Another Destiny : CRIMSON

Disclaim : M. Kishimoto

Warning : Typo, OOC, Gak jelas, Banyak kekurangan

Genre : Romance-Family

Rate : T (?)

Summary : Saat kau tak bisa melihat warna dalam hudupmu. Dan itu mulai berubah. Aku ... memilih menjalaninya. Aku membenci kesendirianku. Harapanku terlalu banyak. Aku menginginkannya, dalam ego dan kesalahanku. Uzumaki Naruto ... pertarungan sesungguhnya akan dimulai. Dunia Shinobi akan mengenang peranmu.

.

.

.


Menangis...

Duduk di atas ayunan yang tergantung di bawah pohon rindang ini entah sejak kapan. Tidak bergerak dan menunduk dalam. Mengabaikan anak-anak Akademi yang bermain jauh di depanku. Tidak tahu apa yang kuperbuat, apa salah dan yang kumiliki. Teringat makian dari mulut orang-orang desaku sendiri, tadi. Kemarin dan setiap hari.

Monster...

Benarkah aku seperti itu...

Memprihatinkan, anak tujuh tahun terpikirkan skenario terburuk mengakhiri hidupnya. Benar, dan itu yang kupikirkan. Siapakah yang bisa kutanya bagaimana kematian, menyakitkan kah? Tidak lebih menyakitkan dari keberadaanmu yang tidak dianggap, bahkan di tempat asalmu sendiri. Sebilah besi tajam yang menggores kulitmu, kerikil keras kerap menghujani kepalamu. Itu semua pernah kurasakan. Tidak ... selalu kurasakan.

Sempat terpikir untuk membalas perbuatan mereka. Gelap dan aku bersedia. Cukup punya bahan untuk melakukannya. Tak pernah mengenal orang tuaku, dan dengan perlakuan warga desa setiap harinya. Bukankan itu bahan yang sempurna untukku jatuh dalam dendam. Tapi kuurungkan saat teringat Sandaime-jiji yang dengan kasih sayangnya merawatku. Dari balik jendela ruangannya, beliau hanya tertawa melihatku mengotori monumen Hokage. Mengatakan dengan asap rokoknya yang mengepul, "Kau punya bakat besar Naruto-kun". Membuatku merasa dianggap dan di akui. Sungguh kakek tua yang baik. Diharapkan oleh Hokage, orang nomor satu di Konoha, juga merupakan bahan besar untuk menyangkal niat gelapku.

Cukup kah? Yahh ... cukup. Sudah cukup aku menangis. Toh besok aku punya waktu untuk melakukannya kembali. Sekarang hanya perlu pulang, makan ramen dan tertidur. Membuat keributan lagi saat bangun. Setidaknya itu berhasil membuat mereka melihatku. Bahwa aku ada.

"Hai Adik kecil,"

Aku mendengar Suara perempuan. Haruskah aku melihatnya, tidak ... itu bukan panggilan untukku. Mungkin masih ada orang lain di lapangan ini.

"Kau tak apa?"

Tapi suara lembut itu terdengar dekat. Di depanku. Membuka mata mungkin tak mebuatku malu jika ternyata anggapanku salah. Yang kulihat, sepasang kaki kecil berbungkus sepatu Ninja. Membuktikan dia sudah menjadi Shinobi.

"Kau menangis,"

Suara itu semakin jelas. Aku bisa melihat rambut cokelat panjang menjuntai di depanku. Dia pasti sedang menunduk. Yang pasti ... dia memang berbicara kepadaku. Aku mengadahkan kepalaku. Memuaskan rasa penasaranku. Lebih tepat hasrat. Tidak pernah kurasakan selama ini. Berharap, membuat jantungku berdebar keras.

Aku melihatnya. Anak perempuan yang lebih tua dariku. Wajahnya sejajar denganku, karena dia menunduk. Bulat dan bermata onix, hitam bercahaya. Menatapku ramah, dan tersenyum. Yahh ... dia tersenyum. Lembut kepadaku.

"Apa yang membuatmu menangis?"

Tanyanya lagi berharap aku menjawabnya. Aku menyadarinya, dia khawatir. Sesorang mengkhawatirku, selain Sandaime-jiji. Apa ini nyata ... Aku tidak bertanya. Tapi aku tidak percaya.

"Hoiii ... Izumi-chan,"

Aku melihat di sana, dua anak lain berteriak. Memanggilnya.

