The Promise
.
.
.
Summary : Shikamaru tak pernah menduga kalau perjalanannya ke Yerusalem akan membuka lembaran baru dalam hidupnya. Apa saja pengalaman mengesankan yang dialami Shikamaru di kota yang dianggap suci oleh tiga agama tersebut? Ino-Shika-Sai friendship. Bad at summary. AU. Islamic Content.
Disclaimer : All characters belongs to Masashi Kishimoto. I own nothing except the plot :)
A/N : Bismillahirrahmanirrahiim. Alhamdulillah, akhirnya bisa publish fic yang Insya Allah akan dibuat multi chapter :) Semoga bisa rampung dan bisa memuaskan reader sekalian. Aamiin.
Kali ini saya mengambil tema yang agak berat dari yang biasanya, yaitu tentang konflik Israel-Palestina.
Dalam fic ini, saya berusaha untuk TIDAK memBENARkan agama saya dan TIDAK meNYALAHKAN agama yang lain. Jadi, pihak Israel yang menyerang Palestina saya sebut disini sebagai penjajah (TIDAK menjurus pada agama tertentu seperti Yahudi, Nasrani atau yang lainnya)
AU dengan Jepang sebagai negara yang seperti Indonesia (maksudnya negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam) Sudah disebutkan juga di summary tentang Islamic Content :)
Warning: Alur cepet, OOC, gaje, abal, ide cerita mainstream, ngasal dan masih banyak kekurangan disana-sini. Mohon koreksi saya kalau ada kesalahan penulisan fakta atau apapun, Insya Allah akan segera diperbaiki. Jazakumullah khairan katsiran. Enjoy reading minna-san :)
.
.
.
"Hoaaammm." Shikamaru menguap lebar, berusaha mendinginkan temperatur otaknya yang memanas lantaran berkutat dengan setumpuk naskah yang harus selesai ia periksa sebelum akhir minggu.
Profesinya sebagai editor membutuhkan ketelitian dan pengetahuan tata bahasa yang mumpuni.
Kendati demikian, Shikamaru cukup menikmati pekerjaannya tersebut karena hampir keseluruhan waktunya, ia habiskan di belakang meja. Tak perlu repot-repot ke luar ruangan, apalagi ke luar kantor.
Shikamaru melirik arloji analog yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Pukul tiga sore. Masih terlalu awal untuk pulang ke rumah. Lagipula Shikamaru memang berniat lembur hari itu.
Dia masih harus menyunting beberapa naskah dari rubrik food and travel dan bermaksud merampungkannya malam ini juga agar besok ia bisa punya waktu lebih senggang untuk mempersiapkan perjalanan dinasnya.
Ini adalah perjalanan dinas pertama bagi Shikamaru setelah ia bekerja di Suna Daily selama hampir lima tahun. Bukan. Shikamaru bukannya tak pernah ditawari untuk melakukan perjalanan dinas sebelumnya.
Hanya saja, pemuda yang genap berusia dua puluh empat tahun pada bulan September lalu itu tidak terlalu suka bepergian karena menurutnya melakukan perjalanan jauh adalah hal yang merepotkan.
Sebenarnya kali ini pun ia menolak. Tapi, sifat keras kepala yang diwarisinya dari sang ibu, sepertinya tidak berpengaruh pada Gaara, sang CEO muda yang terkenal dingin dan sulit diajak kompromi yang menggantikan posisi pamannya sebagai pemimpin Suna Daily sejak setahun lalu.
"Konflik Israel-Palestina kian memanas akhir-akhir ini. Kericuhan terjadi di berbagai wilayah, salah satunya di kawasan Masjid Al-Aqsa di Yerusalem," cetus Gaara tanpa berbasa-basi.
"Kita akan meliput bentrokan yang terjadi di kawasan itu." Setelah itu, Gaara pun langsung memaparkan tujuannya pada rapat dadakan selepas waktu maghrib beberapa hari yang lalu.
Satu hal yang disukai Shikamaru dari Gaara adalah karena pemuda kurus itu selalu berpikir dan bekerja cepat namun efisien.
"Aku sudah menyelesaikan semua urusan birokrasi agar kita bisa memasuki kota Yerusalem dengan leluasa," lanjutnya. Tuh kan.
