Hola-holaaa~ I'm coming baaaccck~ *nebar bunga* *digotong seRT* *dicelupin ke rendeman cucian tetangga* Sekarang aku membawa kisah romantis (ceilah) antara Hinata dan Naruto~ Jangan SasuHina mulu, takutnya bosen *dianiaya SasuHina lovers*. Bukan berarti aku udah bukan penggemar SasuHina looh~ Aku salah satu pecinta berat sekali bangetnya SasuHinaa~ Yasud lah, jangan kebanyakan ba to the cot. Silakan membaca dan meripiuu! Cekidooot
Rate:
T+ (semi M 'maybe')
Genre:
Romance
Pairing:
NaruHina, MenmaHina, and Menma(fem)Naru
Disclaimer:
Kishimoto Masashi-sensei, the best animator & mangaka eveeeerrr
So, this is it! Anonymous Hyuuga presents:
.
.
.
.
.
.
"WEIRD TRIPLETS"
Summary:
Berlatar tempat di sebuah sekolah bernama Konoha, aku, Hyuuga Hinata, sang Ketua OSIS yang tidak tegaan pada akhirnya terpaksa harus berhadapan dengan kembar tiga aneh yang mendadak menjadi murid di sekolah ini. Petualangan tak terduga yang terpaksa kujalani sepertinya patut untuk kuceritakan pada kalian.
"Hinata-san, tolong sebarkan pamflet untuk pameran sekolah!"
"Hinata-san, jangan lupa lampu di ruang OSIS belum diganti!"
"Hinata-san, kau di panggil Tsunade-sama!"
"Hinata-san!"
"Hinata-san!"
Ah, seruan-seruan seperti itu tidak bisa dibilang jarang lagi kudengar. Itu sudah menjadi makanan sehari-hari untukku, terutama di saat-saat seperti pameran sekolah, pentas seni, atau pesta olah raga sekolah. Mau tak mau aku harus mendengarkan dan melaksanakan seruan-seruan itu, apalagi aku termasuk orang yang tidak tegaan. Seperti hari ini.
"Hinata-chan, bisa kau tolong aku memasangkan spanduk itu di gerbang sekolah?" tanya Sakura, salah satu pengurus OSIS.
"Ah, maaf Sakura-chan, aku tidak bisa membantumu sekarang, aku ha―"
"Kumohon, Hinata-chan," pinta Sakura dengan pandangan memohon yang membuatku menghela napas dan menyerah. Aku pun membawa spanduk besar, yang sedari tadi ia seret-seret, menuju gerbang sekolah. Padahal masih banyak pekerjaan menumpuk yang belum aku kerjakan. Saat aku tengah bersusah payah membawakan spanduk itu, aku menoleh untuk mencari Sakura, dan menemukan ia tengah berciuman dengan salah satu primadona sekolah, Uchiha Sasuke.
Aku hanya bisa menghela napas dan melanjutkan pekerjaan'ku'.
Aku menaiki tangga sambil membawa-bawa spanduk yang cukup berat itu. Sebenarnya aku cukup takut. Namun ya sudahlah, ini 'kan termasuk dalam 'mandat', jadi aku harus mengerjakannya. Saat aku baru hendak memulai pekerjaanku, tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku, "Hinata-san!"
Karena terkejut, keseimbanganku pun berkurang, sehingga aku terjatuh. Namun, sebelum aku jatuh, seseorang sempat menahan tubuhku sehingga tidak sempat menyentuh tanah. Aku pun mendongak dan melihat Sasuke dengan ekspresi datarnya tengah membantuku. Sekilas, dari ekor mataku, aku melihat Sakura memberienggut saat melihat aku ditolong oleh kekasihnya. Niat jahat pun muncul dari dasar benakku. Aku tersenyum dan berlama-lama memegang lengan Sasuke, seakan-akan sedang berusaha menyeimbangkan tubuh. Bahkan setelah berhasil berdiri dengan sempurna, aku masih memegangnya.
Dengan gaya malu-malu, aku berkata, "A-arigatou, Sasuke-san."
