Naruto Masashi Kishimoto.

My Pervert Seme Shinobi Girl Yaoi.

Warning : agak OOC, AU, Typo(s), hard yaoi, rape, toy sex, adult contents, lime, lemon menganjurkan untuk tekan icon back jika tidak suka, satu lagi saya tekankan, ini bukan crack pair!

Dedicated this fict for my uke : Kirei a.k.a Whizie a.k.a Deidei a.k.a Unyu (banyak amat, ya.)

"Aku tidak marah padamu, unyu… ^^"

Pair : HidDei.

Ready? Read now… ^^

-ooo00ooo-

Di sebuah ruangan persegi dengan luas kir-kira 3x3 meter, dimana ruangan tersebut di penuhi buku-buku dan kertas-kertas hasil sketsa. Mari kita intip lebih dalam, siapa yang tinggal di sini.

Seorang pemuda blonde tampak berkutat dengan kertas dan pen yang ada di mejanya. Peluh mulai menuruni keningnya. Matanya berkilat tajam dan tangannya terus bergerak di atas lembaran kertas putih yang tadinya kosong.

"UNN! AKHIRNYA JADI!" teriaknya heboh.

GDUBRAK!

Dan teriakan melengkingnya sukses membuat Hidan terjatuh dari mejanya yang terletak di seberang Deidara.

"Jangan berteriak-teriak! Aku sedang konsentrasi!" omel Hidan mulai bangkit.

"Tapi, un… aku akhirnya selesai membuat satu tokoh cowok yang keren, un," elak Deidara sambil memeluk kertas hasil coretannya yang biasa dia sebut sebagai seni.

"Kalau gitu, coba sini, aku liat!" lanjut Hidan mengulurkan tangannya. Meminta liat gambar buatan pemuda blonde tersebut.

"Eh? Un? Ja-jangan, un," tukas Deidara merona merah. Langsung menyembunyikan gambar kebanggaannya.

"Huh, lagi-lagi membuat tokoh misterius, tapi tidak boleh aku liat. Lalu, bagaimana kelanjutan komik kita? Kalau sampai besok tidak jadi juga, senpai Pein gak akan mau menerbitkan komik buatan kita lagi." terang Hidan panjang lebar kali tinggi (?).

"Ta-tapi, un… ini masih jelek, un," ujar Deidara pelan.

"HUWAAA! AKU FRUSTASII!" teriak Hidan menggema di ruangan sempit tersebut. Deidara langsung menutup kedua telinganya.

"Jangan teriak-teriak, un!" sahut Deidara kesal.

"DEWA JASHIN! Kenapa tak kau kirimkan malaikat kehadapanku agar aku punya inspirasi!" teriaknya lagi. Kali ini sambil mengacak-acak rambut cepaknya. Deidara hanya menggeleng pelan melihat rekannya yang sudah seperti orgil.

"Bicara apa kau, un? Di sini kan sudah ada malaikat, un," katanya dengan sedikit senyum tersungging di pojok bibir merahnya. Seketika, Hidan terdiam. Matanya membulat menatap Deidara dengan bingung.

"Malaikat? Di sini? Dimana?" tanyanya masih menerka maksud ucapan Deidara.

"Bodoh, un!" bentak pemuda blonde itu sewot. " Tentu saja aku, un!" teriaknya melempari Hidan dengan buku-buku komik yang berceceran di lantai.

"Hei! Hentikan! Apa yang kau lalukan?" bentak Hidan menangkis dan menghindari serangan Deidara.

"Hidan jaat, un! Jaat, un!" amuk Deidara makin menjadi.

skip time.

Beberapa jam berlalu, dan keributan mulai mereda. Hidan menghela napas panjang nan berat.

"Kenapa otakku tak ada gambaran," keluhnya menjambaki rambut cepaknya lagi.

"Huuuh... aku juga, un," kali ini mereka berdua kompak.

"Kalo begini mending nonton bokep," Hidan tampak mengeluarkan Handphone kameranya dan menekan tombol-tombolnya, mata Deidara kini membulat.

"Jangan mesum, un!" teriaknya langsung melempar Hidan dengan sebuah kamus bertebal hampir sepuluh centimeter, membuat Hidan harus memiliki tanda benjolan di atas kepala udangnya.

"Sakit, tau!" bentaknya mengaduh seraya memegangi kepalanya yang pening.

"Habisnya kau mesum, un!" tukas Deidara masih marah-marah.

