Ada batasan yang nyata antara seorang dewa dan manusia. Banyak perbedaan yang tak bisa diabaikan di antara keduanya. Dewa abadi, manusia tentu bisa mati. Dewa berkehendak, manusia hidup terkungkung oleh hal bernama takdir. Dewa pun tidak akan mengalami perasaan sepele seperti cinta sedangkan manusia?

Terkadang mereka selalu menderita karenanya. Namun batasan ada untuk dilanggar. Ketika manusia dan dewa tak berjalan sesuai dengan peranannya masing-masing. Terjebak dalam perasaan terlarang yang tak seharusnya mereka miliki. Menghasilkan kesalahan besar yang bukan hanya ditanggung oleh keduanya. Melainkan berdampak juga pada orang-orang disekitarnya.


Alluring Secret

Gintama Sorachi Hideaki

Hijikata Toushirou X Sakata Gintoki

Rated M

WARNING:OOC, BOYXBOY, YAOI, Canon yang menggunakan Alternate reality dan Alternete timeline, Lime (chapter mendatang), Lil-bit gore.

A/N: Cerita ini adalah hasil colab antara Hijikata Rinki dan Wightmare. Tidak menerima apresiasi negatif yang bisa menyakitkan mata dan hati! Don't like? Don't read!

.

.

Edo-1 januari

Menghembuskan asap putih dari lintingan tembakau yang dihisap. Lelaki tinggi dengan iris navy dan rambut hijau kehitaman, berjalan menyusuri jalan setapak yang menghubungkan antara markas Shinsengumi dan juga jalan disekitarnya. Blazer hitam yang biasa ia kenakan kini tersampir di bahu tegapnya, menyisakan kemeja putih yang di balut vest hitam saja. Meskipun salju sedang turun, tak sedikitpun ia merasa kedinginan akibat suhu di sekelilingnya.

Gerbang besar markas Shinsengumi pun terlihat. Mempercepat langkah, pria berparas tampan itu masuk kedalamnya. Ketika hendak melanjutkan perjalanan menuju kamar, sebuah suara menghentikannya.

"Fukuchou, Kondou-san memanggil anda!" Seru lelaki muda dengan perawakan sedang.

"Ada apa Yamazaki?" Tanya pria yang dipanggil fukuchou oleh Yamazaki.

"Entahlah Fukuchou. Namun, jika aku tak salah, ini mengenai pemindahan tugas Mimawarigumi kepada Shinsengumi." Papar Yamazaki sambil mengikuti langkah atasan, yang berbalik untuk menemui Kondou-san.

Lelaki bergarnet navy yang bernama Hijikata Toushirou itu, nampak menghisap kuat rokoknya, pikirannya melayang pada sebuah kejadian.

Baru-baru ini terjadi pembunuhan terhadap Shogun yang memerintah, yaitu Tokugawa Shigeshige. Hal ini dilakukan oleh seorang pria misterius berambut perak. Banyak rumor yang mengatakan, bahwa sosok tersebut adalah 'yasha' serta mempunyai kekuatan yang mengerikan.

Namun, Hijikata belum tahu pasti kebenarannya. Pasalnya, kasus tersebut berada dibawah pengawasan Mimawarigumi. Satuan polisi Edo lainnya, yang memakai seragam putih. Sangat kontras dengan seragam hitam milik Shinsengumi.

Sret!

Membuka shoji dihadapannya, tampak sosok tinggi besar Kondou yang sedang duduk menghadap jendela yang menampilkan hujan salju malam ini. Menggunakan isyarat tangan, Kondou menyuruh Hijikata mendekat.

"Toshi, apa pendapatmu jika kasus pembunuhan shogun dilimpahkan kepada Shinsengumi?"


Bibir ranum lelaki bersurai perak tersebut menyeringai tipis. Ekspresinya seolah menikmati berbagai macam emosi yang dilanda oleh sang Algojo.

Slash!

Tubuh algojo gemetaran. Netranya membelalak tak percaya. Karena lagi-lagi, lelaki perak itu selamat dari tebasan pedang setiap algojo yang di kirim padanya.

"Kau! Bu-bukan manusia! Kau... mo-monster!" Setelah mengatakan ucapan bernada takut, algojo pun lari terbirit-birit. Ia menyerah dan tidak sanggup melanjutkan tugasnya. Sedangkan si terdakwa yang masih bersikap tenang, langsung ditahan lagi oleh empat orang polisi berseragam putih.

Bugh!

Seketika tawanan merasakan penglihatannya mengabur, tatkala salah seorang kapten divisi dari Mimawarigumi memukulnya.

