Di jurusan ini, mereka dipertemukan. Tak selamanya hidup semulus kaca benda, namun tak selamanya sekasar sisik ular. Jalani kehidupan ini tanpa penyesalan. My first Fanfic, Retell OVA "A Choice With No Regret". Biology College! AU. Multichapter. Some OCs and plot twists. Pardon my typo(s) and misspelling. Reviews are needed. Attack on Titan and the characters belong to Isayama Hajime.
Tempat ini sempit, tapi hati ini lapang...
Hingar bingar dunia kampus tidak akan lepas dari kata ospek, kuliah, tugas, ujian, klub studi, atau ormawa. Tidak semua warga kampus terlibat dalam semua kegiatan tersebut. Perbedaan kegiatan dalam kampus tersebut membuat perbedaan kisah juga dari setiap warga kampus.
Adalah Levi dan Farlan, mahasiswa semester 5 di jurusan biologi Universitas Kemerdekaan, yang baru saja kembali dengan kesibukan kampus setelah beberapa minggu lalu libur pasca ujian semester. Dua pemuda ini juga merupakan bagian dari kesibukan kampus: menjadi mahasiswa yang mengikuti kuliah dengan rajin dan mendirikan English for Biologi Club. Klub ini bukan sekedar organisasi, tapi juga merupakan sumber penghasilan mereka.
Mungkin kalian tahu TEP (Test of English Proficiency), salah satu momok bagi para mahasiswa untuk syarat kelulusan. Ya, mereka mencari uang dengan melawan momok tersebut dengan membuka kursus untuk persiapan TEP, menjual buku latihan TEP atau kamus-kamus English yang bisa digunakan bantal itu.
Karena masih dalam masa ospek, Levi dan Farlan memutuskan untuk bertemu di base camp klub studi mereka. Biasanya, saat ospek seperti ini adalah masa pengenalan klub studi juga. Tapi mereka tak tertarik untuk mempromosikan klub studi ini. Asal nama klub studi sudah masuk daftar, sudah cukup.
"Levi, bagaimana IPK terakhirmu?" Farlan memecah keheningan base camp sambil bertanya pada Levi yang memanaskan air dengan heater.
"Tidak buruk," ujar Levi
"Sudah kuduga. Semester lalu terlalu banyak praktikum. Ada salah satu mata kuliahku yang nyaris tak lulus. Dan lagi, orderan bulan lalu banyak, aku terlalu fokus pada TEP," ujar Farlan.
"Seharusnya kau bisa membagi waktu. Kau ingin lulus dengan baik, tepat waktu, dan segera bekerja untuk ibumu, kan?" Ucap Levi datar sambil melihat air dalam heater yang hampir mendidih dengan wajah datar.
"Begitu, ya? Entah sampai kapan aku bisa mengumpulkan uang untuk membahagiakan ibu," jawab Farlan yang menunduk.
Levi menuang air panas ke mug, Farlan masih menunduk sambil memijati tengkuknya yang terasa berat setelah membahas IPK. Keduanya tiba-tiba saling pandang ketika ada seseorang yang mencoba mendobrak pintu base camp mereka. Farlan mendekati pintu
"Aku buka ini?" tanya Farlan pelan sambil memegang gagang pintu. Levi hanya mengangguk saja.
1, 2, 3...bruaaak!
"Whaaaaak!" seorang gadis dengan rambut brunette diikat dua terpelanting ke dalam base camp.
Farlan memandangi gadis ini dengan wajah heran. Levi pun bergeming.
"Mahasiswa baru dia sepertinya." Ucap Levi datar.
"A..ku, gak suka os...pek. Gak suka!" ujar gadis itu terengah-engah. Sepertinya habis berlari.
"Oh, mahasiswa baru, kan? Mungkin kamu harus sedikit belajar sopan santun," lagi-lagi Levi berbicara tanpa ekspresi.
Dari luar, terlihat sekumpulan laki-laki berseragam seperti gadis ini berlari kecil sambil melihat kanan kiri, menengok ruangan-ruangan kecil di sekitar koridor sambil berteriak,
"Isabel, ayo selesaikan tugasmu!"
Levi baru tersadar bagaimana situasinya,
"Cih, kabur dari acara inti, ya?"
Kumpulan laki-laki tersebut sampai di base camp English Club,
"Maaf, kak. Kami mencari teman kami yang kabur dari barisan. Ada tugas penting yang tidak dia selesaikan."