"Huh," Hidan mendecak kesal, matanya kelayapan dan tanpa sengaja terfokus pada sebuah box pink di sudut tempat duduk Deidara. Pemuda blonde itu ikut melirik ke arah pandangan rekannya

"Apa, un? Ada yang aneh?" tanyanya bingung.

"Bukan, itu box yang kemarin diberi oleh Konan?" tanya Hidan menatap box berwarna pink tersebut.

"Iya, un. Konan-chan keterlaluan, un, masa memberiku hadiah baju sailor, un. Aku kan cowok, un," ratap pemuda blonde itu mengingat kejadian kemarin, dimana teman sekelasnya yang bernama Konan memberinya sebuah seragam sailor. Mungkin karena Deidara murid pindahan yang cantik, jadi, dikira cewek. Setelah tahu, Konan langsung blushing berat dan berkali-kali meminta maaf saat mereka saling bertemu.

Yah, Deidara dan Hidan adalah warga baru di Amegakure city. Disebabkan oleh tuntutan pekerjaan sebagai seorang komikus, mereka harus rela pindah kota karena editor mereka yang bernama Pein tinggal di Amegakure ini. Tentu saja agar memudahkan komunikasi mereka dan yang lebih penting, agar komik kedua mereka bisa segera diterbitkan.

Ini adalah satu-satunya kesempatan mereka berdua untuk memulai karir sebagai komikus baru terhebat di dunia! Dan karena hal itu pula, Deidara yang masih berstatus pelajar kelas 3 SMA harus pindah sekolah, sementara Hidan yang sudah tidak bersekolah dapat menekuni pekerjaannya lebih tenang dan tanpa beban belajar. Namun, sekarang otaknya benar-benar tidak bisa diajak kompromi! Tak ada inspirasi yang menempel di imajinasinya sedikitpun!

Tapi, hal itu tak bertahan lama, karena dia baru saja mendapat ide brilian! Matanya berbinar menatap box pink milik Deidara. Ia segera beranjak mengambil box tersebut. Deidara hanya mengangkat satu alis pirannya.

" Mau apa kau, un?" tanyanya mengamati tingkah rekannya yang tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat.

"Aku punya ide bagus!" ucap Hidan berbinar-binar dengan matanya yang kini sudah berapi-api. " Bagaimana kalau tema komik kita kali ini MURID CEWEK SMA!" teriak Hidan menunjukkan seragam sailor biru kuning ke depan muka Deidara.

"Heh? Memang kau bisa gambar cewek, un?" tanya Deidara to the point. Hdan menggeleng. "Sudah kuduga, un. Gambarmu itu gambar type komik shonen yang bertema perang-perang, un, mana bisa gambar cewek SMA yang manis dan cute," cibir Deidara. Hidan tampak kecewa.

"Benar juga, ya," desahnya kembali padam. Namun, beberapa detik kemudian lampu lima watt di otaknya kembali menyala. "Kalau begitu, kau saja yang jadi modelnya!" celetuk Hidan semangat. "Dengan menggunakan baju sailor ini, aku akan menggambar kau untuk dijadikan model tokoh cewek!" lanjut pria cepak itu semangat '45.

"GAK MAU, UN!" teriak Deidara mentah-mentah.

"Kenapa?" Hidan memicingkan matanya.

"Aku kan COWOK, un!" teriak Deidara yang merasa harga cowoknya menurun satu tangga.

"Ayolah, cuma sekali ini saja, Deidei~" pinta Hidan memohon.

"Ta-tapi, un…" Deidara bingung.

"ya? Please…~" kata-kata Hidan kali ini melelehkan pendirian Deidara.

Satu detik – dua detik – tiga detik – empat detik- lima – enam – tujuh – delapan – Sembilan – sepuluh menit berlalu.

Deidara sudah duduk manis dengan mengenakan seragam sailor pemberian Konan, pita pink menghiasi rambut blondenya yang digerai sepinggang. Wajahnya merona merah menahan malu.

"Un, aku gak yakin," ucap pemuda blonde itu menggaruki kepalanya yang tidak gatal.

"Manis, kok." tandas Hidan yang disusul blushing memuncak di wajah Deidara.

Hidan segera bersiap mengambil kertas dan alat gambar lainnya, lalu duduk di hadapan pemuda manis tersebut. Matanya berkilat memandang Deidara, kemudian beralih ke kertasnya untuk menorehkan beberapa garis sketsa gambarnya. Membuat Deidara hampir meledak setiap mereka bertemu pandang.

Keheningan terjadi beberapa waktu. Hanya bunyi gesekan antara pen Hidan dan kertas gambarnya yang terdengar.