"Hn," tanggapan Sasuke yang sangat amat terlalu singkat itu membuatku kesal sendiri. Cih, mengapa ia tidak membantuku? Pertanyaan bodoh memang. Aku sudah tahu pasti Sasuke akan berpihak pada kekasihnya. Tetapi masa bodoh, yang jelas aku kesal.
"Ada apa, Sai-san?" tanyaku akhirnya, setelah menyibakkan rokku dari debu-debu yang―sebenarnya tidak sempat―menempel.
"Tsunade-sama memanggilmu," ujar laki-laki yang hampir selalu tersenyum itu. Sebenarnya aku bertanya-tanya, apakah senyum itu tulus atau palsu. Namun yang lebih penting untukku, Sai adalah orang yang baik dan cukup bertanggung jawab. Jika kalian bertanya apakah ia salah satu pengurus OSIS, aku akan menjawab tidak. Namun jangan salah, ia lebih rajin dibandingkan pengurus OSIS yang lainnya, sehingga aku sendiri menganggapnya sebagai pengurus OSIS yang lebih tepatnya wakil ketua OSIS-ku.
"Ada apa?" tanyaku lagi. Sebelum aku mengikuti Sai yang sudah mulai berjalan, aku menoleh ke arah Sakura dan tersenyum sambil berkata, "Sepertinya kau dan Sasuke harus berpacaran sambil bekerja, Sakura-chan. Aku permisi dulu!"
Setelah berkata demikian, aku berjalan menyusul Sai yang sudah berjalan cukup jauh di depanku. Aku pun berhasil menyejajarkan langkah kami.
Tanpa kutanya, Sai segera menjelaskan maksud kepala sekolah itu memanggilku, "Ada tiga anak baru yang mulai hari ini akan bersekolah di sini."
Aku mengerutkan kening dan bertanya, "Anak baru? Lalu apa urusannya denganku?"
"Kau 'kan ketua OSIS, Hinata-san," sahut Sai sambil tersenyum.
Dengan heran aku kembali mengerutkan kening, namun tidak bertanya lagi, dan lebih memilih untuk bertanya dalam hati saja. Kami pun akhirnya sampai di ruang kepala sekolah yang terletak di lantai dua gedung sekolah megah ini. Sai mengetuk pintunya, dan kami masuk ke ruangan mewah pribadi milik sang kepala sekolah. Tsunade-sama, sang kepala sekolah, menyambut kami dengan pandangan malas. Ia memberikan isyarat kepada kami untuk duduk di depannya.
"Ada apa, Tsunade-sama?" tanyaku setelah aku dan Sai sudah duduk di depan Tsunade-sama.
"Kupikir Sai sudah memberitahumu," ujar Tsunade-sama sambil melirik sebal ke arah Sai, dan seperti biasa Sai balas dengan senyuman. "Hari ini kita kedatangan tiga orang murid baru."
Penjelasan itu lagi. Aku menghela napas dan kembali bertanya-tanya mengapa aku harus mengurusi kedatangan tiga anak baru itu? Apa yang spesial dari mereka?
"Kau harus memberi sambutan untuk mereka," kata Tsunade-sama lagi.
Aku kembali bertanya. Apa yang spesial dari mereka?
"Mereka adalah anak dari pemilik saham terbesar untuk sekolah ini. Jadi kita harus menghormati kedatangan mereka," jelas Tsunade-sama.
Nah! Jawaban itulah yang aku butuhkan!
"Sebaiknya kau persiapkan kata sambutannya, karena keluarga Uzumaki itu akan sampai di sini dalam waktu dua puluh menit. Kalian boleh keluar."
Penjelasan Tsunade-sama yang terakhir sukses membuat aku membulatkan mata dan menganga karena terkejut. Sai akhirnya menyeret aku keluar dari ruangan kepala sekolah, karena jika tidak demikian, aku sudah dapat dipastikan akan mematung di tempatku duduk tadi.
"Aku akan membantumu membuat kata sambutan itu, Hinata-san. Kau tenang saja," kata Sai, membawa aku kembali ke alam sadar.