"Ayo pulang ... kenapa kau mendekati anak monster itu,"

Aku mendengarnya. Tidak membuatku marah, aku sedang malas untuk menanggapinya. Entahlah ... Biasanya, emosiku langsung bercampur aduk jika mendengar kata itu. Mungkin, fokusku lebih banyak untuk satu anak di depanku ini. Aku menatapnya lagi. Sulit menjelaskan bagaimana raut wajahnya. Alisnya berkerut, seperti marah akan sesuatu. Apa itu untukku ... apa dia akan memukulku ... Mungkin memang sebelumnya dia tidak pernah melihatku. Jadi, sekarang dia marah saat ternyata tahu siapa aku dari kata temannya tadi.

Aku terlalu berharap.

Tapi...

Dia berbalik badan, menatap temannya yang di kejauhan.

"Kalian pulanglah, aku pulang sendiri nanti."

Katanya yang juga berteriak, tapi sarat kekesalan. Seperti menahan untuk tidak memarahi teman-temannya. Sedangkan mereka hanya mengangkat bahu dan berjalan meninggalkan dia.

"Apa mereka sadar dengan ucapannya," gerutunya berbalik ke arahku lagi. "aku kecewa mempunyai teman seperti itu." Alisnya bertaut, benar-benar terlihat kesal. Dan itu lucu.

Kini ganti menatapku. Emosinya perlahan melembut. Wajahnya bersahabat. Tapi aku tak ingin berharap lagi. Kejadian tadi sedikit membuat pkiranku kembali normal. Aku turun dari ayunan, dan beranjak pergi sebelum dia berbicara lagi. Aku melompat mencapai dahan pohon yang paling tinggi, dan mengulangnya di atas atap rumah warga. Tak perlu kujelaskan bagaimana aku menguasainya. Berlari dari kejaran warga, bahkan Anbu, membuatku mahir dalam melakukannya. Itu terjadi setiap hari. Jadi jangan heran.

Setelah cukup jauh, aku sampai di apartemenku. Tempat di mana orang tidak bisa menggangguku. Sebenarnya, aku yang mengganggu mereka. Aku membuka pintu, dan pemandangan pertama kali yang terlihat adalah, ruangan minimalis yang tampak ... berantakan. Bungkus plastik, cup ramen, kotak susu, baju yang lusuh, nyaris semua ada. Bahkan hewan-hewan itu, tikus dan kecoa.

Entah kenapa sekarang tampak beda, diriku. Aku tak begitu memperhatikan bagaimana kamarku sebelumya. Bahkan aku tidak ingat jika memang pernah membersihkannya. Tapi sekarang, tempat ini terlihat sangat tidak nyaman.

Aku menutup pintu kembali, tidak jadi masuk. Mungkin nanti aku bersihkan. Sekarang di sinilah aku berakhir. Tempat favoritku. Di atas patung Hokage. Dari sini aku bisa melihat isi desa. Di sisi barat, matahari sudah mulai menghilang. Lampu-lampu terlihat menyala bersautan. Begitu harmonis. Mataku tertuju wajah para hokage. Heh ... aku tertawa melihat sekarang sudah tampak bersih, teringat yang kulakukan tadi pagi. Dan yang akan kulakukan besok lagi. Aku yakin Anbu-anbu itu mulai lelah. Pernah terpikirkan melakukan sesuatu yang lebih berarti ketimbang membuat kekacauan. Berlatih misalnya. Agar menjadi Shinobi yang hebat kelak. Tapi itu tidak berguna, jika bahkan keberadaanmu tidak dianggap. Hmm, tapi menjadi Hokage adalah pilihan yang sempurna. Yahh ... seperti Yondaime Hokage misalnya. Mereka akn mengakuiku jika aku menjadi Hokage. Tapi itu bukan pekerjaan mudah. Butuh lebih dari sekedar hebat untuk menjadi Hokage. Aku harus mampu dalam memimpin dan melindungi warga. Ohh ... aku melupakan hal itu. Hokage adalah pemimpin yang melindungi warganya. Apa aku sanggup? Apa cukup sanggup untuk melindungi orang-orang yang tidak pernah manganggapku, orang-orang yang menginginkan kematian lebih cepat menjemputku,

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Adik kecil,"

Aku tersentak menoleh ke belakang. Anak perempuan tadi. Aku menghela nafas, "Aku tidak sekecil itu." Sergahku sedikit kesal. Dia hanya sedikit lebih tua dariku. Apa harus memanggilku begitu.