Satu jam kemudian.

"Hidhid, un… masih belum jadi?" tanya Deidara yang sudah tidak kuat dengan posisi manisnya. Hidan mengangguk.

"Sudah jadi," ujarnya meletakkan kertasnya. Ia menghela napas lega, begitu pula Deidara yang sekarang sudah merenggangkan otot-otot tubuhnya. Sedetik kemudian, mata violet Hidan menangkap gelagat aneh dari Deidara.

"Kenapa kau?" tanyanya heran melihat Deidara menarik-narik rok di atas lututnya.

"Se-sempit, un…" desah pemuda blonde tersebut yang kini mulai melonggarkan kostumnya. Peluh kembali menelusuri pelepisnya. Ia mengambil karet untuk mengikat rambut panjangnya. Hidan terus memandangnya dalam diam.

"Aku butuh air," ujar pria cepak itu seraya berdiri dan berjalan ke luar ruangan.

"Aku juga, un!" pinta Deidara sambil mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengurangi udara panas di Minggu siang ini.

Beberapa menit, Hidan kembali ke ruangannya, perlahan membuak pintu kamar. Mata violetnya membelalak tatkala melihat Deidara berposisi nungging membelakanginya dengan CD berwarna biru langit yang terpapang indah, menyejukkan pandangan Hidan yang tadinya buram hitam putih (?).

Guk guk!

Seekor anak anjing hampir luput dari pandangan Hidan. Nampaknya anjing tersebut menyadari kehadiran Hidan. Setahunya, binatang berkaki empat itu adalah peliharaan Pein-senpai yang diberi nama Chibi. Hidan celingukan mencari sosok Pein, namun sepertinya tidak ada. Anjing kecil itu terus menggonggong pelan, tapi sama sekali tidak membuyarkan Deidara dari lamunannya. Nampaknya, gambar Hidan sudah menghipnotis pikiran pemuda blonde yang sejak tadi terus mengamati kertas hasil coretan Hidan.

"Bagus?" tanya Hidan tiba-tiba sudah ikut berposisi nungging di belakangnya.

"Un? I-iya, un!" jawab pemuda blonde tadi gugup. Hidan tersenyum. Deidara melihatnya. Matanya berbinar melihat senyuman parnernya. "Bagus, un… sangat mirip denganku, hanya saja bagian dadanya terlalu besar, un, lalu kakinya leb- ouch! Aahhh…"

Deidara keburu mendesah, menggantungkan kalimatnya karena milik Hidan sudah menempel serta menggesek-gesek pada bagian pantat Deidara yang sedang nungging.

"Hidhid, un… aaghh…"

Kembali terdengar desahan pemuda blonde tersebut ketika tangan nakal Hidan mulai bermain diantara kakinya. Meremas-remas kebanggaan Deidara secara perlahan, kontan membuat pemiliknya tiba-tiba merasakan sensasi nikmat.

"Un… aahhh…. Erghhh… haahh…" erangan Deidara kembali terdengar. Tangan Hidan kini sudah mulai bergerilya di dalam rok sailor Deidara, meremas serta mengocok di dalam CDnya secara langsung. Sementara, tangan satunya ia gunakan untuk menarik dada serta tubuh Deidara agar terduduk di pangkuannya.

"Hidan, unn… janghhh… ahhnn… haaahhh…" desahnya mencengkeram lengan pria berambut silver itu agar tidak macam-macam di dalam sana.

"Tenanglah, sayang… aku akan membuatmu nyaman…" desis Hidan mulai melucuti kancing baju sailor Deidara. Memilin nipple kecoklatan miliknya yang membuat pemuda blonde tersebut mengerang nikmat.

"Aaahh… unn...umm…"

Hidan kembali menyerang tubuh mungil yang ada di pangkuannya. Bibirnya sibuk melumat serta menghisapi leher jenjang Deidara, meninggalkan kissmark kemerahan di sana, membuat seniman muda itu melenguh nikmat. Merasakan sesuatu yang basah mulai keluar dari kesejatiannya.

"Ughh… haahhh… Hid… unn…"

Hidan menampakkan seringainya physconya mengetahui ukenya mencapai klimaks pertamanya. Seringainya kembali terkembang begitu mendapat wangsit dari DJ nya. Otak kotornya sibuk menyusun strategi untuk permainan ini.

Dia melepas CD Deidara. Menampakkan milik Deidara yang sudah menegang dan basah oleh cairannya beberapa waktu lalu. Pemuda blonde itu agak blush melihat Hidan yang memandang miliknya sambil menjilat bibir.

