Lovely Scarlet by D.N.A. Girlz

Axis Power Hetalia by Hidekaz Himaruya

I just own the plot of the story, and also this fic.

Warning: Human Name, High School!AU, OC bertebaran di kali (?), OOC yang amat eksklusif mendewa, OOT yang cetar membahana, high posibility of crack pairings, (changing of the name, sorry if anyone mind on this matter.) a little shocku dakara stuation, Nesia = Indy so please no flame, totally randomness.

Pairing:MaleXNesia

Genre: Friendship, Humor, Romance, campur gado-gado

Asli dari pemikiran author. Jika iya, itu dikarenakan oleh ketidaksengajaan, mohon dimaklumi. Kalau ada typos tolong bilang ya~ maaf apdetnya lama TvT

Long Live FHI and make the world better to live for all of us ^_^

Happy reading guys~

P.S: Watch out for hints on every chapter :3

Suka tapi mau review? Yah silahkan review x3

Suka tapi gak mau review? Silahkan Fav~ :D

Gak suka tapi mau review? Ampun jangan flame xC


.

.

.

"Ngh…"

KRIIINGGG

KRIIINGGG

KRIIINGGG

KRIIINGGG

KRIIINGGG

Kelopak matanya mulai terbuka karena pendengaran yang empunya mendengar alarm dari jam beker dan mematikannya.

TEP

"Mh.. Berisik… Hoamm.."

Tangannya megucek mata perlahan dan masih dengan aura mengantuk di sekelilingnya. Dia terdiam selama beberapa detik sebelum berteriak kaget.

"Wha—Ya ampun!"

Sekejap, dia berdiri dan menyibakkan selimut dengan terburu-buru sebelum menapakkan kaki ke lantai, mata terbelalak kaget dan terpaksa bangun karena melihat jam berapa sekarang ia baru terbangun.

"Aduh, kalau sampai terlambat nanti bisa dimarahi.. Kenapa juga hari pertama di semester awal harus seperti ini!"

Tangannya segera mengambil handuk yang berada di hanger dekat lemari baju, dan secepat kilat menuju kamar mandi untuk membersihkan badan. Setelah itu, gadis berambut ikal tersebut buru-buru memakai pakaian seragam yang dikenakannya.

Hari ini adalah hari pertamanya ke sekolah dan dia harus bisa tiba tepat waktu sebelum bel berbunyi.

"Kalau begini jadinya, lebih baik aku tidak usah masuk saja—tapi sudah susah-susah ke sini… Ah, sudahlah." ujarnya sambil menggerutu dan menguncir kuda rambutnya dengan ikat rambut yang dia punya. Tak lupa, dia menyematkan sepasang jepitan bunga melati kesayangannya di sisi samping kepala. Tangannya mengambil sebuah kalung. Sebuah kalung dengan liontin oval—berbatu zamrud. Sejenak menatap di kedua telapak tangannya, dia tersenyum kecil.

"Ah, aku bodoh sekali. Harusnya aku tidak usah menggerutu." ujarnya pada diri sendiri.

Dan akhirnya, ia mencium singkat liontin miliknya sebelum memakainya—menyembunyikannya di balik baju seragamnya.

"Karena keberuntunganku ada di sini—selama kalung ini ada, keberuntunganku akan selalu mengikutiku." ujarnya lagi pada diri sendiri—menyakinkan diri bahwa dia takkan mendapatkan kesulitan selama ada benda yang dia kenakan sekarang ini.

Bagaimana bisa dia tidak memakai momento berharga dari orang tuanya?

Gadis bermanik coklat kehitaman tersebut berkaca sesaat akan penampilannya. Setelah dirasa cukup layak, dia menoleh ke arah meja belajarnya. Dia mengambil sebuah potret yang dihiasi oleh figura sederhana untuk membingkainya.

