Life
.
"Kehidupan adalah sinar kecil di antara dua keabadian."
Thomas Carlyle
.
Disclaimer: Death Note bukan punya saya.
Warn: OOC
.
"Sebelum lahir, kita terjebak dalam ketiadaan. Setelah mati, kita kembali ke keadaan itu." Near berkata pelan.
Suaranya yang tak lebih besar dari sekedar bisikan menyatu dengan uap dingin di tengah guyuran hujan deras pemakaman. Butiran air berebut menghantam bumi yang penuh rumput. Suasana sepi dan sedikit berkabut sore itu.
Awal musim panas menghampiri dengan udaranya yang sedikit lembab.
Di sebelahnya, Gevanni berdiri dengan sebuah payung hitam yang terkembang.
Near menunduk sebentar sebelum keluar dari pelindungnya dan menerima hantaman air dengan tangan terbuka. Sekejap, pakaian dan rambutnya basah. Gevanni segera maju, berniat kembali membagi payung, tapi Near mengisyaratkannya untuk berhenti.
"Tidak apa," katanya, "Aku ingin main hujan."
"Tapi –"
"Kau bisa bergabung jika ingin," tawarnya yang tak ditolak Gevanni. Pria tinggi itu segera mendekat, menutup payungnya dan mengambil tempat di salah sisi paling kanan makam dari empat yang ditempatkan berderet.
Mello.
Di atas nisan terpahat dengan huruf cetak; Mihael Keehl.
Seorang yang sempat digadang-gadang menjadi rival Near untuk menjadi penerus L. Pemuda pirang berambut panjang sebahu, meledak-ledak, dan, tentu saja, jenius. Di akhir, dia memutuskan untuk membantu Near mengalahkan Kira, lalu menerima konsekuensinya; mati.
Hal yang sama juga terjadi pada rekan di sebelahnya; Matt.
Gevanni merasakan pakaiannya yang terasa semakin berat. Setelan lengkapnya yang selalu rapi kini basah dan menampung air dalam massa yang cukup banyak. Pelan-pelan, udara dingin merambat.
Gevanni melirik orang di sebelahnya.
Pemuda itu cuma diam. Near tidak banyak melakukan pergerakan. Dia hanya duduk di sana, menunduk, dan membiarkan dunia berjalan dengan air dan suhu rendah berputar-putar di sekelilingnya. Rambut-rambut putihnya saling melekat, beberapa menempel dengan kening. Matanya yang besar tak terlihat dengan sikap tubuhnya yang seperti itu.
Gevanni jadi mengira-ngira.
Di sebelah Mello dan Matt, ada L, sosok yang jadi tujuan kompetisi Near dan Mello. Kemudian, ada juga Watari. Mereka semua adalah anggota Wammy, sama seperti Near.
Mungkin Near begitu terpukul hingga dia diam seperti ini.
Lima menit berlalu, Gevanni memutuskan diam dan menunggu.
.
Gevanni menekuk lengan bajunya untuk melihat waktu. Mereka telah berdiam diri di tempat itu selama hampir setengah jam.
Matanya melirik Near, bertanya-tanya apa yang dilakukan pemuda itu dalam diamnya?
Dia bahkan sudah bersin tiga kali dan Near sama sekali tak bergeming.
Tiba-tiba, sesuatu terasa menghantam kepalanya. Rasa panik menyerang dan membuat matanya sedikit membesar. Dia melihat Near lagi, memastikan kalau memang sosok itu belum bergerak sedikit pun semenjak tadi. Mulutnya tiba-tiba saja kering. Dia mendekat sambil mengumpulkan tenaga untuk sekedar bersuara.
"Sebentar lagi. Aku masih ingin di sini sebentar lagi."
Suara itu muncul sesaat sebelum Gevanni bicara. Si rambut hitam menghela nafas lega setelah tahu kalau Near masih memiliki kesadarannya. Dia kembali menempati posisi awal dengan gesture rileks.
Lima menit, dan Near beringsut. Suara gesekan antara rumput dan alas kakinya berkecipak di tengah genangan air yang rendah. Setangkai lili putih di letakkan satu-satu ke tiap makam. Mulai dari Mello, Matt, L, dan Watari. Dia berhenti agak lama di hadapan Mello dan L.
'Mungkin sedikit 'berkomunikasi', pikir Gevanni.
Lalu dia ikut berdiri.
Hujan masih turun. Kabut tipis mulai hadir.
'Cuacanya kelabu,' Gevanni berkomentar lagi.
Ini adalah pemakaman. Tidak ada hal yang penuh warna dan indah. Tempat ini didominasi abu-abu, kesunyian, dan sedikit air mata. Di cuaca seperti itu, hanya ada mereka berdua di sana; yang satu sibuk merenung, satunya lagi berjaga seperti pengawal pribadinya.
"Hidup itu singkat."
Ucapan itu membuat Gevanni menoleh. Near menatap nisan L yang dihampiri sehelai daun kuning yang tak lebih besar dari telapak tangan.
"Waktu terbang dan maut kadang-kadang menjemput saat kita masih di puncak." Near berkata lambat-lambat. Kemudian, dia dan mata besarnya mencari Gevanni, "Iya, kan?" dan meminta persetujuannya.
Pria itu menunduk, melihat lagi ke empat makam yang ada di depannya, lalu menyahut pelan, "Ya, Sir."
Near melangkah pergi.
.
Fin