"Un! Jangan mesum…" desisnya masih berusaha menghentikan tangan kanan Hidan yang terus memilin nipplenya secara bergantian hingga benda kecoklatan itu mengeras.

Pria silver itu kembali mengeluarkan smrik andalannya, lalu mulai menjamah lubang Deidara. Membuat uke manisnya langsung mengerang keras dengan tubuh semakin mengejang. Satu jari lolos. Dua. Kini yang ketiga. Hidan segera memutarkan ketiga jarinya yang sudah masuk, membuat agar rektum Deidara lebih lebar. Jarinya tanpa diperintah, langsung menyeruak masuk lebih dalam.

"Arghh… hhaaahhh…" erang Deidara kembali memenuhi ruang kerja sempit mereka. Beberapa perabotan tulis mereka terjatuh dari meja karena Deidara terus menggelinjang tak bisa diam.

"Sepertinya aku sedikit memerlukan tali," bisiknya pelan.

"Apa? Tali, un? Buat apa, un?" tanya Deidara kontan mencengkeram kedua tangan Hidan yang bermain dengan tubuhnya. "Aku tidak mau diikat, un! Sudah cukup, un! Hentikan!" protes pemuda blonde itu mulai mencium gelagat tidak baik dari semenya.

"Tidak, sayang… kau hanya salah paham…" Hidan menarik tiga jarinya dan meremas kembali milik Deidara. Membuat yang empunya kembali menegang dan mendesah pelan. Sementara tangan kirinya sibuk, tangan kanannya terjulur meraih sebuah box berisi barang-barang miliknya. Hidan mengambil tali.

Perlahan, Hidan menidurkan Deidara di atas meja tengah ruangan. Menyingkirkan beberapa kertas dan pen untuk menggambarnya. Wajahnya mendekati wajah manis ukenya. Hidan memiringkan sedikit kepalanya, memejamkan mata sambil terus mendekat. Deidara pun juga ikut memejamkan mata. Detik berikutnya, keduanya sudah memulai sebuah ciman panas. Lidah Hidan terus menjilat bibir Deidara, meminta ijin untuk akses masuk.

Dengan segera, Deidara membuka mulutnya, membiarkan lidah semenya bermain dalam ronganya. Hidan mulai menjelajah dalam mulut Deidara. Mengabsen deretan gigi ukenya, kemudian melumat lidah Deidara yang kenyal dan lembut. Lidah mereka saling bertaut, memberikan sensasi berbeda setiap pengecapan yang mereka lakukan.

Saliva mulai menetes di sudut bibir Deidara. Ia hampir kehilangan napasnya karena terlalu tenggelam dalam ciuman panas nan panjang yang mereka lakukan. Sementara itu, tangan Hidan dengan lincahnya mengikat kedua tangan Deidara di atas kepalanya serta kedua kakinya yang diikat di masing-masing pahanya agar Deidara selalu dalam posisi mengakang. Hal itu akan mempermudah Hidan untuk mencabuli ukenya.

Kembali Hidan meraih box pribadinya, dikeluarkannya sebuah alat yang mirip dengan miliknya. Deidara nampaknya sudah benar-benar kehabisa oksigen, akhirnya terus memaksa Hidan untuk menghentikan ciumannya dengan menggigit lidahnya.

Deidara langsung membelalakkan matanya tatkala melihat posisinya yang begitu mudah untuk diserang. Ia hendak memarahi semenya yang berlaku seenaknya, namun hal itu sudah terlambat karena sekarang Hidan sudah mulai memasukkan sebuah vibrator yang baru saja diambilnya ke dalam diri Deidara. Dengan terpaksa, kali ini pemuda blonde itu mengeluarkan sebuah umpatan serta desahan dan erangan secara bersamaan memenuhi ruangan mereka.

Hidan terus memaksa masuk benda asing tersebut masuk dalam diri ukenya agar benar-benar menancap spenuhnya di dalam sana. Membuat Deidara terus menggelinjang di atas meja dan membuat tubuhnya terus menegang.

Tangan Hidan sekali lagi meraih boxnya dan mengambil sebuah remote control. Menekan sebuah tombol untuk menggetarkan vibrator dalam diri Deidara pada tombol slow.

Deidara terus merasakan sensasi yang perih, namun juga memabukkan, dengan mengeluarkan suara-suara aneh dan menyerukan nama "Hidan" dari bibir kemerahannya.

