Namanya Sarah Adriana Arifien. Orang Indonesia. Siswi di sebuah sekolah swasta ternama di salah satu kota terbesar keempat di negeri itu juga.

Tangannya menari-nari, mengetik sebuah fan-fiksi untuk sebuah anime bertajuk "Kuroshitsuji" a.k.a "Black Butler".

*u*

Disclaimer: Kuroshitsuji © Toboso Yana.

Warning: Fem!Ciel. Fem!Grell. Alternatives. Some OCs maybe, termasuk author. Don't Like Don't Read. Read on Your Own Risk. Soal urusan kerajaan-kerajaan itu saya mohon maaf. Saya ngarang, untuk ngemasukin dikit kisah aslinya ke fic ini.

Title: Arsip Sebuah Kisah

Pair: Sebastian x Ciel. Angela x Ciel *digeplak* *cuma hubungan friendship, tapi ceritanya Angelanya lesbian gitu*. Claude x Ciel. Arthur x Ciel. Sebastian x Lau *EAAA*. Mungkin Alois x Ciel -_-. Hmm, mungkin ada Grell x Sebastian, tapi tenang itu straight. Saya masih terima lalala~

Tapi mungkin pair itu dimulai entar-entar, habisnya ini masih awalan.

Genre: Romance

Rate: T

Summary: Tangannya menari-nari, mengetik sebuah fan-fiksi untuk sebuah anime bertajuk "Kuroshitsuji" a.k.a "Black Butler".

Note: Sarah Adriana Arifien – Author. Lihat saja bio saya, ada Real Name. Gabung-gabungin semua nama itu dan bakal nemu Sarah Adriana. Kecuali Arifien-nya, emang dari sononya udah begono ._." (Tentu aja cari yang Sarah gampang banget, ambil 4 huruf dari nama saya urutan ke-3 dan tambahin "H" dari nama saya urutan pertama.)

*u*

"Arsip Sebuah Kisah"

Arsip 1: Prolog

*u*

Bandung, Indonesia

2011

Tangannya menari-nari, mengetik sebuah fan-fiksi untuk sebuah anime bertajuk "Kuroshitsuji" a.k.a "Black Butler".

Sepasang headset menutupi telinganya, membuatnya buta keadaan. Seragam putih-merahnya masih tertempel di tubuhnya seperti dilekatkan dengan lem super, tapi dia tidak peduli.

Tak peduli siapapun memanggilnya, kecuali sudah berteriak keras-keras memakai mikrofon.

Matanya terpejam, lelah seharian menulis. Ia mematikan laptop-nya dan pergi dari sana, mengganti pakaian dan mengistirahatkan diri.

Sebuah bagian dari ceritanya, arsip satu.

*u*

London, UK

2011

"Kyaah! Lucunya!" seru Ciel Phantomhive sambil menatapi smartphone-nya. Layar itu menampilkan sebuah foto boneka beruang putih dengan eye patch di mata kanannya, seperti dirinya beberapa tahun lalu.

Badannya sedang duduk di kursi kereta ekspres dari Newcastle ke London. Rambutnya yang panjang sedada itu digerai, sementara poninya dijepit hingga tak ada yang menutupi jidatnya.

Tas Chanel kecilnya terpangku bersama beberapa arsip tugas kuliahnya. Mata kirinya yang berwana biru membola bulat, menandingi cantiknya mata kanan abu-abu yang sedikit banyak mirip warna ungu itu.

Ya, ya, ya. Heterochromia iridum*).

Namun tetap saja, dia ini cantik dan lincah.

"Iya, nanti kuambil. Ha? Ih! Sudah kubilang, nanti! Di rumahmu! Aku baru pulang dari tempatnya Pak Timber, masa' bisa langsung ke sana? Tetap saja aku perlu naik kereta, 'kan? Jauh begini!" katanya pada lawan bicaranya di telepon.

"Duuh, teriak-teriak mulu! Sakit, nih, telingaku! Sip, deh. Kutunggu, ya. Oh iya, Sebastian bagaimana? Sudah dinikahkan?" goda lawannya itu.

"Sudah. Michaela namanya, punya tetanggaku, si Wordsmith satu itu, lho. Tahu, 'kan? Yang pernah kau taksir," goda Ciel balik.

"Ha? Michaela si anjing golden retriever itu? Kyaah! Lucunyaa!" seru temannya itu. Ciel menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.

"Sudah, ah. Aku sudah mau turun. Dag!" katanya sambil menutup sambungan telepon itu. Dia menaruh ponselnya di dalam tasnya dan turun dari kereta. Menghirup udara hiruk-pikuk London.

