Disclaimer: All characters belong to Kishimoto Masashi. No material profit is intended for using his creations. This fic is written and typed only for fun.

Summary: Terkadang alergi terhadap kucing dapat menuntunmu pada deretan masalah hidup yang tak pernah terselesaikan. Terkadang juga, dapat menuntunmu pada sesuatu yang menyenangkan.

Warning: AU. Pemakaian subjek dalam orang ketiga tunggal.


twinkle twinkle little cat
how I wonder what you are
top the roof and sleep all night
like a dragon in the cave
twinkle twinkle little cat
go away and brush your teeth

.

.

.

Menjadi anak tunggal seharusnya mengajariku satu hal yang amat penting. Jika aku cerdas dan jenius seperti Einstein, Mozart, Kennedy, Pangeran Hirohito, Schumacher, ataupun Bob Marley—yang ini entah termasuk atau tidak—berada di antara cecurut sialan dan berandalan amatir seperti saat ini bukanlah pilihan yang baik. Yah, mari kita bandingkan indeks prestasiku dengan anak-anak lainnya di sebuah sekolah di mana ketentraman adalah hal paling absurd yang kau temukan.

Ia—Hyuuga Neji—seniorku yang bisa kau katakan sebagai siswa paling the best. Kategori the best apapun yang melekat di namanya adalah hal yang absurd pula. Jangan tanyakan kenapa ia bisa seperti itu padaku—tanyakan saja ibunya atau Hyuuga Hinata, sepupunya. Well, berbicara mengenai gadis pemalu ini, aku tidak perlu menghujaninya dengan ribuan kata termanis dalam pendeksripsian siapa dirinya sekarang. Dia—gadis pemalu—tentu. Gadis yang—erm—pintar—jelas. Sangat kurang dalam senam atletik—mungkin saja. Tetapi, yang paling membuatku heran dengan dirinya ialah wajahnya memerah tiap kali kami secara tidak sengaja berpapasan, entah itu di koridor kelas, kantin, perpustakaan (memangnya aku sering ke sini ya), dan lapangan olahraga. Sepertinya, ia alergi dengan kehadiranku. Hey, meski indeks prestasiku secara general sangat buruk, tetapi aku tidak dungu dalam hal sains (tidak juga sih).

Alergi? Maaf, aku menginterupsi. Alergi itu seperti serbuk bunga yang mengenai hidung atau kulitmu di musim semi. Hidung dan kulitmu menjadi gatal segatal-gatalnya; kau ingin menggaruknya sepanjang hari tanpa tahu bekas garukan itu malah melukai kulit mulusmu. Kadang memerah disertai dengan bentolan berukuran besar. Bertanya tentang alergi—apa alergiku sehingga aku harus melemparkan intermezzo di antara perbincangan mengenai alergi Hyuuga Hinata terhadap diriku? Nah, semuanya, aku—sangat sangat sangat sangat sangat alergi terhadap—

.

.

.

Neko
(猫)
cat in Japanese

Chapter One
Ashi—Leg

happy belated cat day in Japan
(February 22nd is marked as Cat Day in Japan)

by ceruleanday

February, 2012

.

.

.

"Singkirkan kucing itu dari wajahku, sialan!"

Mereka tertawa terbahak-bahak. Aku tertidur di tengah hari, tepat ketika bel istirahat makan siang menggema di seluruh penjuru sekolah. Pelajaran Sejarah setelah lari marathon sungguh pilihan yang buruk—jauh lebih buruk dibandingkan berada di antara gerombolan anak nakal yang akan terjadi pada diriku setelah ini. Si pemilik anjing—kusebut Inukashi saja—Kiba—best pal-ku, mengerjai seekor anak kucing yang entah didapatkannya di mana dan menyeretnya hingga berada tepat di wajahku. Dasar sialan dia itu.

"Hahahaha! Kena kau, Naruto!"

Wajahku memerah seperti kepiting rebus atau tomat masak? Hell! Mereka harus merasakan bogem mentahku. Si Kiba bersama antek-anteknya itu.