Terlihat seorang pria paruh baya, seorang wanita berparas ayu di sampingnya, seorang gadis yang berada di dekapan sang ayah sambil tersenyum lebar, seorang anak laki-laki di samping anak yang paling besar dan mirip dengannya tetapi dengan senyuman tipis, serta seorang balita perempuan yang berumur sekitar dua tahun tahun di dekapan sang ibu, dan tujuh anak-anak laki-laki dan perempuan yang mengerubungi keempatnya. Itu adalah potret dirinya, dua adiknya, dan dengan tujuh saudara sepupunya—yang semuanya masih berumur lima tahun ketika ia berumur delapan tahun, saat mereka semua tengah berpiknik.

"…."

Gadis itu tersenyum kecil dan meraba sayang kaca yang menghasi figura dari potret tersebut. Dia masih ingat; ketika mereka mengucapkan salam perpisahan dan melambai-lambai sambil menangis saat mengantar Indy di bandara.

Ketika ia harus meninggalkan tanah air untuk pergi ke Jepang karena beasiswa agar bisa meneruskan pendidikan yang lebih tinggi.

"Tidak ada waktu untuk bersedih. Sekarang aku akan berangkat sekolah dan membuat mereka bangga." ucapnya mantap dan menaruh kembali benda persegi panjang tersebut ke tempat semula. Dia mengambil tas sekolahnya dan berjalan keluar dari apartemennya yang sederhana.

Setelah mengunci pintu, dia memasukkan kuncinya ke dalam saku seragam sebelum berjalan menuruni tangga. Gadis itu sudah hampir seminggu menetap di bangunan tersebut memiliki lima lantai, dan dia menghuni di salah satu kamar apartemen di lantai tiga.

Dengan sigap, akhirnya dia berhasil sampai di anak tangga terakhir dan berjalan cepat menusuri halaman depan bangunan apartemen.

"Selamat pagi, Indy."

Baru beberapa langkah berjalan, gadis itu menoleh ke arah sumber suara yang menyapanya. Seorang wanita paruh baya sekitar umur tiga puluhan sedang memegang sapu—yang dia indikasikan wanita tersebut tengah menyapu halaman depan. Dia menyapa dengan senyum ramah pada Indy.

Indy membalas dengan melempar senyum ramah juga. "Selamat pagi juga, Fujihara-san."

Fujihara Honda; wanita berambut hitam lurus sebahu dan sering dikuncir low-ponytail di samping kanan, dengan senyum yang ramah dan wajah yang manis, seperti ciri khas perempuan Jepang pada umumnya.

Ibu pemilik bangunan apartemen berlantai lima yang Indy tempati sekarang ini rajin menyapu halaman dan bersih-bersih—walau kadang cerewet kalau lihat debu kotor, tapi disegani oleh banyak penghuni apartemen, baik ke sesama, dan sekaligus sahabat dari ibunya yang bersedia menampungnya ketika mendengar Indy mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Jepang.

Bahkan, dia juga senang karena sekolah yang akan dimasukki Indy cukup dekat dengan gedung huniannya. Fujihara sudah menganggap Indy seperti anaknya sendiri—Indy juga menganggapnya seperti bibi sekaligus ibu kedua walaupun tidak ada hubungan darah.

"Menyapu seperti biasanya? Nanti pegal-pegalnya kumat lagi, lho." canda sang gadis berjepit melati sambil memandangi Fujihara yang masih memegang sapu.

Wanita itu tertawa kecil sambil mengibaskan tangannya. "Tidak apa-apa, Indy-chan. Kau tahu bukan kalau aku ini orangnya tidak bisa lihat halaman yang kotor oleh daun-daun kering."

Indy juga tahu hal itu, makanya ia takkan menghentikan kegiatan yang digemari oleh ibu angkatnya tersebut.

Sambil tertawa tertahankan, Indy berujar lagi. "Baiklah, tapi nanti kalau kumat lagi—jangan panggil aku untuk mengerok dan pijat punggung, ya."

Fujihara hanya membalas dengan tawa kecilnya lagi.

Ia lihat jam tangan yang menunjukkan pukul sekian. "Ah, aku bisa terlambat! Aku pergi dulu ya, Fujihara-san—do'akan aku biar tidak terlambat!"