_._._._._._._._._._

Jakarta, Indonesia

Kakinya bermain-main di atas lantai, menari dengan iTouch 2 di saku celana pendeknya. Lagu hip hop yang diputar itu menyuruhnya menari terus-terusan. Hingga 20 menit, lagu itu yang diputar terus olehnya.

Ponselnya bergetar di saku celananya yang satu lagi.

"Sebastian Michaelis," katanya.

"Hi there, my bro'. Gue mau ngajakin lo ke taman lagi, bisa nggak? Anak-anak udah siap semua, tinggal lo sendiri. Hari ini, seinget gue, lo lagi nggak kerja. Ikutanlah, kita kurang anak kalau nggak ada lo. Plis?" pinta temannya yang super gaul itu.

"Oh, sip. Gue juga tadi lagi ngebuat style baru, mau gue tunjukkin ke anak-anak. Gue ke sana secepatnya," katanya.

"Asek. Gue tunggu di sini," tutup temannya. Dia mengambil ransel hitamnya dan langsung membuka pintu kamar.

"Ayah, aku pergi dulu," pamitnya sambil mengetuk-ngetuk pintu kerja ayahnya yang terbuka.

"Jam berapa pulang kamu?" tanya ayahnya.

"Maghriban paling," jawab Sebastian. Ia mengambil kunci motor dan menyalakannya.

_._._._._._._._._._

Sebagai seorang bule sejati di grupnya, dia pasti yang paling didekati. Logatnya, meskipun bertahun-tahun di Indonesia, tetap saja tidak berubah.

Orang Inggris seperempat Indonesia, sih.

"Gimana?" tanya Sebastian.

"Tunggu, itu lo sendiri yang buat, Seb?" tanya Lau. Tionghoa satu itu akhirnya membulatkan matanya. Dua bola cokelat akhirnya muncul dari guanya.

"Iya, lah. Siapa lagi yang ngebuat selain gue?" tanya Sebastian balik. Lau masih membulatkan matanya, sebelum mengembalikannya ke tempat semula. Sipit seperti tidur.

"Wow. Itu keren banget. Gila," puji Lau. Sebastian menundukkan punggung sambil berterima kasih.

"Oh ya, Seb. Katanya lo bakal balik ke London, ya? Kita hilang satu anak keren dong di sini," risau Kevin.

"Don't worry, waktu gue punya kocek banyak gue giring lo semua ke sana. Main bareng," kata Sebastian.

"Azek dah. Nih anak keren banget jadi anggota kita," ucap Kevin. Sebastian tertawa kecil, "Ngelebih-lebihin lo! Gue biasa 'aja."

"Heh! Daripada gue, Lau, Victor, sama elo, yang paling keren 'tuh, cuma lo, tauk!" Kevin menjitak kepala Sebastian.

"Sialan lo," Sebastian balik menyikut perut Kevin.

"Hahaha!"

_._._._._._._._._._

London, UK

"Aku bayar sekarang. Oke? Aku janji," kata Ciel. Dia membuat tangannya membentuk huruf 'V'.

"Hah, terserah kamu. Pokoknya kamu musti bayar," teror Angela Landers.

"Sip! Pasti," sahut Ciel. "Boneka ini lucu sekali~!" Ia memeluk boneka itu erat.

"Duuh, nanti rusak jahitannya!" protes Angela.

"Ange, segitunya. Aku takkan merusak barang imut satu ini, ya, 'kan, Elle?" tanya Ciel pada boneka itu.

"Elle?" bingung Angela.

"Dulu ibuku cerita, aku tadinya mau dinamakan Cielle. Jadi mungkin lucu juga jika dia jadi penggantiku. Cielle. Elle," jelas Ciel. Angela mengangguk-angguk.

"Eh, harganya berapa memang?" tanya Ciel.

"10 pound. Cukuplah untuk dompetmu yang segebok itu," tawa Angela.

"Tentu. 10 ya?" Ciel mengambil tasnya dan menghitung-hitung lembaran uang di dompetnya. "Nih!"

"Tuh, 'kan! Pasti cukup. Oke. Sampai jumpa lusa!" kata Angela. Dia mengambil lembaran-lembaran uang itu dan menempelkan pipinya di pipi kanan-kiri Ciel seraya meninggalkannya.

_._._._._._._._._._

"Ayaaah! Aku pulaaaang!" seru Ciel sambil menutup pintu rumahnya. Dia menaiki tangga ke lantai dua dan masuk kamarnya, menaruh boneka beruang di tangannya sebelum mengganti pakaian.