Kudengar dia tertawa, melangkah mendekat dan mendudukkan dirinya di sampingku. "Desa terlihat indah dari sini, aku tidak pernah tau." Ungkapnya kagum. Dia tidak bohong. Aku meliriknya, pipinya mengembang karena senyum. Matanya masih bercahaya. Lebih bercahaya karena kilapan lampu. Sejenak sebelum terlihat kekecewaan di sorotannya. Sangat cepat berubah. Entah kenapa aku tidak suka melihat itu.

"Tapi siapa tahu, penduduknya tidak secantik desanya." Tambah dia, namun tidak dapat kutangkap maksudnya. "Mengucilkan sesorang yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Tidak cukup, mereka mencemooh bahkan tidak segan melukai." Nada kecewa sangat kentara dari ucapannya. Entah apa yang dibicarakan, aku tidak begitu menangkapnya. Aku terfokuskan suatu hal.

"Mereka yang menyebut dirinya Shinobi, diam dan tidak sedikitpun merasa malu. Seolah itu hal yang lumrah, yang memang seharusnya terjadi. Mereka bukan Shinobi, tidak pantas."

Aku memperhatikannya. Tidak bisa memperhatikan yang lain. Entah kenapa dia sangat penting. Bukan yang dibicarakan, tapi dirinya.

Dia menghela nafas, menunduk menatap kakinya. "Tapi aku tidak bisa menyalahkannya. Karena mereka punya hak. Namun bukan alasan aku membiarkan mereka menghancurkan hak orang lain. Setidaknya, jika aku tak bisa menyalahkna mereka, aku hanya perlu bisa berbuat sesuatu yang benar. Aku perlu bisa memulai dan mengambil keputusan."

Dia menoleh melihatku, membuatku sadar jika aku terlalu memperhatikannya. Aku berpaling, sedikit malu. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan." Kataku gagap.

"Uzumaki Naruto," dia memanggil namaku. Kembali tersenyum.

Aku tidak percaya. "K-kau ... tahu namaku," aku tidak bernafas sangking terkejutnya. Aku menatapnya menuntut jawaban.

Tangannya mengambil sesuatu di sampingnya. Bingkisan kecil berisi makanan. Aku tidak menyadari dia membawanya. Dia menyerahkan satu tusuk kue warna-warni kepadaku. Aku tahu ini dango. Tapi aku tidak pernah memakannya.

"Makanlah, aku akan bercerita." Pintanya ramah.

Aku mengambilnya dengan ragu. Tapi akhirnya juga sampai di tanganku. Kutatap lekat-lekat kue itu. Ini pertama kalinya seseorang memberiku sesuatu, selain Jiji. Terbesit di otakku, mungkin kue ini beracun. Mungkin dia sedari awal sengaja medekatiku untuk membubuhku. Terbukti dia memang berusaha mendekatiku sejak di lapangan tadi. Dia bahkan rela mengikutiku sampai sini. Tapi dilihat dari manapun, dia bukan orang yang seperti itu.

"Aku memperhatikanmu sejak akhir-akhir ini." Dia mulai bercerita. Dia sudah memakan satu dango di tangannya. Membuatku memutuskan memakannya juga. Toh aku sadar, jika memang aku mati, sangat banyak waktu itu terjadi. Aku mungkin saja sudah mati sedari dulu.

"Ayahku meninggal saat insiden di Konoha tujuh tahun yang lalu. Itu adalah hari mengerikan yang sampai sekarang masih terekam di ingatan orang-orang." Aku memperhatikannya bercerita. Dia seperti meyakinkan dirinya untuk melanjutkan ceritanya.

"Sejak itu aku ingin kuat untuk melindungi orang di dekatku. Aku tidak ingin kehilangan orang yang kusayangi lagi. Aku berlatih meski terbilang lama untuk berkembang. Tapi aku tidak menyerah. Seiring aku di akademi hingga lulus, aku terus mengasah kemampuanku. Hingga suatu hari, aku tidak sengaja mendengar pembicaraan warga desa. Itu terjadi berulang kali. Bahwa Kyuubi, yang menyerang desa tujuh tahun yang lalu masih hidup."