"Hati-hati menabrak orang di persimpangan~"

Indy berlari sambil melambai riang, sebelum dia berlari cepat menuju tikungan jalan selanjutnya. Fujihara hanya bisa tersenyum lembut sambil melambai singkat, dia menatap anak gadis dari sahabatnya itu menjauh untuk pergi ke sekolah hingga menghilang di tikungan jalan.

"Semoga harimu menyenangkan, Indy-chan."

Indy berlari secepatnya sambil terengah-engah, ia melirik ke arah jamnya lagi sebelum mendecih dan mencoba mengingat arah sekolah yang akan ia masukki selama 2 tahun ke depan.

Dari kelas 11 hingga kelulusan tiba.

"Kenapa aku bisa lupa mengatur alarm sebelum aku tidur? Aduh, ini pasti karena aku membaca buku semalaman sebelum tidur.." gerutunya kecil sambil menggaruk kepala yang tak gatal.

BRUK!

Tanpa di sadari olehnya, dia menabrak seseorang ketika berbelok ke perempatan jalan.

"Umph!"

Indy langsung jatuh ke tanah, membuat pantatnya mencium aspal dengan tak elitnya. Bokong dan kepalanya yang menabrak orang tersebut langsung berdenyut pelan. Ah, sebaiknya dia mendengarkan nasehat bibinya yang menyuruhnya agar tidak tertabrak orang di persimpangan.

Sambil mengaduh kesakitan, dia mencoba menyadarkan diri dan mendongak. "Aduduh, sakit.. Eh?"

Perkataannya terpotong ketika melihat orang tersebut.

Di hadapannya berdiri seorang pemuda bertubuh cukup tinggi, berseragam sama seperti dirinya, berambut coklat gelap, dan bermata hijau seperti biji zaitun.

Indy hanya terpana akan pemuda yang diansumsikan sebagai penabrak dirinya yang terduduk di aspal sekarang ini.

"Uhm.. kau tidak apa-apa?" tanya pemuda tersebut dengan bahasa inggris—tentu ini membuat gadis itu lega karena dia bukan orang Jepang, walau Indy bisa mengerti bahasa Jepang dan mengucapkannya sedikit-sedikit. Ia mencoba membantunya dengan mengulurkan tangan. Indy menerima uluran tangannya seraya berdiri dan mengangguk.

"Iya, terima kasih."

Indy berterima kasih dengan bahasa yang sama. Dia mencoba membersihkan rok dan seragamnya dari debu karena terjatuh di aspal. Indy menoleh dan menatapnya, kalau diperhatikan… Indy menyadari satu hal: bahwa pemuda itu juga berseragam seperti dirinya—dengan logo sekolah yang sama seperti Indy.

Dia bertanya sambil menunjuk pada pemuda tersebut. "Hetalia Academy?"

Pemuda bermata hijau zaitun itu mengalihkan pandangannya dari ponsel yang dipegangnya sebelum pada Indy dan mengangguk kecil.

Indy bertanya lagi. "Kalau kau tidak keberatan, bolehkah aku ikut berangkat denganmu? Aku tidak tahu tempatnya karena aku baru masuk hari ini."

Semoga dia tidak keberatan, pikir Indy cemas.

Pemuda itu berpikir sejenak sembari mengamatinya dari atas hingga bawah, kemudian berjalan terlebih dahulu. "Baiklah, ragazza. Ikuti aku."

Dia tidak keberatan, pikir Indy senang. Mengangguk kecil, dia mulai berjalan tepat di belakangnya dengan jarak yang layak. Ah, beruntungnya Indy—jadinya dia tidak akan tersesat dan bisa sampai di sekolah dengan selamat.

