Disclaimer
Naruto © Masashi Kishimoto
Hysteria © Muse
Warning! Crack pair, AU, Out of Character, typo(s), etc.
Fiksi ini ditulis dalam dua sudut pandang berbeda oleh dua orang yang berbeda pula. Saya khusus Hinata, dan sudut pandang Madara ditulis oleh Kapten Masa Depan (tengoklah ke akun dia). Bisa dibilang ini fiksi kolaborasi. Dan peringatan tentang 'Out of Character' itu bukan main-main. Ini hanya hiburan, murni kesenangan semata. Semoga menikmati.
.
.
.
.
.
Kalau ditanya pria macam apa yang masuk ke dalam daftar yang harus dihindarinya, maka Hinata dengan tegas akan menunjuk ke arah lelaki di hadapannya ini. Terlalu biasa. Sangat biasa. Dan betapa biasanya sampai-sampai Hinata hampir ingin muntah karena harus menemui lelaki macam ini tiap harinya.
Biasa? Tentu saja kata biasa disini memiliki arti tersendiri. Sok dingin, sok berkharisma, sok mengintimidasi, sok berkuasa, sok sempurna, sok prodigy, dan sok-sok lainnya. Dimana karakter macam itu terlampau sering ditemukannya pada ayah dan kakak sepupu yang sejak kecil telah hidup bersamanya.
Hinata bosan menghadapi karakter macam itu, terlebih lagi orang-orang macam itulah yang membuat kehidupannya memuakkan dan menyedihkan.
Dia benci sikap dingin ayahnya yang mengakibatkan kesedihan ibunya karena sikap tertutup lelaki itu, dan buntutnya membuat ibunya memilih menyerah pada hidupnya karena tak tahan menghadapi kehidupan sedingin es bersama lelaki macam itu. Meninggalkan Hinata diusia belia dan memaksanya terikut dengan kehidupan suram tanpa kasih sayang seorang ibu.
Dia juga muak dengan sikap proteksi penuh pengekangan dan paksaan dari kakak lelakinya—sepupu. Pemuda itu terlalu berlebihan dalam kehidupan remaja Hinata sehingga membuatnya bagai burung dalam sangkar. Tidak bebas.
Maka dengan segala fakta absurd itu. Disaat dewasanya, Hinata menolak untuk berinteraksi lebih dengan lelaki dengan karakter seperti itu. Cukup menghadapi ayah dan kakaknya saja. Berikutnya, kalau dia menemukan gelagat lelaki setipe itu di sekitarnya, maka dengan sekuat tenaga dia akan menghindar dan menolak dengan tegas.
Tak peduli betapa menawannya lelaki macam itu bagi sebagian besar teman-temannya. Tak peduli bahwa jeritan gairah di kedalaman dirinya terus menggema ketika merasakan gelombang listrik dari tatapan tajam lelaki itu. Tak peduli juga bahwa lelaki macam itu akan memberikan seluruh dunia mereka hanya untuk Hinata demi mendapatkan dirinya. Hinata tidak peduli. Tidak akan.
.
.
.
Story: BURNING UP © ookami
[Madara x Hinata]
.
.
.
"Ck! Ayolah, Hinata! Berhenti memasang wajah seperti itu. Kau membuat mereka tak mau mendekat."
Hinata mengabaikan teguran sahabatnya dan memilih kembali menenggak tequila dinginnya dengan cuek. "Aku ikut ke sini bukan untuk itu."
"Memangnya kau pikir kita ke sini untuk apa selain mencari pria tam—" Sakura terdiam sejenak sebelum tergelak hebat saat melihat lirikan tajam Hinata padanya, "Oke! Oke!" ucap gadis bersurai merah muda itu setelah tawanya sedikit reda. "Kita ke sini memang untuk menghiburmu yang sedang patah hati. Tapi—hell fuck, princess! Lupakan pemuda bodoh itu! Sia-sia saja kau memikirkannya. Setengah mati kami menyeretmu ke sini bukan untuk melanjutkan muram durjamu. Tapi untuk berpesta dan—Oh gosh! Lihat yang di sana itu!" Sakura menyenggol seorang gadis lain di sampingnya yang sedari tadi sibuk mengoperasikan ponsel pintar di tangan.
"Manisnyaaa…"
Hinata dan gadis yang tadi disenggol Sakura menatap ke arah lelaki tinggi di dekat panggung. Hanya sejenak dan mereka memilih untuk saling melirik kemudian mendengus beriringan. Hinata tak habis pikir, lagi-lagi lelaki macam itu yang menarik perhatian Sakura.