Kapten tersebut berpikir, ,mengapa setiap pedang yang terhunus padanya seolah tumpul dan tak bisa membunuh si perak? Padahal jika dalam keadaan seperti ini, pria yang telah membunuh Shogun tak ubahnya manusia biasa. Tampak normal, bahkan meringis ketika pukulan keras diterima.

"Kau tetap hidup meski kami sudah memasukkan racun kedalam makan malammu?! Dasar monster!" Ujar seseorang kesal, ia menyeret si perak dari depan.

Kapten Mimawarigumi, menyaksikan pemandangan tersebut dalam diam. Masih segar diingatan, ketika lima belas algojo yang diturunkan untuk mengeksekusi gagal dan malah berakhir menjadi rumor hangat yang beredar di masyarakat.

"Berhenti." Terdengar suara dari arah belakang, salah seorang polisi yang menahan pergerakan pria perak, berbalik. Menunduk hormat, saat sosok komandan Mimawarigumi lah yang terlihat.

"Kau tak perlu membawa Gintoki kesana, dia akan dipindahkan ke bawah pengawasan Shinsengumi." Ujarnya, seraya mengeluarkan ponsel flip yang ia gunakan untuk bertukar email.

"Bila kita para elite, tidak bisa menangani. Maka sudah saatnya, polisi liar lah yang menaklukannya." Setelah berkata demikan pria yang diketahui bernama Sasaki Isaburo itu melangkah pergi meninggalkan sel khusus tersebut.


"Toshi, apa pendapatmu jika kasus pembunuhan shogun dilimpahkan kepada Shinsengumi?" Mengernyitkan alis, namun tak ada raut keterkejutan di wajah Hijikata. Ia memang sudah menduga hal ini sejak awal.

"Entahlah, namun jika ini tugas dari bakufu aku rasa Shinsengumi tak memiliki alasan untuk tak melaksanakannya." Seperti itulah pola pikir Hijikata Toshiro selaku wakil komandan Shinsengumi. Apapun perintah dari bakufu, ia tidak bisa menolaknya.

"Yappari, kau memang selalu seperti itu." Tertawa geli, tatkala Kondou merasa bahwa Hijikata belum pernah berubah sejak dulu. Dingin, kaku dan tak berperasaan.

Sret!

Shoji terbuka menampilkan sosok Okita Sougo dengan wajah bosannya. Di atas kepalanya ada eyemask yang selalu dikenakan setiap kali tidur siang. Meski ini bukan siang lagi tapi Sougo mengenakannya.

"Sougo, teme! Kau kabur dari patroli lagi,hah?!" Persimpangan imajiner tercetak di dahi putih Hijikata.

"Ah, Kondou-san kenapa ada orang dengan poni V alay itu disini?" Tanya Sougo masih dengan wajah datarnya, menyebabkan persimpangan tadi berlipat ganda.

"KA-" Belum sempat Hijikata menyelesaikan ucapannya, Kondou sudah terlebih dulu menyela.

"Ma, ma, hentikan itu." Senyum kebapakan terpampang di wajah coklat komandan Shinsengumi. Beginilah Kondou jika kedua 'anak' nya tersebut mulai beradu mulut.

"Perwakilan Mimawarigumi ada di ruang tamu." Menggerakkan kepalanya ke samping, lantas Sougo pun meninggalkan ruangan sang komandan.

"Tugas berat sudah menanti."


Gelap dan pengap. Entah sudah berapa lama, Gintoki terduduk dengan borgol dan rantai yang mengikat kedua tangan serta kakinya. Gintoki terkekeh miris, tatkala dirinya merasa diperlakukan bagai monster oleh para anjing bakufu.

Setelah meratapi nasib, 3 orang datang dan menanyainya macam-macam. Berbagai tekanan mental dan desakan pun tak mempan. Kunjungan mereka malah berakhir tanpa hasil.

Kira-kira, siapa lagi yang akan datang? Meski ada sedikit rasa penasaran. Sudah jelas, Gintoki akan tetap berpegang teguh pada keputusannya, yaitu bungkam. Persetan dengan macam-macam siksaan yang akan ia terima nanti.

Cklek!

Pintu besi di hadapannya mendadak terbuka. Cahaya dari luar membuat Gintoki bisa melihat secara jelas, siapa yang datang. Sosok tinggi dengan pandangan dingin yang menghujam langsung tepat ke matanya. Gintoki terkesiap, pria itu...

Memiliki aura yang berbeda daripada manusia lain yang pernah ia temui.

Pintu besi kembali tertutup secara otomatis. Bara kecil dari rokok yang sosok tersebut hisap, tampak berkerlap-kerlip di ruangan gelap ini. "Jadi inikah sosok yasha itu?"