Mereka menaikki subway dekat mereka berdiri dan memakan waktu 10 menit. Mereka turun di tempat yang di tuju dan berjalan kaki lagi hingga sampai di depan sekolah yang besar dengan gerbang yang menganga lebar. Banyak anak-anak yang baru datang dengan berbagai kendaraan. Ada yang diantar dengan mobil, ada yang menaikki motor dan masuk ke parkiran sekolah, ada yang menaikki sepeda, dan banyak yang berjalan kaki.

Wow; Indy hanya bisa mengungkapkannya dengan kata itu saja. Inikah sekolah yang akan dia tempati? Dan ini sekolah internasional—banyak orang-orang dari seluruh dunia dan beragam kebangsaan akan belajar bersama dengannya nanti.

"Ayo masuk." ucap pemuda yang berada di depannya dan Indy mengangguk.

Tapi ketika hendak berjalan ke dalam gerbang, suara memanggil ke arah mereka berdua. Gadis itu berbalik dan mendapatkan seseorang yang cukup mirip dengan pemuda bermata zaitun itu. Sehelai rambut aneh yang sama mencuatnya, bermata coklat madu, dengan rambut yang sedikit cerah dibandingkan dirinya, dan dengan seragam yang sama.

Tunggu, kenapa ada dua orang sama? Apa mereka kembar?

Indy bertanya-tanya dalam hati ketika menatap pemuda yang mengejar mereka itu terengah-engah. "Vee, fratello, kenapa kau tidak menungguku dulu?~"

"Geez, siapa suruh kau terlambat sarapan, ha? Bangun saja harus aku dorong dulu."

Pemuda yang riang tadi sedikit menunduk sambil meminta maaf dengan wajah senyum lebar berkesan tragis. "Maaf, maaf—Oh."

Dia menoleh ke arah Indy dan menatapnya dari atas hingga bawah, seperti mempelajari rupa bentuk gadis tersebut. Indy yang ditatap begitu, sedikit risih dan bertanya sopan. "U-Uhm, ada apa?"

Pemuda itu diam sejenak dan bertanya pada Indy dengan senyum merekah dan nada tak bersalah sambil menunjuk pada pemuda bermata zaitun.

"…Kau pacarnya, ya?"

.

.

.

HE?

BUAK!

Kepala tangan memukul atas kepala pemuda yang bertanya tadi pada Indy. Pemuda bermata zaitun menekuk wajahnya sambil mencibir.

"Idiota. Dia bukan pacarku, bodoh. Memangnya aku apa? Dia mau ikut berangkat sekolah denganku karena tidak tahu arahnya. Maafkan aku, dia sedikit berbeda." jelasnya singkat dan memberi tanda kutip dengan kedua tangan dan jarinya.

Pemuda yang dipukulnya itu menatap Indy. "Hm? Tidak tahu arahnya? Kenapa bisa?"

Indy menjelaskan, "Begini, aku tadi berlari dan secara tak sengaja menabraknya. Dia membantuku dan aku bertanya sekolahnya—dan ternyata sekolahnya sama sepertiku, makanya aku minta tolong untuk ikut."

Mendengarkan penjelasan itu, baru pemuda bermata madu coklat itu membulatkan mulutnya.

Pemuda bermata zaitun di sampingnya menyahut, melipatkan tangan di dadanya. "Tapi… Sepertinya aku tidak melihatmu sebelumnya."

"Aku murid baru dan aku masuk hari ini." ucap Indy.

Kedua orang itu terdiam sejenak dan melirik satu sama lain.

"Vee, berarti kau adalah murid baru, ya? Kelas berapa?~" tanya pemuda di sampingnya lagi.

Indy tersenyum kecil. "Kelas sebelas. Kalian?"

"Kami juga kelas sebelas, dan beruntungnya juga sekelas. Pasti kau murid pindahan yang dirumorkan akan bersekolah di sekolah kami!"

Hah? Dirumorkan? Segitunyakah aku masuk dan mulai jadi populer? Ah, paling juga nanti rumornya hilang sendiri seiring berjalannya waktu, pikir Indy optimis.

"A-Ah.. aku tidak tahu kalau dibuat begitu. Uhm, kalian kembar?" tunjuknya pada mereka berdua, mencari topik lain.