"Apakah kalau dia kabur kalian rugi?" tanya Farlan masih memasang senyum.
"Jelas kak. Kalau tugas itu tidak selesai, satu kelompok kita yang kena," jawab salah satu dari mereka. Bisa diduga, mereka mahasiswa baru.
Levi memandang datar mahasiswa-mahasiswa baru dengan tampilan sangar itu. Salah satu mencoba menerobos masuk ke base camp. Tiba-tiba, thuuuk! Jari-jari Levi menyentil dahi mahasiswa tersebut.
"Aduh, sakit kak!" anak yang menyerobot masuk base camp menjerit memegangi dahinya.
"Dik, kalau masuk tempat baru itu permisi dulu dan alas kaki harus lepas. Ini barusan didesinfeksi, lho," Farlan berkata dengan santai.
"Maaf, Kak!" seru mahasiswa baru tersebut lalu berlarian.
Anak laki-laki itu sudah pergi, Levi dan Farlan masih memandangi gadis yang masih terduduk di dekat pintu,
"Mau sampai kapan kamu duduk di situ? Sampai lulus?" tanya Levi pada gadis itu.
"Tapi, tadi aku capek lari-lari dari mereka supaya dia nggak mati," gadis itu menunjukkan kotak bening berisi ikan alligator gar yang ada di tangannya.
"Jangan-jangan ini buat awetan basah, ya? Kamu pasti tidak tega membunuhnya. Tapi kalau kotaknya segitu dia cepat stres, lho," ujar Farlan.
"Oh, ya?" tanya gadis itu terkejut.
Benar saja, kotaknya hanya sebesar 25 * 17 * 15 cm. Alligator gar yang panjangnya hampir 20 cm ini bisa dipastikan tidak leluasa bergerak. Farlan bergerak mencari sesuatu di belakang base camp dan menemukan kotak kaca bekas taksidermi yang lebih besar. Lalu memindahkan alligator gar ke dalam kotak tersebut.
"Wah, dia jadi bebas bergerak. Terima kasih, kak. Oh iya, namaku Isabel. Kalau kakak?"
"Farlan. Kalau yang itu Levi."
"Oh, Bang Levi?"
"Hah, Bang Levi?"
"Wah, iya. Aku panggil Bang Levi saja, ya. Soalnya Bang Levi baik sama aku, hihi," seru Isabel dengan unjuk gigi.
"Oya, ini salah satu klub studi resmi di jurusan biologi, kan? Aku gabung klub studi ini sekalian, ya," pintanya.
"Hah?" tanya Levi dengan wajah sinis.
"Aku sudah pernah lihat Bang Levi dan Kak Farlan di majalah jurusan biologi beberapa semester lalu. Kalian terkenal. Kak Farlan terkenal suka menulis, terutama tentang tumbuhan dan Bang Levi dikenal banyak pengetahuan tentang biologi dan Bahasa Inggris," urai Isabel memuji mereka.
Tidak ada pilihan lain,
"Kalau memang niat, belajarlah desinfeksi, baru belajar Bahasa Inggris," kata Levi sambil berlalu.
"Heh?" Isabel bingung dan menatap Farlan. Farlan hanya tersenyum sambil mengangguk,
...artinya, BOLEH...
Beberapa menit, setelah kontak dengan sapu, obat pel, dan klorox,
"Kak, kenal Benjamin Anderson?" tanya Isabel.
"Oh, orang yang menyanyikan lagunya Hiroyuki Sawano itu ya?" jawab Farlan sambil mengingat-ingat.
"Bahasa Jermannya kacau," Levi mulai bicara.
"Bukan masalah kalau itu. Aku suka lagunya. Boleh menyalakan musik di sini?" Isabel mulai mengeluarkan MP3 player.
"Tidak!" jawab Levi tiba-tiba.
Isabel dan Farlan hanya menatapi pemuda datar satu ini. Kalau sudah bilang tidak, ya tidak.
Sebenarnya, dalam hati, baru sekali ini Levi memiliki tambahan 'teman'. Beranggapan kalau mendengar musik akan mengganggu komunikasi mereka, Levi melarang menyalakan musik di ruangan itu.
Ya, ruangan yang memang sempit ini -bekas gudang taksidermi yang dirombak menjadi markas- mulai terasa lapang, pikirnya.
