The Red Daisy

Aku melihatnya. Ia cantik, seksi juga manis.

Jangan berlebihan, ini bukan cinta. Hanya, kagum?

Dia adalah bunga Daisy yang merahnya menyala.

Ia tidak tahu, betapa berkilau ia untukku.

Eru Ryu

Sesuatu yang menusuk wajahku.

Kecil-kecil, tajam. Dan beku. Perlahan kubuka mata. Mencari apa yang membuatku terjaga.

Honda Civic warna coklat muda milik ayah melaju cepat melintasi jalan setapak lebar yang sedikit basah. Dari celah jendela depan yang terbuka separuh, gerimis kecil masuk dengan cepat menerpa wajahku. Titik-titik air yang turun dari ujung alisku membentuk aliran geli yang akhirnya menetes dari dagu. Kuseka pelan, sambil memperbaiki posisi duduk. Setumpuk koper dan box mika yang diletakkan sembarang di jok belakang, tepat disisiku membuat pergerakanku terbatas.

Ini benar-benar menggelikan. Aku sudah berkata pada ayah untuk memakai van barunya, atau paling tidak Volkswagen tua yang sering kami gunakan di Seoul untuk liburan. Kurasa itu layak dan muat untuk barang-barang bawaan ibu yang tidak bisa dibilang sedikit. Tapi ia bersikeras membawa mobil dengan kap rendah ini untuk perjalanan panjang ke Gyeonggi dengan alasan yang sangat menyebalkan. Kenangan masa lalu.

Katakan saja mobil yang tampak masih berkilau meskipun mesin-nya hampir bobrok ini adalah saksi bisu kisah cintanya dengan ibu yang ingin ia bangun lagi sekarang. Itu indah sekali memang. Tapi mereka tidak perlu menyeretku untuk menaiki mobil seperti ini. Mereka, dengan seenaknya memaksaku turut masuk ke jok belakang yang sudah mirip seperti bagasi itu dan menjejalkan banyak barang disampingku. Itu, mengerikan. Berkali-kali koper yang menumpuk-numpuk itu hampir jatuh menimpaku. Dan berkali-kali pula aku mencoba menahan-nya. Keinginan untuk protes dan mengeluh itu selalu ada. Tapi kurasa, aku harus sedikit rasional. Ini adalah desa kecil yang jauh dari akses kendaraan umum, tidak akan mudah mencari tumpangan untuk sampai ke rumah nenek. Dihari sepagi ini.

Aku mendengus sangat pelan. Memijat pelipis karena tiba-tiba kepalaku jadi pusing. Malam tadi, sekitar jam tujuh selepas penerbangan dari Boston, ayah dan ibu yang menunggu di Icheon tidak memberiku waktu istirahat barang sejenak di rumah kami yang berada di Seoul. Mereka segera menarikku masuk ke mobil dan melakukan perjalanan malam ke Yanggu. Jujur saja, ini sangat melelahkan. Sepanjang perjalanan, aku hanya tertidur sesekali. Lalu bangun setengah jam kemudian jika ada goncangan atau mendengar tawa ayah yang menggelegar. Benar, sepanjang malam, untuk menemani waktu mengemudinya yang sepi, ia menyalakan radio dan mendengarkan paman DJ yang memutar lagu sambil memperolok idol-idol muda dengan segala tingkah variety show-nya. Siapapun itu, aku tidak peduli. Yang kupedulikan hanya, mengapa tidak ada yang memberiku kesempatan untuk istirahat? Bahkan tidur pun rasanya melelahkan.

Dibalik jendela yang berembun, hari sudah cukup terang untuk melihat sekitar.

Langit mendung melekati waktu pagi desa Geunhwa, sebuah pemukiman dengan rumah-rumah sederhana di bagian timur kota Yanggu. Matahari pukul tujuh yang biasanya merona, kini tersembunyi. Sendiri di balik gulungan-gulungan kecil awan yang menawarkan gerimis dingin pengganti embun. Kol-kol hijau tua yang ditanam di seluruh sisi jalan, dan gunung entah apa namanya yang menjulang jauh disana, itu terlihat alami dan anggun. Juga pohon-pohon yang mengisi tiap tiga meter panjang jalan, adalah pelengkap lain yang cocok dan manis.

Rasanya sudah lama sekali aku tidak kemari. Desa Geunhwa. Desa kecil dimana ayah dibesarkan. Sebuah negeri asing di selatan Korea. Desa ini jauh dari hingar bingar ibukota. Terlampau tua dan sederhana. Gambaran nyata tentang orang-orang yang tinggal, atau bagaimana mereka hidup. Ayah pernah berkata, bahwa jika ia tidak bercita-cita pergi ke Seoul di masa lalu, pasti sekarang ia hidup sebagai petani sayur atau beternak itik. Atau mungkin juga sesuatu yang lebih besar, mungkin guru di sebuah sekolah menengah atas. Atau hal-hal lain yang semacam itu.

Tapi memang tidak seperti itu. Aku sangat bersyukur tidak hidup disini dan menjadi seorang anak desa lain, aku beruntung lahir di Seoul dan akhirnya hidup di Amerika sejak kanak-kanak. Itu membuatku kadang merasa sangat terhormat dan senang. Kecantikan ini, sesuatu yang menarik mata dan perhatian ini tentu tidak pernah membuatku menyesal. Hal-hal cantik dan alami seperti ini akan terasa indah jika aku hanya melihatnya sekali dua kali. Karena kenangan akan sesuatu yang manis itu memang seharusnya seperti itu. Bukan rutinitas. Bukan aktivitas.

