Summary: Draco Malfoy adalah cowok pendiam, antisosial, dan tak pernah merasa butuh pada orang lain selain ibunya. Ayahnya adalah pelahap maut kawakan yang meninggal Lima belas tahun lalu, saat Draco baru berusia setahun, dan kementrian menyikat habis harta mereka. Jadilah Draco anak miskin, Dan Narcissa harus kerja Banting tulang untuk menghidupi mereka.

Harria Potter adalah cewek optimis Gryffindor yang selalu penuh semangat, vokal, dan berteman dengan hampir seluruh Hogwarts. Ayahnya adalah kepala Auror, dan ibunya adalah ahli ramuan. Harry sendiri siap menjadi ketua murid saat kelas 7, dan berharap setelah itu bisa menjadi Auror seperti ayahnya. Harapannya adalah persatuan dunia sihir dan kesetaraan.

Mereka sangat berbeda. Saling benci, mungkin. Selalu saling melontarkan kata-kata pedas. Sampai tak ada yang tersisa selain hati yang Luka...

Disclaimer: hp bukan punya Saya

Part 1.

Draco Malfoy tak pernah benar-benar menyukai Harria Potter.

Saat kelas 4, dia bisa mendengar Potter bicara panjang lebar soal kesetaraan dunia sihir, soal hak Centaurus, Hak Peri rumah, Dan entah Hak siapa lagi, dan berpikir, apa cewek ini sungguhan bodoh? Potter punya nilai yang cukup bagus di kelas, walaupun kalah dari Hermione Granger dan Draco sendiri, tapi lumayanlah dibanding cewek-cewek lain yang lebih mementingkan wajah mereka daripada otak mereka.

Seluruh Hogwarts menyukai Potter.

Gadis itu sangat Sosial, kadang duduk di meja Ravenclaw, kadang di Hufflepuff, tak pernah di Slytherin tapi, karena dia adalah Gryffindor. Dia sangat populer, orang selalu mendengar apa yang dia katakan, seaneh apapun itu, Dan, tentu saja dia pacaran dengan Cedric diggory, juara Triwizard dari Hogwarts.

Potter bukan cewek Paling cantik sedunia. Dia termasuk yang biasa saja, menurut Draco, tapi cowok-cowok selalu nampak bersemangat jika deKat dengannya, selalu tertawa pada semua leluconnya, selalu siap melakukan apapun untuk bisa mendapatkannya. Tapi Potter sendiri selalu cuek. Dia menganggap semua adalah teman, dan tampaknya tak pernah menunjukan ketertarikan pada siapapun selain Cedric diggory, yang dia kencani saat pesta natal kemarin.

Draco, seperti semua Slytherin lain, tak terlalu menyukai Potter, tapi tak pernah benar-benar menunjukan rasa benci mereka. Tak merasa Potter cukup penting untuk menghabiskan tenaga.

Jadi Draco bahkan mengagetkan dirinya sendiri saat dia berdiri di depan cewek itu, menciumnya seolah tak Ada Hari esok. Tangan Potter melingkari lehernya, bibirnya balas melumat bibir Draco dengan tak kalah semangat. Mata mereka terpejam, menikmati setiap detiknya. Tangan Draco membelai punggungnya, dan dia bisa merasakan Potter meleleh di dekapannya...

"O my God," desah Potter, matanya berkabut penuh nafsu saat akhirnya melepas ciuman mereka, menatap Draco tak percaya.

Draco hanya menjawab dengan nyengir malas.

Sebelum ciuman itu terjadi, mereka adalah musuh. Awal kelas 4, di perpus, Draco tak bisa menahan diri untuk tidak mendengus saat mendengar betapa konyolnya apa yang sedang Potter orasi kan pada teman-teman Hufflepuff nya. Draco biasanya tak pernah melibatkan diri apapun. Dia adalah anti-sosial, dia benci semua orang, dan Tak merasa butuh pada siapapun, selain ibunya. Tapi kata-kata Potter soal kesetaraan pada manusia srigala sungguh konyol, dan bahkan Draco tak bisa menahan dirinya.