Tidak pernah sesorang berbicara banyak kepadaku, bahkan Jiji sekalipun. Membuatku mendengarkannya dengan lekat. Sebenarnya apa yang terjadi tujuh tahun lalu, dan siapa Kyuubi yang menyerang Konoha...

"Awalnya aku tidak percaya, tapi akhirnya aku sadar saat melihat seorang anak kecil yang dicaci penduduk, tanpa berperasaan. Anak itu hanya menatap takut dan bertanya apa salahnya,"

Dia melihatku sejenak dan tersenyum, "Aku iba dan sakit. Merasa bagaimana jika hal itu terjadi padaku. Aku kecewa dengan diriku, karena tidak mencoba membantunya. Aku merasa hina, karena takut berbuat benar. Merasa malu karena takut untuk berani melawan mereka. Tapi siapa aku, aku bukan orang yang berpengaruh. Aku hanya anak-anak yang tidak mempunyai kemampuan khusus. Aku bukan tidak berani, tapi aku tak sanggup."

Aku terdiam mematung. Mulutku berhenti mengunyah. Aku sedikit tahu arah pembicaraan ini. Aku sedikit tahu siapa anak itu. Terperangah melihatnya, dia hanya balas prihatin dan sedih menatapku. Tapi tetap tersenyum, tulus dan lembut.

"Yahh ... kau benar, anak itu adalah kau." Katanya setenang mungkin.

Dia tahu apa yang kupikirkan. Tubuhku terasa kaku. Jadi, monster, Kyuubi ... aku memang monsternya. Seperti yang orang bilang selama ini. Aku yang menyebabkan keluarga mereka meninggal. Aku yang menghancurkan Konoha tujuh tahun lalu. Aku orang yang meninggalkan duka di hati penduduk. Kami-sama ... benarkah aku monster. Dadaku terasa sakit. Lebih dari apa yang pernah kurasakan selama ini. Aku hanya anak kecil, yang bahkan tidak tahu siapa yang melahirkanku. Tidak mungkin aku melukukan semua itu. Mataku mulai memanas.

"Tapi jangan berpikir bahwa dirimu adalah monster. Itu tidak-"

"Diam," aku menyelanya. Tubuhku masih kaku. Sesuatu yang aneh dan panas terasa di dalam perutku. Tidak nyaman, membuat emosiku tak terkendali. "Jangan berbicara apapun." Aku mendengar nada yang kuucapkan. Dingin dan keras. Aku tidak mengenal suaraku.

Aku merasakan sesuatu di tanganku. Dia menyentuhku. Menarik tanganku dan mengambil tusuk dango yang kugenggam. Rasa hangat menjalar dari kulitku saat dia menggenggamku. Euforia aneh datang dalam diriku. Berbeda dengan rasa panas tadi, lebih sejuk dan nyaman. Asing ... tidak pernah kurasakan. Tapi emosiku sudah mulai membaik.

"Hei," aku menoleh mendengarnya. Senyum tulus darinya membuatku tenang. Tatapanya murni mengasihiku. "Kau bukan monster. Kau Uzumaki Naruto ... yang secara tidak langsung sering membuatku tertawa. Makanlah," katanya menyuapiku dango milikku tadi yang tinggal satu. Aku terdiam lekat, mataku benar-benar memanas. Yang jelas berbeda dengan tadi. Aku membuka mulutku dan memakan kue manis itu. Percaya tidak ... rasanya berbeda.

"Sejak saat itu aku sering mengawasimu. Uzumaki Naruto ... selalu bangun tidur di atas jam 9 siang, menghabiskan dua sampai lima cup ramen setiap harinya, sering juga makan ramen Ichiraku dan selalu membayar kurang, satu-satunya orang dalam sejarah Konoha yang berani mengotori patung Hokage, selalu membuat kekacauan untuk menarik perhatian orang. Hal-hal seperti itu hanya Uzumaki Naruto yang melakukannya." Dia benar-benar tertawa saat menceritakannya. Dalam hati aku ikut tertawa.

"Aku tidak mungkin dan tidak akan pernah percaya bahwa anak lucu sepertimu adalah monster." Ujarnya yakin dan tulus. "Mungkin Kyuubi memang ada dalam dirimu. Tapi itu tidak membuat dirimu sebagai monster."