"Bagaimana pertemuannya?" tanya ayahnya, Vincent Phantomhive.

"Keren! Di balik wajah datarnya, ternyata Pak Timber itu orangnya baik, lho, Yah!" jawab Ciel setengah berteriak.

"Baguslah. Ayo, turun. Kakakmu sudah membuat makan malam!" seru Vincent.

Ciel membuka pintu kamarnya dan turun ke lantai bawah. Dia berjalan ke dapur dan hidungnya langsung berbunyi 'sniff-sniff', persis anjingnya, Sebastian. Anjing satu itu juga ikut mencium-cium harumnya Mac and Cheese yang dibuat kakak Ciel.

"Mario, ini enaaak!" seru Ciel sambil membaui terus makanan itu.

"Kamu ini! Cepat makan sana, sudah kusiapkan!" sahut Mario Phantomhive sambil menjitak kepala adiknya itu.

"Apa, sih? Dendam banget!" gerutu Ciel sambil duduk di salah satu kursi.

"Sudah, sudah. Kalian ini," lerai Vincent.

"Nih. Aku sudah makan tadi," Mario melepas celemeknya dan duduk di kursi sebelah Ciel sambil meminum secangkir teh.

"Sebastian makan apa?" tanya Ciel. Mario menunjuk kotak makanan anjing yang sudah dijilat-jilati Sebastian.

"Ih, kenapa tak kau bukakan? Dia bukan manusia, bodooooh!" gerutu Ciel sambil menjitak kepala kakaknya. Dia mengambil sebuah mangkuk dan menuangkan makanan itu seraya berucap, "Maafkan Mario, dia memang lelet dan menyebalkan. Aku tahu, kau pasti ingin mencakarnya."

"Dan jangan jitak aku lagi, karena aku sedang memegang sebuah kotak besar makanan anjing dan aku bisa menaruhnya di mulutmu dan tak akan dipenjara." Ciel melanjutkan perkataannya sambil melirik ke Mario.

"Dasaaar! Huh, Ayah, kenapa sih, kekebalan diplomatis dan izin membunuh Ayah bisa kena ke Ciel juga?" gerutu Mario.

"Kan, kalian Phantomhive. Jelaslah." Vincent menggigit dagingnya dengan santai. "Ayah juga mempunyai dua izin itu dari ujung-ujung keturunan sana," Vincent menunjuk-nunjukkan telunjuknya ke atas, "Dari kakek moyangnya kalian, Vincent Phantomhive dan Ciel Phantomhive," jelas Vincent.

"Ya, jangan tanya kenapa dibilang kakek moyang. Mereka berdua lelaki." Vincent langsung menutup bibir Mario yang sudah mau membuka.

Keadaan yang sama saja di kediaman Phantomhive. Oh ya, jangan lupakan gonggongan senang Sebastian karena sudah diberi makan.

_._._._._._._._._._

Jakarta, Indonesia

8.30 PM

Sebastian Michaelis merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya. Punggungnya sudah capek membantu tangannya menahan berat tubuhnya yang melewati angka 70 itu saat berdiri menggunakan tangan.

Sialan mereka, gumam Sebastian dalam hati.

"Oi, Nak," panggil ayahnya.

"Ya, Ayah? Ada apa?" tanya Sebastian.

"Ada telepon dari Jeanne. Kangen, tuh," kikik ayahnya.

"Kami sepupu, Ayah," gerutu Sebastian sebelum meraih telepon di meja di dekatnya.

"Hai," sapa Sebastian.

"Hai. Akhirnya! Aku bicara juga denganmu. Kangen!" cerocos Jeanne Benvoir-Michaelis dari ujung sana.

"Aduh, aku sebentar lagi balik ke Inggris, sweetie. Sebegitu kangennya kamu hingga harus berteriak-teriak?" gerutu Sebastian.

"Ih, kamu tidak suka saat aku meneleponmu, ya?" tanya Jeanne dari ujung sana.

"Eh? Tentu saja aku senang!" bingung Sebastian. Salah tingkah.

"Haha, kamu tetap saja lucu. Sudah fix untuk kembali ke Cambridge? We miss you here," kata Jeanne.

"Sure! Aku juga kangen kalian. Ayahku sudah membayari ini-itu dan akan memberiku dana yang lumayan banyak. Aku akan aman di sana. Lagipula, aku juga akan tinggal dengan ibuku. Yang cantik itu, lho," tawa Sebastian.