"Kiba sialan! Akan kucekik lehermu itu dan kuberikan pada bloody hound-dog milik Kakashi-sensei!" teriakku, mengabaikan kursi-kursi dan meja yang sudah berantakan jadinya gegara aku dan Kiba. Oh iya, Kakashi-sensei adalah guru Biologi kami—seorang guru eksentrik berwajah rupawan—entah gosip itu benar atau tidak mengingat tiap kali ia di sekolah, bahkan sepanjang tahun, ia selalu mengenakan masker. Dasar poltergeist. Dan, Kakashi-sensei mirip seperti Kiba—sangat suka memelihara anjing-anjing berukuran besar yang konon katanya ia disebut-sebut sebagai bloody hound-dog breeder. Cukup menyeramkan.

Rutinitasku selain belajar dan belajar di sekolah ini adalah membuat keributan. Jangan salahkan aku jika stimulatornya adalah orang lain, maka aku akan merespon dengan hal yang jauh lebih mengerikan. Meski harus mengejarnya hingga ujung lapangan, tidak peduli, yang penting aku bisa membalas ide isengnya dengan hal setimpal. Karena, saat ini, efek bulu-bulu kucing yang rrrr—tajam dan sangat gatal itu telah menginvasi seluruh kulit wajahku.

Kiba sialaaaaaaan!

Aku membolos pasca istirahat makan siang. Masa bodoh. Daripada anak-anak itu menertawaiku lagi seakan-akan sedang melihat nenek buruk rupa berjerawat—hey, ini bentol-bentol akibat alergi tauk! Kau lihat akibatnya sekarang dengan alergen menyeramkan ini. Tsk!

Kutekankan sekali lagi. Aku. Benci. Kucing. Selamanya. Tertanda, Uzumaki Naruto. Putra tunggal CEO GreenHouse Company—sebuah perusahaan penyedia bahan-bahan bangunan yang sangat ramah lingkungan. Tapi, kenyataannya aku selalu hidup sendiri di kota urban ini. Ayahku mengurusi bangunan sepanjang hari di Seattle dan ibuku memilih berada di antara jutaan artis dan model terkenal setiap menitnya. Yang kudapatkan hanya dua telepon yang akan berdering dua kali dalam sehari.

Yah, aku sudah dewasa jadi kurasa aku akan mengerti. Mungkin. Tidak juga. Argh! Masalahnya, kenapa aku mengomeli hidupku sekarang. Yang jelas, aku hanya diam memojok di atas loteng sekolah yang akan sepi di luar jam istirahat. Terus saja mengacak-acak rambut pirangku seperti tidak pernah dibersihkan saja tiap kali aku mandi. Well, kebiasaan ayah yang menempel pada anaknya, kurasa.

Anginnya sangat baik. Langit tidak sepenuhnya cerah, sedikit mendung dan mungkin saja sore hari akan turun hujan. Wajahku masih memerah, tetapi kubiarkan saja. Sudah beberapa kali aku mengunjungi dokter guna menghilangkan alergi menyebalkan ini. Sialnya, saran semua dokter akan sama. Yang terpenting ialah hindari sumber alergi. Masalahnya adalah bagaimana kalau sumber alergi yang disebut-sebut adalah bulu-bulu menyeramkan kucing itu berada di sekitarku sepanjang waktu. Damn.

Miris sekali hidupku. Walau usia sudah delapan belas tahun dan aku akan segera meninggalkan sekolah ini tak lama lagi, aku disebut-sebut sebagai pria yang sangat tidak gentle hanya gegara kucing-kucing sialan itu.

'Psst, si Uzumaki itu tidak tahan dengan kucing, jadi tidak usah main dengannya saja.'

'Hahh? Tidak suka kucing? Aneh sekali. Padahal kucing 'kan lucu dan imut. Iya, 'kan?'

'Kucing itu sahabat semua manusia, kau tahu.'

Bukannya yang menjadi sahabat semua manusia adalah anjing ya? Yah, terserah sih. Sebab, ingatan percakapan-percakapan itu tidak kupedulikan. Juga, aku termasuk anak yang masa bodoh meski akhirnya aku akan menangis—itu dulu.

