajah Gadis Cantik ini lebih rupawan.
Hari ini, aku sedang meringkuk di sudut kurungan, bergelung dengan debu. Aku menunggu si Gadis Cantik datang membawa nampan seperti biasa. Hari ini ia cukup terlambat. Aku diam-diam mencatat waktu kedatangannya di otakku. Ia rutin datang pukul dua belas siang, empat sore, dan dua belas tengah malam. Mengapa ia tak datang-datang! Ah! Aku ingin mengutuk tempat ini seandainya tongkatku tak berada di genggaman Narcissa.
Kesengsaraanku dijawab oleh bunyi derit pintu kurungan yang berkarat. Kulihat kakinya yang dibalut sepatu bot hitam dan jubahnya yang lebih hitam kelam. Ini yang kusayangkan: ia selalu tampil dalam balutan busana hitam-hitam, padahal ia akan tampak cantik dalam warna cerah yang kalem.
"Halo, Manis," panggilnya. "Hari ini Lucius melarangku kemari, ia menyuruhku membiarkanmu mati kelaparan. Aku tak akan melakukannya, Sayang! Jadi, jangan ribut dan jangan katakan kedatanganku pada siapapun. Aku membawakan sisa makan siang tadi. Sebenarnya, tak ada sisa lagi. Tapi, Draco dengan baik hati mencuri beberapa roti dan daging untukmu. Ini," ucapnya panjang lebar sambil meletakkan nampanku di lantai batu. Aku terkejut. Siapa? Pirang mencuri roti untukku. Gawat. Bisa-bisa rotiku diracuni.
Tapi tak baik untuk berprasangka buruk ketika perutmu bernyanyi kelaparan.
Aku cepat-cepat mengambil sebongkah roti. Harum, hangat. Segera kumasukkan dengan rakus dalam mulutku, semoga perutku berhenti menciptakan paduan suara instan. Kupandangi gadis itu. Kemudian aku tersedak karena kebanyakan menyuapi roti ke mulut.
"Tak apa, Dear. Makanlah dengan tenang," ujarnya saat melihatku tersedak. "Aku ingin bercerita padamu. Sebenarnya, aku ini kesepian. Tak ada yang bisa kuajak bersosialisasi atau bercerita dari hati ke hati. Ibuku dan Ayahku meninggal di Azkaban. Mereka Pelahap Maut. Oh, Hermione, bolehkah kau menjadi teman curhat-ku? Boleh, ya? Boleh? Boleh?" pintanya memelas. Oh... aku tak tahu harus berkata apa. Dia imut sekali, tak mungkin aku menolaknya.
Aku mengangguk singkat tanpa bersuara. Aku bertaruh, ada kilat bahagia di matanya.
"YEAH!" erangnya. Kemudian ia sadar kalau suaranya bergema, dan ia cepat-cepat menutup mulutnya dengan tangan. "Maaf. Namaku Emeraldina Kate Malfoy, kau bisa memanggilku Em,"
MALFOY?
"Aku anak angkat Lucius dan Narcissa. Draco lebih tua setahun dariku, dia kupanggil kakak," lanjutnya.
KAKAK? ANAK ANGKAT?
"Aku seorang Ravenclaw. Padahal seluruh keluargaku Slytherin. Aku jadi malu, sih. Tapi tak apa-apa selama mereka tetap menyayangiku," ia berkata lagi.
MALU?
"Orangtuaku sudah meninggal di Azkaban. Mereka Pelahap Maut, aku juga... Pelahap Maut,"
AZKABAN? PELAHAP MAUT?
"Brandon Orion Lestrange adalah suamiku,"
SUAMI?
Kali ini aku tak bisa menahan diriku untuk bertanya.
"Bellatrix punya.. seorang putra?" tanyaku ragu-ragu.
