"Aku tahu bahwa kau pemain handal, memojokkan aku dalam palung batin yang telah kau buat. Alur yang kau ciptakan pun nyaris sempurna. Namun kau hampir lupa, lantunan musik yang penuh goresan elegi itu tetaplah milikku. Nada-nada menyayat hati yang terangkai dikala senja hari itu jugalah milikku. Bagiku, kau tak berarti apa-apa."

"Aku masih mencintaimu, seperti dahulu. Dan aku berharap perasaanmu padaku juga masih sama. Meskipun kau seringkali terluka karenaku."

.

.

.

.

Disclaimer : "Bleach", by Tite Kubo

Story : Original by Nagano Yuugi

Rated : M

Genres : Crime/Tragedy/Romance

Main Pair : Rukia K. & Ichigo K.

.

.

.

.


The Melody of Elegy


~Prologue~

Taman Kota Karakura, 20 Maret, pukul 16.30

Seorang gadis bersurai hitam sedang duduk santai di sebuah bangku panjang yang terlindung dari sengatan Sang Surya oleh sebuah pohon besar menghadap danau sambil sesekali memejamkan mata indahnya yang beriris violet. Ia membiarkan helaian rambut lembutnya sedikit bergoyang ketika angin senja dengan nakal membelainya. Ia sangat lelah. Seharian ini ia harus mengurusi berkas-berkas kepindahannya yang hanya tinggal seminggu lagi. Beberapa kali ia menghembuskan nafas berat, seolah berharap pikiran kalutnya akan sedikit terkurangi dengan melakukan hal itu.

Sebuah nada lembut berdering dari smartphone-nya menandakan adanya telepon masuk, membuatnya sedikit terlonjak. Dengan sedikit menyipit dia melihat nama yang tertera pada layar ponselnya itu. Ia mendengus dan terdiam beberapa saat hingga akhirnya memutuskan untuk menjawab panggilan itu.

"Moshi-moshi, ada apa?" tanya gadis itu tanpa basa-basi setelah mengucapkan salam kepada seseorang di seberang.

"Hey, jangan terlalu tegang begitu Rukia.. Bukankah aku sudah mengingatkanmu agar sedikit lebih santai?" sahut suara laki-laki di seberang. Sedikit terkekeh mendengar pertanyaan langsung dari teman kecil sekaligus rekan sepekerjaannya itu.

"Aku tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan basa-basi tidak penting seperti yang kau inginkan, Renji. Katakan apa maumu," ucap sang gadis bernama Rukia itu. Kata-katanya cukup dingin sebagai seorang perempuan.

"Ayolah, Rukia.. Jangan terlalu tegang begi—"

"Akan kututup jika kau meneleponku hanya untuk membicarakan hal yang tak penting," sela gadis bermahkota hitam itu tanpa menghiraukan dengusan dari orang yang sedang berbicara dengannya melalui telepon.

"Baiklah, baiklah. Jadi begini..."

Laki-laki itu mulai mengatakan keperluannya menelepon gadis itu. Hening sejenak. Gadis itu mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya dengan teliti. Beberapa kali dia mengangguk mengerti sambil berguman lirih. Sepertinya mereka sedang terlibat pembicaraan yang sangat serius.

"Wakatta. Besok aku sendiri yang akan pergi menemui orang itu," tanggapan singkat itulah yang terlontar dari mulut Rukia setelah terdiam sekian lama mendengarkan penjelasan dari Renji.

"Rukia, kau tidak perlu melakukannya jika kau tak ingin. Jangan pernah memaksakan diri." Renji berbicara dengan nada yang pelan, namun masih bisa didengarkan dengan jelas oleh Rukia. Nada suaranya terdengar khawatir atas apa yang akan dilakukan oleh rekannya.

Menyadari perubahan suara Renji, lantas Rukia bermaksud menenangkannya dengan berucap, "Dasar, bodoh! Kau tahu kan kalau aku adalah Rukia Kuchiki!? Tenangkanlah dirimu Renji, aku akan baik-baik saja."

Beberapa detik terlewat tanpa suara diantara mereka.

"Aku sangat ingin percaya padamu Rukia, tapi aku benar-benar menghawatirkanmu," Renji akhirnya membuka percakapan lagi.

"Percayalah, kau tidak perlu merasa seperti itu. Kau tahu kan kalau aku bukan anak kecil lagi? Hehehe...," hibur Rukia dengan tawa yang sengaja ia lafalkan dalam suku kata, berharap agar teman masa kecilnya itu sedikit tenang.

"Baiklah, aku akan percaya padamu," ucap Renji pada akhirnya. "Tapi berjanjilah kau tidak akan memaksakan diri seperti beberapa minggu yang lalu," tambahnya, terdengar ia menghembuskan nafas berat.

"Aku janji," kata Rukia sambil menyunggingkan senyum tipis yang bahkan tak akan disadari oleh lawan bicaranya. "Arigatou, Renji...," ucapnya kemudian.