Hidan meraih kepala pirang Deidara, lalu menciumnya lembut. Lidahnya kembali bermain dalam rongga ukenya, kali ini Hidan hampir kewalahan menghadapi lidah kenyal Deidara yang memberikan perlawanan begitu keras pada lidahnya. Seolah berkata jangan-sentuh-aku-brengsek!

Namun, tetap saja hal tersebut tidak begitu mempengaruhi Hidan, karena pada menit berikutnya, Deidara sudah tertunduk pasrah padanya ketika Hidan dengan tenangnya menekan tombol normal pada getaran benda dalam diri Deidara. Membuat ukenya terus dan terus menggelinjang nikmat.

Hidan tidak puas jika hanya melihat ukenya bermain sendiri, tangannya yang sejak tadi diam memegangi tubuh Deidara, kini mulai bergerak, menelusuri dada Deidara, berhenti sejenak untuk bermain-main dengan nipple kecoklatan ukenya lagi. Meremas, mengelus, memijat, dan memelintir pelan benda itu hingga mengeras, begitu secara bergantian antara yang kiri dan kanan.

Sementara itu, tangan satunya ia gunakan untuk menelusup pada pantat Deidara yang kenyal dan empuk, membuat Hidan tergoda untuk meremasnya. Bukan Hidan namanya kalau dia tidak benar-benar melakukannya.

Kini tangannya dengan lincah meremas-remas pantat Deidara secara bergantian. Pemuda blonde itu terus merasakan sensasi nikmat yang terus melanda tubuh mungilnya.

Sesekali dia ingin mengerang keras karena perlakuan semenya, tapi harus menjadi erangan tertahan, mengingat mulutnya masih ditawan oleh sang seme. Sekarang tangan Hidan sudah puas dengan benda kenyal ukenya mulai meraih vibrator yang masih bergetar dalam diri Deidara. Perlahan, ia menariknya keluar, namun tidak sepenuhnya keluar. Hanya tiga perempat bagian hampir keluar, kemudian mendorongnya lagi masuk dalam tubuh ukenya.

Hidan meng-in-out-kan benda itu layaknya miliknya sendiri. Sementara, Deidara dengan syok membelalakkan matanya. Menampakkan sapphirenya yang mulai tergenang karena air matanya. Detik berikutnya, air mata sudah jatuh tak tertahan menelusuri ke dua pipinya. Dirinya sudah tidak tidak kuat diperlakukan seperti ini, ingin bergerak pun tidak bisa, apalagi protes atas perlakuan semenya.

"Hhnghhh…" Deidara mengerang tertahan. Berusaha menarik baju kemeja Hidan dengan menggunakan kedua tangannya yang terikat untuk meminta sedikit perhatian, bahwa pemuda blonde itu masih membutuhkan oksigen untuk mernapas.

Hidan menatap sapphire Deidara sejenak. Kemudian, melepaskan ciumannya dan menampakkan saliva di kedua sudut bibir Deidara. Pria cepak berusia dua puluh tahun itu mencari mangsa lain di tubuh Deidara.

Kini dia sudah menetapkan, bahwa serangannya akan bertuju pada leher jenjang Deidara yang putih nan mulus. Membuatnya selalu tergoda apabila terus memandangnya. Dengan cepat lidahnya sudah bermain pada leher Deidara. menghisap, menggigit, dan menjilatnya di sana sini. Membuat Deidara terus mengerang saat mengambil napasnya.

Tangan Hidan yang tadi berapa pada dada Deidara, kini bergerak ke tempat lain. Merasakan setiap liukan tubuh ukenya yang begitu menggoda. Turun kebagian perut dan akhirnya berhenti pada milik Deidara. benda itu tampak eksotis dengan keadaan menantang berani dan diujungnya yang sudah basah karena cairan Deidara. entah sudah berapa kali Pemuda blonde itu mencapai klimaksnya tadi karena benda itu tampak sangat tegang dan begitu banyak cairan yang meluber di segala tempat.

Segera, Hidan memainkan milik Deidara. tangannya terus meremas kesejatian ukenya, memaju-mundurkan gerakan tangannya dengan lincah dan gesit. Membuat Deidara yang tadinya tenang bernapas, kembali harus mengerang atas perlakuan semenya.

Lidah Hidan kembali beraksi lebih berani, turun pada dada Deidara, kemudian menghisap-hisap nipple kecoklatan ukenya, menggigit pelan, menjilatnya dengan cepat. Deidara terus mendesah merasakannya.

