Merah.
Karena kau yang memimpin, kau yang berani, kau yang absolut, kau yang mempesona.
#01: Red
赤と青
Disclaimer:
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
赤と青 © Ayano Suzune
Tampaknya berita itu sudah tersebar. Kuroko mengedarkan pandangnya ke seluruh ruangan kelas, yang ia temukan tidak terlalu berbeda antara satu dengan yang lain; semua orang tampak berbicara, berbisik-bisik maupun berbicara biasa.
Tapi begitu seorang Akashi Seijuurou melewati mereka, mulut mereka langsung terkunci, atau bahkan mereka mengecilkan volume suara bagi mereka yang masih cukup berani untuk membahas persoalan ini di depan pemuda berambut merah itu.
Helaan napas kecil keluar dari mulut Kuroko, ia tahu kalau kaptennya ini tidak menyukai orang-orang yang dengan seenaknya membahas segala hal yang berhubungan dengan kehidupannya ataupun dengan dirinya sekalipun.
Seperti contohnya sekarang ini, ia sedang menegur seorang siswi yang tengah menggosip tentang persoalan ini, membuat kedua gadis itu gemetaran takut entah karena tatapan mata tajam itu atau kata-katanya yang penuh dengan tekanan dan ancaman. Apa pun jawabannya, Kuroko tidak ingin terlibat di dalamnya jadi ia memutuskan untuk melupakan hal itu.
"Tetsuya," sebelum Kuroko dapat mengeluarkan buku-buku pelajaran yang akan digunakannya pagi hari ini dari tasnya, kepalanya dipaksa untuk mendongak begitu saja. Siapa lagi kalau bukan kapten tim basketnya itu? Dengan kedua mata berwarna kuning emas dan merah menyalanya, ia menatap kedua mata biru lembut mirip Kuroko dengan intens—yang hanya dibalas dengan tatapan kosong.
"Ha'i?"
"Kau tentunya sudah tahu apa yang diributkan semua orang pada pagi hari ini, aku tidak harus mengulanginya, bukankah begitu?" Kuroko bukan sudah tahu, ia memang sudah tahu dan pertanyaan dari Akashi barusan bukanlah pertanyaan, melainkan sebuah teguran untuk mengingatkannya akan hal itu.
Anggukan kepala singkat diberikan pada si rambut merah oleh Kuroko Tetsuya. Tentu saja Kuroko harus tahu, sebodoh-bodohnya dia pun ia harus tetap mengangguk di depan kaptennya ini, jika ia masih sayang dengan nyawanya.
Akashi mengulum seringai kecil, masih dengan tatapan yang sama ia melanjutkan kalimatnya—perintahnya. "Aku ingin kau mengawasinya."
Kali ini sedikit rasa bingung terselip di pikiran Kuroko. Apa maksud pemuda bermarga Akashi ini? Mengawasinya? Apakah hal ini sangatlah penting, sampai Akashi sendiri yang menyampaikan perintah ini kepadanya?
Kerut samar di dahi Kuroko membuat seringai Akashi semakin lebar, tampaknya wajah lugu pemain bayangan itu dapat menghiburnya sedikit. "Maaf, Akashi-kun?"
"Ya, Tetsuya," sebelum Kuroko dapat melanjutkan kalimatnya, melontarkan apa yang ada di pikirannya lebih lanjut, Akashi sudah menyela. "Kau akan mengawasinya. Kau tahu, ia akan sangat merepotkan."
Kuroko makin mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin orang yang mereka bicarakan ini akan menjadi sangat merepotkan seperti apa yang Akashi katakan? Tapi ia tahu, menggeleng atau menolak ucapan atau lebih tepatnya, perintah seorang Akashi Seijuurou merupakan kesalahan yang fatal. Oleh karena itu, ia hanya menganggukkan kepala birunya dua kali; lebih dari cukup untuk sebuah tanda bahwa ia mengerti.
.
Kedua mati biru safir itu memandang datar ke papan tulis, meskipun samar, tentu saja kebosanan masih dapat terdeteksi di kedua manik biru itu.
Kuroko memutar-mutarkan pensilnya, pikiran bahwa pelajaran matematika tidak pernah menjadi temannya masuk ke pikirannya. Rumus-rumus yang berada di papan tulis saja masih samar-samar berada di otaknya.
Mengalihkan pandang dari papan hitam yang berada di hadapan, figur Akashi duduk di kursi paling depan; tiga kursi di hadapannya, di deret sebelah kanannya. Pemuda itu tampak dengan serius, meskipun pembawaannya tenang, mencatat dan mendengarkan setiap kata yang dilontarkan oleh pria paruh baya yang berada di hadapan kelas.