Pemuda bermata madu itu berkata dengan riang. "Ya. Kami kembar dan—oh, maafkan kami, bella. Karena keasyikan mengobrol denganmu, kami jadi tidak sempat memperkenalkan diri. Aku Feliciano Vargas, dan ini kakakku—maaf atas sikapnya tadi."

Mereka mengulurkan tangan dan Indy menerima dengan senang hati menjabat tangannya dengan mereka berdua.

"Hm. Lovino Vargas." ucap pemuda bermata zaitun tersebut yang diketahui bernama Lovino sambil berjabat tangan singkat.

"Aku Indy Kusuma Maharani, biasa dipanggil Indy. Senang berkenalan dengan kalian berdua."

Uhm oke, namanya bukan bella tapi Indy. Tapi nanti dia akan pastikan untuk bertanya pada mereka berdua soal bahasa yang tidak ia mengerti itu. Dia juga penasaran akan bahasa yang mereka pakai.

"Kalian bukan orang sini, pastinya." Indy menarik kesimpulan.

"Hmph, tentu saja. Kita sekarang berbicara dengan bahasa lain selain Jepang—tapi diharuskan memakainya kalau mau berkomunikasi dengan orang Jepang asli."

Indy mengangguk setuju.

"Ya, itu benar. Kalian datang dari mana?" tanyanya.

"Kami dari Italia. Kami dari kelas sepuluh sudah bersekolah di Hetalia Academy ini. Kalau kau?"

Ah, pantas kenapa terasa familiar.

Indy menyeplos dalam hati sebelum tersenyum sopan.

"Seperti yang kalian tahu, murid baru kelas sebelas dan asalku dari Indonesia." ujarnya.

Lovino menatapnya dan berujar, "Bahasa Inggrismu lumayan juga."

"Trims. Hanya sedikit saja." Entah itu pujian atau bukan, tapi dia berterima kasih akan kemampuannya berbahasa karena dapat menyerap bahasa asing dari luar negeri dengan mudah.

TENG TONG TENG TONG~

Indy terkaget ketika bel tanda masuk sekolah berkumandang dan gerbang akan di tutup.

"Astaga, kita terlambat!" Feliciano menyahut panik.

Lovino menghardiknya, "Gara-gara kau terlalu banyak bicara, bodoh. Hei, kau mau kami antarkan ke kantor guru?"

Indy menggeleng kecil, "Tidak, terima kasih. Biar aku saja. Kalian pergi dulu, nanti aku beritahu bakal masuk kelas yang mana."

Feliciano mengangguk. "Oke! Bye, bella!~"

Dan mereka bertiga berpencar ke arah yang berlawanan.


.

.

.

Setelah beberapa kali berbelok di koridor dan berjalan ke ruang kantor guru di lantai pertama. Saat bertanya, mereka menyuruh untuk langsung ke ruangan Kepala Sekolah—ternyata Indy sekarang menyesal. Dia harus naik ke lantai tiga untuk menuju ke ruang tersebut. Apalagi sekolah itu ternyata besar sekali. Dia benar-benar bertanya apakah dia akan tahan untuk hal begini dan kuat menaikki anak tangga yang banyak dan koridor yang besar dan lebar.

Akademi ini mempunyai empat bangunan utama. Gedung A adalah kantor guru di lantai pertama, ruangan rapat di lantai kedua, dan ruangan kepala sekolah di lantai ketiga.

Gedung B adalah bangunan sekolah untuk siswa-siswi yang belajar serta kantin dan ruangan-ruangan lain yang berstandar untuk sekolah pada umumnya, lantai pertama untuk kelas sepuluh dan kantin, lantai kedua untuk kelas sebelas dan ruang-ruang lain seperti ruangan UKS dan laboratorium siswa, dan lantai ketiga untuk kelas dua belas, ruang OSIS, dan ruang radio sekolah.