"Oh, ya, Sebastian," Jeanne mulai bersin di tengah-tengah, "Ada anak baru. Dia cantik, cantik sekali. Umurnya beda 4 tahun dengan kita, memang masih ambil bachelor. Tapi dia pintar dan … ugh, pokoknya keren, deh! Cocok banget sama kamu," lanjut Jeanne.

"Siapa, siapa? Aku penasaran, nih." Sebastian terlihat excited.

"Namanya Ciel Phantomhive. Putri kedua Vincent Phantomhive, pemegang Funtom Co. yang kebetulan juga tangan kanannya PM Inggris. Kalau aku tidak salah, dia kan mitra perusahaan ayahmu, yang memberi modalnya," jawab Jeanne.

"Oh, Ciel? Seingatku, Paman Vincent hanya punya Mario, deh," gumam Sebastian sendiri.

"I don't know. Jelasnya, ada anak baru bernama Ciel Phantomhive," kata Jeanne. "Sudah dulu, ya? Aku mau pulang dulu. See ya," tutup Jeanne. Setelah mematikan teleponnya, Sebastian turun ke kamar ayahnya dan duduk di pinggiran ranjang.

"Ayah, Ayah ingat Paman Vincent, 'kan?" tanya Sebastian.

"Tentu saja Ayah ingat. Dia yang memberi modal Ayah untuk membuat perusahaan Ayah. Kenapa?" tanya David Michaelis.

"Paman Vincent punya putri bernama Ciel, memangnya?" tanya Sebastian balik.

"Hmm, iya. Kamu memang tidak tahu, Vincent memang sudah putus kontak denganmu. Ini anaknya," David memberikan ponselnya. Di layarnya yang panjang itu, terdapat sebuah wajah gadis imut dengan seragam Hornsey School for Girls bewarna hitam dan tulisan yang sama terpapar besar di belakangnya. Kedua matanya yang berbeda warna itu membola, bibirnya yang kecil tersenyum, dan tangannya yang terlihat mungil itu dimasukkan ke saku jas sekolahnya.

Cantik, cantik sekali! Tapi dia pintar dan … ugh, pokoknya keren, deh!

Benar. Wajahnya cantik sekali, seperti malaikat yang baru turun ke bumi. Wajahnya terlihat pintar dan stylish. Pantas dibilang tiga kata yang diucapkan Jeanne.

"Ooh, oke! Makasih, Yah," Sebastian mengembalikan ponsel itu dan memeluk ayahnya.

"Kenapa memangnya?" tanya David.

"Oh, tidak, tidak ada apa-apa, kok!" Sebastian tersenyum dan meninggalkan kamar ayahnya.

_._._._._._._._._._

London, UK

4.30 PM

Saat Ciel baru saja mau selesai mengeringkan rambutnya, ponselnya berderit ramai. Suara Hannah itu berteriak-teriak dari benda 11 senti di meja kacanya. Membuat getaran yang begitu kentara di telinganya.

Ia pasang speaker di ponselnya. "Ada apa, honey?"

"Sayaang! Kamu tahu, 'kan, laki-laki yang sering kuceritakan?" rusuh Grell Sutcliff di ujung sana.

"Tentu saja. Sebastian Michaelis, 'kan?" tanya Ciel.

"Yup! Dia mau pindah ke Cambridge lagi, Cieel! Dia balik ke Cambridge! Betapa Tuhan mengasihiku?" tanya Grell dengan—pasti—bunga-bunga di mata hijau kekuningannya.

"Aduuh, iya, iya. Yesus lagi sayang sama kamu, jadi Dia memberikanmu 'keuntungan' dengan datangnya Sebastian ke Cambridge." Ciel menimpali. Dia tertawa kecil mendegar temannya yang beda empat semester dengannya itu.

"Kamu juga pasti senang, kok, bertemu dia! Pasti! Pasti! Paasti!" seru Grell.

"Aduh, iya, iya. Aku pasti senang. Keluargaku pasti senang," jawab Ciel.

"Lho, kok, keluarga?" tanya Grell. Ups …

"David Michaelis itu diberi modal perusahaan oleh ayahku dan dua dirut perusahaan lain," jawab Ciel. Grell ini mungkin orang ke-1001 yang bertanya ada hubungan apa keluarganya dan keluarga Michaelis.

"Oke, terserah kau. Tapi tetap saja, Sebastian baliiik!" seru Grell.

"Aduuh, rambutku tersangkut hair dryer, tahu! Sudah, ah. Sampai bertemu di kampus!" Ciel menutup sambungan teleponnya dan mematikan hair dryer-nya.

