VOCALOID fanfict: Tragedy In The 7th Night

Arasa-chan: "Yosh! Kita mulai fict gaje ini~~. Ini adalah semacam.. Engngng.. lanjutan secara tak langsung dari Len's Family Name. Tapi kalau belom baca juga gak apaapa, karena kaitannya sih gak terlalu banyak,kok~ Engng, terus, cerita ini cuma terdiri dari satu PoV yaitu Normal PoV.. Soalnya saya bingung kalo gonta-ganti PoV... maklumlah saya masih amat newbie~ ehehehe..."

Rin: ".. btw, Disini kayaknya kita menderita banget deh."

Len: "Tau nih!"

Arasa-chan: *Mendengus kesal* "Bhuuu... Kan biar seru gitu lhoo~"

Rin: "...Len,..."

Len: "Ya?"

Rin: "...Bait pertama Gubuk Derita tuh kayak apa ya?"

Arasa-chan: "...NO WAAAY! DUNIA BISA ANCUR KALO KALIAN NYANYI GUBUK DERITA! BEGITU PULA KALO VOCALOID PUNYA SAYA! (sekalian disclaimer gitu lhoo~VOCALOID khan punya YAMAHA~Crypton Media Future Inc.~~)"

Rin: "Bodo amat. Walau hidup ini di gubuk de.."

Arasa-chan: "TIDAAAAAAAK!"

Len with sweatdrop: "Yaudahdeh daripada makin panjang.."

Bertiga: "...MULAI~"


Part 1

"Hei, itu di sebelah sana!" "Hati-hati..!"

"...IBUUUUU!"

"Tenang nak, Dia baik-baik saja..!" "Bawa ke sini cepat!"

Suatu malam yang gelap, sebuah keributan membangunkan Len dari tidurnya. Ia mengucek-ngucek matanya.

"...Emmmh... Rin?"

"..."

"Rin?"

"...Apa?"

"...Suara ribut apa itu?"

"Ngggh..."
Rin mengulet, lalu bangun dan berjalan menuju jendela. Ia terdiam sejenak, sepertinya mengamati yang terjadi.

"...Ya, ampun..." bisiknya.

"...Apa? Ada apa?" Len ikut berdiri, dan berlari mendekati Rin.

Rin menunjuk ke luar jendela. Terlihat di luar, ada seorang Ibu, sedang dibopong menuju ambulans. Wajah beliau pucat sekali. Tampak orang-orang sibuk membopong, dan membantu memasukkan beliau ke ambulans. Ada seorang bapak yang memeluk anaknya yang menangis keras.

"...Ibu itu kenapa...?"

Sebelum Rin menjawab tidak mengerti, Ibu itu membuka matanya dan melihat ke arah mereka. Mereka langsung ingin menjerit karena takut, tapi...

...Tok tok tok!

"Rin, Len, bangun! Tolong buka pintunya." Sebuah suara yang terlihat tergesa- gesa, dari luar kamar, terdengar seiring dengan suara ketukan pintu.

Len berlari menuju pintu dan membukanya. "Ah, ayah," ujarnya.

"Ada apa, ayah?" Tanya Rin, sambil berpaling dari pemandangan di luar jendela.

"...Kalian di sini dulu, jangan keluar. Ada seorang Ibu yang terkena penyakit mematikan yang bisa menular, kabarnya penyakit itu belum ada obatnya. Kami akan keluar melihat keadaan. Kalian jangan keluar. Betul-betul berbahaya. Mengerti?"

Len dan Rin terbelalak, lalu berpandangan dan mengangguk mengerti.

Ayah mereka balas mengangguk, lalu pergi dengan tergesa-gesa.

"...Jadi..."

"...Mengerikan," Tukas Rin.

"Ayah berkata menular, tapi banyak yang melihatnya dan membopongnya. Apa tidak berbahaya? Kalau mereka semua tertular, kota ini..."

Len bergidik ngeri. "Pokoknya kita ikuti kata Ayah. Jangan keluar. Kita pantau dari sini saja," Sahutnya sambil berlari lagi ke arah jendela. Rin mengangguk.

Malam itu cukup menegangkan. Tepat malam ketujuh Len tinggal di rumah kediaman Kagamine, setelah melalui banyak hal.