Melepaskan sebuah helaan napas, Kuroko menaikkan kedua bahunya. Ia menaruh kembali pensilnya, memutuskan untuk tidak memainkannya lagi dan memerhatikan saja, mungkin hal ini dapat membuat otaknya bekerja lebih cepat, dan lebih mengerti dibandingkan dengan dirinya saat bermain pensil.
Sebelum Kuroko dapat mendengarkan lebih lanjut apa yang dikatakan oleh gurunya itu, pintu kelasnya terbuka, otomatis membuat seluruh perhatian kelas terarah pada benda mati tersebut, termasuk Kuroko. Guru yang tengah mengajar itu dengan agak terburu berjalan ke arah pintu yang terbuka itu, tampaknya bicara dengan seorang guru lain sebelum menarik kembali tubuhnya ke dalam kelas.
"Boleh minta perhatiannya sebentar? Seperti yang kalian ketahui—mungkin beberapa di antara kalian sudah tahu dan beberapa belum, kita akan kedatangan murid baru." Suara bisikan langsung terdengar dimana-mana. Omongan yang merupakan topik kelas tadi pagi mulai kembali diungkit.
Kuroko lagi-lagi memindahkan tatapan matanya pada teman sekelasnya yang memiliki surai berwarna merah crimson itu. Pemuda itu tak menampakkan kedua mata heterochromic-nya. Dengan tangan yang terlipat di depan dada, ia mengistirahatkan matanya sejenak.
Suara langkah kaki yang samar terdengar, membuat kelas itu kembali diam seiring dengan masuknya seorang gadis tak dikenal dengan tenang. Tampaknya ia yang menjadi topik pembicaraan di kelas ini sejak pagi.
Gadis itu berhenti, bersamaan dengan terbukanya kembali kedua manik berbeda warna Akashi, persis ketika gadis itu berhenti di hadapannya, karena Akashi memang duduk di barisan paling depan, bukan?
Akashi mengulum seringai kecil, sedangkan gadis itu hanya menatapnya datar, sebelum ia memindahkan tatapan matanya pada guru yang tengah mengajar itu, membuatnya bergidik pelan.
Tatapan mata itu—tidak ada bedanya dengan tatapan mata Akashi!
"N-nah, jadi kau bisa perkenalkan dirimu—"
"Akashi Seishina."
Hening merajalela begitu nama tersebut disebutkan. Tampaknya bahkan sang guru pun tak dapat mencairkan suasana yang makin mencanggung ini. Tatapan intimidasi dilemparkan begitu saja oleh gadis yang merangkap sebagai murid baru ini.
Bukan sembarang murid baru—ia merupakan saudari kembar dari Akashi Seijuurou, salah satu murid yang paling terkenal di sekolah ini, sebagai kapten tim basket yang memiliki nilai rapor yang dapat dibilang sangat bagus.
Mulai hari itu, semua murid di sekolah harus mencatat. Sebaiknya mereka tidak mencari ribut dengan Akashi Seishina ini, jika sifatnya sama persis dengan Akashi Seijuurou, atau biasa kembar dibilang seperti copy-an?
"Tentunya kau tidak akan membiarkanku berdiri lebih lama di sini. Di mana aku bisa duduk?" Ucapan yang barusan itu diberikan pada guru yang tengah berdiri kaku di depan kelas. Dengan senyum terpaksa dan agak takut-takut, tangannya menunjuk ke arah bangku yang berada di belakang Kuroko Tetsuya.
Dengan cepat, seakan tidak ingin membuang lebih banyak waktu, Akashi Seishina berjalan ke arah bangku tersebut sebelum akhirnya menaruh barang bawaannya di kursi yang ada. Seluruh mata terarah padanya begitu ia berjalan.
Dan sebelum ia sampai di tempatnya, kedua manik yang sama seperti yang dimiliki Seijuurou bertemu dengan sepasang manik biru Kuroko yang mengandung kekosongan.
.
Gadis itu tampaknya mengerikan, tidak ada bedanya dengan Akashi, mengingat mereka sama-sama menyandang nama Akashi dan mereka lahir di hari yang sama, hampir di waktu yang sama. Hanya mengingat fakta-fakta kecil semacam itu saja membuat seisi kelas bergidik. Membayangkan ada dua Akashi di kelas mereka bukanlah hal yang mudah. Satu Akashi saja sudah membuat mereka merasa tercekam.
