砂漠の紅玉

Sabaku no Kougyoku

Ruby of the Desert

by

Manami Bakamusume


Disclaimer

Naruto by Kishimoto Masashi © 1999


Rated : T

Genre : Fantasy, Supranatural

Summary : Edited! Gerombolan penyamun meneror Kerajaan Suna, sehingga rakyatnya terpaksa hidup dalam ketakutan. Siapa yang menyangka, pahlawan mereka adalah seorang pangeran manja dan jin bengis yang mampu menghapus sebuah peradaban dari sejarah / "Akan kukabulkan tiga permohonanmu. Cuma tiga. Setelah itu aku bebas untuk melakukan apa saja padamu, termasuk membunuh atau mengutukmu. Ingat itu!" / AU, Multi Chapter, Gaara POV. RnR please!

Chapter ini sedikit diubah pada bagian akhir dengan tujuan memancing inspirasi yang sering mentok *emang lindung dipancing?* Tenang aja, gak mengubah alur secara drastis, kog. Cuma gak jadi twoshot hehehe =P

Enjoy reading, minna \(^o^)/


Chapter One

The Young Prince of the Desert

Gaara menendangkan kasutnya, menyemburkan pasir dari kakinya. Angin yang kering menerpa syal putih yang membalut sebagian wajahnya, mengotorinya dengan debu. Kuda yang ditumpanginya meringkik pelan, menggelengkan kepalanya dengan kegelisahan yang anggun. Sepasang matanya yang hijau gadung memelototi tiap sudut gurun dengan waspada. Ia mengawasi setiap gerakan, seolah menolak melewatkan apapun, meski itu hanya gemerisik kadal berduri di sesemakan.

Tak lama, yang dinantikan Gaara akhirnya tiba. Horizon yang putih gading, bergoyang karena fatamorgana, mendadak dihiasi bayangan-bayangan hitam. Semakin lama bayangan hitam itu melebar, merentang dari ujung ke ujung gurun bagai sayap burung nasar.

Mereka adalah teror yang menghantui Kerajaan Suna. Gerombolan penyamun berjubah hitam inilah yang telah lama membuat rakyat menderita. Mereka menjarah, merusak, dan menculik anak-anak untuk dijadikan bandit. Semakin lama anggotanya semakin banyak, bagaikan awan serangga di atas bukit-bukit pasir. Karena itulah, mereka juga dikenal sebagai kaum Pasir Hitam.

Syah Mansur Ali resah. Sudah belasan kali ia mengirimkan pasukan untuk meredam keganasan para penyamun itu, tapi tak satupun kemenangan memihak kerajaan. Telah dikerahkannya jenderal-jenderal yang paling gagah, para ahli strategi perang yang paling hebat, dan pasukan yang perkasa, namun semuanya gagal menumpas kaum Pasir Hitam.

Saat Syah hampir putus asa, secercah harapan datang tanpa arah yang bisa diduga.

Syah Mansur Ali hanya memiliki seorang putra bernama Gaara Ali Tahar. Ia mencintai putranya lebih dari ia mencintai biji matanya. Begitu protektifnya Syah pada anaknya itu, sehingga ia tidak mengizinkan Gaara pergi berperang demi kerajaan Suna.

Namun Gaara, yang masih muda dan gemar berpetualang, memberontak melawan kasih sayang ayahnya. Diam-diam ia mengumpulkan orang-orang yang paling dekat dan paling berani dengannya, lalu mereka nekat berhadapan langsung dengan kaum Pasir Hitam.

Gegabah betul dia, karena mata-mata gerombolan penyamun itu sudah mengawasi sementara mereka meninggalkan tebing yang mengelilingi kerajaan Suna. Dalam beberapa saat pasukan Gaara yang hanya terdiri dari seratus orang prajurit kerajaan sudah dikepung ribuan penjahat.

Gaara mengeratkan pegangannya pada pedangnya. Pedang kerajaan khas Suna, yang melengkung tajam seperti taring harimau, dan bertahtakan batu mulia di bagian pegangannya. Ia mengangkat pedangnya ke atas kepalanya dan membuka mulutnya, seruan perang meluncur keluar dari tenggorokannya, sementara pasukan kerajaan di belakangnya ikut berseru. Gaara memacu kudanya. Lalu terdengarlah derak besi beradu besi.

.

.

~ o ~

.

.