"Oh, tentu! Brandon-ku yang manis adalah putranya. Putra kandungnya yang pertama dan terakhir. Kelahiran Brandon tak direncanakan, sih. Tapi Bella mencintai dia, kok," ujar Em.
Wow, kenyataan yang unik. Bellatrix punya putra! Dan gadis malang ini adalah menantunya... Aku penasaran bagaimana wujud putra semata wayangnya itu. Semoga tak mirip dia baik fisik maupun psikis.
Tiba-tiba terdengar jeritan memuakkan dari atas. Dugaanku ialah: itu erangan Bellatrix.
"Oh! Bella mencariku. Sampai besok, Dear," ia melambai kemudian pergi.
~XOXOXOXOXO~
Ia tak datang lagi.
Setelah percakapan panjang dengannya, ia tak pernah muncul kembali membawa nampan dan buku. Kehadirannya digantikan oleh peri rumah jelek bernama Poppy yang memberiku makanan busuk dan tanpa buku.
Aku merindukan cekikiknya yang lucu dan wajah cantiknya.
Sekitar tiga minggu, aku menunggu dia. Dan dihari yang ke dua puluh satu (menurut perhitunganku) ia muncul dengan buku tebal.
"Hermione! Hermione!" jeritnya bahagia. Pintu kurungan dibuka dan aku ditarik keluar untuk pertama kalinya setelah Bellatrix menyerangku. Ia menyodorkan bukunya padaku.
"Ada apa, Em?" aku bertanya pelan dan senang karena akhirnya bisa keluar.
"Kau.. akan.. menjadi... seorang... MALFOY!" katanya senang. "Kau akan jadi kakak iparku, Hermy, Oh, Oh!" ia memekik senang.
"APAA? AKU.. AKU.. BAGAIMANA BISA?" aku bertanya dalam kepanikan.
"Tentu saja... kau akan menjadi istri kakakku... Draco Malfoy," ia tertawa-tawa renyah.
Janggut Merlin! Menjadi istri Si Pirang!
~XOXOXOXO~
Dia tidak bohong.
Setelah keluar kurungan, Narcissa menyambutku dengan gaun hitam satin berkerah lebar.
"Hai, Sayang," Narcissa mengecupku di pipi. Ehm... dia lupa kalau aku Mudblood?
"Cissy! Kapan Kakak selesai berpakaian?" tanya Em.
Narcissa menggeleng. "Aku tak tahu. Kuharap sebentar lagi," pandangannya beralih padaku. "Nah, Mione (Oh tidak, ia memanggil namaku) kau harus ikut denganku dan berpakaian untuk pernikahanmu hari ini," Merlin! Ia menyeringai.
Aku diseretnya ke sebuah kamar gelap yang penuh cermin. Di dindingnya ada lukisan Abraxas Malfoy dan Druella Black. "Oww, jijik! Jijik!" erang lukisan Druella. "Darah Lumpur kotor! Kotor!" sambung Abraxas. Em segera menutup lukisan dengan tirai abu-abu. "Tak usah dipikirkan," kata Em.
Narcissa menelanjangiku! Ralat. Ia hanya menanggalkan jaket, kaus, dan celana jins-ku. Sekarang, aku hanya berbalut pakaian dalam tipis. Ia menyuruhku mandi dengan sabun wangi mawar dan mencuci rambutku dengan sampo mawar juga.
Gaun yang ia pakaikan padaku luar biasa indah, meski aku benci warnanya. Warnanya hitam dengan corak mawar merah darah. Rambutku dibiarkan tergerai kebelakang. Sepatu berhak runcing dan berwarna merah memeluk kakiku yang dingin. Dan, sebuah pusaka Malfoy: kalung emas paling berat dan paling indah yang pernah kulihat.
"Siap bertemu pengantin pria?" goda Em.
"Entahlah," aku menggeleng. "Apa maksud semua ini? Aku tak mencintai..."