"Hidhid… unh… aahhh… janghh… aahhnn…"

Desah pemuda blonde itu seraya menggunakan tangannya yang terikat untuk mendorong kepala Hidan. Entah mengerti atau tidak, sepertinya doa Deidara terkabul, karena Hidan tiba-tiba berhenti melakukan kegiatannya, lalu sekali lagi menatap sapphire Deidara.

"Kau sudah berapa kali?" tanyanya membenarkan posisi sambil duduk pada meja di tengah ruangan mereka yang tidak begitu tinggi. Deidara blush mendengarnya, dan nampaknya dia tidak berniat menjawab, karena detik berikutnya dia sudah memanyunkan bibirnya.

Hidan mengeluarkan gelak tawanya yang membahana di ruang kerja mereka.

"Kemarilah, sayang…" ujarnya kemudian.

"Mau apa, un?" tanya pemuda blonde itu was-was mengingat bahwa semenya ini sangat pervert.

"Aku ingin kau melakukan pekerjaanmu, sayang…" jawabnya dengan nada seromantis mungkin. Tapi, tidak terdengar begitu di telingan Deidara.

"Tapi, tanganku diikat, un!" tukas pemuda blonde itu menunjukkan tangannya yang memang dalam keadaan terikat.

"Bukan dengan itu, manis… tapi, dengan ini," ujar Hidan seraya menunjukkan bibirnya. Membuat Deidara harus terbelalak dan mengeluarkan seringainya tiba-tiba. Sepertinya seniman kita ini punya rencana bagus.

Dengan perlahan, Deidara duduk bersimpuh di hadapan Hidan, tubuhnya ia sandarkan pada lutut Hidan yang tengah duduk di atas meja. Sementara tangannya yang masih terikat, dia gunakan untuk membuka resleting celana semenya. Deidara agak kesal melihat semenya yang masih berpakaian lengkap.

Pemuda blonde itu mendekatkan bibirnya pada milik Hidan, nampaknya benda itu benar-benar membutuhkan service, karena terlihat tak menantang atau pun menarik sedikit pun. Deidara menunduk, kemudian mulai mengulum milik Hidan pelan, melakukan blow job keahliannya. Hidan berhenti bernapas sejenak, lalu mulai menikmati permainan ukenya, hampir dia mendesah dibuatnya, tapi belum sempat itu terjadi, tiba-tiba Deidara menggigit keras milik Hidan. Membuat empunya mengerang keras.

"AKKHHH! Apa yang kau lakukan?" tanyanya berusaha menahan diri saat bagian ujung miliknya harus bertemu dengan gigi-gigi Deidara yang menggigitnya tidak tanggung-tanggung.

Tanpa harus dijawab, sepertinya Hidan sudah dapat menebak bahwa ukenya sedang ngambek dan sepertinya pula kini dia sedang menjalani hukuman balas dendam dari ukenya. Tapi, bukan Hidan namanya kalau tunduk begitu saja, ia dengan cepat meraih remote control yang tergeletak di atas meja. Sambil menggigit bibir bawahnya agar tidak membuat gaduh ruangan mereka dengan erangan.

Hidan menekan remote itu pada tombol fast. Getaran vibrator itu mulai terasa makin cepat pada diri Deidara. membuat pemuda blonde itu langsung menghentikan gigitannya dan desahan tertahannya langsung terdengar merdu dalam gendang telinga Hidan yang tampak menyeringai puas.

Dengan cepat, gigitan Deidara berubah menjadi kuluman yang memabukkan untuk Hidan. Tangan Deidara terus meremas-remas pelan celana Hidan yang terletak di hadapannya.

Deidara terus memasukkan milik Hidan dalam mulutnya, menghisap dan menjilat dengan nikmat. Sementara, di bawah sana, Deidara kembali mencapai klimaksnya. Entah ini sudah keberapa kalinya. Ditandai dengan desahan panjang setelah melepas milik semenya secara tiba-tiba. Tubuh mungil itu langsung tertunduk lemas.

"Hidhid… unghh… aahhh…" desah Deidara kembali menyelimuti ruangan. Hidan memelorotkan diri dan ikut duduk di lantai bersama Deidara.

"Ada apa, sayang?" tanyanya seraya menarik kepala Deidara ke dalam pelukannya.

"Caphhh… ekhh… haahh… unhh…"

Hidan agak kesulitan mengartikan ucapan ukenya yang bercampur dengan desahan, tapi satu hal pasti, bahwa Deidara sudah tidak kuat.

Hidan segera melepas ikatan tangan dan kedua kaki Deidara. secara tiba-tiba pemuda blonde itu langsung masuk dalam pelukannya.

