Vocaloid belongs to Yamaha
Sepanjang hidupnya, Mikuo tak pernah bersinar. Tak pernah maju ke depan, mendapat penghargaan, dipuji juga dipuja banyak orang. Tak pernah mengerti rasa bangga sebab dihadiahi tepuk tangan. Tak tahu betapa indahnya suara sorak-sorai yang mengelu-elukan namanya.
Sepanjang hidupnya, adik kembarnya lah yang mendapatkan semua itu.
Perhatian, sorak-sorai, nama yang tersohor, ketenaran... semua dimiliki adiknya, sang diva yang berdiri di puncak dunia. Berbeda dengannya yang tak punya apapun untuk dibanggakan.
Diumurnya yang kedua belas, Mikuo pernah tertabrak mobil. Sebelah kaki diamputasi, direnggut dari si empunya tubuh. Jika saja supir truk pemabuk itu tidak menabraknya, mungkin sekarang ia bisa berusaha mengejar popularitas yang dimiliki adiknya. Bahkan mungkin ia bisa berada di panggung yang sama dengan sang adik, menyanyikan lagu-lagu dengan berbagai irama, seraya kepuasan menjalar di dalam hatinya.
Namun hal itu tak pernah terjadi.
Karena, bahkan meski kasus kecelakaan ini berhasil dibawa ke pengadilan, kaki Mikuo tak akan kembali. Mikuo harus sadar diri, bahwa ia cacat. Orang cacat mana yang pantas berada di panggung megah?
Namun, sekali lagi, takdir seakan mempermainkan Mikuo.
Orang-orang mulai memandangnya rendah, sebagian lainnya malah memandangnya dengan penuh ekspektasi. Dua stereotip akan orang-orang cacat berbenturan. Yang satu memandang orang-orang cacat tidak bisa apa-apa, sedangkan yang kedua menganggap orang-orang cacat adalah jenius—mengingat banyaknya tokoh-tokoh sejarah dan juga motivator cacat di zaman sekarang ini. Mikuo tak begitu menyukai kedua stereotip tersebut, namun ia juga tak suka direndahkan. Maka dari itu, ia mencoba mewujudkan stereotip kedua dan membuktikan bahwa dia bisa.
Jadi, di sinilah ia. Duduk di bangku tamu acara dengan setelan jas hitam, beserta dengan kruk yang telah berjasa menyanggah tubuhnya sejak dulu. Perjuangannya mendalami bidangnya selama empat tahun kini membuahkan hasil. Tak sia-sia ia berusaha keras selama ini.
Pemuda itu berdiri dengan dibantu oleh kruknya kala namanya dipanggil. Ada rasa bangga membuncah di dalam dadanya, ketika ia berjalan ke arah panggung. Lukisan hasil karyanya terpajang di monitor. Ia tersenyum lebar ketika sebuah piala penghargaan diberikan padanya.
Para tamu hadirin bertepuk tangan atas pencapaiannya, bahkan adik kembarnya memberikan standing applause dengan sangat bersemangat.
Saat itu, Mikuo menyadarinya.
Bahwa semua yang diterima adiknya malam itu, kini ditujukan kepadanya.
Dan ia bahagia atasnya.
[End]
[—Selama dirimu masih bisa bernapas, tak ada yang tak mungkin kau capai—]
[A/N]
Menuliskan quote gaje-tapi-rasanya-agak-inspiratif itu ternyata bikin malu sendiri. Uuuh~
Saya sudah sekian lama gak bikin fict yg sedih-sedih, dan saya sama sekali gak dapet feels-nya waktu nulis ini. Serius, saya ngerasa kok ini fict kayaknya nyampah banget. Tapi... ahsudahlah. Daripada saya gak berkarya. Hiks. (efek hiatus kelamaan)
Mind to review? ;)
