Disclaimer:

Danball Senki series © Level-5

Warning:

Bahasa yang aneh.

Important Note:

Kalau ga demen sama yang galau-galau, atau ga pengen galau, atau anti galau, silahkan klik tombol back demi kebaikan bagi diri sendiri. Sebab saya tidak mau bertanggung jawab atas kegalauan yang mungkin timbul setelah ini.


"See You"

—farewell word; another way of saying goodbye


Kedua tangan kita saling bergandengan selagi meniti masa depan bersama-sama.

Sebuah perjalanan yang akan kita lalui berdua, menapaki tangga takdir yang membentang di hadapan kita.

Gamitan jemari kita seolah tak bisa dilepaskan kala kita mengarungi jalan setapak yang telah diciptakan oleh Sang Sutradara Kehidupan.

Kita berdua telah sepakat untuk menghadapi masa depan kita bersama-sama, tak peduli seperti apa skenario yang telah disiapkan untuk kita berdua.

.

.

Bibir mungilmu menyunggingkan sebuah senyuman selagi mengayunkan genggaman tangan kita berdua.

Kemudian kau berkata padaku bahwa kau adalah orang yang paling bahagia di dunia ini.

Sembari mengeratkan tautan jemari kita, kedua manik pirusmu mulai kehilangan ronanya saat kita berdua telah tiba di penghujung tubir perjalanan kita.

Lalu kau membiarkanku mendekati wajahmu untuk mengecup pelan bibir lembutmu.

.

.

.

Saat kau menggenggam tanganku untuk yang terakhir kalinya, gejolak perasaan dalam dadaku menyeruak tak karuan.

Kecamuk rasa pilu, sesak, hangat, lembut, dan manis.

Kalimat perpisahan yang tak sanggup terucap oleh lidahku yang kelu.

Kepada dirimu yang sangat berharga bagiku dan telah memenuhi keseharianku dengan kehangatan dan kebahagiaan.

Hingga saat di mana kita bisa berjumpa kembali, senyummu 'kan senantiasa menemaniku.

Menjadi matahari yang menghangatkan perasaanku dan mengokohkan hatiku.

.

.

Kau tak ingin membuatku cemas, sehingga kau tak pernah menceritakan masalahmu padaku.

Namun di balik semua itu, setiap kali aku menyadari rasa sakit yang selalu berusaha kau sembunyikan dariku, aku selalu bergegas menghampirimu dan mendekapmu.

Berharap jika aku bisa mengurangi sedikit rasa sakit yang kau rasakan; berharap jika rasa sakit itu bisa kita tanggung berdua.

.

.

Kau mendorong kursi roda yang kududuki sambil memperlihatkan kepadaku pemandangan langit sore.

Aku mengucapkan "Terima kasih" padamu dengar bibir yang bergetar.

Setelah itu kau dan aku menatap ke arah langit yang membentang luas di atas kepala kita berdua.

Selama ini, kita berdua selalu menghabiskan waktu bersama untuk menyaksikan matahari terbenam di langit lazuardi, dan kita berdua tetap melakukannya sampai sekarang.

Layaknya bagaimana perasaanku padamu, yang tak akan berubah sejak dulu, saat ini, dan hingga nanti.

.

.

Impianmu adalah impianku.

Impian yang kita rajut berdua dengan kedua tangan kita.

Kau senantiasa menunjukkan cahaya harapan kepadaku setiap kali aku tersesat dalam lorong keputusasaan.

Dan aku senantiasa menguatkan hatimu setiap kali kau merasa lemah dan tak berdaya dalam menghadapi suatu cobaan.

Kita berdua senantiasa memikul kesukaran yang kita rasakan bersama dan saling memberi dukungan satu sama lain.

Akan tetapi, aku sangat mengenalmu lebih dari siapa pun, bahkan dibanding dirimu sendiri.

Bahwa kau berusaha untuk berubah agar bisa menjadi seseorang yang tegar.

Kau sama sekali bukan tak merasa sedih. Kau sama sekali bukan merasa tabah.

Hanya air matamu saja yang tak pernah tumpah untuk menampakkan wujud mereka di hadapanku.

.

.

.

Kedua pertama pirus milikmu kembali menampakkan ronanya ketika aku menyudahi kecupanku dan melepaskan bibirku dari bibirmu.

Kau masih tampak enggan melepaskan tanganku, namun aku mengusap lembut pucuk kepalamu sambil berkata bahwa aku adalah orang yang paling beruntung sedunia karena bisa bergandengan tangan denganmu dalam menyusuri perjalanan hidupku bersamamu.

Meskipun perjalananku berakhir pada tubir jalan ini, namun aku bahagia karena genggaman tangan kita tidak pernah lepas hingga akhir perjalananku ini.

Kemudian sesuatu yang selalu kau sembunyikan dariku selama ini akhirnya pecah.

Aku dapat melihat butiran kristal yang lolos dari pelupuk matamu satu per satu jatuh dari pipimu.

Seluruh perasaanmu, rasa sakitmu, rasa sedihmu; seluruhnya melebur menjadi satu dan tumpah bersama air mata yang mengalir jatuh.

Aku memeluk tubuhmu yang bergetar hebat untuk terakhir kalinya. Kemudian, kubisikkan kalimat-kalimat yang sekiranya bisa membantu menguatkan hatimu, seperti yang biasa kulakukan padamu selama ini.

"Menangislah jika kau ingin menangis; tetapi aku tahu bahwa sebetulnya kau ini kuat…"

...Sejujurnya, aku pun ingin terus bisa mendekapmu seperti ini untuk selamanya. Akan tetapi aku tahu betul bahwa hal ini mustahil. Selayaknya sebuah awal dan akhir serta kelahiran dan kematian; maka begitu pula dengan perihal ini. Apabila ada sebuah perjumpaan, maka sudah pasti akan ada perpisahan—

"Jangan khawatir. Aku akan selalu bersamamu… aku akan selalu hidup dalam dirimu…."

Sebuah kalimat perpisahan yang selama ini tak sanggup terucap oleh lidahku yang kelu pun akhirnya terucap.

.

.

"Sampai jumpa, Mizel…"


—FIN—


Komentar Penulis:

Cerita ini diketik secara ngga waras sambil dengerin lagunya Matsushita Yuuya yang jadi openingnya Natsuyuki Rendezvous itu tuh; makanya wajar aja kalo bahasanya jadi janggal sama kalo ceritanya jadi sama/mirip ya maklum aja ya. At least saya masih ngerasa bisa ngebedain antara terinspirasi, ngikutin, sama ngejiplak.

Silahkan jika ada yang ingin melayangkan kripik berikut sambalnya buat saya. #pasang kuda-kuda ala ibukieh