Kusandarkan tubuh ini di atas matras keras berbahan semen dan bata. Menjadikan lengan sebagai bantal. Merasakan hempasan angin yang dingin sekaligus sejuk. Mengamati bagaimana awan berjalan terkena sapuan angin. Satu-satunya jalan keluar adalah berlari, pikirku. Bodoh. Aku berlari bukan karena aku takut, aku hanya tidak suka wajah-wajah orang yang memandangiku seolah aku terpidana mati. Ini hanya masalah kecil, kalau kau tahu. Sikapku yang tidak seperti mereka kebanyakan—menjaga imej dan sebagainya—menjadi tembok terbesar yang menghalangiku berada dekat dengan mereka semua. Terkadang, aku ingin jadi normal saja—tanpa alergi, tanpa kehilangan kasih sayang ayah dan ibuku, dan tanpa—masalah ini.

Sialnya, masalah terus saja mendatangiku.

"Hooy, Uzumaki! Genki ka? Haha. Seperti yang sudah kuduga, Sui memberitahuku kau akan membolos di tiap jam Matematika. Dan, benar-benar terbukti ya."

Oh, sekarang anak-anak lainnya di kelas sedang berhadapan dengan Anko-sensei ya? Baguslah, aku tidak suka guru serial killer itu. 'Pembunuh' berdarah dingin tanpa martil dan shotgun, hanya bermodalkan papan hijau, kapur, dan ribuan soal yang rumit. Terima kasih atas kesempatan ini, Tuhan.

Tidur siangku terusik. Tsk. Siapapun yang mengusik tidurku harus mendapatkan setidaknya satu teriakan memekikkan telinga.

"Mau apa kau, hah?"

"Ck, ck, ck. Kau tidak ingat kami? Astaga. Seminggu lalu kita baru saja bertemu, Uzumaki. Tepat di arena balap motor itu. Kau benar-benar bodoh sampai lupa dengan orang yang sudah kau pukul sampai babak belur ya?" orang itu berkacak pinggang. Orang tergendut yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Namanya siapa ya? Aku lupa. Kalau tidak salah berawal dengan huruf 'J'. Ia memamerkan deretan gigi emasnya yang kinclong. Terkena sinar langit yang membiaskan pengelihatanku. Ugh. "Aku harus kehilangan nyaris sederet gigiku. Tapi... tidak mengapa. Karena, sebagai gantinya, asuransi membiayai semua kerusakan beserta golden teeth ini."

Jadi, kau bangga dengan gigi emasmu ya, Mr. 'J'—yang aku lupa nama lengkapnya.

Aku berbalik dan bangkit. Sembari merenggangkan otot-otot tengkuk dan bahu, kutatap orang gemuk jelek itu bersama antek-anteknya yang astaga sangat menyedihkan. Well, aku tidak mengejek lho, itu memang kenyataan. Dan, pria bergigi seperti ikan hiu yang kutahu adalah si pengadu bernama Suigetsu berada di belakang Mr. 'J'.

"Perkenalan lagi kah? Aku Jiroubo. Satu-satunya bos dengan golden teeth. Terima kasih karenamu, Uzumaki."

Kepala botak dan wajah bulatnya memerah—membuatku tertawa karena rupanya yang seperti itu mengingatkanku pada buah ceri yang sedang masak. Aku mendengus sembari menahan kikikan. Ia merengutkan alisnya dan bersiap melayangkan serangan padaku. Haruskah aku menjalani hidup dengan jalan kekerasan seperti ini—ya aku tahu ini memang salahku. Tapi, hei, sebab ia jadi marah begitu juga gegara alasan yang tidak sengaja. Seminggu lalu, di arena balap, aku tidak sengaja menabrak dan menyerempet Lamborghini-nya yang super mahal itu. Dia marah besar dan sama sekali tidak mendengarkan alasanku. Jadi, ia memukul wajahku dan kubalas dengan hal yang sama. Sayangnya, aku selalu menjadi pihak yang menang. Halo, tubuh supern-human, kau sudah melindungiku dari pria-pria jahat itu.

Kurasa, alasan apapun tidak akan didengarnya sekarang. Hanya tinju dan pukulan yang membuktikan siapa yang terkuat.

"Yah, yah, akan kuladeni kau dengan senang hati jika itu akan membuatmu senang. Tapi, demi keselamatan masing-masing pihak, kurasankan agar kita tidak memulainya di tempat ini. Ini sekolah, bodoh. Kusarankan agar kita berpindah ke lapangan hijau dekat danau Umebashi, bagaimana?" cecarku seramah mungkin. Mr. 'J' mengangguk.

