Sendirian didalam kegelapan. Ingin merasakan kehangatan, namun sendiri. Ingin mencintai tapi tak dicintai. Kenapa semua orang selalu menatap benci padaku. Semua tatapan orang-orang terhadapku sama. Dan itu sangatlah menyakitkan.
Tegar.
Hanya itu yang bisa kulakukan. Berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Berusaha akan diri sendiri untuk tetap tersenyum. Meskipun tatapan itu semakin menarikku kedalam kegelapan. Meskipun aku tak mengingat hal sebenarnya. Aku ingin mengingatnya, agar ia tidak bersedih. Aku bahagia saat ia bahagia.
Memories
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Rate : T
Pairing : SasuNaru
Warning : AU, Abal, Gaje, Ancur, Alur gak jelas, OOC, Shounen-ai, dll.
Pagi ini, aku sekolah seperti biasanya. Dan seperti biasa pula aku harus menaiki bus yang sangat penuh dengan orang-orang yang ingin berangkat kerja. Ugh... sesak dan panas. Tapi kalau tidak begini aku ke sekolah dengan cara apa lagi, jalan kaki? Tentu saja tidak akan pernah aku mau berjalan dari rumah menuju sekolah. Aku masih sayang dengan kaki berkulit tan mulusku ini.
Aku harus bersabar dan berdesak-desakan dengan penumpangan lain selama 30 menit yang kemudian terbebas karena aku sudah turun dari bus menyusahkan itu. Setelah turun dari bus, aku masih harus berjalan selama 5 menit menuju gerbang sekolah. Kalau ditanya lelah, tentu saja. Setiap hari harus melakukan hal yang sama seperti itu. Tapi tak apa, asalkan dimasa depan nantinya aku akan menjadi orang sukses dan hanya tinggal duduk bersantai saja.
Bruuk
'Aish... kasar sekali ibu itu. Berjalan menubruk seperti itu,' ringisku mengelus bahuku yang baru saja bertubrukan dengan ibu-ibu.
Aku pun melirik kemana arah ibu-ibu itu pergi. Ternyata ada obral sayuran disana. Pantas saja ibu itu jadi seperti itu. Dasar ibu-ibu.
'Hm... dompet? Punya siapa?' pikirku seraya memungut sebuah dompet yang tergeletak begitu saja dikakiku.
"Dompetku! Dompetku hilang!" teriak seorang ibu-ibu.
Aku pun menoleh ke arah suaru itu dan mendapati ibu-ibu yang tadi menabrakku tengah mencari-cari dompetnya. Aku pun menghampirinya dan hendak mengembalikan dompetnya. Ketika aku mendekatinya, ibu-ibu itu pun menolah dan memperhatikan dompetnya yang berada digenggaman tanganku yang terulur padanya. Dengan cepat ibu itu menyambar dompetnya dan berteriak,
"Kau mengambil dompetku saat bertabrakan denganku tadi 'kan! Dasar anak muda sekarang, tidak tahu diri!"
Tidak terima dengan ucapan ibu itu aku pun berkata,
"Maaf bu, aku hanya bermaksud baik dengan mengembalikan dompet ibu yang tadi terjatuh," jelasku.
"Bermaksud baik? baik apanya? Lihat penampilanmu, rambut pirang urakan seperti itu, seperti berandalan saja. Berarti orang tuamu sangatlah bodoh karena mengasuhmu hingga seperti in-"
"DIAM!" teriakku.
Seketika keadaan yang semula riuh menjadi sepi. Kutatap mata ibu itu menunjukan keterkejutan dan... ketakutan. Kesal. Ingin sekali kupukul, tapi aku masih menahan diriku. Kata-kata ibu itu, sungguh..
"Saya tahu penampilan saya ini urakan. Terserah Ibu ingin mengatai saya apa tapi saya peringatkan, jangan pernah sekali-kali mengatai orang tua saya! Meskipun saya tak pernah mengingat saat-saat bersama mereka. Tapi aku tahu... mereka adalah orang tua yang baik. Permisi," ucapku yang kemudian pergi meninggalkan ibu itu yang sekarang tampak memucat dan terdiam.
Sungguh. Yang kuinginkan hanyalah hari-hari yang seperti biasa. Aku tidak mau mengawali hariku dengan hal seperti ini. Sudah cukup dengan tatapan benci orang-orang sekitar rumahku. Sudah cukup dengan semua kebencian itu. Aku sudah muak.