"Douita . Berhati-hatilah," balas Renji.

Rukia menutup teleponnya setelah mengucapkan salam. Ia kembali terdiam. Langit senja mulai menunjukkan pendar indahnya. Warna jingga yang begitu menenangkan menyelubungi megahnya langit sore di Kota Karakura. Pikiran Rukia menerawang jauh pada masa lalunya. Kilasan-kilasan memori yang selama ini selalu ia simpan, kini mulai menyeruak kembali. Timbul dan tenggelam. Bayangan seseorang dari masa lalu yang mati-matian ia kubur, kini muncul kembali. Violetnya berkaca-kaca.

"Kami-sama, aku mohon tetaplah bersamaku. Berkahilah langkahku," lirihnya sambil memejamkan mata. Ia menahan gejolak di dalam hatinya sambil berdo'a dan menahan agar amethyst-nya tak meluruhkan air mata. Ia berdo'a dengan segenap raga dan jiwa, dengan segenap pikiran danketulusan perasaan agar Tuhan tak meninggalkannya.

"Keluarlah, aku tahu kau di sini..," ucap Rukia tiba-tiba tanpa mengubah posisi duduknya. Ia menyedekapkan tangannya di atas perut rampingnya.

Beberapa saat berlalu tanpa ada yang berubah membuat Rukia refleks menarik sebuah pistol dari paha kanan yang terlindung gaun pendeknya. Ia selalu menyembunyikan senjata api –revolver- di kedua pahanya. Pakaiannya akan menyamarkan senjata itu dari pandangan banyak orang. Ia hampir saja menarik pelatuknya ke arah yang sejak tadi dicurigainya jika orang yang dia ajak bicara tidak segera menampakkan diri.

"Yo, Rukia!"

Rukia berdiri dari bangku yang sedari tadi di dudukinya ketika mengetahui siapa yang ada di sana bersamanya. Matanya sedikit membulat menunjukkan keterkejutan sesaat setelah orang yang dimaksud menunjukkan diri, lalu dengan segera ia memperbaiki mimik muka dan pandangannya. Pistol yang sebelumnya Rukia arahkan pada orang itu diturunkan perlahan, namun belum ia simpan kembali. Mereka saling tatap seakan dengan melakukan hal itu, mereka dapat berbincang melalui isyarat mata.

Angin senja yang awalnya biasa saja, entah kenapa terasa semakin dingin. Selaras dengan langit senja yang mulai berubah menjadi keunguan. Di hadapan Rukia kini adalah seorang laki-laki yang dikenalnya dengan sangat baik. Pistol masih digenggamnya dengan erat. Hawa dingin mulai menusuk permukaan kulitnya. Matanya masih mengawasi orang yang sekarang berhadapan dengannya. Gadis pemilik iris violet itu selalu bisa menyembunyikan perasaannya di balik ketenangannya. Ia memang telah menyadari bahwa ada seseorang yang mengikutinya, tapi ia benar-benar tak menyangka bahwa orang ini yang sejak tadi memperhatikan semua gerak-geriknya.

"Kau masih sama seperti terakhir kali aku berjumpa denganmu," ujar laki-laki itu dengan tatapan lembut dan senyum yang hanya bisa diartikan oleh gadis di hadapannya. "Aku sangat merindukanmu, Rukia."

Mata Rukia membulat setelah mendengar kalimat yang meluncur dari bibir laki-laki di hadapannya kini. Ia menatap tak percaya pada seseorang yang sedang berdiri di hadapannya. Namun segera saja ia tersadar dan memperbaiki semuanya dengan memasang kembali wajah tenangnya. Pistol yang ia bawa disematkannya lagi di pahanya setelah yakin bahwa laki-laki di depannya saat ini tidak akan melakukan sesuatu hal yang akan membahayakan dirinya. Hening menyelimuti keduanya. Detik detik yang terlewat terasa begitu membekukan. Mata bertemu mata. Manik bertemu manik. Amethyst bertemu amber.

Dalam diam mereka saling menyapa. Melalui tatapan mata mereka saling bicara. Yang dipandang dan yang memandang, ada banyak memori di antara keduanya. Tetap diam dan saling tatap, disaksikan oleh Sang Senja yang mulai tergantikan Sang Purnama.

~Prologue End~


Author's note:

First fanfict dari saya sebagai orang baru di FFn ini. Maafkan jika masih ada typo yang bertebaran, EYD yang nggak sesuai, atau pemilihan diksi yang kurang tepat. (/_\)

Ini masih prolog sih, jadi belum cerita inti. wkwkwk

Bagi readers yang telah menyempatkan waktunya untuk membaca, saya akan sangat berterima kasih jika kalian juga menyempatkan waktu untuk me-review. :)

Oke, sepertinya saya sudah terlalu banyak bicara.

Akhir kata, Jaa ne~ ^^