Yah, selamat tinggal istirahat siang. Aku harus meladeni cecurut-cecurut ini.

Apa yang terjadi berjam-jam kemudian selalu berakhir ironis di pihak lawan. Hari ini, aku hanya sedang sial. Benar-benar sial. Pertama, kucing. Kedua, tidur siangku. Dan, ketiga—

—aku tidak pernah tahu bagaimana surga dan neraka. Tetapi, kehidupan setelah mati terlalu gelap bagiku.

Apakah sekarang aku bisa bertemu denganmu, Tuhan? Karena, aku ingin mengadu banyak hal langsung kepada-Mu. Banyak—banyak—begitu banyak hal... Ya...

.

.

.

Persediaan makanan untuk Tama dan Ashi menipis. Aku harus meninggalkan mereka selama dua minggu demi mengikuti camp para atlet kendo di Osaka. Ayah dan Ibu sedang keluar kota jua, sepertinya keadaan Baa-san di Kyoto semakin memburuk. Jangan bertanya di mana Itachi-nii berada saat ini—dia sedang berbulan madu dengan istrinya di Austria. Dan, mereka akan menetap di sana, kurasa. Mengingat pekerjaan Itachi-nii dan istrinya bergelut di bidang musik orkestra dan tutor di sebuah universitas musik.

Uchiha adalah margaku. Sasuke adalah nama pemberian ayah ibuku. Aku lahir tepat ketika musim gugur bermula. Juli tanggal 23, sekitar delapan belas tahun yang lalu. Dahulu, aku terlahir tanpa tangisan sehingga ibu dan ayah sangat over protective padaku hingga sekarang. Namun, kuubah ritme hidupku yang menyedihkan dengan berbagai macam pengobatan dan terapi melalui latihan fisik. Kendo.

Dokter berkata bila anak-anak dengan kelemahan saat lahir akan sulit beradaptasi dengan lingkungannya hingga dewasa. Dalam kata lain, anak yang mudah sakit. Tetapi, aku yakin, tubuh manusia jauh lebih kuat dibanding apapun. Tubuh, meski ia hanya material berkonten darah, air, sel yang sangat mudah rapuh, tetapi dapat beregenerasi. Itulah kekuatan kita sebagai makhluk Tuhan paling sempurna.

Mereka—para dokter—berkata aku terlahir dengan memendam banyak alergen, salah satunya adalah kucing dan coklat. Ibu malah berpikir sebaliknya. Ia adalah seorang peneliti sel dan imunitas tubuh. Benaknya menuntunku pada hal yang berkebalikan—sejak kecil aku selalu diperkenalkan dengan alergen-alergen itu, termasuk Tama dan Ashi—kucing-kucing kesayanganku. Dan pemikiran ibu terbukti. Tubuhku tidak menolak kehadiran Tama dan Ashi. Sama sekali tidak. Tubuhku belajar mengenali benda-benda asing itu. Meski, pada awalnya aku sempat sakit, tetapi lama-kelamaan tubuhku menjadi kuat. Kusebut sebagai mekanisme tempaan terus-menerus menjadikan benda yang lunak pun ikut mengeras.

Maka dari itu, aku sangat berterima kasih pada Tama dan Ashi, serta kucing-kucingku yang sudah berada di dunia lain.

Sore ini, aku menenteng sekantung makanan untuk kucing. Rute perjalananku tidak biasa, aku memilih berdiam diri sebentar di taman sektor sembilan, dekat dengan Pet Shop yang selalu kukunjungi. Mentari sore hari sedang bagus, meski siang tadi mendung terlihat melintas di garis horizon.

Keributan membuat langkahku terhenti. Mataku menjorok ke bawah, mengamati lagi-lagi kasus bullying terjadi di kota urban terbesar ke-tiga di dunia saat ini. Kurasa, yang seperti itu sudah biasa. Bahkan, kau bisa menemukan yakuza bertebaran di jalan-jalan dan tempat umum di Tokyo. Aku tak memedulikannya dan kembali menyusuri jalan pulang. Sempat terpikirkan dalam benakku siapa orang dungu yang memukuli dan menendangi orang malang itu. Ingin sekali rasanya memanggil Superman ataupun Batman—mana ada di dunia ini.