"DIAM!" Narcissa mengacungkan tongkatnya ke bibirku. "Jangan katakan kalau kau menolak pernikahan ini! Kau tidak bisa mengorbankan putraku! Putraku!" Narcissa menangis sejadi-jadinya. Em hanya diam saja seperti patung batu.
"Cissy, tenanglah," Em menepuk pundaknya. Ia menoleh padaku. "Saat ini, hanya kau yang bisa membantu Draco. Mione, aku memohon padamu. Apapun akan kulakukan demi kakakku, termasuk menjadi budakmu seumur hidup. Tak apa. Demi Draco," ia memandangku dalam pandangan keji yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kukira ia anak yang lemah lembut, ternyata baru sekarang aura hitamnya tampak.
"Aku. Tak. Yakin! Aku benci si Pirang! Aku lebih baik mati daripada bersamanya! Aku MENOLAK pernikahan ini!" aku segera kabur dan mendobrak pintu kayu di depanku. Kudengar jeritan Narcissa dan derap langkah.
Ketika aku melihat kebelakang, Em mengejarku. Wajahnya masih cantik, tapi kali ini kejam dan haus darah. Di tangannya ada tongkat.
Ia melempar kilat cahaya kearahku. Kilatan menyerempetku dan meledak—aku terjatuh.
"Petrificus Totalus!" jeritnya. Aku tak bisa bergerak. Hanya membeku di tempat.
"Kau tidak akan dan tidak bisa menolakku. Bila kau menolak rencana ini, kau sedang mencoba menggali kuburmu sendiri, Sayang," katanya. Seorang pria tampan berambut hitam sama sepertinya muncul.
"Ada apa ini?" tanya pria tampan itu. Rahangnya mengeras.
"Brandy..." Em mendekatinya dan mencium bibirnya. "Calon kakak iparku hendak kabur,"
Pria yang dipanggil Brandy itu melirikku dengan tatapan jijik.
"Inikah Hermony?" tanyanya.
"Namanya Hermione, Sayang." Ralat Em.
Sepertinya aku tahu siapa pria ini. Dia pasti putra Bellatrix, Brandon. Brandon begitu jauh dari perkiraanku. Kukira wajahnya sinis dan mirip seperti monyet, ternyata ia tampan juga. Kulitnya tidak segelap ibunya. Kulitnya malah pucat sepucat salju. Dagunya ditumbuhi janggut tipis dan matanya hitam. Rambutnya acak-acakkan dan ia berjas layaknya para Pelahap Maut pria lain.
Emeraldina bergelayut manja padanya, dan ia tampak sangat menikmati pelukan istrinya itu. "Mana Draco?" tanya Brandon.
"Kakak sedang berganti baju," Em tersenyum manis. "Akan kubawa kakak iparku ini ke kamar Drake agar mereka bisa.. yah.. begitu deh," Em mengerling nakal.
Ia melepas kutukannya padaku dan menarik-narik lenganku. Brandon menenggak fire-whiskey nya yang masih baru. Ia menatapku jijik (lagi). Dengan enggan, ia membantu istrinya untuk membimbingku ke kamar Si Pirang. Aku tak bisa mengelak lagi.
"Kita sampai, Brunette," katanya. Di depanku, ada sebuah pintu kayu raksasa yang berbau harum dan penuh ukiran. Em mendorong pintu itu, dan tampaklah kamar gelap yang remang-remang dengan jendela raksasa. Ada sebuah tempat tidur raksasa ber seprai putih dan berkelambu. Sebuah cermin digantung di sebelah lemari hitam.
Diantara kegelapan kamar, mataku menangkap siluet seorang pria. Pria yang selalu menjadi musuhku, pria pirang yang kutonjok di tahun ketiga. Draco Malfoy.
"Wow," Em menepuk pundakku. "Kupersembahkan padamu, Drakkie. Miss Hermione Granger," katanya empuk.
"Terimakasih, adik kecil," Draco berkata. "Kalian boleh pergi. Biarkan aku berdua dengan... Granger." Perintahnya.