"Aku juga sudah menentukan siapa yang akan pergi ke Yerusalem." Gaara memilah-milah dokumen di tangannya. "Yamanaka Ino, Nara Shikamaru dan Sai."
Semua orang yang berada di ruang rapat termasuk Shikamaru membeliak kaget mendengar nama sang chief editor turut disertakan dalam tugas peliputan kali ini.
"Keputusanku sudah final. Silahkan tanya apa saja yang tidak berkaitan dengan orang-orang yang aku tugaskan ke Yerusalem," tukasnya.
Belum sempat Shikamaru mengajukan protes, Gaara sudah mengeluarkan dekrit mutlak yang tak kuasa dibantah siapa pun.
Shikamaru telah memperkirakan kalau beradu argumen dengan seorang pemuda cerdas seperti Gaara, pasti akan sangat menguras tenaga. Maka dari itu, ia pun menerima keputusan Gaara, walau dengan setengah hati.
"Toh, aku tak pergi sendirian. Mungkin aku bisa menyuruh Sai untuk membawakan barang-barangku dan menyuruh Ino menyiapkan makananku selama berada di Yerusalem agar tak terlalu merepotkan." Egoisme Shikamaru mulai meracuni pikirannya.
Shikamaru pun berencana menyelesaikan semua pekerjaannya pada Kamis malam agar ia bisa terbang ke Yerusalem pada Jum'at sore tanpa dibebani tugas kantor yang belum kelar.
Dia menatap malas ke onggokan map yang berserakan memenuhi hampir seluruh mejanya.
"Sepertinya aku butuh secangkir caffeine," gumamnya sembari melangkah gontai menuju pantry kecil di sudut ruangan seluas lapangan basket yang ia tempati bersama para jurnalis senior termasuk Sai dan Ino.
"Hayooo! Kau sudah minum berapa cangkir kopi hari ini, Shika?" Sai menepuk bahu Shikamaru ketika keduanya bertemu di pantry.
"Bukan urusanmu." Shikamaru menyahut cuek seraya menambahkan tiga sendok teh gula pasir ke dalam kopi hitamnya.
"Ini sudah cangkir ketiganya sepanjang hari ini," timpal gadis berambut pirang yang datang dari arah kiri dengan membawa mug kosong yang hendak diisinya dengan cairan yang sama.
"Wuuaah. Kau akan terkena serangan jantung kalau terus seperti ini." Sai memperlihatkan ekspresi kekhawatiran yang tak dibuat-buat.
Walaupun pemuda berkulit pucat itu benar-benar mencemaskan kesehatan rekan kerjanya, tapi karena mimik wajahnya yang selalu mengundang keraguan, Shikamaru jadi tak yakin apakah Sai berkata dengan tulus atau hanya berpura-pura.
"Hidup dan mati itu urusan Allah," sergah Shikamaru, hendak kembali ke tempatnya.
"Memang sih. Tapi apakah kau sudah mempersiapkan diri untuk menyambut kematianmu kelak?"
Kelopak mata Shikamaru melebar ketika mendengar pertanyaan sederhana namun menohok hati yang kerap dilontarkan pemuda klimis tersebut.
Shikamaru mengakui kalau dia tidak seperti pemuda yang bernama asli Saifuddin itu, yang rajin sembahyang dan mengaji serta berpuasa Senin-Kamis.
Kalau Sai selalu beranggapan bahwa dengan rajin mengerjakan urusan untuk akhirat akan memudahkan urusannya di dunia, Shikamaru beralasan kalau antara urusan dunia dan akhirat haruslah seimbang.
Namun, akhir-akhir ini, entah kenapa Shikamaru merasa kalau ia lebih condong pada perkara dunia dibanding akhirat. Dia pun menghela napas lesu.
Shikamaru menggaruk rambut belakangnya. "Urus saja persiapan untuk kematianmu sendiri, Sai. Aku sedang tak berminat mendengar ceramahmu," selorohnya sambil melangkah meninggalkan pantry.
"Oh, bagus sekali, Sai. Kau memang ahli dalam hal menjungkir-balikkan suasana hati seseorang." Ino melayangkan tatapan tak suka pada pemuda bersurai hitam itu.