Aku tidak sejalan dengan keyakinanku. Terlalu banyak hal yang kupikirkan. Tapi semua meluap begitu saja dengan perasaanku sekarang.

Dia menghela nafas panjang. "Sebenarnya, hal ini tidak boleh dibicarakan. Terutama padamu." Katanya menerawang sesuatu yang jauh. "Tak tanggung, Sandaime akan menghukun mati siapapun yang menyinggung hal ini."

Benarkah seperti itu? Dalam arti, Jiji sengaja menyembunyikan hal ini dariku. Hmm ... berpikir positif, mungkin aku memang belum waktunya mengetahui. Yang menjadi poin adalah, dia. Jika ada yang mendengar pembicaraan ini, dan sampai ke telinga Jiji, maka dia yang akan dihukum.

"Aku banyak mencari tahu tentang hal ini, diam-diam. Butuh banyak keberanian, terutama untuk menyampaikannya kepadamu. Tapi bukan karena hal itu aku menghampirimu. Melainkan hal lain. Aku tidak tahu apa."

Dia menatap langit yang sudah gelap. Aku menirunya. Tidak berbintang, namun terlihat dekat dan indah.

"Sudah sejak awal aku melihatmu, semacam dorongan, naluri manusia sesungguhnya. Aku tidak perduli dengan resikonya. Itu hal yang lain. Bukan yang sebenarnya."

Entah kenapa kali ini aku lebih suka diam. Mendengarkan dan memperhatikannya. Banyak hal yang memaksa hatiku berbicara. Namun sesuatu melawannya.

"Seperti seorang Uchiha lainnya, saat tahu ayahku tweas, aku mambangkitkan mataku. Masih teringat jelas, bagaimana rasanya. Seolah dalam diriku ada kegelapan. Mencekam dan membuatku pusing. Aku bisa membenci semua hal yang menganggu pikiranku. Aku ingat apa yang aku putuskan pertama kali saat itu. Balas dendam ... begitu keras dalam menekanku." Dia seakan melihat kenangan yang pahit. Yang mencoba dilupakannya.

"Saat pingsan setelahnya, aku memimpikan sesuatu yang aneh. Aku tidak begitu mengingatnya, tapi tidak pernah kulupa saat ini. Seorang anak yang berdiri sendiri di balik punggung orang-orang lain. Terus sendiri meski berapa kali orang-orang itu berganti orang lainnya. Aku mencoba menghampirinya, tapi aku tak bisa berjalan. Kakiku dingin dan kaku."

Dia menunduk menatap kakinya. Mencengkram tanganku. Seolah merasakan apa yang dibicarakannya. Aku ragu, tapi aku mencoba mambalas gengamannya. Aku ingin membuatnya tenang.

"Aku mencobanya berulang kali, tapi tetap tidak bisa. Aku mulai memanggilnya, meneriakinya. Perlahan dia menyadariku. Menolehkan kepalanya melihatku. Tapi semua menjadi gelap dan aku terbangun. Masih terasa pusing, namun kebencian itu sudah hilang. Keputusan balas dendam seolah tidak pernah kulakukan. Aku melihat ibu tidur di sampingku. Aku teringat ayah dan menangis lagi. Tapi anehnya kebencian itu tidak pernah datang lagi. Sejak saat itu aku putuskan untuk menjadi kuat untuk melindungi ibuku, dan orang-orang di dekatku."

Dia menghela nafas dan kembali menatap langit.

"Dan sejak saat itu aku tidak pernah mengingat mimpi itu. Hari-hari aku jalani dengan biasa dan giat berlatih. Aku bertemu anak laki-laki yang sama Uchiha denganku. Dia begitu hebat dan aku mengaguminya. Menginspirasiku."

Aku bisa mengangkap sorot damba di matanya. Benar dia begitu mengagumi laki-laki itu.

"Dan di hari pertama aku melihatmu, entah kenapa aku teringat mimpi itu kembali. Datang tiba-tiba. Saat itu, aku merasakan hal yang sama dalam mimpi. Keinginanku untuk menghampirimu. Bedanya kakiku tidak terasa dingin ataupun kaku. Jadi ... aku mulai memutuskan, untuk melangkah melakukan hal yang tidak bisa aku lakukan sebelumnya. Aku mengikuti kata hatiku. Aku mengikuti dorongan itu. Aku percaya itu benar, dan mulai mengerti apa yang akan terjadi."