Imai Nobume, wakil komandan Mimawarigumi terlihat duduk tenang di ruang tamu markas Shinsengumi. Ia datang kemari untuk mewakili Isaburo yang tak bisa hadir karena harus melapor pada Shogun saat ini, Tokugawa Nobunobu.

"Konbanwa." Sapaan dari Kondou menyadarkan Nobume. Mengangguk sekilas tanpa ekspresi yang berarti di wajahnya. Nobume juga melihat ada Hijikata yang berjalan di belakang Kondou.

"Aku tak bisa berlama-lama disini, aku hanya ingin menyerahkan ini." Sebuah dokumen yang dipastikan isinya adalah berkas pemindahan dari Mimawarigumi itu Kondou terima. Membuka kemudian melihatnya sekilas setelah itu Kondou menyerahkannya pada Hijikata untuk diteliti.

"Kenapa harus diserahkan pada kami? Kenapa tidak langsung dieksekusi saja?" Tanya Kondou.

"Tugas kalian hanya satu, yakni mencari informasi sebanyak mungkin darinya." Bangkit dari duduknya, setelah mengucapkan selamat malam akhirnya perempuan penggila donat itu pun kembali ke markas Mimawarigumi.

.

.

Kondou, Hijikata, Sougo dan Harada, berdiri melihat penjara isolasi yang khusus disiapkan untuk para penjahat kelas kakap. Penjara yang lebih menakutkan daripada penjara di pulau Kakujo sekalipun. Sebab, kepala sipir di penjara yang hanya memiliki lima sel itu adalah Hijikata Toushirou yang juga merangkap sebagai wakil komandan.

"Biarkan aku yang masuk pertama." Ucap Kondou mantap.

Mengangguk kecil, ketiga orang tersebut kini duduk di kursi yang tersedia. Menunggu dengan sabar. Serta menerka-nerka, apakah komandan gorilla mereka akan berhasil membuat sosok yang sering disebut monster itu angkat bicara?

Wush!

Tiba-tiba angin berhembus bersama sosok Kondou yang keluar dengan wajah muram. Bibir pria 30 tahun itu terus menggumam kata, gorilla, gorilla, layaknya mantra hitam yang di bacakan penuh konsentrasi.

"Sepertinya Kondou-san gagal. Sekarang biar aku yang masuk." Ucap pria berkepala plontos yang dikenal bernama Harada. Mengeratkan pegangannya pada pedang dan akhirnya ia melangkah penuh rasa percaya diri.

Namun tak sampai 10 menit, Harada sudah keluar dengan wajah datar. Tak mengatakan apa pun hingga Harada pergi meninggalkan ketiga rekannya.

"Saa, sekarang giliran ku!" Ucap Sougo antusias.

Senasib dengan Harada, Sougo keluar sebelum waktu mencapai 10 menit. Namun yang menjadi perbedaannya adalah seringai bengis yang Sougo keluarkan, terlihat siap menghajar siapa saja. Merasa tak ada pilihan lagi, akhirnya Hijikata pun turun tangan.

"Sebaiknya kalian tidur saja, ini sudah larut." Setelah mengatakan hal itu Hijikata masuk dan menutup pintu besinya. Jika Hijikata sudah mengambil alih pemeriksaan, maka bisa dipastikan bahwa si pelaku lebih memilih seppuku ketimbang menerima perlakuan dari Hijikata.


"Jadi inikah sosok yasha itu?"

Rambut perak bergelombang dengan mata merah darah adalah hal paling mencolok dari sosok dihadapannya. Melangkah perlahan, hingga akhirnya Hijikata sampai di hadapan Gintoki. Hijikata merendahkan tubuh untuk mensejajarkan posisi dengan Gintoki yang saat ini terduduk di lantai.

"Katakan, siapa dirimu?" Tidak ada respon dari lawan bicaranya, Hijikata spontan menjambak surai perak Gintoki, keras.

Ces!

Bara api dari rokok Hijikata, sukses berlabuh di kulit dada Gintoki yang terbuka akibat hakama yang tak terpasang benar. Aksinya kali ini, menghasilkan sebuah ringisan kecil yang kurang berarti dari Gintoki.

"Katakan!" Titah Hijikata, seiring dalamnya tekanan rokok ke dada Gintoki. Darah segar mulai mengucur dari luka bakar yang dihasilkan sundutan rokok tersebut.

"Hanya segitukah kemampuanmu?" Gintoki terkekeh meremehkan, dia tidak merasa takut berhadapan dengan Hijikata. Tidak, setelah berbagai macam siksaan yang pernah ia lalui. "Payah!" tukasnya menjengkelkan.