Mendengar pembelaan Ino terhadap Shikamaru, Sai tersenyum layaknya boneka. "Terima kasih," ucapnya.
"Aku tidak sedang memujimu tahu!"
"Aku tahu kok kalau kau sedang tidak memujiku, Yamanaka-san. Aku berterima kasih karena kau sudah memberitahu kesalahanku." Jawaban Sai membuat Ino ternganga.
"Semoga Allah SWT menunjukkan ampunanNya kepada siapa pun yang tak ragu mengatakan padaku akan kesalahanku. Aamiin." Sai mengutip ucapan Sayyidina Umar bin Khattab (ra) sebelum meninggalkan pantry.
.
.
.
"Jam berapa sekarang?" Shikamaru mengucek kedua matanya dan berusaha bangkit dari tempat tidurnya walau mata sipitnya masih belum membuka sempurna.
"Hampir pukul lima pagi," jawab Sai yang baru saja selesai membaca wirid pagi hari dengan lirih untuk berjaga-jaga agar tidak menimbulkan masalah yang nantinya malah menyulitkan rekan-rekannya.
"Kau sudah melewatkan tiga puluh menit waktu Subuh," imbuhnya seraya menyerahkan sajadah kecil pada Shikamaru yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri dan berwudhu.
"Mestinya kau membangunkanku." Shikamaru menyahut cuek sembari menurunkan lipatan celananya hingga menutupi mata kaki. Pemuda itu kemudian beralih kembali pada Sai, menanyakan arah kiblat.
"Maaf, Shika. Kau terlihat sangat lelah. Aku tak tega membangunkanmu," katanya sambil menunjuk ke arah jendela hotel.
"Jadi, kau lebih tega membiarkanku masuk neraka, huh?"
"Haha. Kalau kau masuk neraka karena masalah ini, maka aku juga akan menemanimu, Shika." Sai terkekeh.
Shikamaru memilih untuk tidak melanjutkan perbincangan perihal neraka dengan Sai dan segera menunaikan kewajibannya sebanyak dua raka'at.
Adzan tidak berkumandang, atau lebih tepatnya tidak terdengar dari hotel tempat mereka menginap yang berada tak jauh dari Kota Tua Yerusalem.
Mereka tiba di bandara Ben Gurion di kota Tel Aviv pukul delapan malam dan langsung menaiki bus untuk mencapai kota Yerusalem sebelum pagi tiba.
Tak disangka, halte terakhir yang dituju oleh bus yang mereka tumpangi ternyata berada di dekat perbatasan antara pemukiman Yahudi dan Nasrani. Sehingga adzan tak berkumandang terlalu keras demi ketertiban umum.
Namun Sai tak kehilangan akal. Dia memang telah memasang aplikasi waktu shalat dan arah kiblat di ponsel pintarnya yang sengaja ia siapkan untuk kondisi semacam ini.
Sai sangat excited dengan misi peliputan ke Yerusalem karena dia akan mengunjungi kota suci ketiga umat Muslim setelah Mekah dan Madinah serta melihat dari dekat, Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama bagi umat Islam untuk beribadah sebelum dipindahkan ke Ka'bah.
"Kapan lagi bisa berwisata rohani tanpa mengeluarkan biaya dari dompet pribadi?" Begitulah pemikirannya.
Tapi jangan salah sangka. Soal profesionalisme, Sai bisa disandingkan dengan Shikamaru maupun Ino. Tak heran ketiganya kerap kali diundang dalam rapat yang melibatkan jajaran direksi.
Berbeda dengan Shikamaru yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tidur sepanjang perjalanan mereka menuju Yerusalem. Sepertinya pemuda itu tak bersemangat sama sekali dengan perjalanan dinasnya.
Sai menyenandungkan puji-pujian nan syahdu untuk Allah dan RasulNya sembari ia memasukkan semua keperluannya untuk reportase kedalam ransel.
Raut kegembiraan terpancar jelas dari wajah beningnya. Seperti akan bertemu dengan seseorang yang dikasihi dan dirindukannya.
"Kau itu sepertinya senang sekali datang kesini," ujar temannya yang berkuncir tinggi yang masih belum mempersiapkan apapun.