"Hidhid… un… aahhh… Hidhid… unhh… aahh…" Deidara terus mendesah sambil memeluk semenya. Hidan mencium keningnya lembut.

"Ini akan cepat berakhir, sayang… aku janji…" Hidan berkata lembut di telinga ukenya.

Deidara makin membenamkan kepalanya, sebelum Hidan tiba-tiba melepaskan pelukannya, karena tangan Deidara mulai meremas-remas miliknya dengan cepat. Hidan menyeringai dibuatnya.

"Hidhid, un, akhu… haahh… ssshh… tidhak ma… u… ahh… benda… ithu… unhh…" Deidara mendesah terus merasakan getaran yang begitu cepat di bawah sana.

"Hmm,"

"Aku mau punyamu, un… yang asli… aakhh…" pintanya memohon.

Hidan segera melepaskan tangan Deidara yang tampaknya sudah merasa asyik dengan miliknya.

"Menungginglah di meja," ujar Hidan.

Deidara menurut dan segera menungging berpegangan pada meja. Pria cepak itu melebarkan kaki Deidara untuk mencabut vibrator yang tengah bergetar heboh di lubang ukenya dengan cepat, membuat Deidara harus mengerang merasakan tarikan dan getaran keluar dari dirinya.

Hidan segera menundukkan kepala hingga memcapai bagian bawah Deidara. menjilat-jilat milik Deidara yang sudah basah karena cairannya. Memasukkan milik ukenya ke dalam mulutnya, lalu menghisap pelan. Kemudian melepasnya dan beralih menuju lubang Deidara yang sudah kemerahan akibat benda penggetar miliknya.

"Akkhhh! Hidhid… aahhh… unnhh…" pekik Deidara begitu lidah Hidan sudah menyeruak masuk menggantikan tugas vibrator tadi. Menggeliat-geliat di dalam, membuat tubuh Deidara bergetar pelan dan mengejang.

"Hidhid! Jangaahh… maahh… innhh… akhhh!" erang Deidara merasakan tangan Hidan yang menelusuri miliknya dan meremas maju-mundur.

Menurut, Hidan segera melepaskan mulutnya, membuka celananya lebih turun, kemudian mulai memasukkan dan in-out dalam tubuh ukenya.

"Akhh! Hidhid!" Deidara makin menunggingkan pantatnya seraya meremas-remas pinggiran meja. "Haahngghh… haahhh…" desah pemuda blonde itu merasakan milik semenya makin mempercepat volume in-outnya.

Hidan memeluk ukenya dari belakang, kemudian menciumi punggung dan tengkuknya. Sesekali menjilat pelan dengan lidah lincahnya.

"Hidhid, un… hamphh… ahh…"

Hidan menghisap dan mengulum cuping Deidara. tangannya ia gunakan untuk menyerang dan memanjakan bagian nipple, lalu beralih ke bagian bawah Deidara.

"Hmmhh… nhh…" Hidan ikut mengeluarkan desahannya begitu dinding-dinding Deidara semakin kuat mengapit miliknya. Membuatnya merasakan tegang di bagian bawahnya.

Hidan terus meng-in-out dalam tempo makin cepat. Memaju-mundurkan miliknya agar terus dapat menekan titik kenikmatan Deidara. sampai akhirnya, mereka berdua mencapai klimaks yang hamp[ir bersamaan.

-oo00oo-

Hidan tampak berkutat di meja kerjanya. Meninggalkan Deidara yang masih tidur di sudut ruangan dengan berbalut selimut. Semalaman ini akan dia gunakan untuk melanjutkan komiknya.


Senin pagi telah tiba.

"Hoaamm…" Deidara menguap terbangun dari tidurnya, menggeliat seraya menyingkirkan selimutnya. Ia mengucek-ucek matanya dan mendapati Hidan masih duduk tegak di mejanya.

"Hidan, un? Kau tidak tidur, un?" tanya pemuda blonde tersebut berdiri mendekati rekannya. Agak terkejut karena tubuhnya yang polos, tapi langsung meraih selimutnya lagi untuk menjadi penutupnya.

"Hm?" Hidan memalingkan mukanya, tampak matanya memerah karena kekurangan tidur serta kantung hitam dikedua matanya. Deidara sweatdrop melihatnya.

"Iya. Gambarannya sudah jadi, tinggal tone dan ba-"

Bruk!

Pria cepak itu langsung terkapar di atas meja.