Tak lama setelahnya, pria-pria bengis itu melarikan diri. Suara sirine mobil polisi beserta ambulans beriringan berdengung di jalanan. Langkahku tak berhenti. Hanya, kedua mataku mendapatkan pemandangan yang begitu miris. Paramedis turun bersama sekitar tiga hingga empat orang petugas kepolisian wilayah. Ia menuruni bukit kecil itu dan mendekati si korban yang kurasa sudah tak sadarkan diri lagi. Atau mungkin saja mati?

'Ia kehilangan banyak darah! Ia ditusuk dengan pisau.'

'Segera monitor tanda vitalnya. Kita akan membawanya langsung ke UGD.'

'Rambutnya pirang—kurasa ia adalah putra Namikaze Minato—CEO perusahaan penyedia bangunan ramah lingkungan yang sangat terkenal itu.'

'Tsk, apa yang dilakukan bocah ini hingga dibuat babak belur seperti ini? Cepat, mobilisasi dia!'

'Ha'i!'

'Kalian—tangkap dan kejar anak-anak yang melarikan diri tadi!'

Lagi-lagi keributan. Untung saja petugas yang berwenang segera berdatangan. Kehilangan darah? Hm. Ia butuh transfusi cairan dan darah segera jika hemoglobinnya merosot turun. Jika tidak, bisa dipastikan, ia akan mati karena syok.

Langkahku terhalang oleh ambulans dan mobil polisi. Pilihanku saat ini hanya menunggu hingga si korban berambut pirang itu dibawa ke dalam mobil ambulans. Paramedis melakukan tindakan emergensi demi menyelamatkan tanda-tanda vitalnya yang mulai mengadakan mekanisme kompensasi terhadap kehilangan darah yang begitu banyak. Salah satu dari paramedis melakukan pengecekan golongan darah, namun entah mengapa mereka meributkan sesuatu hal.

'Kantung darah AB sudah habis. Aku akan menelepon rumah sakit terdekat.'

Terlalu lama. Bocah pirang itu akan mati jika ia tidak mendapatkan suplai darah. Tadi, apa katanya? Golongan darah AB? Golongan darahku sama dengannya.

Yah, apa boleh buat.

"Permisi, apa kalian mencari donor bergolongan darah AB?" tanyaku setelah mendekati petugas paramedis di dalam box ambulans. Bisa kulihat irama nafas bocah pirang itu meningkat, wajahnya mulai pucat, dan denyut jantungnya jua ikut meningkat. Jelas, itu tanda-tanda menuju syok hipovolemik—syok akibat kekurangan darah yang begitu banyak.

Mereka saling melirik satu sama lain. Dan, tiba-tiba saja aku pun turut memasuki arena berbahaya yang sebabnya tidak kuketahui sama sekali. Aku hanya terjebak, tetapi sudah menjadi tugasku untuk menolong semenjak aku memutusan untuk menjadi salah satu dari mereka—para paramedis itu.

"Baiklah. Mari ke sini sebentar, err—"

"Uchiha." potongku.

"Oke, Uchiha-san. Kami sangat berterima kasih. Kemari sebentar, kami akan melakukan pengecekan terhadap darahmu terlebih dahulu. Jika sesuai, kami akan mengambilnya."

Rasanya seperti ditusuk jarum yang sangat besar. Tapi, tidak begitu nyeri. Hanya, setelah ini, mungkin saja kadar glukosa dalam darahku akan menurun. Aku harus makan dan minum banyak. Aku disejajarkan berdampingan dengan remaja pirang yang kurasa bukan benar-benar bocah. Mungkin saja, ia seusia denganku. Benar. Rambutnya memang pirang dan sangat cerah. Aku sangat suka warna cerah.

Tak lama, aku pun telah turun dari box ambulans. Setelah mengisi form persetujuan, aku segera menikmati roti dan minuman isotonik yang diberikan petugas paramedis itu sembari kembali menyusuri jalan pulang. Ah, Tama dan Ashi sudah kubuat menunggu. Mereka pasti sudah sangat lapar semenjak terakhir aku pergi ke Pet Shop.

Dalam hati, aku berbisik. Semoga kau tetap hidup siapapun namanya yang sudah kutolong hari ini.

.

.

.

To Be Continued

.

.

.