Dia menatapku gembira. Melepaskan genggamannya dan ganti memegang kepalaku. Perasaan ini ... aku tidak yakin ini nyata. Begitu hangat dan menyenangkan. Air mataku keluar, pertama kalinya untuk hal yang mebahagiakan. Bahkan meski ini mimpi, aku akan berterima kasih kepada Kami-sama yang memberinya.

"Jadi, terserah padamu untuk menerimaku atau tidak. Aku ingin menjadi bagian hidupmu, ada untukkmu. Suatu saat pasti kau akan mengira aku ini naive, aku sadar ... tapi aku hanya anak perempuan yang memiliki banyak kata hati dan ingin mengikutinya. Aku tahu, jika Sandaime mengetahui ini, ataupun ketua klan, aku pasti akan dihukum. Mati mungkin. Tapi aku sudah memikirkannya sedari awal, aku tidak perduli. Aku ingin melakukan sesuatu yang berguna, benar, yang memang seharusnya kulakukan. Memikirkan dari pada aku mati di pertarungan yang mungkin kapan pun bisa terjadi, dan aku belum mengambil langkah ini, pastilah aku akan menyesal selamanya."

Masih dengan senyum lembutnya, dia mengucapkan banyak kata yang menyentuh hatiku dengan keindahannya. Berkali-kali aku memikirkan bagaimana itu kematian, tidak membuatku benar-benar memikirkannya. Kali ini itu terasa sensitive.

"Uzumaki Naruto, Izumi ... namaku Uchiha Izumi. Kau boleh memanggilku apa saja." Dia tampak berpikir. Seperti yang kuduga, dari caranya berpakaian, itu memang khas Uchiha. Baju ungu kerah tinggi, dengan gelang kain di tangannya.

"Nee-chan ... atau boleh begitu," dia tersemyum.

Dan aku terdiam, mataku membulat, jantungku seakan berhenti. Aku tidak bisa mendengar apapun. Aku tidak bisa melihat apapun. Apupun selain dia dan ucapannya. Nee-chan ... aku tidak percaya mendengarnya. Dia mneghampiriku, tidak hanya untuk menemaniku, seorang yang ada untukku ... aku mendapatakannya sebagaimana yang kuharapkan selama ini. Selalu setiap detiknya. Keluarga. Sebuah keluarga yang aku impikan. Dia memang ada untuk menjadi bagian dari hidupku.

Tenggorokanku tercekat. Lidahku keluh. Begitu banyak yang ingin kubicarakan, ingin kusangkal menuntut jawaban atas segala pertanyaan di batinku. Kugigit bibirku keras, sangat sulit untuk bersuara. "N-nee ... -chan," suaraku keluar dengan terbata. Pelan dan bergetar. Terasa sakit hanya untuk satu kata. Air mataku semakin deras, tak bisa kukendalikan.

"Hmm, yah ..." Jawabnya lembut.

Dan aku ingin berbicara lagi. "B-bolehkah, aku ... me-melukmu," aku sadar mengatakan itu. Masih terasa sakit. Beberapa kali memaksaku berkedip karena tangis.

Dia sedikit beringsut ke samping. Menghadapku dan merentangkan tangannya. "Tentu saja ... Otouto,"

Aku membuang seluruh beban tubuhku kepadanya. Aku merengkuhya dan berteriak keras. Menangis ... untuk pertama kalinya selepas ini. Yang memang milik seorang anak. Aku merasa bahwa aku begitu luas. Hangat dan bebas. Setiap emosi yang kurasakan, aku menikmatinya. Aku merasakan ketulusannya. Aku tidak perduli apapun, bahwa ini mimpi, atau dia yang ternyata berbohong, aku tidak perduli. Aku merasakannya, kesungguhannya, dan kasih sayangnya. Sekarang ... hanya itu yang terpenting.

Aku menangis lama, cukup lama hingga membuatku nyaris tertidur. Tapi keadaan di atas patung Hokage, malam hari, dingin itu mengusikku. Walau sebenarnya kehangatan darinya bukan hal yang bisa diduakan. Dia menawarkan untuk mengantarku pulang. Aku tidak mungkin menolaknya. Sesampainya di apartemenku, aku baru ingat bagaimana keadaan tempat tinggalku. Dia tertawa dan memang mengetahui hal itu. Dia menawarkan bantuan untuk membersihkannya. Bukan tawaran, dia tidak memberi kesempatan untukku memberikan izin. Hingga aku teringat jika awalnya aku memang berniat membersihkan kamarku. Jadi aku juga mengambil peran.