Shikamaru meraih sebungkus rokok yang tergeletak di nakas di samping tempat tidurnya, mengeluarkan sebatang rokok lantas menyalakannya dengan pemantik gas.
Sai tak membalas ucapan Shikamaru. Sebagai gantinya, ia menghadiahi pemuda itu seulas senyuman yang tak sengaja ia pelajari dari manga shoujo milik kakaknya. Shikamaru kontan memalingkan wajah, entah kenapa perasaannya jadi tak enak.
"Akan lebih nikmat bila ditambah secangkir kopi," katanya pada diri sendiri. Tapi Shikamaru harus mengubur dalam-dalam keinginannya tersebut karena mereka tidak menginap di hotel bintang lima dengan fasilitas layanan kamar.
Daripada disebut hotel, bangunan letter U yang mereka tempati selama berada di Yerusalem itu, bisa dikatakan seperti rumah kontrakan berlantai tiga dengan dua belas kamar di setiap lantai.
Sai dan Shikamaru menyewa satu kamar, sementara Ino menyewa kamar di sebelah mereka di lantai teratas gedung itu.
"Tok. Tok. Tok. Tok. Tok." Terdengar seseorang mengetuk pintu kamar mereka dengan gelagat terburu-buru.
Sai mengintip dari lubang pintu untuk mengetahui siapa yang datang dan bergegas memutar kenop pintu.
"Kupikir kalian belum bangun." Ino langsung nyelonong masuk begitu Sai membukakan pintu untuknya.
Tatapan kedua rekan kerjanya malah tertambat pada bungkusan makanan ringan dan tiga cangkir minuman yang dibawa gadis itu.
"Aku bawakan sarapan untuk kalian." Ino menyerahkan bungkusan kertas berisi aneka macam roti pada Sai.
Gadis itu menghampiri Shikamaru, lalu duduk di sampingnya. "Kopi hitam dengan tiga sendok gula," katanya pada pemuda bermata sipit tersebut. Shikamaru lantas mengucapkan terima kasih.
"Aku tak menemukan teh tarik disini. Kuharap kau tak keberatan dengan earl grey tea." Ino menyerahkan cangkir lainnya pada pemuda yang duduk di sofa kecil di depan mereka.
Sai menyambutnya dengan suka cita. "Waah. Terima kasih, Yamanaka-san."
"Darimana kau mendapatkan semua ini?" Shikamaru terdengar sangsi, tapi ia tetap memasukkan satu slice garlic bread kedalam mulutnya dan melahapnya hingga tak tersisa.
"Tenang saja. Aku mendapatkannya dengan cara yang halal. Aku juga memastikan bahan-bahan yang digunakannya pun halal," sahut gadis cantik itu seraya memandang teman-teman prianya bergantian sebelum memusatkan fokusnya pada Sai yang biasanya selalu rewel soal makanan manakala mereka mengunjungi tempat-tempat baru.
Sai terlihat lega. Namun, Shikamaru berpikiran lain. "Bukan begitu. Kau seharusnya bilang dulu pada kami kalau akan meninggalkan kamar. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu? Ini bukan kampung halaman kita, Ino. Jangan bertindak seenaknya."
"Hei! Aku tidak suka nada bicaramu yang seolah ingin mengekang kebebasanku, Shika!" Gadis itu membentak Shikamaru.
"Kenapa kau malah marah-marah padaku, Ino? Aku hanya mencemaskanmu!" Shikamaru mengemukakan alasannya.
"Kau bukan kekasihku! Aku tak perlu minta izin padamu untuk melakukan segala sesuatunya, kan?!" Ino terdengar sewot dan mendelik ke arah pemuda yang telah menjadi sahabatnya selama dua puluh tahun.
"Sudahlah! Aku malas berdebat denganmu," tukasnya sambil mencomot sepotong cheese croissant.
"Sai, tolong katakan pada gadis keras kepala ini tentang betapa berbahayanya keluyuran sendirian," dia menambahkan.
Sai nyaris tersedak tehnya ketika Shikamaru tiba-tiba menyeret dirinya kedalam pertengkaran kecilnya dengan Ino.