Beda halnya dengan Kuroko Tetsuya. Ia sudah terbiasa dengan kapten tim basket Teikou tersebut, dan sudah terbiasa menuruti segala perintah yang diberikannya. Dan Akashi tampaknya lebih halus padanya daripada yang lain, terbukti Kuroko tidak pernah menerima serangan gunting yang diberikan.
Apa gadis ini akan bermain gunting, sama dengan saudara laki-lakinya?
Kuroko menghela napas diam-diam. Penampilan gadis itu benar-benar mirip dengan Akashi, bagaikan pinang dibelah dua. Kedua matanya sama, mata kanan yang berwarna merah, semerah darah, mata kiri yang berwarna kuning, sekuning emas. Rambut mereka sama-sama merah mencolok, bedanya rambut Seishina tentu saja memiliki khas perempuan di dalamnya, rambutnya panjang hingga hampir mencapai sepinggang. Gadis itu tetap saja dapat membuatnya tetap rapi.
Kuroko mengerti kenapa Akashi bilang ia dapat menyusahkan, walaupun ia sendiri tahu saudara kandungnya juga pasti seorang Akashi yang terkenal dengan segala hal baik yang pernah ada; sikap, kemampuan, tingkah laku. Sayang sekali mereka tidak diajarkan untuk tidak melempar benda tajam, begitulah pikiran Kuroko diam-diam saat ia pertama kali melihat Akashi melempar gunting ke arah teman yang menolak permintaannya. Namun mereka semua dididik untuk menjadi pemimpin yang handal ke depannya, satu hal yang pasti.
Jika saudari kembarnya ini memiliki sifat yang sama dengan Akashi, tentu saja hal itu akan merepotkan. Dan Kuroko harus mengawasi gadis ini, tentu saja hal ini akan berbeda dengan dirinya saat bersama Akashi-kun.
Sekarang tampaknya Kuroko harus menyiapkan nama panggilan untuk mereka berdua, tentu saja si biru tidak akan memanggil mereka dengan nama kecil mereka masing-masing. Hal yang tidak pernah ia lakukan sekalipun.
Pikiran-pikiran itu sukses membuat Kuroko lolos dari pelajaran matematika yang menurutnya membosankan itu. Bel tanda bahwa tiap murid memiliki kebebasan untuk beristirahat tiga puluh menit sebelum mereka harus menempuh waktu-waktu membosankan dalam kegiatan belajar-mengajar ini.
Pemuda dengan surai biru muda itu mengurungkan niatnya untuk segera bangkit dari duduknya, saat ia melihat kaptennya berjalan ke arahnya—atau ke arah saudari kembarnya?
"Seishina." Nama itu keluar dengan begitu mudahnya dari mulut sang emperor. Suasana di sekitar mereka menegang, atmosfernya terasa semakin berat, dan juga keadaan semakin tenang. Bahkan dapat dilihat seorang siswa dari deretan sebelah mulai mengemasi barangnya dan keluar dari kelas dengan agak terburu-buru.
Gadis yang baru saja dipanggil namanya itu hanya mengangkat sedikit kepalanya, ketika ia melihat kakak kembarnya sudah berjalan ke arahnya dan melihatnya ke bawah. Otomatis gadis itu langsung berdiri, meskipun tinggi mereka berbeda beberapa sentimeter, tetap saja itu lebih baik daripada harus duduk dan mengadah.
"Aku percaya kau tidak akan membuat kegaduhan di sekolah ini."
"Kau meragukanku, Seijuurou."
"Simpan semua guntingmu, baru aku akan berhenti."
"Dan bagaimana denganmu? Kurasa kau juga pasti selalu membawa gunting-gunting itu bersamamu."
Obrolan mereka terdengar begitu singkat, dan begitu formal. Tatapan intimidasi saling dipancarkan satu sama lain, mereka tampaknya sedang beradu dalam diam, tanpa kata-kata selanjutnya sebab tidak ada di antara mereka yang memindahkan tatapan matanya ke arah lain.
Diam-diam Kuroko merasa takjub, seperti inikah keluarga Akashi selama ini? Selalu seformal ini, semenakutkan ini, seserius ini?
Pada akhirnya sang kakak kembar mengalah, bukan mengalah tepatnya, karena ia langsung menoleh ke pemuda yang berada di belakangnya. "Tetsuya."
"Ha'i." Kuroko hanya menjawab pelan seperti biasanya, tidak dengan nada takut-takut.
"Aku masih ada urusan untuk latihan nanti siang, tentunya kau bisa menemaninya keliling sekolah ini," sebuah perintah yang tidak dapat dihindari hanya membuat Kuroko mengangguk sebagai jawaban. Lagipula ia tidak ingin melakukan apa-apa setelah ini.