"Hei, Naruto! Kenapa pagi-pagi begini sudah cembetut?" tanya temanku yang tiba-tiba saja mendorongku dari belakang hingga hampir membuatku jatuh dengan tidak elit.
"Kenapa kau mendorongku seperti itu, Kiba! Cembetut? Aku tidak cembetut kok," ucapku berusaha menampilkan senyumku sebaik mungkin dihadapannya. Aku tak ingin siapa pun tahu semua kesedihanku.
"He he he, oh ya, Naruto, hari ini apa kau mau per-"
KYYAAA... KKYYAAA... SASUKE-KUN...
Teriakan para gadis itu pun dengan cepat memotong omongan Kiba. Dari arah kerumunan para gadis yang sudah menciptakan polusi suaru itu, terlihat sebuah mobil mewah berhenti yang disusul munculnya sosok pemuda tampan dan teriakan para gadis itu semakin keras saja.
"Ih.. si Uchiha dan penggemarnya itu, mengganggu pagi yang tenang saja. Aku heran kenapa para gadis begitu tergila-gila padanya? Ya... ku akui dia itu tampan, tapi kenapa gadis itu bisa sampai berteriak seperti itu? menyebalkan," gerutu Kiba. Mendengar ucapannnya itu aku hanya bisa tertawa.
"Ha ha ha, bilang saja kau iri dan ingin dikerumuni oleh gadis-gadis juga 'kan? Aku tahu kenapa dia bisa digilai oleh banyak gadis," ucapku yang disusul tatapan ingin tahu milik Kiba.
"Apa, apa, apa?"
"Rambut pantat ayamnya! Wahahahaha dia itu 'kan si Teme Pantat Ayam," ucapku dengan tertawa cukup keras. Sedangkan Kiba, saat ini menampakan tatapan horor.
Tunggu.. horor? Kenapa horor? Memangnya ucapanku ini menyeramkan? Menurutku lucu. Atau jangan katakan kalau...
"Sudah puas mengataiku, Dobe!"
Mendengar suara itu, aku pun menolehkan kepalaku. Gawat! Si pantat ayam marah!
"Eh... Sasu-teme, ah, bukan, maksudku Sasuke. Ke, kenapa kau ada dibelakangku?" tanyaku gugup yang hanya dijawab oleh keheningan. Melihat aura tak menyenangkan dari belakang si Teme, aku pun memutuskan untuk lari saja.
"Kiba, aku duluan ya, ada keperluan mendadak!" ucapku yang segera mengambil langkah seribu.
Namun langkah seribu itu terhenti. Sebuah tangan melekat kuat di lenganku.
'Mati aku,' pikirku kemudian menoleh kearah orang yang menarikku.
"A, ada apa, Sasuke?"
Tanpa dijawab sepatah kata pun, aku ditarik olehnya meninggalkan Kiba yang hanya menatapku yang seakan berkata "Semoga kau tidur dengan tenang" yang dibalas oleh tatapanku yang menggambarkan "Kiba tolong aku"
Tidak terima diseret-seret seperti ini, aku pun mengamuk.
"Hei, Teme... jangan seret-seret dong..."
Sasuke pun terhenti dan menatapku. Kemudian dia mendekatkan wajahnya padaku. Semakin dekat... dekat... dekat...
"Teme! Apa-apaan sih kamu?" teriakku dengan kedua tangan menjauhkan wajahnya.
Sasuke pun menggenggam tanganku dan melapaskannya dari wajahnya.
"Belum ingat?" tanyanya singkat.
Mendengar pertanyaan itu, aku terdiam menunduk. Aku pun menggelengkan kepalaku pelan. Kulihat Sasuke pun menghela nafas. Kemudian menarikku kembali.
"Maaf," lirihku.
"Hn."
Hanya itu jawabannya. Aku sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku ingin berusaha mengingatnya, tapi entah mengapa aku tak bisa. Aku tak tahu apa yang kulupakan. Hal buruk? Atau baguskah... aku tidak tahu.
Yang aku ingat terakhir hanyalah, ia, Sasuke, memelukku erat dengan tangan dingin dan tubuh berlumuran darah. Aku...
Tbc
Kenapa aku selalu bikin fic yang aneh? Arrghh... (frustasi)
Apakah cerita ini buruk? Ancur? Gak jelas? Apa sebaiknya jangan dilanjutkan saja?
Terima kasih sudah mau membaca fic gak jelas ini :)
Bila tidak ada yang menginginkan fic ini dilanjut, juga tak apa-apa... #merenung dipojokan
Sekali lagi, terima kasih... XD