Ini memang bukan pertama kalinya pemuda bermarga Nara itu melimpahkan perkaranya dengan wanita pirang bermarga Yamanaka kepada dirinya.
Sai hampir selalu menjadi penengah di antara mereka dan berusaha bersikap netral meski tak jarang pula ia membela salah satu dari mereka kalau dirasanya memang diperlukan.
Tapi, pemuda itu tak pernah merasa keberatan dengan hal tersebut asalkan kedua sahabatnya bisa kembali akur.
"Shikamaru benar, Yamanaka-san. Aku mohon jangan bertindak gegabah." Sai berkata dengan nada serius.
"Kau tahu kan?! Alasan kita berada disini untuk meliput tentang situasi kota Yerusalem yang tidak terlalu stabil karena bentrokan yang marak terjadi akhir-akhir ini. Jadi…" Sai menelan ludah.
"Akan sangat bijaksana kalau kau tidak berkeliaran sendirian." Sai memilih kata-katanya dengan sangat hati-hati.
Bagaimana pun juga, dia tak suka menyakiti perasaan seorang wanita meski tindakannya sering kali berlawanan dengan keinginannya tanpa disadari pemuda itu.
"Kau tahu kenapa Shikamaru turut serta dalam reportase kali ini?" Pertanyaan Sai mengundang tatapan penasaran dari Ino maupun Shikamaru.
Sejujurnya, Shikamaru juga mempertanyakan alasan Gaara mengikutsertakannya dalam peliputan kali ini.
Shikamaru bukanlah seseorang yang haus akan berita dan sensasi. Malah, dia cenderung tidak peduli dengan perkembangan terbaru yang terjadi di dunia.
Dia tak memiliki passion di dunia jurnalistik, bahkan mungkin passion dalam hal apapun. Shikamaru menggambarkan dirinya sebagai seseorang yang sederhana dan tak suka merepotkan dirinya sendiri atau buang-buang energi melakukan hal yang tak perlu.
Atasannya terdahulu, Yashamaru, sangat memahami sifatnya dan tak memusingkan tentang passion yang tidak dimiliki seorang Nara Shikamaru selama pemuda yang didiagnosis memiliki level IQ mencapai angka dua ratus tersebut bersikap profesional dalam bekerja.
"Jadi, kenapa Gaara mengirimku ke Yerusalem?" Shikamaru menerka-nerka dalam hati.
"Karena Gaara-san yakin kalau Shikamaru bisa melindungimu seandainya terjadi sesuatu yang tak diinginkan." Sai menyeruput tehnya sambil diam-diam mengamati reaksi Ino yang terlihat sumringah mendengar nama Gaara.
"Jangan asal bicara, Sai! Mana mungkin Gaara memikirkanku seperti itu?!" Tersirat sedikit keraguan dalam suara Ino, kendati dalam hati ia merasa senang bukan kepalang ketika mengetahui Gaara mengkhawatirkan dirinya.
"Apa aku terlihat berbohong?" Orbs hitam pekat milik Sai bertemu dengan iris biru teduh milik Ino. Gadis itu menggigit bibirnya, mulai mempercayai perkataan Sai barusan.
Ino memang baru mengenal Sai selama tiga tahun terakhir ketika pemuda itu bergabung dengan Suna Daily sebagai fotografer yang menggantikan Chouji.
Sepengetahuan Ino, Sai tidak pandai berbohong. Dia orang yang jujur. Malah sangat jujur hingga tak pernah ragu untuk berterus terang kepada siapa pun dan tak peduli dalam kondisi apapun, yang terkadang malah menjadikannya sangat menyebalkan.
Ino tak menjawab pertanyaan Sai. Gadis itu lantas memalingkan muka untuk menghindari bertatapan langsung dengan Sai, walaupun pemuda itu tak pernah menatapnya lebih dari semenit.
Tapi setiap kali Sai menatapnya seperti tadi, Ino selalu merasa tak nyaman. Seakan-akan Sai mampu melihat langsung ke dalam hatinya, melihat apa yang ingin Ino sembunyikan rapat-rapat dari orang lain, termasuk dari Shikamaru.
.
.
.