Brandon menarik Em mejauh. "Sampai ketemu di pesta, Draco," kata Brandon. Kemudian mereka menghilang dibalik debam pintu.
Draco mendekatiku. Refleks aku berbalik dan mencoba mendorong pintunya. Sial! Terkunci.
"Mau kemana, Granger?" tanyanya. Suaranya begitu seksi dan... menggoda.
"Katakan apa maumu, Pirang! Atau aku akan mengutukmu dan—"
"Dan apa?" ia menyelaku. "Tongkat saja kau tak punya," katanya sambil mengeluarkan tongkatku dari jasnya dan mengacungkannya di depanku.
"Kembalikan!" jeritku.
"Maaf, Love. Tapi aku tak diperbolehkan untuk melakukan hal itu," Draco begitu piawai menggoda. Ia memanggilku 'Love' dan aku merasa pipiku menjadi panas.
"Aku tak peduli, Malfoy! Kembalikan!" aku tak ingin terpancing.
"Sssh! Love! Kau sangat berisik!" Draco duduk di ranjangnya. Ia menepuk ranjang, mengisyaratkan agar aku duduk di belakangnya. Aku mendekat padanya dan duduk. Tanpa kusadari, ia memelukku.
Draco Malfoy memelukku.
Aku tidak pernah—dan dulunya kukira—tak akan pernah dipeluk seorang Malfoy. Namun sekarang, Draco Malfoy memelukku dan memainkan rambutku. Ia berbisik lembut di telingaku, "Kita—kau dan aku—akan belajar mencintai, Love,"
Aku benar-benar terkejut. Aku membencinya, dan ia membenciku. Kami musuh dari kecil, dan sekarang ia malah...belajar mencintaiku.
"Apa yang terjadi Malfoy?" tuntutku ketika ia melepas pelukannya.
"Ceritanya panjang, Mione," aku bergidik saat namaku dipanggil olehnya, ia tak pernah melakukan hal itu sebelumnya. "Akan kuceritakan padamu nanti. Sekarang, kita sudah ditunggu di pesta pernikahannya. Ayo,"
Oh, mati aku.
~XOXOXOXOXO~
Emeraldina duduk di bangku paling depan bersama Brandon. Narcissa dan Lucius sedang berbincang di sebelah mereka. Bellatrix ada di bangku tengah dan memandangku jijik, sekarang aku tahu darimana pandangan melecehkan Brandon berasal.
Aku dan Draco akan segera menikah. Kami duduk di sofa halus di depan ruangan.
Pernikahan kami dihadiri sederetan Pelahap Maut dan tebak siapa tamu spesial-nya! Voldemort.
Voldemort duduk di sebuah kursi tinggi yang berlapis beludru merah marun. Ia tampak kacau, dan tak berbentuk.
"Malfoy, ada apa dengan Vol—"
Draco mencubit lenganku. "Namanya tabu," bisiknya.
"Ada apa dengan pria pesek, Malfoy? Kenapa ia tampak seperti hantu? Tampilannya berbeda, ia jadi makin hancur." Bisikku.
"Kau tak tahu tentang serangan waktu itu?" tanya Draco.
Aku menggeleng.
"Waktu itu, Potty sempat tertangkap dan dibawa kembali kemari. Pangeran Kegelapan datang dan terjadi pertarungan singkat antara mereka. Pangeran Kegelapan terkena serangan yang cukup serius dan itu menghancurkan bentuk tubuhnya. Sementara Potter..."
Aku menenguk ludah. Jadi, Harry sempat tertangkap kemari ketika aku masih dikurungan? Dan apa yang terjadi padanya...
"Potter, terserang. Tepat di jantungnya." Ucap Malfoy parau. Aku tertegun.
"Apa? Apa ia mati? Apakah..apakah.." aku menahan airmata.