Aku sedikit merasa lega mendengar penuturan Sai. Baru saja aku menikmati kelegaanku, tiba-tiba seorang gadis dari arah berlawanan denganku berlari menubruk Sai. Gadis berambut pirang dan bermata biru aquamarine itu adala kekasih Sai. Aku sudah tahu, Ino―gadis itu―pasti akan membawa Sai pergi, dan mengajaknya berduaan.
"Saaaiii-kuuun!" panggil Ino sambil memeluk Sai dari belakang. Aku menghela napas saat melihat Ino mulai menyeret Sai.
Sai menggaruk kepalanya dan tersenyum padaku sambil berkata, "Gomen ne, Hinata-san." Setelahnya, Sai dan Ino menghilang di belokan koridor.
Kepanikan pun menyerbuku. Aku segera berlari dengan kalap ke arah perpustakaan. Dengan panik aku mengambil kertas dan pena dari pojok ruangan perpustakaan yang memang menyediakan beberapa alat tulis untuk dipakai di dalam perpustakaan.
"Selamat hari musik... Ah! Tidak. Bagaimana jika... Selamat menempuh hidup baru... Ah! Memangnya mereka menikah? Tidak tidak tidak. Selamat Natal! Tidak. Selamat... Selamat..." aku bergumam sendiri di sudut perpustakaan. Dengan panik akhirnya aku berhasil menuliskan dua kata utama yang pasti akan mengantarku ke deretan kata berikutnya, 'selamat datang'.
Setelah menghabiskan waktu sekitar lima belas menit, akhirnya aku berhasil menyelesaikan kata sambutan dadakanku. Dengan segera, setelah meletakkan kembali pena, yang tadi kugunakan, ke tempatnya semula, aku segera berlari ke aula utama sekolah yang mulai dipenuhi siswa-siswi yang ribut mempersoalkan siapa yang akan menjadi murid baru itu. Aku menghela napas, berusaha merilekskan diriku yang agak tegang.
"Kau sudah siap?" suara itu membuat aku terlonjak kaget. Dengan mata membulat, aku menoleh ke samping dan mendapati Kakashi-sensei menatapku dengan stoic.
"Aa-ano, eh, s-sebenarnya be-belum siap," kataku dengan jujur sambil terkekeh pelan.
Guru yang terkenal pedophile itu pun tersenyum padaku dan menepuk kepalaku, terkekeh pelan, dan berkata, "Tenanglah, Hinata-chan!"
Pipiku memerah saat mendadak Kakashi-sensei mencubit samar pipiku. Aku pun segera menjerit tertahan, "Seeennsseeeeiii!"
Kakashi-sensei tertawa terbahak-bahak dan pergi meninggalkan aku yang memerah. Sebenarnya aku tidak percaya dengan tuduhan-tuduhan teman-teman perempuanku tentang Kakashi-sensei yang pedofil. Meskipun sudah beberapa kali Kakashi-sensei menggodaku seperti tadi, aku tetap tidak percaya, dan lebih menganggapnya sebagai candaan semata.
"Sudah waktunya!" bisik Tsunade-sama yang tiba-tiba muncul di sebelahku, dan membuat aku sedikit terlonjak kaget.
"H-Hai, Tsunade-sama," kataku. Tsunade-sama pun segera mendorong aku menuju panggung. Dengan enggan aku berjalan tersaruk-saruk menuju panggung. Aku tersenyum salah tingkah saat sudah berdiri di belakang mikrofon. "S-Selamat pa―" aku menelan ludah sebentar dan melanjutkan dengan keceriaan yang berlebihan―terlalu berlebihan, "Koooonnniiicchhiiiwaaa!"
Tawa terdengar di seluruh penjuru ruangan, membuat aku semakin salah tingkah. Aku pun menggaruk tengkuk, berusaha mentralisasi kegugupanku.