"...Aku ingin kembali tidur dan lupakan wajah ibu-ibu tadi, tapi aku tak bisa tidur, rasanya tidak tenang." Ujar Len.

"Kau pikir aku tidak? Kita terlanjur lihat! Kira-kira bisa menular dari kontak mata, tidak, ya?" Ucap Rin sambil bergidik.

"...Rin..."

"Apa?"

"...Aku tahu kamu bodoh, tapi tak kusangka kamu sampai segitu bodohnya sampai mengira penyakit bisa menular lewat kontak mata. Dihalangi kaca jendela, pula. =_= "

"...APA!" Rin langsung tampak kesal, dan mengejar-ngejar Len yang berlari mengelilingi kamar yang luas itu dengan tampang aneh, dan sambil menjulurkan lidahnya.

Setelah capek kejar-kejaran, mereka menghembuskan nafas. "Mengesalkan, tapi aku merasa lebih lega," papar Rin, sambil mengelus-elus dadanya. "Huh.."

"Itu lebih baik, 'kan? Daripada ingat kontak mata itu, hii..."

Rin terdiam sejenak, lalu tersenyum usil.

"Hei, Len,"

"Apa?"

"...Aku tahu kamu penakut, tapi tak kusangka kamu sampai segitu penakutnya sampai takut pada kontak mata, dihalangi kaca jendela, pula! :p"

"...APA! KAMU BERNIAT MEMBALAS!"

Rin bersiap untuk berlari dan Len bersiap untuk mengejar, tapi di detik yang sama, tepat saat itu juga, terdengar teriakan dari balik jendela...

"LEN, AJAKLAH RIN KABUR KE RUMAHMU DI PINGGIR DESA, CEPAT!"

"LEN, RIN, CEPATLAH!"
Len dan Rin tertegun, mereka langsung bertatapan, dan berlari bersamaan menuju jendela. Tapi sudah tidak terlihat apa-apa.

"...Ayah?" "...Ibu?"

"...Teriakan itu..."

"Tak salah lagi, itu suara Ayah dan Ibu!"

Mereka terdiam.

"...Tapi tadi, Ayah bilang kita tidak boleh keluar..."

Rin mengangguk pelan, lalu menghembuskan nafas dan berdiri.

"...Kurasa kita harus pergi ke rumah lamamu, Len. Kita ikuti perintah mereka yang terakhir, itu berarti yang harus kita lakukan sekarang. Perasaanku betul-betul tidak enak. Aku yakin kamu juga begitu."

Len ganti mengangguk, lalu mereka buru-buru mengemasi pakaian mereka.

"...Menurutmu apa yang terjadi pada mereka?" Ujar Len sambil menengok ke arah Rin.

Rin juga melihat ke arah Len, lalu kembali berpaling mengemasi barang-barangnya.

"...Tidak tahu."

Len terdiam, lalu menggendong tasnya. "Aku sudah selesai. Kau juga sebaiknya cepat. Dari cara Ayah dan ibu berkata, kita harus meninggalkan tempat ini secepat mungkin."

Rin lalu ikut menggendong tasnya, dan berlari ke luar kamar. Len mengikuti. Mereka sudah sampai di luar dengan cepat, tapi...

"...bohong..."

...Darah berceceran di mana-mana! Karena jendela mereka agak tinggi, jadi mereka tak melihat ceceran darah di tanah itu. Begitu banyak, betul-betul mengerikan.

"...Jangan katakan.., ini darah Ayah dan Ibu..." Rin memegangi kepalanya, wajahnya sangat pucat. Sepertinya ia sangat shock. Len tidak heran, sebab biar bagaimanapun, Rin perempuan, dan Ia yang sudah bersama Ayah dan Ibu dari ia kecil. Kalau Len? Baru bergabung seminggu yang lalu, jadi sepertinya ia belum terlalu peka.

Ia hanya bisa mengelus punggung Rin.

"...ini pasti darah ibu-ibu yang sakit itu, bukan darah mereka."

Rin mengangguk pelan. "...Semoga saja, tapi kalau iya., kenapa Ayah dan Ibu berteriak sangat histeris seperti terluka?" tuturnya dengan gemetar.

Len menunduk. Sejak bertemu, Baru kali ini ia melihat Rin begitu gemetar, pucat, dan takut. Dan Rin biasanya pemberani, ceria dan bersemangat.