Sinar bulan menotoli wajah Gaara. Pemuda itu mendadak terbangun. Gaara memicingkan mata, pandangannya menyapu ruangan kecil tempatnya berbaring. Ia berusaha bicara, dan luka yang mengering di sudut bibirnya pecah. Sambil bernapas berat, Gaara memaksa dirinya duduk. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, dan pandangannya kabur. Gaara menekan pelipisnya dengan kedua telapak tangannya, mencoba meredam denyutan menyakitkan yang menghujam kepalanya.

Hentakan rasa ngeri menyerbu dirinya kala telinganya menangkap bunyi denting berat. Gaara memandangi kakinya yang kotor. Sebelah kakinya terikat pada sebuah rantai, ujungnya tertanam kokoh pada dinding batu. Gaara menutup matanya dan menggerang frustasi.

Tenang.

Gaara memaki dirinya sendiri dalam hati. Kau harus tenang. Ia, dengan kecerobohannya sendiri, telah menjadi tawanan pemberontak, tapi sebagai seorang pangeran ia harus tetap menunjukkan harga dirinya.

"Kau sudah bangun?"

Gaara hampir terlonjak kaget ketika ia mendengar sebuah suara lembut. Dari dalam bayangan, munculah seorang pemuda yang–dengan luar biasa–amat mirip dengan Gaara. Mulai dari perawakannya yang kurus pucat, rambutnya yang kemerahan, dan raut wajah kekanakan… hanya saja, alih-alih bermata hijau pupus seperti Gaara, pemuda itu memiliki mata secokelat tanah.

"Siapa kau?" tanya Gaara kering.

Pemuda itu menggelengkan kepalanya dengan sedih.

"Siapa diriku ini tidaklah penting," ucapnya. "Aku hanyalah seorang tawanan, sepertimu."

Gaara mengernyit. Wibawa yang terdengar jelas dalam suara pemuda itu mengganggu Gaara diluar kehendaknya. Meski pakaiannya compang-camping, orang itu jelas bukan tikus jalanan yang biasa ditendangi para prajurit Suna. Dia mungkin seorang penyair. Atau malah, seorang pangeran. Seperti dirinya.

Gaara berusaha melihat ke luar selnya, tapi bagian dalam penjara itu gelap gulita. Ia mempertajam pendengarannya, berusaha mendengar bisik para penjaga atau gesekan kasut mereka di lantai yang kasar, tapi kesunyian yang dingin membungkus dirinya.

"Kita tidak mungkin keluar dari sini. Penjara Pasir Hitam…"

"… atau mati," Gaara melanjutkan kata-kata itu dengan geram, berusaha menyingkirkan kebenaran dari dalamnya. "Aku tahu."

"Kau beruntung, Saudaraku. Saat sinar bulan menerangi karung, takdirmu akan membawamu padaku."

"Aku tidak mempercayai takdir."

"Tentu saja," katanya si pemuda dengan suara sendu. "Orang Suna lebih mempercayai pedang dibanding takdir. Namun letakkan matamu pada orang hina ini, Pangeran Gaara. Aku memiliki sesuatu yang mungkin menarik bagimu."

Gaara tercenung. Darimana ia tahu namaku? Pemuda itu menjulurkan tangannya ke balik jubahnya.

Gaara menganga.

Seharusnya, sebagai seorang pangeran, ia tak pantas menganga seperti itu. Tapi Gaara tidak dapat menahan diri. Pemuda itu mengacungkan sebuah batu berwarna merah kirmizi. Gaara hidup dalam istana yang berlimpah perhiasan serta batu-batu mulia, tapi baru kali ini ia melihat permata seindah itu.

Pemuda itu tersenyum simpul melihat reaksi Gaara.

"Ini bukan intan biasa." katanya dengan mata berkilat. "Rubi ini satu-satunya intan yang kau inginkan dibanding intan lain… mungkin lebih dari cukup untuk membeli seluruh kerajaanmu. Dan aku akan memberikannya padamu."

Gaara menatap si pemuda curiga. Jika batu itu benar-benar berharga, mengapa si pemuda memberikannya padanya, pada seorang asing?

"Simpanlah kecurigaanmu, Pangeran Gaara. Aku telah menggunakan kekuatan batu ini, dan sudah saatnya aku melepasnya."

Gaara lagi-lagi terkejut. Terlebih ketika pemuda itu berdiri, dan dengan sekali sentuhan, membuka ikatannya. Ia menyentuh pintu sel yang menderit terbuka.

"Pergilah, selamatkan kerajaanmu!"

Gaara berdiri, dalam ketergesaannya keluar dari selnya. Ia berbalik untuk melihat pemuda itu mengikutinya atau tidak, ketika ia mendapati dirinya menatap sel kosong.

Pemuda itu sudah menghilang.

.

.

~ o ~

.

.