"What Malfoy?" Tanya Potter, menyipit berbahaya pada Draco, yang hanya mengangkat bahu.

"Apa kau mendengar dirimu sendiri?" Tanya Draco geli, disamping heran bagaimana bisa Potter tahu namanya, padahal mereka tak pernah berinteraksi sebelumnya, dan Draco sama sekali tidak populer.

Mata Potter melotot garang. "Apa kau punya masalah dengan manusia srigala?"

Draco hanya mengangkat bahu. "Mereka makhluk berbahaya. Dan kau berpikir mereka harusnya mendapat tempat di wizengamot? Yang benar saja."

"Mereka hanya berbahaya sebulan sekali!" Ketus Potter. "Selain Hari itu, mereka sama normalnya dengan Kita!"

Draco memutar bola matanya. "Whatever," tandasnya, malas berdebat. Gryffindor selalu punya pola berdebat yang sama, keras, memaksa, tapi tak pernah benar-benar bisa memberikan argument yang bagus.

"Hei mau kemana kau? Kita belum selesai!" Bentak Potter. "Kau tak bisa berkata begitu soal manusia lain hanya karena mereka mendapat kondisi yang berbeda denganmu! Mereka juga tak minta untuk di gigit tahu!"

Draco mendesah. "Oke, terserah kau saja," kata Draco, lalu melanjutkan berjalan keluar perpus, memastikan semua barang sudah di tangannya.

Setelah itu, entah kenapa, Potter jadi sangat membencinya.

Draco tak tahu apa masalahnya, tapi segala sindiran, saling kutuk di koridor, makian, selalu Potter berikan padanya, seolah dia benar-benar tersinggung atas nama manusia srigala. Draco berusaha tak mengacuhkannya, tapi kadang dia Naik pitam juga. Dia balas menabrak bahu Potter saat mereka bersisipan jalan, kadang menarik rambut cewek itu tanpa alasan. Potter membuat tinta nya kering saat Snape memberi ujian tertulis dadakan, dan Draco akan balas menyandung kakinya sampai ramuannya jatuh berantakan.

Di akhir kelas 4, Draco menjadi cowok Paling waspada se-Hogwarts sampai dia merasa harus mendapat penghargaan. Dia selalu mengendus makanan dan minumannya, melihat langkahnya, membawa tinta cadangan, dan sudah berpikir untuk membawa alat makan dan minumnya sendiri seperti Moody. Setidaknya Potter juga menjadi sama paranoid nya seperti dirinya.

Masuk kelas 5, Draco berharap tingkah kekanakan Potter sudah berhenti. Diggory adalah ketua murid, jadi harusnya dia bisa mengendalikan pacarnya kan?

Tapi tidak, mereka harus menjalani detensi bersama di Hari pertama sekolah karena mcgonagall memergoki mereka saling kutuk di koridor. Membersihkan kelas Transfigurasi tanpa sihir.

Draco merasa sangat marah. Potter duluan yang mulai! Dia hanya membalas, karena Mana mungkin dia cuma diam saat tiba-tiba seseorang mengutuknya dengan tarantalegra kan?

Potter sudah di dalam kelas Transfigurasi saat Draco datang, bersedekap, cemberut, jelas berpikir bahwa mereka disini karena salah Draco.

Draco menggertakkan Gigi nya, Dan sepanjang detensi mereka saling sindir dan cela, sampai rasanya tak Ada manusia lain yang lebih buruk dari Satu sama lain.

Walaupun tak setiap Kali mereka seperti itu.

Seperti saat Draco sedang duduk di perpus sendiri seperti biasa, Potter tiba-tiba duduk di depannya.

"Oke, dari skala 1 sampai 10, seberapa cantik Hannah Abbot?"