Tidak sampai satu kilometer kemudian, mobil ayah telah meninggalkan area pertanian. Masuk melalui jalan aspal yang rata, cukup lebar untuk dua mobil lewat bersamaan. Pagar-pagar batu setinggi dua meter yang melindungi rumah hanok sederhana dibaliknya adalah pemandangan yang lumrah. Gerbang megah dengan pintu kayu menjadi penanda tentang pemilik rumah-rumah itu. Kami seperti berjalan di labirin berdinding batu. Rasanya misterius tapi menyenangkan. Jalan yang kami lewati tidak terus lurus, bahkan banyak tikungan dan pertigaan. Juga tanah yang semakin tinggi membuat mobil kami menanjak. Cobaan besarnya, seperti yang kukatakan sebelumnya bahwa mesin mobil ayah tidak sebagus penampilan-nya yang masih mulus. Sudah berkali-kali, ayah harus membawa Honda Civic-nya ini ke bengkel untuk menjaganya tetap 'hidup' dan layak disebut kendaraan. Maka, derat pilu mesin yang telah menua dan aus itu terdengar begitu iba. Mengusik siapa saja yang mendengarnya. Aku tahu, dan sangat merasa bahwa kami berjalan semakin pelan. Akibat jalan yang tidak kunjung mendatar dan mesin yang bahkan telah mengepulkan asap hitam dari knalpot. Aku semakin yakin bahwa dua atau tiga kali injakan gas akan menendangku keluar dari dalam mobil yang sama sekali tidak nyaman ini dan mendorong rongsokan sialan itu sampai rumah nenek di pagi yang teramat mendung dan hanya berisi gerimis dan angin dingin.

" Sehunnie…"

Apa kubilang. Ayah memanggil namaku dengan begitu manis. Ia menoleh kepadaku dengan cengiran konyol. Memainkan kedua alis tebal yang membingkai wajah kotaknya.

" keluarlah dan dorong mobil ini."

Aku tidak lagi sempat mengangguk, tanpa mengatakan sepatah kata pun, dengan segera aku keluar dari mobil yang berjalan terlalu lambat ini dan mulai mendorong dari belakang. Dan… ini sangat melelahkan. Kepalaku berdenyut semakin sakit dan tiba-tiba perutku bergemeletuk kelaparan. Ada goyangan dalam pikiranku, tidak jelas apa. Tapi itu membuatku sulit berdiri dengan benar.

Ugh, berat sekali. Kakiku bahkan tidak bisa bergerak lebih dari satu inci. Angin yang berhembus, membawa butir-butir air yang dingin dan basah. Kecil-kecil masuk ke dalam rambut. Meresap ke kulit kepala, memberi sensasi beku untuk otakku. Kabar baiknya adalah, dingin-nya air itu mampu menyegarkan kepala. Tidak sakit, malah seperti pijatan yang lembut, dan memabukkan. Benar. Setidaknya aku masih punya hal bagus dan alasan untuk untuk tetap berada di luar. Mungkin kebanyakan pendingin mobil yang bercampur bau kimchi dan pengharum ruangan membuatku agak mual.

Tidak lama kemudian, derit menyakitkan rongsokan itu perlahan-lahan merdu. Seiring bersama jalanan yang mulai datar lagi, langkah berat dan lambatku terasa semakin ringan. Untung saja mobil bergerak tidak hanya batas inchi. Ku sela setitik keringat yang berbintik di muka dahi, menghela lega. Namun pun begitu, kurasa aku sedikit ngeri masuk ke dalam mobil lagi. Bayangan setumpuk koper dan box berisi makanan yang siap jatuh kapan saja menimpa kepala adalah alasan utama, mengapa ketika Ibu memanggilku untuk masuk lagi terabai begitu saja. Aku hanya menolak pendek, berkata bahwa aku akan berjaga-jaga di luar seandainya mobil itu betulan mogok. Padahal memang bukan. Memang tidak berniat setulus itu. Saat aku menyadari bahwa ayah mengemudi agak lamban, aku tahu mereka setuju menungguku.

Ku dekap erat jaket yang membungkus tubuh. Mencengkram kedua lengan rapat-rapat. Setahuku ini masih musim panas. Tapi tempat macam apa yang membuatku ingin memakai mantel di hari saat matahari seharusnya bersinar terang? Sangat dingin. Matahari tidak cuti, hanya pekerjaan-nya saja diganggu awan mendung. Sedikit-sedikit ia mengintip, lalu tenggelam dalam gumpalan. Asap tipis berkumpul, menyembur dari mulutku ketika ku hembuskan nafas lelah. Ah, aku rindu Florida.

.

.

.

*Masih berlanjut*

Numpang curhat :

Maap untuk prolog yang pendek ini. Bukan-nya nggak niat publish ff atau apa, tapi feeling gue ngomong ini ff potensial ngebosenin. Jadi ya… biar reader-nim sekalian ada rasa penasaran sedikit, kayaknya nggak masalah deh ya gue potong di sini.

Btw, semoga memuaskan.