"-lon suara, un?" lanjut Deidara yang dijawab sebuah dengkuran.

Pemuda blonde itu tertawa geli, kemudian duduk di sebelah Hidan. Berbagi selimut dengan Hidan agar sama-sama hangat. Deidara menempelkan pipinya di meja, lalu mengamati wajah damai di hadapannya.

"Tidur nyenyak, un," ucapnya seraya mendekat untuk mencium pipinya. "Sisanya akan aku selesaikan, un!" ucapnya meraih kertas hasil gambaran Hidan. Detik berikutnya, tangannya sudah berkutat dengan serius.

-oo00oo-

Pukul. 13.04 di sebuah kantor penerbitan komik Amegakure City.

"Jadi ini hasilnya?" tampak seorang pria paruh baya dengan muka sangarnya menatap Hidan yang tampak ngantuk-ngantuk dan Deidara yang terlihat tegang.

"I-iya, un…"

Hidan hanya mengangguk sambil berusaha membuka kedua kelopak matanya yang berat.

"Hmm…" Pein tampak mengamati kertas buatan mereka lembaran demi lembaran. Membuat Deidara berdebar-debar dan Hidan semakin masuk dalam alam mimpi.

"Dari keseluruhan cerita sudah bagus," ucapnya santai.

Deidara semakin berbinar dan yakin bahwa kali ini komik kedua akan benar-benar diterbitkan.

"Tapi," potong Pein tiba-tiba membuyarkan lamunan Deidara.

Keheningan terjadi beberapa waktu…

"KENAPA GAMBARNYA BEGITU JELEK!" bentaknya langsung menendang dua komikus baru itu keluar kantornya. "Aku tidak mau terima gambar yang bahkan lebih jelek dari gambar anak SD itu!" tandasnya membanting pintu.

BLAAAM!

Didara membatu. Hidan cengok.

"Ahh… gagal, deh," ucapnya agak kecewa.

"Hiks… hiks… un…" isak Deidara pelan.

"Sudah, tidak usah menangis. Nanti kita perbaiki gambarnya lagi," ujar pria cepak itu santai. Nampaknya Deidara tak kunjung berhenti menangis.

"Bukan, un… hiks… hari ini… ada hiks… test fisika, padahal aku sudah rela gak masuk sekolah buat bantu menyelesaikan komik ini, un," ujarnya dengan nada makin meninggi. Hidan bersiap dengan langkah seribunya.

"Tapi kenapa TIDAK DITERBITKAN GARA-GARA GAMBARMU YANG JELEK ITU, UN!" teriaknya menggema.

Detik berikutnya, sudah terjadi kejar-kejaran ala Tom And Jerry diantara mereka. Dengan catatan, bahwa Deidara berlari sambil terpincang-pincang. ^_^ #plak

"Paling tidak aku suka dengan gambar tokoh cowok buatanmu yang mirip denganku," ujar Hidan menunjukkan kertas Deidara kemarin.

"Iya. Itu memang ka- un? Dari maka kau dapatkan itu! Kembalikan, un!" teriak pemuda blonde itu berusaha meraih lagi kertas gambarnya dari Hidan yang lebih tinggi dengannya beberapa centi.


FIN


Omake

Cbibi POV.

Aku terus menggonggong pelan melihat seorang pria yang tiba-tiba memasuki ruangan ini. Aku tahu, pria itu bernama Hidan, dan aku juga tahu bahwa pria ini sangat mesum. Mirip dengan majikanku. Aku melihat seorang pemuda blonde bernama Deidara sedang memandangi sebuah kertas sejak kedatanganku beberapa menit yang lalu. Aku semakin memperhatikan mereka.

Pria bernama Hidan itu dan Deidara melakukan hal-hal mengerikan serta suara-suara aneh yang mereka ciptakan. Aku langsung berlari sembunyi di bawah meja, sambil memperhatikan hingga pagi tiba. Mataku masih belum dapat terpejam karena perbuatan mereka selalu terbayang-bayang dalam otak kecilku.

Seperti yang kalian tahu, aku adalah salah satu dari saksi bisu dari perbuatan mereka. Semoga Dewa Jashin tetap memberkatiku (?).

End of Chibi POV.


Cuap-cuap Author.

Wadaaaw! Gaze sangat! Abal sangat! Fict apa ini? Semoga saiya masih hidup selamat wal afiat dan bisa makan daging kurban besok setelah publish fict ini. Lalu, semoga saiya tidak digampar nuklir seseorang. ^.^a

Wanna be review? Arigatou… ^^ *dibom*