Gaara nyaris tidak mempercayai keberuntungannya. Seluruh penjaga dalam penjara itu tertidur lelap. Ia melewati mereka bagai angin saja. Setelah menyambar sekeping roti dan sebuah buli-buli berisi anggur dari sebuah meja, Gaara cepat-cepat pergi.

Anggurnya asam, tidak lezat segar seperti anggur istana, tapi karena hausnya Gaara menghabiskannya hingga tetes terakhir. Ia terseok-seok menjauh dari kota yang kini diduduki pemberontak Pasir Hitam. Ketika yakin tidak ada yang mengikutinya, Gaara mengeluarkan batu rubi dari balik jubahnya.

Gaara mengamati batu itu dan kembali terpesona. Rubi itu seolah-olah bersinar dalam kegelapan. Gaara memutar batu itu tiga kali untuk melihat keindahannya dari sisi yang lain.

Lalu bumi bergoncang.

Keringat dingin mengucur di dahi si pangeran muda ketika batu di tangannya bergetar hebat. Ia ingin membuang rubi itu, tapi sebuah kekuatan gaib menahannya. Batu itu mulai berasap.

Sama mendadaknya seperti gempa, Gaara terlempar dari tempatnya berdiri. Ia mengaduh, menyingkirkan pasir dari matanya. Di tempatnya tadi, batu itu melayang di udara, masih membumbungkan asap kemerahan yang makin lama makin tebal. Ia mulai membentuk sesuatu, kepala, tubuh, ekor, cakar…

Mahluk itu melengking, merayakan kebebasannya. Ia baru akan melangkah pergi, ketika sorakannya berubah menjadi jerit mengerikan. Sebuah rantai emas mengikat lehernya, dihias batu rubi. Ia menaikkan cakarnya ke lehernya, bermaksud merengut kalung berbandul intan itu, namun cakarnya terhempas ke bumi, menciptakan awan pasir.

"Siapa yang mengikatku pada batu sialan ini?" ia mengguntur.

Mahluk itu memicingkan matanya yang kuning menelusuri gurun, lalu tatapannya tertumbuk pada Gaara.

"Bocah!" jeritnya. "Sebutkan namamu."

Meski yang memerintahnya adalah monster setinggi tujuh puluh kaki, Gaara memaksa kakinya berhenti bergetar. Ia ingat pada sebuah petuah lama yang mengatakan, jika kau harus berhadapan dengan jin, perlakukan mereka dengan hormat, bukan dengan rasa takut.

"Sebelum kau menanyakan nama orang lain, O Mahluk Perkasa, kau harus menyebutkan namamu sendiri."

Mahluk itu mengibaskan ekornya dengan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan sebuah desa.

"Kau sepertinya dididik untuk bersikap sopan santun. Baiklah, bocah." Mahluk itu menggeram. "Aku Shukaku al-Jinni."

Mau tak mau, bulu kuduk Gaara berdiri. Ia telah mendengar nama itu. Nama yang ditakuti lebih dari angin puyuh. Shukaku al-Jinni adalah monster paling kejam yang pernah ada. Ia dapat menerbangkan seluruh pasukan kerajaan dengan sekali tiupan, dan menghapus sebuah peradaban dari sejarah. Tapi siapa yang menyangka, ada seorang penyihir kuat mengikat Shukaku pada sebuah batu rubi yang tak lebih besar dari manik matanya.

Shukaku mengibaskan ekornya sekali lagi. "Dan kau?"

"Gaara Ali Tahar bin Mansur Ali."

Shukaku mendengking dan mendengus. Beberapa saat kemudian, Gaara menyadari bahwa Shukaku tertawa. Ia meradang. Gaara mengacungkan telunjuknya ke arah Shukaku.

"Wahai Shukaku al-Jinni! Aku telah membebaskanmu, sekarang saatnya tiba bagimu untuk mematuhi perintahku!"

Shukaku berhenti tertawa. "Seorang anak kecil dari Suna, memerintahku? Jangan bercanda, bocah!"

Cakar Shukaku menyambar Gaara, tapi mahluk itu menjerit lagi. Rubi di lehernya berpendar, seolah menyakitinya. Ia terjatuh. Gaara mendekatinya, keberaniannya berlipat ganda dalam setiap langkahnya.

"Baiklah, baiklah." Shukaku menyerah. "Akan kukabulkan tiga permohonanmu. Cuma tiga. Setelah itu aku bebas untuk melakukan apa saja padamu, termasuk membunuh atau mengutukmu. Ingat itu!"

"Aku akan ingat, O Badai Empat Penjuru."

