Aku tidak menyukai merah muda, sama seperti dirimu yang tidak menyukai toska, tapi kita terlihat begitu akrab—dari luar. Memendam kebencian satu sama lain dan tersenyum. Aku tahu siapa dirimu dan kau juga tahu siapa aku—seharusnya begitu, tapi kita tak pernah bisa mengerti satu sama lain dan terus berbohong. Padahal kau sudah sangat dekat denganku, tapi kenapa rasanya kau sangat jauh dariku?

So Close, Yet So Far Away by Naoya Yuuki

VOCALOID © Yamaha, crypton, etc.

(Miku/Luka)

a fanfiction for all my lovely readers~

Happy reading!

Pagi itu kau terbangun dengan wajah kusutmu, kau menguap kecil sambil menutup mulutmu. Kau tatap aku dengan tatapan setengah sadarmu yang terlihat lucu—kau seperti seorang anak kecil tak tahu apa-apa saat itu.

"Selamat pagi, Miku," kau menyapaku dan tersenyum seolah tak terjadi apa-apa.

"Selamat pagi juga, Luka." balasku.

Kau bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi. Aku dapat mendengar suara air keran dan suara kau menggosokkan badanmu di dalam sana. Setelah itu air keran mati dan kau keluar dari kamar mandi dan menarikku dari tempat tidur untuk bangkit dan menikmati hari ini—hari terakhir kita berdua.

"Aku malas sekali hari ini, Luka," keluhku. "Aku bahkan tidak bisa menggerakkan tubuhku karena terlalu banyak membunuh."

"Jangan bercanda, kau bukan pembunuh. Kalau begitu aku akan pergi sendirian?" tanyamu padaku.

Aku menganggukkan kepalaku, sebenarnya terserah padamu kau ingin pergi atau tidak Luka, dan aku ingin kau cepat mengingat sesuatu yang kau coba lupakan. "Iya."

Kau memutar-mutar rambutmu dengan jari telunjukmu tanda bahwa kau tidak ingin mendengar jawaban itu dariku, kau ingin aku untuk melarangmu pergi dan merawatku di sini. Kau menatapku bergantian keluar jendela dan tersenyum penuh arti.

"Kau menang."

Aku harus memulainya dari sini.

"Yey!"

Kau menungguku yang sedang mengganti baju sambil sesekali memperhatikan jam ditanganmu, aku tahu kau khawatir akan terlambat ke sana—ke tempatmu untuk melakukan sesuatu padaku—untuk itu aku memperlambat gerakku dan kemudian aku berjalan kearahmu. Aku berdandan layaknya seorang pria, sebuah jas hitam diatas kemeja putih dan celana panjang hitam. Aku juga mengikat rambutku kebelakang.

"Lama sekali," protesmu. "Hoo, tampan."

Aku terkehkeh. "Maafkan aku, aku memang pantas dijuluki si siput dan terima kasih telah mengatakan aku tampan."

Kau kembali menarik tanganku, berlari kecil ke arah lift. "Tidak ada yang boleh tahu kalau kita tidur berdua semalam. Bahkan para polisi itu."

"Kau berbicara keras begitu jelas orang akan tahu." candaku dalam kebohongan.

Kau segera menekan tombol di lift dan menarikku masuk kedalamnya. Kau lepas genggamanmu dari tanganku, lalu kau sibuk mencari sesuatu di dalam tas tanganmu. Dengan wajah panik kau memeriksa seluruh tubuhmu.

"Ada apa?" tanyaku.

"Handphoneku tertinggal di kamarmu," panikmu.

"Aku akan mengambilkannya untukmu," tawarku. Aku segera memencet tombol di lift, tapi sebelum tanganku menyentuhnya kau menahannya.

"Tidak usah," kau tersenyum kepadaku. "Dengan begitu aku dapat ke kamarmu dengan alasan mengambil handphone yang tertinggal."

Setelah mengucapkan itu kau dan aku terdiam, kita sibuk di dalam pikiran masing-masing. Handphoneku berdering saat pintu lift terbuka, aku menganggkatnya dan berjalan agak jauh darimu begitu melihat nama sang penelpon 'sorrow'.

"Halo? Ya, tentu saja, aku sedang bersamanya, ada kemungkinan aku tidak akan kembali, dan semua ini akan berakhir, oke, gantikan aku ya."

Aku menutup teleponku, kau berjalan kearahku. "Siapa yang menelpon?" tanyamu.