"Kalau begitu, mohon bantuannya." Hanya itu yang dilontarkan yang laki-laki, sebelum akhirnya ia memutar tubuhnya dan berjalan keluar kelas.
Kuroko memandang punggung temannya itu sebentar, sebelum ia memutar pandangannya ke arah yang perempuan—yang tanpa disadarinya sudah memerhatikannya sejak kembarannya itu memanggil namanya.
Kuroko menghela napas, ia harus membiasakan diri dengan seorang Akashi lagi mulai hari ini.
"Aku yakin aku belum tahu namamu."
"Kuroko Tetsuya."
"Dan kau yang akan menjadi guide-ku untuk berkeliling sekolah ini."
"Ha'i."
"Seijuurou berlebihan, aku tidak perlu seseorang untuk memberitahuku letak-letak tempat yang ada di sekolah ini."
Manik Kuroko mengerjap pelan, berkedip sekali begitu ia mendengar komentar yang dikeluarkan oleh gadis itu, secara tidak langsung menyindirnya begitu saja? "Maafkan aku?"
"Aku tidak butuh seseorang untuk memberitahuku letak-letak tempat yang ada di sekolah ini," gadis itu mengulang kalimat sebelumnya dengan ekspresi wajah yang tidak berubah sama sekali. Diam sebelum ia melanjutkan kembali kalimatnya. "Karena aku selalu benar, aku absolut."
Tepat, persis sama seperti Akashi-kun yang ia kenal. Kuroko berpikir sejenak, dan itulah yang ia tangkap begitu ia mendengar kalimat terakhir yang diutarakan gadis itu.
Kuroko hanya mengangguk, ia sadar bahwa ia sekarang berhadapan dengan seorang Akashi, sama seperti Akashi-kun-nya. Dan sepertinya bukan hal yang baik untuk menolak atau menyalahkan apa yang gadis ini katakan, semua yang keluar dari mulutnya sudah pasti benar.
"Maafkan aku, Akashi-san, aku harus menjadi beban untukmu," Kuroko menunduk, memberi hormat kepada gadis yang berada di hadapannya ini. "Mohon bantuannya, tapi aku tetap harus menunjukkanmu letak-letak tempat di sekolah ini."
Sebuah alis terangkat, samar. "Oh? Dan boleh aku tahu kenapa kau berpikiran demikian?"
"Karena perintah Akashi-kun adalah absolut." Mendengar pernyataan dan kembarannya disebut, seringai mengembang di bibir gadis itu, tampaknya ia mulai tertarik, meskipun ia sudah menduga jawaban seperti ini yang akan keluar dari mulut di pemuda berambut biru ini.
"Mohon bantuannya." Dengan dua kata yang terucapkan begitu saja, Akashi Seishina tidak mau membuang waktu lebih lama lagi. Ia mulai mengangkat kakinya dari tempatnya berpijak barusan, berjalan melewati meja-meja ke arah pintu kelas yang sudah setengah terbuka, karena Seijuurou tidak menutupnya dengan terlalu rapat tadi.
Sedangkan Kuroko, ia mengikuti gadis itu dari belakang—hal biasa yang ia lakukan ketika ia harus berjalan dengan Akashi.
.
Selama perjalanan kecil mereka berkeliling sekolah, tidak ada salah satu di antara mereka yang membuka mulut. Sang biru muda bahkan tidak seperti menunjukkan letak-letak tempat yang berada di sekolah ini. Ia malah mengikuti yang perempuan, punggung gadis itulah yang selalu berada di hadapan matanya.
Sama seperti saudara kembarnya, setiap kali Seishina lewat semua murid, baik laki-laki maupun perempuan, kelas satu, dua, ataupun tiga membuka jalan untuknya. Kuroko diam-diam merasa takjub, mengetahui aura yang dikeluarkan oleh Akashi lainnya selain Akashi Seijuurou yang ia kenal. Hal ini membuat Kuroko diam-diam menambahkan bahwa seluruh anggota keluarga Akashi selalu memiliki aura seperti ini, benar?
Gadis itu tiba-tiba saja berhenti, membuat pemuda yang berjalan di belakangnya mau tak mau ikut menghentikan kedua langkah kakinya untuk menimbulkan tabrakan kecil yang tak diinginkan. Sepertinya ia sudah terbiasa, Seijuurou sudah seringkali seperti ini, dan perawakan, pembawaan, bahkan sikap Seishina hampir tidak ada bedanya dengan saudara laki-lakinya itu.
"Dan aku pastikan kita sudah mengunjungi semua tempat," suara datar Seishina terdengar begitu gadis itu membuka mulut, membiarkan pita suara yang menghasilkan kata-kata itu keluar dari mulutnya.