Draco mendongak dari PR nya, menatap cewek itu seolah dia cewek Paling bodoh sedunia.

"Apa itu pertanyaan jebakan?" Tanya Draco sinis.

Potter nyengir. "What? Aku cuma ingin tahu bagaimana menurut asosial sepertimu."

Draco memutar bola matanya, memainkan pena bulu nya. "8."

Mata Potter melebar. "8?"

Draco kembali menulis. "Yup."

Potter terdiam. "Kau menyukainya?" Tanyanya lagi setelah terdiam lama.

Draco mendesah panjang. "Kau ini sungguhan ngga ada kerjaan ya?"

Potter mengangkat bahu.

Draco memutar bola matanya. "Tidak Potter. Aku tidak menyukai Hufflepuff. Tidak satupun oke?" Dia kembali menulis. "Sekarang aku mau ngerjain pr. Piss off."

Potter nyengir. "Kalau Hannah Abbot 8, jadi siapa yang 10?" Tanyanya, tampak duduk Makin nyaman di kursinya.

"Bukan kau yang jelas," tandas Draco.

Potter tertawa. "Sungguh? Aku melihatmu tak berkedip menatapku kemarin, saat aku selesai latihan Quidditch..."

Draco berusaha tak berjengit. "Yeah? Saat kau muncul hanya dengan kaus muggle yang cukup untuk di pakai anak umur 5 tahun, tanpa celana..."

Potter memutar bola matanya. "Aku pakai celana tahu. Mereka menyebutnya hot pants..."

Draco mendengus. "Jalang," gumamnya.

Potter tampak tak terpengaruh. Draco menyebutnya jalang setidaknya seminggu sekali.

"Jadi... Siapa yang 10 menurut Draco Malfoy yang apatis?" Tanya Potter lagi pantang menyerah.

Draco mendesah, tahu persis Potter tak Akan meninggalkan nya sebelum mendapat jawaban. "Ibuku," ketus Draco asal.

Potter tertawa terbahak mendengarnya.

Momen tanpa saling maki dan kutuk itu jarang terjadi, tapi ada. Tapi Draco tak pernah benar-benar memikirkan Potter sebagai seseorang yang pantas untuk disukai. Dia menyebalkan, keras kepala, dan manusia Paling sok suci yang pernah Draco temui, dengan moral yang tinggi. Cewek tanpa masalah, yang hidupnya sempurna, yang menganggap pola pikir orang lain yang berbeda darinya selalu salah. Dia sangat berbeda dari Draco, dan tak pernah terbersit keinginan untuk bersama gadis itu.

Rival. Mungkin mereka bisa dibilang begitu.

-dhdhdhdh-

Part 2.

Draco terdiam, menatap perapian ruang rekreasi Slytherin. Dia tak tahu kenapa pikirannya tak bisa beralih dari Potter. Potter yang sepertinya marah padanya, entah karena alasan apa. Draco tak ingat mengatakan sesuatu yang berbeda dari yang biasa dia katakan. Jadi apa yang membuat gadis itu menghindari nya bagai plak?

Draco berusaha mengingat. Dia memejamkan matanya. Mereka masih baik-baik saja minggu lalu. Lalu Hari senin yang menyebalkan datang. Mereka berpasangan mengerjakan proyek Ramuan. Yeah, mereka membawa proyek itu ke perpus. Draco mencari referensi, sementara Potter bertopang dagu, tampak sama sekali tak ingin mengerjakan proyek itu.

"Bukannya ibumu ahli ramuan? Kenapa kau bisa separah ini sih?" Tandas Draco kesal, tahu persis dialah yang akan mengerjakan proyek ini sendirian, kalau dia masih ingin nilai yang sempurna.

"Ayahku." Jawab cewek itu simpel, lalu mendesah. "Hanya saja dia jenius yang tetap mendapat nilai O walaupun benci pelajaran ini."

Draco mendengus. "Jadi ayah dan ibumu adalah intelek, sedangkan kau... Apa kau yakin kau bukan anak pungut?"