Sedangkan gedung C adalah tempat dimana ekstrakulikuler dan kegiatan di luar kegiatan belajar dilaksanakan. Biasanya satu ruangan dimiliki oleh setiap satu klub atau ekstrakulikuler. Di samping bangunan terebut berdiri gymnasium atau tempat untuk olahraga untuk pelajaran penjaskes mau pun klub atletik yang menggunakannya secara bersamaan karena tempatnya luas dan nyaman.

Sekarang, mari kembali ke heroine kita yang tengah meregang nyawa berjalan menuju ruangan tujuannya.

"Semoga saja aku tidak pingsan di hari pertama…"

Akhirnya dia sampai di depan pintu ruangan. Dia mengetuk daun pintu tersebut.

"Masuk."

Indy memutar knop pintu dan melangkah masuk.

Ruang kerja yang besar untuk seorang Kepala Sekolah. Di sepanjang dinding bercorak yang dilihat oleh Indy, berjejer penghargaan yang tergantung dekat lemari. Berbagai penghargaan dari siswa-siswa yang memenangkannya untuk prestasi dan sekolah, membuat sekolah yang akan ia masukki itu memang terkenal di bidang akademis dan non-akademis. Lantai berwarna coklat mengkilap menghampar di bawah kakinya yang terbungkus sepatu dan kaos kaki. Tapi, ada beberapa benda-benda antik yang dipajang di meja khusus di pojok ruangan tersebut—memperjelas bahwa ruangan ini penuh dengan knowledge. Tepat di tengah ruangan, ada sebuah meja kerja besar yang penuh dengan map dan alat tulis mahal. Lampu meja modern kecil juga menghiasi mejanya.

Orang yang diasumsikan sebagai Kepala Sekolah sedang duduk di kursi hitam di belakang meja kerja ruangan tersebut. Di depannya berdiri seorang gadis berambut pirang dan memakai hiasan pita di samping kepalanya. Mereka tengah berbicara dan melihat ke arahnya.

Indy berjalan maju ke hadapannya berdiri di samping tak jauh dari gadis tersebut.

"Maaf, saya murid baru yang akan bersekolah di sini dengan jalur prestasi. Saya ingin mengambil jadwal saya."

Pria paruh baya tersebut tersenyum lebar ketika mendengarnya. Dia mengambil salah satu map berwarna hijau daun sebelum mencari di lembaran kertas yang ada di dalamnya.

"Nama?"

"Indy Kusuma Maharani."

"Hmm… Ah, Nak Maharani? Indy Kusuma Maharani.. oh, ini dia."

Indy menerimanya dan melihat sekilas beberapa lembar kertas di tangannya.

"Silakan pelajari prosedurnya dan coba beradaptasi sebisa mungkin. Itu semua jadwal kelas dan tata tertib sekolah ini. Kalau ada hal yang ingin ditanyakan bisa langsung saja bertanya kepada saya. Santai saja. Nama bapak Julius, biasa dipanggil Pak Julius." ujarnya santai dan menebarkan senyum untuk menenangkan ketegangan Indy.

Indy sedikit lega karena orang di hadapannya berbaik hati dan ia mengangguk kecil sebagai respon. "Terima kasih, pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin."

Julius tersenyum balik sebelum melirik ke arah perempuan berambut pirang yang sedari tadi berdiri dan berkata pada Indy. "Ah, Nak Maharani, yang di sebelahmu ini adalah salah satu dari siswi kami. Nak Zwingly, silakan."

Perempuan itu mengangguk dan mengulurkan tangannya, tersenyum manis. "Halo, nama saya Lili Zwingly. Aku disuruh Pak Julius untuk mengantarmu tur keliling sekolah."

"Biasanya setiap murid pindahan akan kami beri tur keliling oleh siswa kami. Dan nak Zwingly akan menemani anda." jelasnya singkat.

Indy mengangguk mengerti dan lalu menerima jabatan tangan sang gadis manis bermata hijau daun tersebut.

Setelah pamit, Lili mengajak Indy untuk mengitari sekolah mereka smbil menjelaskan apa yang perlu dan Indy kadang bertanya padanya dan dijawab sopan.