Menganggukkan kepalanya sedikit, tetap dilakukan oleh pemuda bermarga Kuroko itu, meskipun ia tahu lawan bicaranya tidak mungkin melihatnya. "Ha'i."
"Kudengar dari Seijuurou, kau merupakan anggota basket di first string, benar?" Tentu saja benar, Kuroko mengeluh diam-diam dalam hati. Tanpa ekspresi yang berubah, pikiran bahwa orang-orang yang menyandang Akashi itu selalu benar memasuki kepalanya.
"Benar, Akashi-san."
"Aku berharap untuk melihat permainanmu lain waktu."
"Akashi-san juga bermain basket?"
Pertanyaan simpel itu membuat gadis yang tadinya memunggungi lawan bicaranya memutar tubuhnya perlahan, menampakkan bagian depan tubuhnya yang sempurna, dan yang utama—wajahnya. Kedua matanya menatap ke arah pemuda yang sedari tadi ia ajak bicara itu, dengan intens. Sama seperti tatapan Seijuurou, yang akhir-akhir ini untungnya melembut, khusus untuknya.
"Seijuurou tidak pernah mengatakan apa-apa, bukan."
"Akashi-kun bahkan baru saja mengumumkan kalau ia memiliki adik kembar kemarin."
"Begitu. Tampaknya ia malu memliki adik sepertiku." Ada penekanan di dalamnya, membuat Kuroko ingin sekali menggeleng-gelengkan kepalanya. Tentu saja tidak ia lakukan, ia dapat langsung menghembuskan napas terakhirnya saat ini jika ia melakukan hal itu—mungkin saja.
Dengan ekspresi wajah yang sama, Kuroko menggelengkan kepalanya singkat. "Aku berpikir Akashi-kun tidak berpikir demikian."
Seishina tidak membalas perkataan, pendapat yang diutarakan pemuda itu kepadanya, yang secara tidak langsung seperti membawa harga dirinya naik lebih tinggi lagi. Masih dengan tatapan yang sama, gadis itu tidak memindahkan arah matanya sedikit pun selama beberapa detik. Sebelum akhirnya ia memajukan lagi kaki kanannya, menapak lantai sekolah yang terawat ini, melewati bahu Kuroko tanpa menyentuhnya.
Tanpa melihat ke belakangnya pun ia sudah tahu. Kuroko Tetsuya berjalan mengikutinya, mengikuti gadis itu sampai ke kelas. Ia tahu semua yang dilakukan pemuda itu, gerakannya, napasnya, apa yang ia lakukan, bahkan detak jantungnya. Dan semua hal itu membuatnya mengulum seringai kecil.
Tentu saja seringai kecil yang dikulum Seishina tidak diketahui oleh Kuroko, secara gadis itu tidak sedang menghadapinya. Fakta kecil ini hanya dapat membuat seringai yang terpantri di wajahnya itu lebih menampakkan diri.
Sepertinya Kuroko Tetsuya akan menarik perhatiannya untuk beberapa waktu ini. Ia harus mengucapkan terima kasih pada orang tuanya, telah memilih untuk memasukkannya ke sekolah ini, dan juga—
—memilihkan pemuda ini hanya untuk dirinya.
.
.
To be continued
A/N
Maafkan niat menulis saya yang lagi melambung hebat, dan juga ide fanfic yang absurd ini orz. Entah kesambet apa saya bisa mikir buat fic dengan pairing Aka x Kuro x fem!Aka ini err. Tapi yasudahlah, udah diketik ini.
Ending-nya ngegantung gitu, ya? Sengaja hehe /dibunuh/ tapi nanti bakal dikasih tau di chapter dua, atau chapter tiga mungkin. Tapi kayaknya sih chapter dua.
Kalau emang berjalan sesuai dengan ide yang ada di otak saya saat ini, fic ini kurang lebih bakal lumayan panjang. 10 chapter sampai, mungkin? Yah belum tau tapi doain aja semoga saya ga males ngelanjutinnya. Soalnya kalau fic multichapter biasa saya suka males, dan itu yang buat saya discontinued-in akhirnya— ;w;
Oke! Daripada kebanyakan bacot, kayaknya saya harus pergi ehehe. Makasih buat kalian yang udah baca chapter ini sampai habis!
Review? Saya menghargai silent reader, cuma saya pengen tau pendapat kalian tentang fic ini, jadi kalau berkenan yang biasa jadi silent reader bisa review? Yah, pokoknya review akan sangat saya hargai hehe.
Arigatou!