"Seseorang yang akan menggantikan tempatku setelah ini. Dan seseorang yang mengincarmu."

Kau bergidik saat aku mengatakannya, kau menjauh dariku, menaikkan sebelah alismu bingung. "Tidak ada seseorang yang sedang mengincarku."

"Aku tahu," kini aku yang menariknya pergi dari tempat itu. "Ikut aku."

Kau hanya pasrah menerima tarikan tanganku, aku terus menarikmu mengikutiku, aku membawamu ke sebuah tempat sepi, sebuah gang sempit yang tidak pernah dilewati orang lain kecuali jika sedang terburu-buru.

"Kenapa kau membawaku kemari?" kau bertanya dengan takut, keringat dingin mulai membanjiri tubuhmu, kau pandang aku bingung, aku balas memandangmu. "Bukankah kita sedang terburu-buru menuju tempat itu?"

"Berhentilah berpura-pura," ucapku. Aku menggenggam tanganku erat. "Berhentilah membawaku lebih jauh kedalam permainanmu, Megurine Luka."

Kau masih di sana memandangku bingung, aku tidak mengerti, kenapa kau bisa menjadi seperti ini, kau tidak amnesia Megurine Luka, hanya ada yang salah denganmu—kau sengaja berbuat seperti itu.

"Megurine Luka," kuucapkan namamu lembut.

"Miku." Kau balas mengucapkan namaku. Ah, aku akan merindukan panggilan itu nantinya.

Aku berjalan ke arahmu, membuka kedua tanganku lebar-lebar. Kemudian aku mengeluarkan sebuah topeng dari sakuku dan memakainya. Kutunjukkan padamu siapa aku sebenarnya, 'blood'.

"Hatsune Miku, berhenti ditempatmu!" Aku masih terus berjalan ke arahmu hingga kau menyuruhku untuk berhenti.

Aku menatapmu. "Ada apa? Kenapa menyuruhku berhenti, Megurine Luka?"

"Berhentilah menjadi seorang pembunuh, Hatsune Miku. Aku sudah memaafkanmu."

Kau memaafkan aku? Aku tahu kau sedang berbohong Megurine Luka.

Dan aku senang karena akhirnya kau 'ingat' siapa aku. Kau mengeluarkan sebuah pistol dari dalam tas tanganmu dan mengacungkannya padaku. Begitu juga denganku, aku mengeluarkan pistol dari balik jasku dan mengacungkannya padamu.

Apanya yang memaafkan?

"Megurine Luka, seorang polisi yang jatuh cinta pada seorang pembunuh yang membunuh keluarganya," ucapku datar dibalik topeng ciri khasku—blood, topeng berwarna merah dengan lukisan senyum sedih dan sebuah mata picik.

Kau menggeram, kau bidik pistol itu tepat ke otakku. "Hatsune Miku, seorang pembunuh berantai yang mencintai sang polisi yang mengincar nyawanya yang membiarkan orangtua sang pembunuh mati karena kelalaian polisi itu."

Kau terlihat seperti menahan sesuatu, kemudian aku dapat melihat air mata mengalir membasahi pipimu, kau menangis. Aku juga, aku menangis, karena aku tidak bisa melakukan ini, walaupun aku harus karena kau membiarkan mereka mati.

"Ada kalimat terakhir?" kau dan aku mengucapkannya bersama, hampir serentak.

Aku tersenyum dalam tangisku, begitu juga denganmu, kita selalu bersama, mencari siapa, dan menemukannya. Padahal dia begitu dekat denganmu, tapi kau merasa 'siapa' sangat jauh.

Kau buka mulutmu kemudian menutupnya kembali, aku mulai menghitung mundur dari lima hingga satu, kemudian aku berteriak. "Aku mencintaimu!" Aku menarik pelatuk pada pistolku dengan ragu, suara tembakan terdengar serentak.

Sebelum semuanya hening aku dapat mendengarmu berteriak hal yang sama denganku. Kemudian samar-samar aku dapat melihatmu jatuh, begitu juga denganku. Aku ambruk. Kau menembakku tepat di kepala dan aku menembakmu tepat dijantungmu.

Pada akhirnya, kita berdua sama-sama mati karena balas dendam. Pada akhirnya, aku tahu aku mencintaimu. Polisi yang mengincar nyawaku dan pembunuh yang juga mengincar nyawa sang polisi. Apakah kau dan aku salah telah balas dendam?

end!

gomen, jadi gak jelas gini. Tadinya idenya gak gini loh. u_u