"Yang begitu kau sebut manis? Cih, dia bahkan tidak tersenyum sama sekali. Sok cool."
"Ah, kau ini payah Ino. Sama saja dengan Hinata. Selera kalian aneh. Yang begitu pantas untuk dijadikan objek flirting." Sakura mencibir ke arah dua sahabatnya.
"Jangan sampai kau lupa tujuan kita kemari itu untuk menghibur Hinata. Bukan untuk acara tebar pesonamu," sahut gadis berambut kuning yang dipanggil Ino. Dia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan mengambil minuman sejenis dengan milik Hinata, lalu menenggaknya. "Dan kau princess Hyuuga. Sakura benar, ubah wajah murungmu itu. Nikmati saja malam ini. Jangan bersikap seperti remaja labil hanya karena seorang bocah ingusan macam itu."
Hinata kembali merengut saat Sakura kembali terkikik karena Ino menegur dirinya. Dia kesal, kenapa mereka harus mengingatkannya lagi pada pemuda itu?
Yah, benar sih. Hinata memang sedang sakit hati atau patah hati atau apalah itu sebutannya. Pemuda yang tengah ditaksirnya kedapatan tengah bercumbu dengan gadis lain di halaman belakang kampus mereka. Dan parahnya Hinata harus melihatnya secara live. Sialan, memang. Berbulan-bulan dia menarik atensi pemuda itu, ternyata sia-sia.
Dan inilah yang membuatnya bermuram durja. Pemuda itu tidak memilihnya. Mengabaikannya.
Memangnya apa yang kurang dari seorang Hinata Hyuuga?
Hinata tahu potensi yang dimilikinya—bahkan mungkin hampir seluruh kampus tahu akan hal itu. Dia seorang Hyuuga—tentu bukan nama belakang yang biasa. Dia cantik—dilengkapi dengan warna rambut dan manik mata yang tak biasa. Dia cerdas—terbukti dari keberhasilannya diterima di Universitas terkemuka tempatnya kuliah melalui jalur umum, tanpa koneksi siapapun. Dan jangan tanyakan spesifik fisik yang dimilikinya—karena ini bagian para manusia berjenis kelamin pria yang harus menjawabnya.
Dan dengan semua fakta itu, harusnya menjadi kemudahan bagi Hinata untuk mendekati pemuda incarannya, 'kan? Tapi nyatanya, semua tak sesuai prediksi. Dan hal inilah yang membuatnya tak terima. Kekanak-kanakan, memang.
Dan kekesalannya bertambah saat penyesalan mulai menelusup di hatinya ketika menyadari kesalahan fatal karena mengikuti saran Sakura untuk mengenakan dress pilihan gadis Haruno itu. Merah menyala—jelas bukan warna favorit Hinata dan cenderung menjadi pilihan terakhirnya. Tali spageti dengan bagian punggung terbuka—Hinata bahkan harus merutuki dirinya sendiri karena kecerobohan ini.
Dia bersedia ikut ke klub itu lebih karena ingin menghibur diri, bukan untuk mencari teman kencan pengganti. Tapi dress sialan itu malah menarik perhatian beberapa lawan jenis yang tak diinginkannya. Hinata tak butuh segala perhatian itu sekarang. Dia hanya ingin bersantai malam ini, tapi lagi-lagi… mungkin prediksinya kembali melenceng dari seharusnya.
Dan ditengah segala benteng tak kasat mata yang dibangunnya untuk menghalau godaan lelaki di sekitarnya, Hinata tak menyadari ada sepasang mata lain yang membidiknya tanpa jejak, tanpa terdeteksi, dan tengah menyiapkan amunisi untuk meruntuhkan tembok gadis itu. Dalam diam, dan mengendap.
.
.
.
"Hm, yang itu boleh juga." Lagi-lagi Sakura melontarkan penilaiannya terhadap beragam macam pemuda yang bisa ditangkap matanya. Hinata yang berusaha keras untuk memperbaiki mood buruknya memilih untuk mengikuti arah gerakan mata Sakura.
Dia menengok ke belakang untuk melihat objek penilaian Sakura yang terbaru. Berdekatan dengan pintu masuk, berdiri sesosok lelaki tinggi berpakaian gelap. Terlalu remang dan jarak dari tempatnya lumayan jauh, sehingga Hinata harus menyipitkan mata untuk memperjelas pandangan matanya pada sosok tinggi itu.