Malam itu banyak kejadian yang mengagumkan. Awalnya cukup sulit untukku berbicara. Tapi perlahan aku mulai banyak bicara. Sangat banyak bisa dibilang. Setelah acara bersih-bersih, kami memakan ramen yang masih ada di persediaanku. Jamuan yang sempurna menurutku. Aku melupakan larut waktu. Tapi dia berkata jika sedang kabur dari rumah. Temannya tadi sore mengadu ke ibunya jika dia mendekatiku. Itu membuatnya bertengkar dengan ibunya. Dia terlihat kesal, menggerutu banyak, dan aku merasa bersalah. Entahlah ... Tapi dia orang yang menyenangkan. Mudah membuatku terlarut dengan yang dibicarakan. Dan dia memang orang yang jujur. Apa adanya.

Cukup melelahkan setelahnya. Aku tertidur di pangkuannya. Kenyamanan yang luar biasa aku rasakan sepanjang malam. Membuatku lelap dan tidak memimpikan apapun. Tapi aku tahu aku senang dalam tidurku. Hingga aku terbangun keesokan harinya. Dan ... dia tidak ada. Begitu lama meyakinkan dan menyadarkan diriku, bahwa itu mimpi atau tidak. Tapi keadaan apartemenku yang bersih, serta dua cup ramen sisa membuktikan jika itu nyata. Tapi mungkin saja aku memang membersihkannya sendiri semalam, dan aku kelaparan setelahnya. Mengingat aku mampu menghabiskan selusin ramen cup jika memang sedang lapar, itu memungkinkan jika aku sendiri yang memakan dua ramen itu.

Namun salahkah aku berharap? Tidak ... aku tidak menyerah untuk membuktikan itu nyata. Aku mencarinya. Jika memang dia benar adanya, maka satu tempat bisa memastikan keberadaanya. Yah, tempat tinggalnya. Komplek Uchiha menjadi tujuan utamaku. Namun hal mengejutkan terjadi. Tempat itu dijaga ketat oleh Anbu. Klan Uchiha ... terjadi pembantaian di klan Uchiha.

Aku shock, namun hal lain memenuhi pikiranku. Benar, dirinya. Aku mendekati salah satu Anbu, dan bertanya apa dia masih hidup, Uchiha yang masih hidup. Tapi dia menjawab tidak ada satupun kecuali seorang anak seumuraku yang saat itu berada di rumah sakit. Anak itu dipeuhi kebencian, aku sudah menebak perasaanya. Dia melihatku, dengan matanya yang dingin.

Tapi kenyataan, dia bukanlah Uchiha Izumi. Seperti yang kuharapkan. Aku mencari di tempat lain, dan bertanya kepada setiap orang yang kutemui. Mereka masih memberi tanggapan yang sama seperti biasanya. Menatapku jijik dan mencelaku. Namun setidaknya mereka memberikan jawaban, bahawa memang tidak ada yang tersisa dari Uchiha selain anak tadi. Aku mulai putus asa. Namun aku teringat seseorang yang dapat memberiku jawaban lebih tepat.

Sandaime-Jiji ...

Aku menemuinya di kantor Hokage. Keadaan di sana begitu tegang. Aku nyaris tidak diizinkan masuk, jika Jiji tidak menyadariku. Aku berbicara, menanyakan dengan keras dan panik setelah berhadapan dengannya. Namun Jiji memberi tanggapan yang aneh. Bukan hanya Jiji, semua Anbu yang berada di sana memberi tanggpan yang sama. Mereka terkejut, samgat terkejut hingga menambah ketegangan seisi ruangan. Jiji menyuruh mereka meninggalkan kami berdua. Dia bertanya, dan aku menceritakan semuanya. Sebagaiman yang kuingat dalam pertemuan kami semalam. Jiji tersenyum, menyentuh kepalaku. Aku bingung. Namun satu kalimat darinya membuatku merasa dilahirkan kembali. Uchiha Izumi ... masih hidup.