Merasa tertantang,netra Hijikata menyorot tajam disertai bibir yang mengukir seringai keji. Baiklah, mari kita lihat seberapa lama yasha itu bertahan? Keputusan yang salah untuk memprovokasinya, Gintoki. Kau seperti membangunkan jiwa iblis yang tertidur.

"Cepat katakan! Atau mungkin—"

Hijikata belum melepaskan sundutan rokoknya. Dia menarik garis lurus, dari dada kiri dan bergerak menuju ke bawah mendekati pusar Gintoki. Merasakan perih dari jejak yang Hijikata tinggalkan, Gintoki mengatupkan giginya keras.

"Kau ingin mendapatkan pelayanan spesial dariku, hmm?" Hijikata mencengkram rahang Gintoki, mendongakkan paksa wajah itu. Lima kuku jarinya yang tajam, sengaja ia tusukan ke pipi Gintoki. Tiap detik berlalu, kekuatan yang Hijikata pakai bertambah. Ia terus menekan, hingga menembus daging.

Tak dapat dipungkiri, Gintoki meringis lebih keras daripada tadi. "Sakata Gintoki, murid dari Yoshida Shouyou." Akhirnya Gintoki pun angkat bicara, saat ia merasakan lukanya semakin dalam. Walaupun begitu, dia membatin dalam hati dengan berbagai macam sumpah serapah.

Mengangkat rokoknya, Hijikata kemudian membuang benda kecil tersebut ke sudut ruangan, "Katakan, bagaimana caramu menyusup ke istana?!" Lanjut Hijikata ke pertanyaan ke dua.

"Bukan urusanmu!" Balas Gintoki dingin.

Hijikata merasa amarahnya naik ke ubun-ubun. Baru kali ini dia mendapat tawanan yang keras kepala. Tanpa merasa kasihan, Hijikata menyeret tubuh Gintoki, lalu membenturkan kepala bagian depan pria itu ke dinding belakang.

Dugh!

Benturan itu sangat keras, saking kerasnya darah langsung keluar dari kepala Gintoki dan mengalir melewati dahinya.

"Sepertinya kau sangat menginginkan pelayanan khusus dariku, heh?" Tanpa memberikan Gintoki kesempatan untuk bernafas lega, Hijikata tetap melanjutkan perbuatan sadisnya. Berkali-kali sampai sang tawanan, merasa kesadarannya mulai menipis.

Brukk!

Tubuh Gintoki ambruk di dekat Hijikata. Pria itu kehilangan cukup banyak darah. Hijikata hanya memandang datar, sosok tak sadarkan diri di hadapannya.

'Sepuluh menit lebih sembilan detik.'

Rupanya, Gintoki bisa bertahan lebih lama dari yang ia perkirakan. Netra Hijikata menampilkan kilat tertarik. Dia harap mainan barunya, dapat mengobati rasa bosan yang selama ini ia rasakan. Hijikata kemudian memutuskan untuk keluar dari ruangan sempit itu.

Ah... tampaknya, pemeriksaan hari ini harus ditunda.

.

.

.

Hari cepat berlalu, dan Hijikata masih tetap melakukan tugasnya untuk menginterogasi Gintoki. Menyiksa tubuh yang kian kurus itu, sudah menjadi rutinitas hariannya. Sedangkan Gintoki, meski ia terus mendapat memar dan luka disana-sini. Pemuda tersebut masih bisa menatap Hijikata tajam. Sudah hari kesepuluh pun, Gintoki tetap pada keputusannya untuk bungkam.

"Katakan!" Entah sudah berapa kali, Hijikata mengatakan hal yang sama. Namun seperti sebelum-sebelumnya, pertanyaan Hijikata hanya dianggap angin lalu oleh sang tawanan.

Mengangkat wajah Gintoki dengan salah satu tangannya kini pandangan mereka saling beradu. Tetapi tidak seperti biasanya, Hijikata mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Iris navy-nya mendadak tidak bisa melepaskan diri dari netra ruby redup Gintoki. Hijikata lantas memundurkan sedikit wajahnya, menatap Gintoki secara menyeluruh. Dimulai dari mata, sampai sekujur tubuhnya, sang tawanan telah hancur.

Olehnya seorang.

"Ck, Sial!" Hijikata melepaskan pegangannya pada wajah penuh luka itu. Suara bedebum keras dari pintu besi yang terbanting terdengar, pertanda Hijikata telah pergi darisana.

.

To be continued (?)

A/N:

Layak dilanjut tidak nih?

Terima kasih bagi yang sudah membaca. Silahkan utarakan pendapat kalian, baik berupa kritik/saran di kotak review. Setiap review/fav/follow yang kalian berikan, menambah semangat kami untuk menulis. (^O^)/