Indy merasa Lili adalah anak yang sangatlah manis. Lihat saja, kelakuan sopan, sorot mata polos dan inosen, dia benar-benar tak menyangka Lili mempunyai suara yang lembut dan bersekolah di sini karena ingin bersekolah di tempat yang sama dengan saudaranya.

Ah, Indy menginginkan dirinya menjadi adiknya.

Tapi hanya angan-angan, sayang sekali.

Dibarengi mengobrol juga, mereka tertawa kecil ketika membahas yang lucu.

"Ah, lebih baik kita berteman. Kau mau? Tapi aku tidak memaksamu, Lili." ujar Indy padanya.

Lili menggeleng sembari menyahut senang. "Aku mau, Indy. Oh ya, kau sudah tahu ada di kelas berapa?"

Indy mengalihkan pandangannya dari Lili dan mengecek kertas-kertas yang ada di tangannya, matanya menelusuri tulisan-tuliasan yang diketik rapi oleh komputer dan dicetak.

"Coba aku lihat… Kelas 11-A."

Lili menyatukan kedua tangannya sambil menyahut. "Oh, kau di kelas yang sama dengan big bruder!"

Indy menoleh padanya, mengerjapkan mata dengan bingung.

"Hah? Big apa?" ulangnya dengan tampang bodoh, tidak mengerti.

Lili tersenyum simpul sambil mengangguk. "Mhmm! Aku memanggilnya begitu, big bruder—dia kakakku dan orang paling baik yang pernah aku miliki. Kau akan bertemu dengannya nanti saat di kelas. Awalnya nanti kau akan melihat bahwa dia itu orangnya dingin, tapi dia sebenarnya baik, kok!"

Indy mengangguk kecil, menerima penjelasan Lili. "Baiklah—oh ya, kau di kelas berapa?"

"Aku di bawah kalian. Kelas 10-A." jawabnya.

Indy mengangguk kecil dan melihat jam dengan kaget. "Astaga—aku harus ke kelas. Nanti kita bertemu lagi, ya!"

"Baiklah, senang bicara denganmu! Semoga harimu menyenangkan!" Lili melambai ketika Indy melambai singkat.

"Kau juga, Lili!~" Lalu ia berlari kecil ke kelasnya yang ada di lantai dua, sedangkan Lili berbalik kembali ke lantai satu untuk kembali ke kelasnya.

.

.

.

To Be Continued


(pojok review, monggo dilalap pake sambal~ :3 :D :) #laperToTheMAX

Hola minna!~ ketemu dengan saya Author yang masih belajar ngetik biar tambah pinter. Memang name pen saya D.N.A. Girlz tapi bisa kok manggil saya Shinju. Ini ff MC yang pertama dibuat oleh saya untuk fandom yang saya gandrungi selama beberapa tahun. Maaf kalau ada typo atau apapun yang membuat tidak nyaman jadi maaf ya ^^" saya re-make lagi dari chapter satu sampai lima karena sedikit agak kurang 'layak' untuk dibaca, jadi saya ketik lagi. Semoga nyaman membaca cerita aneh saya :)
AH, untuk fyi: Fujihara Honda adalah OC Hetalia perwakilan Edo~ Maaf ya buat OC ^^"

Baiklah, sekian salam saya dan terima kasih! Bai gais, ailavyu~ :*

Translation:

Ragazza: woman, girl/sebutan untuk perempuan jika kita tak mengetahui namanya (Italia)

Fratello: saudara laki-laki (Italia)

Idiota: idiot/bodoh (Italia)

Bella: beautiful/cantik (Italia)

Big bruder: big brother/kakak lelaki (Jerman)


See you next time, peeps!~ XD :) :3

Best respect to all of reviewers, readers and authors;

D.N.A . Girlz

P.S: Kalo mau mengeluarkan pup(?) dari dalam kokoro-mu, buang aja ke tong sampah alias kotak review ya XD Fave and review are so welcomed~