"Mungkin sebagian besar dari kita semua sudah mengenal saya, namun pasti teman-teman baru kita belum mengenal saya, jadi saya ingin memperkenalkan diri dulu," kataku. Aku cukup terkejut saat menyadari kegugupanku runtuh seratus persen. Suasana aula utama pun mulai hening, seakan menuntut kelanjutan sambutanku. "Nama saya Hyuuga Hinata, ketua OSIS di sini. Siang ini secara khusus, saya ingin memberikan sambutan kepada tiga teman baru kita, tiga saudara kembar Uzumaki!"
Tak lama setelah kata terakhir yang kusebut, seluruh mata yang ada di aula itu tertuju pada pintu besar aula yang mengarah ke taman belakang sekolah. Lalu, tiga orang asing berwajah pun masuk dengan kilauan cahaya masing-masing yang cukup menyilaukan. Aku menyipitkan mataku untuk melihat mereka.
Dari yang paling kiri, seorang laki-laki berambut hitam. Ia terlihat memesona karena senyuman miringnya yang memikat para gadis yang ada di aula ini. Tampaknya ia adalah satu-satunya yang berambut dan bermata hitam di antara ketiganya. Berikutnya, yang tengah, sosok laki-laki juga dengan badan lebih tinggi dari yang pertama. Laki-laki itu terlihat menyenangkan. Senyumannya sangatlah ramah, dan membuat semua orang―laki-laki maupun perempuan―yang menatapnya terpesona dan terpikat olehnya. Pemuda itu berambut kuning seperti yang terakhir. Yang terakhir, yang paing kanan, adalah satu-satunya perempuan yang ada di antara mereka. Rambut kuning panjangnya yang diikat dengan model twin tail bergoyang-goyang seirama gerak langkahnya. Senyuman angkuhnya membuat laki-laki manapun yang melihatnya akan terjerat dalam pesona gadis itu.
Tak lama kemudian, mereka sampai di dekat panggung, dan segera naik.
"Em, teman-teman Uzumaki, kami persilakan untuk memperkenalkan diri," ujarku sembari tersenyum manis. Kulihat salah satu dari kembar Uzumaki yang berambut hitam menatapku dengan sorot 'menginginkan' yang membuatku sedikit tidak nyaman. Kemudian mereka pun maju ke belakang mikrofon dan memperkenalkan diri mereka masing-masing.
"Konnichiwa, namaku Uzumaki Menma. Yoroshiku!" kata si laki-laki berambut hitam. Terdengar jeritan kagum dari para siswi Konoha Gakuen.
"Hajimemashite. Aku Uzumaki Naruko. Yoroshiku!" kata si perempuan sambil menebar senyuman angkuhnya, membuat para siswa berteriak menyerukan namanya.
"Konnichiwa, mina! Aku Uzumaki Naruto! Douzo yoroshiku!" kata yang terakhir dengan semangat dan senyuman ramah yang menyenangkan. Kemudian, hampir seluruh siswa dan siswi menjerit saat melihat Naruto tersenyum. Memang ialah yang terlihat paling menonjol dan ramah.
-ooo-
"Gomen, Kakashi-sensei, aku telat!" seruku saat baru membuka pintu kelas. Karena pekerjaan yang menumpuk, aku telat masuk pelajaran bahasa Inggris, kelas si 'Guru Pedofil'.
Kakashi-sensei menghela napas dan memperbolehkan aku masuk ke kelas. Aku pun menutup pintu dan hendak berjalan ke tempat dudukku.
"Sudah sana kau duduk," kata Kakashi-sensei sambil mencubit pipiku seperti saat tadi di aula.
Dan seperti tadi pula, aku menjerit tertahan, "Seeeeennnsseeeeeii!"
Seisi kelas tertawa melihat tingkah kami berdua. Lalu, aku memalingkan wajahku ke tempat dudukku, namun segera mengerutkan kening karena heran melihat tempat dudukku sudah ditempati oleh Menma, si anak baru.
Jadi ia di kelas ini?
"Kakashi-sensei, itu tempatku!" kataku kepada Kakashi-sensei sambil menunjuk tempat yang diduduki Menma.