"Badai Empat Penjuru,he? Rupanya lidah kecilmu itu pandai memuji."

Ia meliukkan badannya seperti kucing besar.

"Apa perintah tuanku?"

"Aku belum ingin menyebutkan permintaanku." kata Gaara ketus.

"Oh, kau ingin menempuh gurun ini sendirian?" Shukaku menyelidik.

"Tidak." didekatinya Shukaku. "Aku lelah, biarkan aku beristirahat. Sudah cukup buruk aku harus menghabiskan malam dalam bui, bukannya dalam kamarku yang nyaman."

Shukaku memandangnya. "Kau bisa menyuruhku membangunkan istana berikut tempat tidur yang nyaman, bocah."

Mata Gaara menerawang sejenak. Sekujur tubuhnya kaku, kakinya bengkak setelah berjalan begitu jauh sendirian. Ia sendirian di tengah gurun, tanpa pengawal, tanpa pelayan. Gaara duduk dengan keras di atas pasir, memeluk lututnya.

"Sebuah istana hanya akan menarik perhatian musuh. Kau terikat padaku, jadi kau pasti tidak ingin aku celaka."

"Di saat seperti ini barulah otakmu bekerja. Kau betul-betul bodoh mengira dirimu dapat melawan empat ribu pasukan Pasir Hitam," ejek sang jin. "Kau pasti mengira bakal mendapat pengalaman yang menyenangkan, eh?"

"Tutup mulut." kata Gaara. "Hariku sudah cukup buruk, Mahluk Besar."

"Ya ya, pasti menyebalkan melihat tumit halusmu pecah-pecah dan kapalan."

Shukaku bersiul sekali, lalu tubuhnya digulung oleh pasir.

Sedetik kemudian, Gaara mendapati dirinya berhadapan dengan seorang gadis. Ia memakai gaun sederhana, dengan ikat pinggang dari emas. Wajahnya yang molek berbentuk buah badam, dinaungi rambut hitam kemilau yang menjuntai lurus hingga ke pinggang. Matanya yang kuning berkilau licik.

"Aku dapat menghilangkan rasa letih tuanku." kata si gadis dengan suara halus. "Tuanku tinggal menyebutkan permintaan saja."

"Tipuan kecilmu ini tidak mempengaruhiku." kata Gaara bosan. "Banyak gadis seperti kau di istana. Tak ada yang menarik buatku."

"Hmm." si gadis berkacak pinggang, bibirnya mengerucut lalu ia kembali bersiul. Gaara mengangkat lengannya dan berpaling, dan ia mendapati sosok sang Syah, dengan jenggotnya yang kelabu, jubah mewah yang tak mampu menutupi perut tambunnya, dan sorban melingkari kepalanya.

Sosok ayahnya membuka kedua tangannya lebar-lebar.

"Putraku!" serunya. "Cahaya bagi mataku, dan permata bagi istanaku! Kau pasti lelah, Nak. Mintalah apa saja padaku."

Hati Gaara tersayat melihat sosok ayahnya itu. Ia langsung dihujani rasa bersalah. Orang tua itu pasti tak dapat tidur nyenyak mengingat putranya yang keras kepala pergi darinya.

Walau sebetulnya enggan, Gaara memalingkan muka.

"Kau bukan ayahku," ucapnya.

Shukaku, yang menyadari kelemahan hati Gaara dalam kata-kata itu, mengerahkan seluruh muslihatnya.

"O putraku! Jangan timbulkan lagi duka untuk tubuh rentaku. Datanglah kemari, Nak, biarkan ayahmu memuaskan keinginanmu." Ia memandang Gaara dengan ekspresi terluka.

Gaara berdiri.

"Kau bukan ayahku!" ulangnya keras.

Mata Shukaku berkilat. "Baiklah," sosok Syah melipat kedua tangannya, lalu berubah sekali lagi.

"Tapi tidakkah kau ingin tahu aku siapa?"

Gaara membelalak menatap sosok itu.

To Be Continued…


Fanfic ini terinspirasi dari cerita klasik Aladin dan lampu ajaib. Hanya saja, Shukaku disini sama sekali bukan jin yang happy go lucky, dia adalah jin galak berkekuatan super yang terpaksa tunduk pada tuan "kecil"nya. Bosen dong kalo jin-nya lincah, penurut, baik hati dan rajin menabung *ada gitu jin yang suka nabung?*

Sedikit bocoran, pangeran itu gelarnya Gaara saja, karena Syah sebetulnya gak punya anak! Siapa sebetulnya Gaara? Siapa orang misterius yang menemuinya dalam sel? Ikuti terus kisah ini, ya!

Review please!