Tim Ino-Shika-Sai, begitulah Ino menamai timnya yang berangkat ke Yerusalem, memutuskan bertolak menuju Kota Tua Yerusalem sebelum tengah hari. Mereka akan memasuki kawasan yang dianggap suci bagi tiga agama itu melalui Jaffa Gate.
Tampak beberapa aparat keamanan berjaga di sekitar gerbang dan memeriksa setiap pengunjung yang hendak memasuki Old City. Shikamaru dan kawan-kawan menunjukkan tanda pengenal mereka sebagai wartawan Jepang.
Seorang petugas bertubuh tinggi dan kekar menyuruh mereka menepi ke dekat tembok gerbang di sebelah kanan untuk menanyai urusan mereka lebih lanjut.
Pria itu dapat berbahasa Inggris dengan lancar sehingga Ino bisa dengan mudah menjelaskan tujuan mereka mengunjungi Old City.
Petugas itu tampak berbicara dengan seseorang melalui walky-talky dan menyebutkan nama ketiga jurnalis Suna Daily.
Setelah hampir dua puluh menit tertahan di depan Jaffa Gate, akhirnya Shikamaru, Sai dan juga Ino, dapat memasuki kawasan Old City of Jerusalem.
"Fiuuh. Pengamanannya ketat sekali yaa," komentar Ino saat ketiganya telah berjalan beberapa meter dari gerbang, cukup jauh dari jarak pendengaran para petugas penjaga gerbang.
Shikamaru mengangkat bahu. "Situasinya sedang tak memungkinkan untuk bersantai-santai," sahutnya. Ketiganya pun langsung menuju ke kawasan Al-Haram Asy-Syarif.
Raut ketegangan terpampang jelas di wajah Ino dan Shikamaru setelah melihat lebih banyak lagi aparat keamanan Israel yang berjaga di sekitar kompleks Masjid Al-Aqsa. Mereka mengenakan helm dan shield serta bersenjata lengkap.
Di hadapan mereka, tampak puluhan laki-laki, tua dan muda, bahkan ada pula anak-anak, yang membentuk pagar hidup di depan Masjid Al-Aqsa. Mereka menyerukan yel-yel penggugah semangat dalam bahasa Arab yang selalu diselingi dengan lafadz "Allahu Akbar!"
Tanpa pikir panjang, Sai lantas mengeluarkan kameranya dan mengabadikan peristiwa itu dari berbagai sudut. Ternyata sudah banyak oknum pencari berita yang berada di sekitar Masjid Al-Aqsa dan melakukan hal yang sama seperti Sai.
Bahkan ada pula wartawan televisi yang menyiarkan peristiwa itu secara langsung dan mewawancarai para pria tersebut dan juga tentara Israel.
"Mereka memaksa masuk ke masjid kami dan berniat melarang kami beribadah disini lagi!" Salah seorang pemuda Arab yang mengalungkan keffiyeh menuturkan kepada reporter wanita paruh baya yang berdiri tak jauh dari Shikamaru.
"Mereka juga sudah memporak-porandakan Masjidil Aqsa! Kami tidak akan membiarkan mereka menghancurkan masjid kami! Allahu Akbar!" Seorang pria Arab berjenggot putih ikut mengemukakan aspirasinya dengan menggebu-gebu yang disambut sangat antusias oleh rekan-rekannya.
Mereka serentak meneriakkan Allahu Akbar dengan penuh semangat.
Ino mengeluarkan alat perekam dan buku catatannya dari dalam tas, menuliskan beberapa point penting tentang aksi demo yang sedang berlangsung di depan Masjid Al-Aqsa.
Kemudian gadis itu mendekati sekumpulan pemuda Arab yang menjaga pintu masuk masjid yang tak terlalu ramai dan menanyakan beberapa hal terkait aksi mereka.
Shikamaru memilih untuk mengawasi keadaan sekitar. Pemuda itu juga sesekali mengambil gambar dengan ponselnya. Tak hanya kawasan Masjid Al-Aqsa, tapi juga Kubah Batu dan tempat suci lainnya yang berada di kawasan Old City.
Ternyata aksi kaum pria Palestina tersebut juga mengundang keingintahuan dari para turis dan peziarah yang mendatangi Old City of Jerusalem.