Potter melemparnya dengan pena bulu, membuat Draco terkekeh.

"Aku intelek juga tahu. Aku hanya tak suka Ramuan..."

"Hmm, aku tak mau menanggapi itu."

Potter menggeram. "Oke oke. Aku akan coba ikut membaca untuk proyek ini"

"Tak perlu. Kau jadi juru tulis saja. Percuma juga kalau akhirnya aku harus mengoreksi semua kata yang kau tulis."

Potter mencubit paha nya keras, membuat Draco Makin terbahak.

Mereka bekerja dalam diam sejenak, lalu Potter mendesah panjang. "Menurutmu..."

"Merlin, apalagi? Untuk orang yang membenciku, kau jelas meminta pendapatku lebih sering dari seharusnya..." Tandas Draco, masih sambil membaca.

Potter cemberut. "Karena kau jujur? Tak pernah memberikan jawaban hanya untuk menyenangkan ku?"

Draco mendesah. Gadis itu ada benarnya juga sih.

"Jadi menurutmu Malfoy, jika, jika kau misalnya sudah pacaran, let's say, setahun? Apa menurutmu, kau tahu, seorang cewek..." Dia terdiam. Draco mendongak, melihat wajah merah padam Potter. Draco terkekeh.

"What Potter?" Dia tahu persis apa yang Potter ingin katakan, tapi dia ingin melihat cewek itu Makin salah tingkah.

"Kau tahu maksudku!" Tandasnya sebal.

Draco nyengir malas. "Jadi kau dan diggory tak pernah melakukan seks sebelumnya?" Godanya.

Potter berjengit, menggigit bibirnya, wajahnya masih merah padam. "Masalahnya adalah, aku tak ingin melakukannya dengan Cedric."

Draco mengangkat sebelah alisnya. "Jadi kau tak sungguh-sungguh menyukainya?"

Potter meringis, Mata hijaunya menghindari tatapan Draco. "Aku tak tahu..."

"Kau tak tahu apakah kau menyukainya atau tidak?"

Potter mengangkat bahu. "Nah... Aku... Well, kurasa aku menyukai orang lain."

Draco mulai tertarik, dia bertopang dagu menatap gadis itu. "Jadi kau pacaran dengan diggory, padahal kau menyukai orang lain?"

Potter masih menghindari tatapannya. "I just... Yeah... Kurasa begitu."

Draco tertawa. "Kenapa kau tidak putus saja dari diggory kalau begitu?"

Potter mendesah, akhirnya menatap Mata Draco. "Tak bisa semudah itu. Seluruh keluarga besarku sudah sangat menyukainya. Kau tahu dia cowok idaman tiap orang tua, Mana dia ketua murid lagi..."

"Hmm, menantu ketua murid..."

"Yeah, ayah Dan ibuku keduanya ketua murid. Semua orang tahu aku juga akan jadi ketua murid nanti," Potter mengangkat bahu. "Jadi semua senang. Merasa seolah sejarah terulang kembali. Tradisi pasangan ketua murid. Dan kemampuan Cedric mengambil hati ayahku." Dia mendesah panjang. "Aku masih Lima belas tahun dan ayahku kayaknya sudah membayangkan pernikahan!"

Draco mendengus. "Potter," katanya dengan nada heran. "Yang pacaran dengan diggory kau atau ayahmu?"

Potter menggeleng. "Kau tak tahu bagaimana ayahku. Dia punya standar yang tinggi, Dan kurasa Cedric satu-satunya cowok yang masuk dalam standar itu..."

Draco menggeleng. "Well, tragis sekali ceritamu, kurasa. Tapi kalau aku jadi kau, akan kuputuskan diggory saat ini juga. Tapi kau jelas tak bisa bersikap tidak sok suci, jadi terserah kau saja." Dia nyengir malas. "Soal seks, lakukan saja. Itu kan cuma seks."