Tapi ia segera mendangak, menggandeng tangan Rin, dan berlari sekencang-kencangnya ke pinggir desa, rumah lamanya dulu.

"Len!"

"...Kita tidak ada waktu untuk berfikir macam-macam!" Seru Len.

Mereka segera sampai di pinggir desa setelah beberapa lama berlari. Lelah rasanya, tapi mereka tidak menyerah.

"Haaah... akhirnya sampai juga di pinggir desa," desah Len.

"...Len, Rin!" Seru seseorang.

Mereka menengok. "Miku-nee chan!"

Orang itu Miku. Ia melambai ke arah mereka. "Kemarilah! Kalian diminta mengungsi dari kota, kan!"

Mereka menghampiri Miku. "Kok tahu!"

"Aku dengar, ada penyakit aneh disana. Makanya kupikir, kalian pasti akan segera mengungsi." Ujar Miku. Ia menghembuskan nafas.

"...Oh,ya. Orang tua kalian mana?" Lanjutnya sambil tengak-tengok.

Len dan Rin hanya menggeleng pelan.

Miku terkejut melihat jawaban bisu mereka.

"Apa..!"

"...Mereka menghilang setelah pergi menengoknya. Lalu mereka berteriak histeris, menyuruh kami segera pergi kesini, meninggalkan kota. Saat kami keluar, banyak bercak darah di tanah.," ujar Len, dengan pelan, nyaris tak terdengar. Untung Miku segera mengerti.

"...Aku turut prihatin," bisiknya. "...Ah." Tapi lalu ia menggeleng.

"...Bukan, bukan. ...Kuharap kalian segera bertemu kembali. Mereka takkan apa-apa."

Len dan Rin mengangguk pelan.

"...Kalau begitu, sekarang kalian di rumahku saja. Akan kuajak yang lain lagi, supaya tidak sepi. Semuanya boleh menginap malam ini. Sekalian lupakan kejadian tadi,ya! Nah, ayo."

Mereka berjalan menuju rumah Miku.

"Nah, sudah sampai..."

ckrek! Miku membuka kunci.

"Nah, ayo masuk. Ada cookies, Pisang juga ada. nanti kalian makan dulu selama aku keluar memanggil teman-teman. Oke?"

"...Ya," Jawab Len. Rin hanya diam.

"...Rin?"

Rin tampak terkejut, seperti baru sadar dari lamunan. "...Ah,ah.. Maaf, ada apa tadi?"

Miku heran sejenak melihatnya, tapi ia bisa memaklumi.

"...Nanti kalian makan cookies dan pisang dulu selama aku keluar memanggil teman-teman. Mau?"

"...Iya."

"Baiklah,"

Mereka masuk ke rumah Miku. Miku menuju dapurnya dan mengambil cookies, lalu menaruh sepiring cookies itu di hadapan Len dan Rin yang sudah duduk manis di kursi.

"Baik, silakan dimakan! Ada cookies dengan daun bawangnya, itu buatanku! Dicoba, ya! Kalau mau pisangnya, itu ada di atas meja. Baiklah, aku keluar dulu!"

Mendengar kata 'cookies dengan daun bawang' dan 'Buatan Miku', Len dan Rin langsung pucat. A..,aaaaa... Gawaaattt...~! ,

"...Len, ka-kau duluan," Ucap Rin sambil menyodorkan piring itu mendekati Len.

"E-eee... Tidak, Ingat satu kata? Ladies First," Sret! Balas Len sambil mendekatkan piring itu lagi ke hadapan Rin.

"...Ehm.. Kita 'kan kembar. Jadi sama saja, Ya 'kan? Nah, adik itu duluan, jadi..." Sret! Piring itu digeser lagi ke arah Len.

"...Kakak yang duluan, 'kan? Wahai, KAKAKku!" Sret! Len menggesernya lagi ke depan Rin.

"Hei, hei, adik itu harus sopan sama kakak, 'kan?" Sret!

"Setahuku sih kakak itu harus mengalah!" Sret!

"Tidak, tuh! Kan sesekali adik juga harus mengalah!" Sret!

"Sesekali? Aku kok tidak pernah merasa kamu mengalah padaku?" Sret!