Kakinya diseret ke ruang kerja ayahnya. "Ayah, aku pingin lihat wajah Sebastian Michaelis, dong," pintanya. Anjingnya, Sebastian, yang tadi mengikutinya dari kamar ke ruangan ayahnya, menjilati tangannya, mengira dipanggil.

"Ini," Vincent memberikan ponselnya yang menampilkan wajah rupawan seorang Michaelis muda itu. Iris cokelat cenderung merah—bahkan persis seperti ruby jika tidak dilihat hingga rincinya—itu mengecil, dipotong senyuman lebar dari bibir merah yang membuat cekungan. Helaian rambut yang dibuat gaya Harajuku itu sedikit menempel di wajah dan lehernya. Kulit putih pucatnya kontras dengan syal cokelat tua yang pemuda itu pakai.

Terlihat dedaunan yang jatuh ke bawah dan taman di daerah Shoreditch. Jaket hitamnya yang menutupi kemeja linen putih itu mengikat tubuhnya seperti ponsel. Tato pentagram yang terlihat keren di punggung tangan kirinya itu dipamerkan dengan jemari yang dibuat huruf 'V' ke samping. Kuku-kuku yang dicat hitam itu juga membuat penampilannya semakin …

… rupawan.

Kedua pipi yang merah karena—perkiraannya—kedinginan akibat angin musim dingin yang mulai menabrak musim gugur, membuat penampilannya makin indah dilihat.

Pantas, Grell berteriak-teriak di ponselnya. Orang ini memang … sangat, sangat rupawan. Tampan. Keren. Stylish. Terlihat pintar.

"Terima kasih, Ayah!" Ciel mencium pipi ayahnya dan berlalu diiringi Sebastian.

"Jangan-jangan dia menaksirnya, ya?"

*u*

Bandung, Indonesia

Sarah melihat ke arah laptop-nya yang tertutup. Tangannya memegang kacamata di hidungnya, berencana melepasnya. Beberapa novel dan komik yang dijejerkan di sebelah tape Polytron besar di meja di kamarnya itu menemani tidur laptop-nya untuk keesokan harinya, di mana kisah itu akan berlanjut.

Nanti. Sekarang, dia perlu melanjutkan dunianya sendiri.

*u*

To be Continued

*u*

Hornsey School for Girls: Sekolah anak-anak cewek di London, sekolahnya kakak temen saya *dungcek* Itu kalau terakhir saya cek, seragamnya tuh warnanya hitam. Bawahannya saya lupa, antara abu-abu or hitam juga. Atasannya jas/jaket antara itu warna hitam sama kayaknya kemeja sekolahan standar warna putih. Paling (meureunna mah) ada tulisan Hornsey School for Girls di atas kirinya, daerah jantung-jantung gitudeh~. Sekolahnya GEDE BANGET, sumpah. Kayaknya se-Santo Aloysius, but mungkin bigger than Aloysius -_- HUWA SAYA MAU MASUK SMP ALOYSIUUS! *salah*

Intinyamah: Hornsey School for Girls itu beneran ada.

*) Heterochromia iridum: Saya nggak yakin namanya bener nggak, tapi saya inget persis itu gejala apa. Mungkin rata-rata udah pada tau ya, mengingat mata Ciel yang beda warna. Sebenernya awalnya saya mau cari ada gejala orang matanya merah nggak, buat Sebas. Tapi malah ketemu ini. Jadi ini kasus orang yang punya mata beda. Kalau di spesies kucing, biasanya disebut van kedisi *kepikir kucing van kedisi yang hilang* *nggak nyambung*. Ada yang full dua-duanya, ada yang nggak. Contoh-contoh orang famous yang heterochromia iridum, sejauh yang saya ingat, itu Alexander the Great sama Mila Kunis.

*u*

Aneh, iya, gue tau-_-

Gimana ceritanya Sebastian bisa gue-elo-an dan jadi anak gahoelZzZ gitu juga gue bingung actually -_-

Oh iya, tentang luka di kakinya Sarah Adriana itu bener *tunjuk2 kaki yang diplester

Tapi yang soal digencet ban itu sih gosip lama, ini luka gegara troli Carr*four Kiara Condong ._."

Ini juga saya buat gegara bosen nungguin nilai UKK nongol dari peradaban =A=" Habisnya belum fix udah belajar lagi, sih! Pelajaran kelas nanti, lagi! Guru nggak adil! *curcol *digeplak

Udah, ah. Sebelum Anda-Anda semua menimpuk saya pakai wajan, saya pamit.

Review or Fave?

(Omong-omong, kok dari gue-elo jadi saya-Anda ya?)