"Tidak, ia hidup. Gadis Weasley yang bersama-sama dengan dia sempat membuat perlindungan sehingga serangan yang didapat Potter tak terlalu serius,"
Ginny.
Kini, aku memandang kembali Voledmort. Ia seperti patung lilin yang meleleh. Ia hanya punya satu tangan, dan tanpa kaki. Wajahnya ditutup topeng.
"Maju," ucap Voldemort pada kami, suaranya seperti desah mengerikan. Draco dan aku berdiri menyamping dan saling berhadapan. Tangan Draco berkeringat dingin. Aku bisa merasakannya karena ia sedang menggenggam tanganku.
"Draco Lucius Malfoy," ucap Voldemort. "Hari ini, kau akan menjalankan misiku. Harus kukatakan kalau misi ini merupakan belas kasihanku terhadap ibumu yang malang... Cissy," aku melirik Narcissa lewat ekor mataku.
Narcissa tampak berantakan, sementara Lucius tampak dingin.
"Hari ini, kau akan menjadi suami seorang Darah Lumpur. Mudblood Hermione Jean Granger," Voldemort menyinggung namaku.
Draco tampak ketakutan. Matanya yang abu-abu menatapku tanpa berkedip.
"Sekarang, kalian boleh berciuman. Sebagai suami-istri," perintahnya.
Sudah? Hanya begitu saja pernikahan kami? Dan sekarang kami harus... ciuman?
Kulihat bibir Draco menipis. Aku melipat bibirku kedalam. Kami saling pandang-pandangan dan untuk sementara, tak ada yang bergerak.
"AYO!" raung Voldemort.
"Tapi aku tidak ma—" kalimatku tak sempat selesai karena Draco cepat-cepat membungkuk dan menciumku. Bibir kami menyatu dan aku merasakan sesuatu yang lembut, dan empuk, menyentuh bibirku. Bibir Draco basah, kuakui.
Lengannya melingkari pinggulku dan kami berpelukan.
Terdengar tepuk tangan riuh dari bangku hadirin.
"Kau nyaris membunuhku, Love," bisik Draco disela pelukannya. "Dengan membantah Pangeran Kegelapan, sama saja dengan menusukkan belati ke jantung sendiri!" bisiknya lagi.
Aku hanya diam saja. Badan Draco dingin seperti marmer.
Ia melepas pelukannya dan menarikku keluar setelah ruangan kosong. Brandon menggendong Emeraldina dalam gaya bridal. Emeraldina sepertinya sangat menikmati ciuman Brandon yang panas.
"Apakah mereka bahagia?" aku menujuk pasangan kasmaran itu.
"Brandon dan Em?" tanya Draco. "Ya, tentu saja. Meskipun, Emerladina baru saja keguguran."
"Apa?" pekikku.
"Pria pesek membunuh bayinya. Mereka menikah di usia lima belas, dan Em sempat hamil di usia enam belas. Vol—pria pesek langsung menggugurkannya setelah tahu kalau ia mengandung,"
"Mengapa begitu?" tanyaku.
"Karena saat itu, Emeraldina adalah Pelahap Maut kesayangannya. Ia tak mau misi-misi yang diberikannya pada Em jadi tehambat karena ada bayi dalam perutnya," kata Draco.
Aku mengangguk prihatin. Draco tiba-tiba menggendongku dalam posisi bridal style seperti Brandon dan Em. "Ayo, Sayangku. Meski kau musuhku, kita sudah menikah. Dan... kita ... harus ke kamar," kata Draco.
"Apa maksudmu! Turunkan aku musang pirang!" rutukku. Draco menurunkanku.
"Kita memulai lagi dari awal, setuju?" Draco menyodorkan kelingkingnya padaku. "Teman?"
Aku tak tahu apakah harus kubalas tawaran ini.
"Entahlah,"
"Ayolah, Hermione," Draco memberi kelingkingnya.