"Bicara apa kau? Kamu saja yang tidak sadar!" Sret!

(Author: Kalo aku sih cuma mikir, kasian piringnya digeser2 mulu =.=...)

Setelah berdebat panjang, akhirnya mereka memutuskan untuk suit cina (kok bukan suit jepang? Auk deh emangnya ada ya...)

"Gunting... Batu... Kertas!"

Len mengeluarkan batu dan Rin mengeluarkan kertas.

"...GYAAAA!" jerit Len.

"Humph! Lihat hasilnya kalau gak sopan sama kakak, weeek :p"

"Huuuh..."

Dengan muka memelas, Len menggigit kuenya. Ukh, rasanya langsung ingin muntah! "A-A-AAAIIIIRRR!"

Rin tertawa puas melihat Len yang kelimpungan mencari air. Tapi tiba-tiba ia teringat lagi darah yang berceceran tadi. Ia langsung terduduk lemas dan pucat lagi.

Setelah minum air sebanyak 1 liter, Len menghembuskan nafas.

"...Rin, Kau ini kakak yang..."

Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Len melihat Rin yang terduduk pucat. Ia sudah bisa menebak. "...Teringat lagi, 'kan?"

Rin mengangguk.

"...I-Iya."

Tik.. tik.. tik. Hujan. Setetes demi tetes, lama kelamaan makin bertambah banyak dan riuh.

Len kembali menghela nafas, lalu duduk di sampingnya.

"...Ingat terus itu tak ada gunanya. Kau pikir kenapa kita di sini sekarang? Bukan di kota? Mereka 'kan yang meminta kita? Kita di sini sudah menjalankan perintah mereka, jadi hentikan pikiran negatifmu dan tenanglah. Kita sudah di sini dan sudah lakukan yang terbaik. Kita hanya perlu dengarkan mereka, dan tenang menunggu kabar se..." "...BAGAIMANA AKU BISA TENANG! AKU YANG SUDAH BERSAMA MEREKA SEJAK AWAL, DAN KAU YANG BARU BERGABUNG DI KELUARGAKU... KAU... KAU TAKKAN MENGERTI!"

Setelah berseru begitu, Rin langsung tersadar atas apa yang diucapkannya. Ia langsung tampak panik. Dan Len? Len hanya terdiam membeku seperti boneka es. Kata-kata itu., kata-kata Rin... Sangat tak asing di telinganya.

"...Aku tahu."

Rin mengangkat wajahnya, mendengar sepatah kata dari Len.

"...Aku tahu aku tak diinginkan dimana pun. Kau tak perlu bilang pun, aku sudah tahu. Tapi satu hal yang musti kau ingat."

Rin menelan ludah. Ia betul-betul merasa bersalah. Perasaannya campur aduk. Antara mengkhawatirkan orang tuanya, takut, gelisah, dan merasa bersalah.

"...Aku ini saudara kembarmu, baik dulu maupun sekarang."

Setelah berkata begitu, Len berlari keluar. Rin yang masih kaget, spontan mengejarnya. Tapi Len menghilang dengan cepat. Tubuh Rin terlanjur basah. Ia hanya berdiri terpaku di depan rumah Miku. Hujan saat itu deras sekali. Sangat deras dan gelap, seperti hati mereka saat ini.

"...Rin!"

Rin menengok, mencari asal suara.

"..Rin!" Suara itu mendekat. Ah, Itu Miku dan yang lainnya.

"...Rin, kau sedang apa berdiri di sini! Ayo masuk! Len di dalam!"

Rin hanya diam, dirangkul Miku yang memakai jas hujan. Mereka berjalan masuk.

"...Semuanya, ayo masuk!"

Mereka semua masuk. "Lho, mana Len?"

Miku yang masih heran, melihat ke arah Rin. Wajahnya lunglai, matanya sembab.

Miku menelan ludah. "..."

"...Rin..., apa yang terjadi...?"


Arasa-chan: "Yosh~ Bersambung ke Chapter berikutna. Reviewnya nyaa~ OwO"

Len: "Hehehe.. butuh review nih... Tinggal klik tulisan biru dibawah ini kok~"

Rin: "Errrr... Yasudahdeh! '== Walau hidup di gubuk derita.."

Arasa-chan: "TIDAAAAAAAAAAAKKKKKKKKK!"