Kakashi melihat ke arah yang aku tunjuk. Aku melihat Kakashi-sensei tampak bingung. Yah, aku mengerti. Ini semua karena Menma dan dua saudara kembarnya adalah anak pemilik saham terbesar sekolah ini, jadi setiap guru bahkan kepala sekolah tidak dapat memperlakukan mereka seperti memperlakukan murid-murid yang lain.
"Kau duduk di tempat lain saja," kata Kakashi-sensei setelah menimbang-nimbang. "Di sudut sebelah meja itu 'kan ada tempat kosong."
Aku mendengus kesal dan mulai berjalan ke meja yang ditunjuk oleh Kakashi-sensei. Mau tak mau aku harus melewati Menma jika ingin ke tempat itu, sehingga aku dapat melihat laki-laki itu melihatku dengan pandangan yang sama dengan yang waktu itu. Namun aku hanya memalingkan wajah. Sebelum aku sampai di meja itu, Menma menahan gerakanku dengan memegang pergelangan tanganku.
"Kakashi-sensei, suruh bocah tukang tidur ini saja yang pergi," kata Menma seraya mengedikkan dagu ke arah Shikamaru yang tengah meletakkan kepalanya di meja. Laki-laki malas itu pun mendongak dan menatap sekelilingnya dengan heran.
"Ada apa?" tanya Shikamaru dengan malas, lalu menguap.
"Shikamaru, kau pindah tempat duduk di sana, ya?" kata Kakashi-sensei sambil menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya, dan menunjuk ke meja yang tadi sempat menjadi sasaran kepindahanku.
Shikamaru menoleh ke belakang, lalu ia kembali melihat ke depan dengan cengiran lebar.
"Dengan senang hati," kata Shikamaru sambil merapikan barang-barangnya, dan berjalan ke meja yang terletak di pojokan kelas itu. Terang saja Shikamaru senang duduk di sana, karena tempat itu adalah tempat yang sangat strategis untuk tidur. Meskipun tak ada guru yang memprotes kegemaran tidurnya―karena IQ-nya yang melebihi rata-rata, Shikamaru tetap saja merasa tidur di pojokan adalah yang paling menyenangkan.
"Duduklah di sini," kata Menma seraya bergeser ke bekas tempat Shikamaru. Ia menepuk-nepuk tempatnya yang tadi, menyuruh aku duduk di situ. Dengan agak ragu-ragu, akhirnya aku memposisikan diriku duduk di sana setelah sebelumnya memasukkan tas selempangku ke laci meja.
"Ayo kita mulai lagi pelajaran kita," kata Kakashi-sensei sambil memutar tubuh kembali menghadap papan tulis.
"Kau ketua OSIS ya?" tanya Menma setengah berbisik.
Aku spontan menoleh ke arahnya, dan dapat melihat dengan jelas Menma mengeluarkan smirk andalannya, dan juga tatapan menggoda yang tak sanggup diterima oleh sebagian besar gadis.
"A-ah, i-iya," jawabku salah tingkah. Kurasakan pipiku memanas saat ini. Bagaimana tidak? Tangan Menma mulai memainkan ujung rambut indigo panjangku, dengan wajahnya yang sangat dekat dengan wajahku.
"Kau manis sekali, Hinata-chan. Begitu 'kan namamu?" kata Menma lagi. Aku tak sanggup menjawab dan hanya mengangguk dengan gugup. "Istirahat nanti, makan sianglah denganku," ujar Menma lagi dengan bisikan yang sangat menggoda iman.
Hah? Apa-apaan ini? Menma dengan mudahnya mengajak aku makan siang bersamanya! Berduaan pula. Apa yang harus kujawab? Sebenarnya, selama aku menjadi ketua OSIS Konoha gakuen, sudah cukup banyak laki-laki yang mengajakku makan siang bersama mereka. Namun tentu saja aku tolak karena aku—meskipun tidak tegaan—adalah orang yang cukup pemilih. Aku tak ingin kejadian saat itu terulang lagi. Kejadian di mana Uchiha Sasuke mengajak aku makan siang bersamanya, dengan gayanya yang kaku dan dingin itu, namun akhirnya aku berakhir menjadi sasaran empuk amukan Haruno Sakura, yang pada saat itu belum menjadi pacar Sasuke, karena aku menerima ajakan Sasuke dengan mudahnya.