Hinata mengerutkan kening sedikit. Sosok itu terlihat familiar. Dimana Hinata pernah melihatnya, ya? Dan akibat pemikiran sekilas itu, tanpa sengaja dia malah menggigit bibirnya karena keasyikan berpikir dan tak sadar bahwa ada sosok lain yang kini sudah berdiri tepat di sampingnya.
"Ada yang menarik perhatianmu, nona Hyuuga?"
Hinata tersentak saat menyadari suara seorang lelaki yang teramat dikenalnya. Dan seketika suasana hatinya berubah drastis saat menyadari milik siapa suara itu.
"Kiba!" Hinata berdiri untuk memeluk sosok pemuda berjaket kulit abu gelap yang tengah menyengir lebar di hadapannya. "Kapan kau datang?"
"Hohoho." Jelas pemuda berambut jabrik itu sedikit kaget dengan pelukan tiba-tiba Hinata yang sedikit menyulitkan keseimbangan tubuh mereka. Dia membalas pelukan itu dengan cepat sebelum menguraikannya. "Tadi sore aku baru sampai. Sangat tergesa-gesa mengingat ponselku tak berhenti berdering dari panggilan seorang gadis cerewet yang terus memintaku untuk segera datang kemari."
Hinata melirik Ino untuk menuntut penjelasan.
"Kalau itu bisa membantu untuk menghiburmu, kenapa tidak?" sahut Ino sambil mengendikkan bahu dan menyeringai kompak dengan Kiba.
"Memangnya kau tidak senang aku di sini?"
Hinata merasa kekesalannya menguap saat kembali mendengar nada jahil dari mulut teman kecilnya—Kiba. Pemuda itu selalu berhasil menyenangkan hatinya meski hanya dengan seringai dan nada jahilnya.
"Tentu saja senang," sahut Hinata sambil menarik tangan Kiba untuk duduk di sampingnya. "Aku merindukanmu. Hei! Berapa lama kita tidak bertemu?"
"Berlebihan, ah!" Hinata mendengar Sakura mendengus, "Kiba kan hanya pergi beberapa minggu lalu."
"Kau cemburu karena tidak berhasil memperbaiki mood-nya, Haruno?" Dan Hinata tergelak senang saat Kiba memulai aksi perang mulutnya dengan Sakura. Benar-benar menghibur. Dia suka momen ini.
"Kita sambut The Uchihas!"
Hinata dan teman-temannya seketika menghentikan obrolan mereka dan memalingkan kepala untuk mencari sumber seruan itu.
Dari arah panggung. Manik lavender Hinata kembali bersirobok dengan kelamnya mata lelaki yang tengah berdiri pongah di atas panggung. Dia mengedipkan matanya beberapa kali untuk kembali meminta otaknya menelusuri memori terkait sosok itu—lelaki yang tadi di tatapnya di pintu masuk.
Dia pemain band di sini? Alat musik apa itu yang tengah di pegangnya? Beberapa pertanyaan random mulai bersiliweran di kepala Hinata saat mereka bertatapan untuk sekilas.
"It's bugging me—"
Sayangnya segala pertanyaan absurd itu teralihkan dengan bisikan pelan di telinganya oleh Kiba.
"Grating me, and twisting me around—"
Mengalihkannya dari sosok di atas panggung yang ternyata tak mengalihkan pandangannya dari Hinata meskipun terus bernyanyi dan memainkan alat musiknya.
"Yeah endlessly caving in, and turning inside out—"
Membuat Hinata lengah akan tatapan tajam penuh hasrat dan kegusaran yang berputar di manik kelam lelaki di atas panggung yang terus menyanyikan lirik sarat emosi itu dari gairah terdalamnya untuk Hinata.
"Because I want it now, I want it now… Give me your heart and your soul…"
Membuat Hinata tak menyadari bahwa dia tengah membuat kesalahan yang lebih fatal lagi dari sekedar mengenakan dress seksi malam itu.
Hinata melakukannya. Lagi-lagi. Menyebarkan feromonnya pada orang yang salah. Dan petakanya dia melakukan itu tanpa sadar. Tatapan polos tak terencananya tadi jelas tertangkap sosok itu, membuatnya terlihat seperti iblis wanita penggoda dengan sorot mata natural yang menjerat. Dan haruskah dia diperingatkan dengan akibat yang mungkin akan diperolehkan karena hal itu?
.
.
.
A/n: Dan saya harus menunggu chapter selanjutnya dari saitou-senichi/Kapten Masa Depan untuk bisa melanjutkan ini.
.
.
.
Kutipan serupa dengan milik Sen: "Kritik dan saran selalu diterima."
Adios.