Tak sedikit dari mereka yang ikut mengabadikan momen tersebut meski mendapat larangan dari aparat keamanan Israel yang hanya memberi wewenang pada petugas pers untuk meliput.
"Oi, Shikamaru!" Shikamaru tersentak ketika menyadari kehadiran Ino dan Sai di belakangnya.
Sang gadis Yamanaka terlihat letih dan kemejanya agak berantakan karena tadi ia ikut berdesak-desakkan dengan pemburu berita lainnya dan nyaris tersungkur kalau saja Sai tidak meraih lengannya tepat waktu.
"Masih ada waktu untuk melaksanakan shalat Dhuha." Sai berujar riang seraya memasukkan barang-barangnya kedalam tas. "Lalu?" Shikamaru tampak belum mengerti maksud pemuda blasteran Arab-Jepang tersebut.
"Kita shalat Dhuha dulu di Masjid Al-Aqsa. Kapan lagi kan kita berkesempatan untuk mendapat pahala shalat seribu kali lipat daripada shalat di tempat lain?!" Sai tampak menggebu-gebu.
"Yap! Perkataan Sai ada benarnya juga, Shika. Mumpung kau sedang berada disini, jangan lewatkan kesempatan menunaikan shalat di Masjid Al-Aqsa." Ino menambahkan.
"Ta-tapi.."
"Sudahlah, jangan banyak beralasan." Ino berkacak pinggang, pertanda tak ingin dibantah.
"Sini.." Gadis itu mengulurkan tangannya. "Biar kubawakan barang-barang kalian," katanya pada Sai dan Shikamaru.
Sai menyerahkan tas ranselnya pada gadis itu, sementara Shikamaru masih terlihat mempertimbangkan banyak hal sebelum akhirnya menyodorkan tas selempangnya pada Ino yang tak bisa mengikuti kedua temannya memasuki Masjid Al-Aqsa lantaran dirinya sedang haid.
Tak membutuhkan waktu lama bagi Sai untuk meyakinkan seorang pria Arab yang hampir sebagian kepalanya telah dipenuhi uban untuk membuka barikade dan mengijinkan kedua pemuda itu memasuki Masjid Al-Aqsa.
"Sejak kapan kau pandai berbahasa Arab?" Shikamaru tak sungkan bertanya pada pemuda di sebelahnya yang tengah menanggalkan sepatu untuk memakai sandal khusus yang telah disediakan pengurus masjid.
"Sejak orangtuaku memberikan nama Saifuddin padaku." Sai menjawab apa adanya.
Sai terlahir dari ayah yang berkebangsaan Arab dan ibu yang berwarga negara Jepang. Tapi, pemuda kurus itu lebih mirip orang Jepang pada umumnya, dengan kulit pucat dan mata yang tak terlalu lebar.
"Kau tahu…" Sai kemudian berjalan ke arah air mancur di sisi luar masjid yang tak dijaga, yang merupakan tempat berwudhu bagi jamaah ikhwan. Shikamaru pun mengikutinya.
"Saifuddin dalam bahasa Arab artinya adalah pedang Islam," dia membalikkan tubuhnya, menghadap Shikamaru sejenak sebelum berpaling kembali ke arah air mancur dan menuruni undakan tangga dengan hati-hati.
"Pantas saja." Shikamaru hanya berkomentar singkat sambil menyeringai.
Ada beberapa pria yang juga tengah mengambil air wudhu. Semuanya melayangkan senyuman ramah meski Sai dan Shikamaru bukan orang Arab.
Shikamaru tak menyembunyikan kekagumannya saat memasuki bagian dalam Masjid Al-Aqsa yang menakjubkan.
Pilar-pilar marmer seputih susu menyangga atap masjid dengan kokoh. Langit-langit masjid dipenuhi ornamen-ornamen mozaik berciri khas Timur Tengah, dilengkapi dengan hiasan lampu-lampu kristal yang menggantung di berbagai sisi yang menerangi hampir keseluruhan ruangan.
Sai mengeluarkan kamera digital dari dalam saku dan mengambil beberapa gambar untuk dokumentasi pribadinya. "Masya Allah." Pemuda itu pun tak berhenti memuji Tuhannya tatkala memandang keindahan arsitektur Masjid Al-Aqsa.