Namun, sekarang situasinya berbeda. Menma adalah anak pemegang saham terbesar sekolah ini. Bagaimana jika aku menolaknya dan ia membuat aku menyesal seumur hidup? Bisa saja 'kan, Menma meminta Ayahnya memutus kerjasama dengan sekolah, sehingga sekolah ini bangkrut, lalu Menma melapor bahwa yang menyebabkan adalah aku, sehingga aku menjadi tersangka 'pembangkrutan' sekolah?
Hah, di luar sikap pemilihku, mengingat Menma adalah orang yang cukup berpengaruh di sini, dan mengingat aku adalah orang yang tidak tegaan, akhirnya aku pun membuat keputusan.
"Baiklah," ujarku lemah sambil mengangguk pelan.
Samar-samar aku dapat melihat Menma tersenyum lebar. Sangat puas dengan jawabanku.
Bodohnya kau Hyuuga Hinata.
-ooo-
Tiga jam sudah berlalu sejak Menma mengajak aku 'berkencan' saat jam makan siang. Tiga jam artinya bel istirahat berbunyi. Kepanikan mulai menyerangku. Ah, bagaimana aku harus menghadapi Menma yang sebentar lagi akan makan siang bersamaku? Bagaimana pula aku menghadapi penggemar-penggemar wanita Menma yang sudah barang tentu melihat sinis ke arahku? Aku pun akhirnya membulatkan tekadku untuk berpura-pura lupa soal janji itu.
Sialnya, Menma tidak lupa soal janjiku. Terbukti dari caranya menahan aku yang hendak meninggalkan ia ke luar kelas.
"Hey, ingat janjimu, Hinata-chan," kata Menma sambil tersenyum miring. Ia mengambil kotak makannya dan menghampiriku.
"Aah, i-iya. Hampir saja aku lupa," sahutku sambil tertawa canggung. Menma pun tersenyum maklum dan mulai menggandeng aku untuk berjalan ke kantin bersamanya. Aku melirik sembunyi-sembunyi ke arah tangannya yang sudah menggenggam erat pergelangan tanganku. Aku merapalkan doa dalam hati, berharap siswi Konoha yang melihat kami bergan—erh, maksudku, Menma menggandengku, tidak membenciku.
Namun lagi-lagi aku salah. Sebagian dari para siswi melihat sebal ke arahku. Sebagian lagi terlihat iri dengan memandang sinis ke arahku. Dan sebagian sisanya terlihat histeris karena kecemburuan hingga menangis. Tapi tak sedikit pula yang tidak menghiraukan keberadaanku, dan hanya menjerit histeris karena sang primadona baru sekolah berjalan melewati mereka.
Aku mencuri-curi pandang ke arah Menma, dan melihatnya tersenyum angkuh sambil sesekali mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda para gadis yang memandang kagum ke arahnya. Dan aku hanya menghela napas pasrah.
Kami pun akhirnya sampai di kantin yang sudah mulai ramai akan siswa-siswi Konoha gakuen. Beberapa pasang mata melihat kedatangan kami berdua dengan berbagai ekspresi, membuat aku menunduk tidak percaya diri.
"Wah, ketua OSIS cocok ya dengan Menma?"
Dapat kurasakan wajahku memanas saat aku mendengar seorang siswi berkata demikian. Berbagai celetukan pun juga berhasil membuat aku memerah.
"HinaMenma! Yuhuu!"
"Kyaaa! Mereka tampak berkilauan! Seperti lukisan!"
"Aku iri dengan Menma-san. Padahal sudah beberapa bulan aku mendekati Hinata-chan, namun tidak mendapatkannya. Tetapi Menma-san bisa mendapatkannya dengan mudah! Huwaaa!"