Aku menyambutnya dengan kelingkingku. "Teman. Tapi.. sebatas teman, saja. Meskipun kau... suamiku,"
Draco tersenyum. "Panggil aku Draco,"
Kami bergandengan tangan keluar dari ruangan tadi. Tangan Draco menghangat dan tak gemetar seperti tadi. Genggaman tangannya amat kencang sampai-sampai aku tak dapat merasakan jariku lagi.
Kami berjalan kembali ke kamarnya. Ia terang-terangan membuka jasnya di hadapanku. Dan bertelanjang dada. Badannya amat bagus, hasil latihan Quidditch bertahun-tahun. Aku merasakan wajahku lebih merah dari kepiting rebus.
"Hahaha! Mione! Jangan menatapku seperti itu, nanti aku malu!" tawanya.
"Sa...sa..salahmu sendiri. Mengapa kau buka baju di depanku,"
"Aku suamimu. Ayo cepat ganti baju, Mione. Kita harus makan malam,"
Aku hendak membuka bajuku, tapi sangat susah membuka kancing yang berdert-deret dan keras di belakang punggungku. Mau tak mau, aku meminta bantuan Draco.
"Dra..co?" panggilku.
"Ya?"
"Boleh minta tolong?"
"Tentu,"
"Bisakah kau buka kancing gaunku?"
Ia tersenyum. "Pasti."
Ia mendekatiku dan mulai membuka kancing pertama, kedua, ketiga...
"Hei, Mione," panggilnya.
"Ya?"
"Aku tahu, masa lalu kita sangat buruk. Kita musuh, bukan?"
Kancing kesepuluh, sebelas...
"Tapi, tahun keenam lalu, aku mencintaimu. Saat Potty menyerangku dengan Sectumsempra, yang kupikirkan pertama kali hanyalah kau,"
Kancing keduapuluh, dua puluh satu...
"A..aku tak ingin kau melihat tubuhku. Bisa tolong tutup matamu?" tanyaku.
"Bagaimana bisa kubuka kalau mataku tertutup?" ia tersenyum nakal.
"Aku khawatir kau melihat..."
"Tak apa. Sekarang aku suamimu. Nanti juga, aku akan melihat semuanya, kok."
DOR! Aku terkejut dengan kata-katanya.
Kubiarkan ia membuka semuanya tanpa menutup mata. Wajahku merah seperti tomat. Oh! Merlin! Merlin! Kyaa!
Semua kancing terbuka, dan gaunku merosot tanpa aba-aba. Oh! Sekarang aku hanya memakai lingerie tipis dari sutra dan ia hanya memakai celana.
Ia menutup matanya, ternyata lingerie-ku tembus pandang!
"Kyaa! Malfoy! Apa.. yang sudah kau li...hat?" tuntutku.
"Aku..sudahlah! Kenakan dulu pakaianmu! Ada di lemari hitam! Semuanya pemberian ibuku." Katanya masih sambil menutup mata.
Aku cepat-cepat mengeluarkan gaun merah dan memakainya. "Buka matamu, Pirang!"
Draco membuka matanya. "Oh, Merlin. Kuakui, badanmu mulus, tapi aku belum.. siap."
"MALFOYY!"
Brak! Pintu terbuka.
"Oh, pengantin baru sudah ditunggu-tunggu," kata Em yang tadi masuk. "Kalian dicari-cari, ternyata malah bermesraan. Ayo, cepat kita makan,"
Ia menutup pintu setelah mengucapkan itu.
Draco menciumku cepat di bibir. "Kutemui kau setelah ini, oke? Kau pergi duluan, aku menyusul,"
Ia mendorongku keluar. Entah mengapa, aku tak bisa menolak ciumannya yang... lembut.
~TBC~
Aduh malunya... ini fict pertamaku.. dan yang paling kusuka adalah Dramione. Sori kalau banyak salah-salah.
Mohon bimbingan, aku masih baru.
Lemme know what you think, ok?
Review, please! :*