Potter mendengus geli. "Merlin, kayak asosial sepertimu sudah pernah melakukannya saja..."

Draco nyengir Makin puas. "Aku memang sudah pernah melakukannya Potter."

Senyum Potter langsung hilang. "Apa?"

Draco terkekeh, menggeleng. "Asosial atau bukan, aku masih suka cewek, Potter."

Potter menatapnya tergagap. "Apa... Tapi... Siapa yang mau dengan cowok sepertimu?"

Draco mengangkat bahu, agak kesal juga mendengar kalimat itu, tapi berusaha menyingkirkan nya. Kalimat Potter tak berarti untuk nya. "Bukan cewek Hogwarts, tenang saja," tandas Draco datar.

Potter masih menatapnya syok.

"Dengan tetanggaku. Squib. Dia cukup cantik, kurasa. Tiga tahun lebih tua, seksi luar biasa. Hmm, kurasa aku Akan menemuinya lagi saat liburan natal ini. Cewek yang tak terlalu banyak bicara, dan luar biasa di tempat tidur..." Desah Draco, matanya menerawang, masih teringat jelas kejadian musim panas kemarin, saat cewek itu membukakan pintu untuk Draco hanya dengan di balut handuk...

Potter tampak sangat tak senang mendengar ini, matanya menyipit marah. "Kau menjijikan," Desisnya.

Draco terkekeh. "Whatever. Intinya, kau yang populer masih perawan, dan aku yang asosial tidak."

Potter mendengus tanpa humor. "Cewek itu pasti putus asa sekali sampai mau denganmu..."

Draco tak terpengaruh. "Bisa jadi. Dia tiga Kali ke rumahku hanya dengan kaus kebesaran, tanpa celana dalam..." Katanya sambil kembali menulis.

Potter tampak Makin murka. "Mungkin dia pikir kau pelacur? Kutebak dia memberimu uang kan? Seperti ibumu..."

Draco mendongak cepat, Potter terkesiap, menutup mulutnya dengan tangan.

Draco menatap gadis itu tak percaya. "Apa kau bilang?" Desisnya, seluruh sell nya mndidih murka.

Potter menggeleng. "Draco... Aku tidak..."

Draco bangkit berdiri, membereskan buku-bukunya. Wajahnya merah padam. Kalau tak ingat Potter adalah cewek, sudah dia tonjok mulut bajingan itu...

"Draco... Please... Aku selip..."

"Selip?" Dengus Draco keji. "Luar biasa kan kau? Apa kau sering memakai nama ibuku untuk membuat lelucon?"

Potter menggeleng cepat, matanya berair. Tapi Draco tak peduli. Dia marah. Sangat marah. Kemarahan dan sakit hati karena kata-kata itu keluar dari mulut Potter...

"Kau bisa mengataiku semaumu. Tapi aku tak akan memaafkanmu kalau kau membawa-bawa ibuku," Desisnya, menatap benci Mata Potter yang masih membelalak, lalu pergi cepat dari Sana.

Draco membuka matanya, menatap perapian lagi. Dia ingat setelah itu, dia berusaha sebisa mungkin menghindari Potter. Potter hanya menatapnya dari jauh, memohon dengan matanya. Tapi Draco benar-benar sakit hati. Beraninya cewek itu mengatai ibunya pelacur...

Draco ingat Potter berusaha mengajaknya bicara soal proyek mereka, tapi Draco tak menanggapinya. Dia maju ke Snape, memohon sangat untuk meminta ganti partner. Snape menatapnya tak terkesan, tapi guru itu selalu menyukai Draco, karena kemampuan luar biasa Draco di pelajaran itu. Snape mengabulkan keinginan nya, memasangkannya dengan Blaise Zabini, sedangkan Potter mendapat Dean Thomas.

Potter menatapnya tak percaya saat Snape mengumumkan itu di kelas. Draco tidak menatapnya.