Permadani di dalam masjid, yang juga berfungsi sebagai sajadah, didominasi dengan warna merah. Cukup tebal dan nyaman untuk diduduki.
Terlihat beberapa pria yang sedang duduk bersandar di tiang masjid sambil membaca Al-Qur'an. Lalu ada sekelompok pria yang duduk membentuk lingkaran di sekitar mihrab Sayyidina Umar bin Khattab (ra), yang tengah mendiskusikan sesuatu dari kitab Hadist Shahih karangan Imam Bukhari.
Sai dan Shikamaru lantas menunaikan ibadah sunnah mereka sebanyak empat raka'at. "Alhamdulillah." Keduanya mengucap syukur atas nikmat dan karunia Allah yang dilimpahkan kepada mereka sehingga keduanya bisa menunaikan shalat di Masjid Al-Aqsa.
Perasaan tenteram menyelimuti hati Shikamaru, seakan jiwanya dibasuh oleh sesuatu yang sangat menyejukkan.
Perlahan, airmatanya menetes, tak kuasa menahan keharuan dan rasa malu teramat sangat karena Allah masih berkenan memanggilnya ke rumahNya yang paling suci, kendati dirinya dilumuri dosa dan berulang kali mengabaikan ajakanNya untuk mendekat.
"Tuhanku… KepadaMu, terpaut hati yang dipenuhi cinta. Untuk mengenalMu, dihimpunkan semua akal yang berbeda. Tidak tenang kalbu, kecuali dengan mengingatMu. Tidak tenteram jiwa, kecuali ketika memandangMu. Engkaulah yang Ditasbihkan di semua tempat. Yang Disembah di setiap zaman. Yang Maujud di seluruh waktu. Yang Diseru oleh setiap lidah. Yang Dibesarkan dalam setiap hati." Sai mengucap doa dalam hatinya dengan khusyu'.
"Tuhanku… Aku mohon ampun padaMu dari setiap kelezatan tanpa mengingatMu, dari setiap ketenangan tanpa menyertaiMu, dari setiap kebahagiaan tanpa mendekatiMu dan dari setiap kesibukan tanpa menaatiMu. Sayangilah hamba-hambaMu yang hina ini, yang berlidah lemah dan beramal kurang. Berilah pada kami, karuniaMu yang berlimpah. Lindungilah kami di bawah naunganMu yang teduh. Wahai Yang Maha Pemurah. Wahai Yang Maha Indah. Yaa Arhamar-Rahimin." Shikamaru menutup munajatnya dengan berlinang air mata.
.
.
.
to be continued
A/N : Jujur, saya belum pernah ke Yerusalem, jadi penggambaran tentang kota itu (dan juga peraturannya) hanya merupakan rekaan saya :( meskipun saya mengambil pendekatan yang sesuai dengan Wikipedia. Referensi Masjid Al-Aqsa saya dapetin dari mbah gugel dan akun IG Bang Fedi Nuril :)
Insya Allah fic ini akan menceritakan persahabatan Shikamaru, Sai dan Ino. Tak menutup kemungkinan juga akan ada tokoh pendukung seperti Sand Siblings dan yang lainnya. Doakan saya, semoga bisa apdet gak lama-lama. Aamiin :)
Al-Haraam Asy-Syarif adalah tanah suci (bagi umat Muslim) dan Bait Allah (bagi umat Yahudi) dan disana juga banyak situs peninggalan sejarah yang dianggap suci oleh umat Muslim, Yahudi dan Nasrani :)
Semoga kita semua, baik yang Muslim maupun non Muslim, bisa berkesempatan mengunjungi Yerusalem dan kota-kota suci lainnya menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Aamiin :)
Munajat Sai dan Shikamaru adalah Munajat Imam Ali Zainal Abidin (ra) yang merupakan cicit Baginda Rasulullah SAW. Semoga Allah SWT melimpahkan keberkahan bagi beliau, keluarganya, dan kita semua. Aamiin :)
Yap! Sekian penjelasan dari saja. Feel free to critic and review yaa minna-san. Thanks anyway :)