"Menma, kau sudah dapat pacar saja di hari pertamamu!"
"Ah, lega aku akhirnya Hinata-san mendapatkan pacar juga!"
"Selera ketua OSIS tidak main-main ya?"
Menma lagi-lagi tidak menanggapi dan hanya tersenyum miring sambil mengedipkan satu matanya. Tiba-tiba langkah Menma berhenti, sehingga otomatis aku juga berhenti berjalan.
"Hey Menma. Cepat sekali kau mendapatkan gadis!" ujar orang yang dapat kulihat sedang berdiri di depan kami. Aku pun mendongak dan mendapati Naruto—saudara kembar Menma—tengah menatap Menma dengan pandangan yang tak dapat kuartikan. Lalu laki-laki itu mengalihkan perhatiannya kepadaku. Ia tersenyum sambil memandangku dari bawah ke atas, lalu berkata, "Ketua OSIS pula."
"Tak suka saja kau, Naruto. Minggir, aku ingin lewat!" tukas Menma cepat sembari mengibas-ngibaskan tangannya.
Kulihat Naruto mengangkat bahu dan menepi untuk membiarkan kami berdua lewat. Sekilas aku dapat melihat Naruko berdiri di sebelah Naruto sambil melihat aku dengan pandangan aneh yang membuat perasaanku tidak nyaman.
Akhirnya Menma pun mendapatkan tempat yang menurutnya pas untuk kami berdua. Tempat di pojok ruangan, di depan sebuah jendela besar yang menghadap ke taman. Sebenarnya ini adalah tempat favoritku. Aku sering makan di sini jika sedang istirahat.
"Kita makan di sini saja, ya? Kau suka tempat ini 'kan?" tanya Menma sambil tersenyum ramah padaku.
"I-iya. A-ano, i-ini memang tempat favoritku," sahutku sambil membalas senyuman Menma dengan senyum canggung.
"Oh begitu, ya?" tanya Menma. Ia membuka kotak bekalnya. Aku memandangnya dengan pandangan aneh, karena tak biasanya anak laki-laki membawa bekal. Seakan mengerti apa yang kupikirkan, Menma mendongak menatapku dan berkata, "Ibuku selalu membiasakan aku dan kembaranku untuk berhemat."
Aku mengangguk mengerti, dan mulai membuka juga kotak makanku.
Sepanjang kami makan, Menma selalu melontarkan pertanyaan kepadaku. Mulai dari yang mendasar, dari di mana aku tinggal, hingga ke hal yang sedikit tabu, seperti apakah aku masih perawan atau tidak. Aku tak menjawab pertanyaan itu dan hanya menunduk malu, dan Menma tertawa terbahak-bahak saat melihat tanggapanku.
"Kau polos sekali, Hinata-chan! Aku suka gadis polos," ujarnya sambil mengusap pipi kiriku, membuatnya semakin memanas. "Tidak seperti Naruko-chan. Ia tidak polos," lanjutnya. Ia pun mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik, "Ia hentai, lho!"
Aku terkikik mendengar penuturan Menma. Lucu saja, ada orang yang memberitahukan orang lain tentang aib kembarannya sendiri. Aku melihat Menma nyengir melihat aku tertawa, sehingga aku berdeham dan memperbaiki ekspresiku.
"Kau manis sekali jika sedang tertawa!" serunya cukup keras dengan jurus flrty-nya. Seisi kantin pun melihat kami, tetapi masih melanjutkan obrolan mereka. "Kau harus jadi pacarku, Hinata-chan!" serunya lagi. Kali ini seisi kantin melihat ke arah kami dalam keheningan, sedangkan wajahku memerah sempurna. "Jadilah pacarku. Hari ini juga!"
To be continued.
Chapter pertama gausah seru-seru deh ya :/ wkakakak~ nanti abis ripiuannya banyak, aku apdet lagi yang (mungkin) lebih seru xD Keep reading, minna! Arigatou!
Never stop trying to be better, and better.
-Anonymous Hyuuga-
Itte kimasu! *ngilang*