Jiji mengantarku ke tempat dimana dia berada. Kita sampai di pemakaman. Namun aku tidak melihat apapun sepanjang perjalanan hingga ke sini. Di pemakaman-pun sama. Tidak ada seseorang. Apakah di bawah tanah, atau tempat tersembunyi lainnya, aku terus bercercah kepada Jiji.

Jiji mengangkat tangannya ... dan mengucakan sesuatu. Ternyata Genjutsu.

Aku melihatnya, di sana. Di kelilingi lebih dari selusin Anbu. Aku berlari menghampirinya. Tapi aku berhenti. Aku ragu ... apa memang dia, apa dia mengenalku. Jiji menepuk pundakku dengan tersenyum. Pertama kali aku melihat wajah Jiji sebahagia itu. Aku akan menanyakannya setelah semua ini.

Aku melangkah dengan takut. Namun akhirnya aku sampai di dekatnya, di sampingnya. Yah ... memang dia. Dia terduduk menangis di hadapan salah satu makam. Menangis dengan keras hingga membuatku sakit melihatnya. Aku ingin menenangkannya. Namun aku tidak begitu berani. Aku takut dia tidak mengenalku. Aku takut jika semalam itu hanya mimpi.

Dia menyadariku...

Dadaku berdetak dengan keras, nafasku sesak, saat dia mulai melihatku. Waktu terasa lambat. Menekanku dengan keras. Namun aku mendengar sesuatu, darinya. Dia menyebutkan namaku. Dia mengenaliku. Dia menarikku dan memelukku. Menangis kembali dengan menyebut Kaa-sannya. Makam itu adalah, makam ibunya. Korban Uchiha lainnya.

Aku ragu awalanya, namun aku membalas pelukannya. Mencoba menenangkannya. Setidaknya semua jelas dan aku tahu pasti, semalam dan semua ini nyata. Aku bahagia, dan tak bisa kugambarkan bagaimana.

Tapi sekarang...

Ada apa sebenarnya, apa yang terjadi, hal apa yang kita lewatkan semalam? Kenapa Jiji mencoba menyembunyikan dia. Jelas itu benar, semua orang hanya mengetahui jika hanya satu Uchiha yang tersia dari pembantaian itu. Bahkan Jiji melakukan penjagaan ketat dan melapisi tempat ini dengan Genjutsu. Apa lagi jika agar tidak ada yang tahu keberadaanya saat ini.

Tapi satu hal, yang membuat darahku mendidih, siapa dalang dari semua ini, siapa yang dengan tidak beradabnya membantai manusia. Ohh ... aku lupa ini dunia Shinobi. Hal seperti itu sangat mungkin terjadi. Oleh siapaun.

Siapapun itu ... dia telah membuat dia seperti ini.

Aku tudak suka.

Dan akan mencari siapapun orangnya...

.

.

.

TBC


Hai Minna-san ... Sangat lama rasanya saya tidak mengucapkan itu :-D.

Beribu maaf saya ucapkan, mengingat saya cukup lama menghilang. Dan meninggalkan fic Zero begitu saja. Saya rasa tidak perlu banyak alasan :-D. Saya cukup (sangat) kesulitan membuat plot penyerangan Konoha. Dan laptop saya rusak 4 bulan terakhir ini. Jadi saya tidak bisa menulis :-(. Memang tidak hanya itu kenapa saya belum bisa melanjutkan fic Zero.

Dan dengan mudahnya saya muncul dengan fic baru lagi :-D. Sumanai ... Saya pikir, mungkin saya bisa menemukan ide baru jika saya membuat fic baru. Pemikiran yang tidak berkomitmen memang :-D. Tapi saya berharapnya begitu. Saya menyayangkan jika tidak bisa melanjutkan Zero. Padahal saya sudah mepunyai ending yang sangat ingin saya tulis untuk itu.

Dan mengenai fic ini, ini fic berchap kedua setelah Zero. Ini hanya kisah romance yang diselingi sedikit tragedy, yang mengutamakan sudut pandang Naruto. Mungkin tidak banyak yang tahu Uchiha Izumi. Itulah kenapa saya membuat crack pair ini. Itu favorit saya :-D. Tapi mungkin akan berubah menjadi genre lain jika saran kalian dapat mempertimbangkan ide saya.

Jadi ... saya sangat mengharapkan saran dan support kalian. Untuk ini dan Zero.


Maaf atas segala kekurangan.

Jadi selebihnya mohon bimbingannya.

Sampai jumpa di chap berikutnya …