Draco teringat saat kelas Dua, beberapa anak yang tahu soal kehidupan nya di luar Hogwarts mengatainya anak pelacur. Ibunya bukan orang suci, Draco tahu itu. Tapi ibunya berusah keras membesarkannya seorang diri, melakukan apapun untuk menyenangkan Draco...

Ibunya adalah segalanya bagi Draco. Dan Draco tak peduli apapun yang orang lain katakan. Kepalanya tetap tegak berdiri, dan lama kelamaan orang bosan lalu berhenti mengatainya.

Tapi Potter...

Draco tak tahu kenapa kalimat yang sama, keluar dari mulut Potter, dan bisa menyakitinya secara mendalam...

Potter yang setiap Hari selalu mengatainya segala macam Hal...

Beberapa Hari berlalu setelah kejadian itu, saat Potter akhirnya berhasil menyudutkannya di koridor lantai 3, saat Draco berjalan menuju perpus.

"Draco, please. Aku sungguh minta maaf. Aku tak tahu apa yang membuatku berkata begitu. Please, jangan marah..." Kata Potter, matanya melebar, memohon,

Draco menatapnya dingin. "Kau tak perlu meminta maaf pada asosial sepertiku kan? Kurasa lebih baik kita tidak bicara lagi..."

Mata Potter makin melebar. "Please, jangan bicara begitu," dia meraih tangan Draco, meremasnya. "Ya? Kumohon, aku bersumpah tak Akan mengulang lagi. Aku benar-benar tak tahu apa yang kupikirkan bisa berkata begitu... Aku hanya... Aku kesal mendengarmu tidur dengan cewek lain, dan pikiranku berkabut..."

Draco mendengus, dia menatap Potter heran. "Apa hubungannya aku tidur dengan cewek lain denganmu?" Tandasnya. Dan betapa kagetnya dia saat melihat wajah Potter merona luar biasa. Draco merasakan perutnya mulas melihat reaksi tak terduga ini.

Potter mengangkat bahu, menghindari Mata Draco, menunduk. Tangannya masih menggenggam tangan Draco.

Lalu Draco terbahak. "Apa Potter? Sungguhan? Kau cemburu?" Tanyanya tak percaya.

Potter berjengit, melepaskan tangannya dari Draco, mengangkat bahu.

"Aku..." Potter tampak tak bisa berkata-kata lagi, wajahnya terbakar, sampai Draco bisa merasakan panasnya.

"Masa kau cemburu pada asosial sepertiku. Kau?" Draco kembali tertawa, hatinya hangat.

Potter memelototi nya. "You wish!" Bentaknya, tapi wajahnya masih sangat malu.

Draco menggeleng. "Well, kalau kau berjanji tak akan membawa-bawa nama ibuku lagi..."

"Aku berjanji," sahut Potter cepat.

Draco menatapnya, nyengir menggoda. Potter buru-buru menunduk lagi, menatap kedua tangannya.

"Jadi apakah kau tergila-gila padaku Potter?" Tanya Draco geli.

Potter hanya terdiam, memelototi tangannya.

Draco Makin semangat. "Apa kau masturbasi membayangkan diriku saat malam hari..."

Potter tergagap. "What? No!" Bentaknya, Kali ini berhasil menatap Mata Draco. "Jangan ke ge-er-an ya!"

Draco terkekeh. Sebenarnya dia tak tahu harus mengatakan apa, melihat Potter salah tingkah. Jadi dia kembali ke mode saling-kata-kataan mereka, dan berkata menggoda, "Well, kau harus tetap masturbasi, karena aku tak Akan pernah mau pacaran denganmu, sok suci Gryffindor..."

Potter mendongak kaget, menatap Mata Draco.

Draco nyengir. "Bisa-bisa aku muntah di tempat, kalau harus menghadapi sifat sok sucimu lebih lama dari biasanya. Atau darah tinggiku kumat. Well, kurasa kau harus puas dengan diggory kan? Cowok lenje yang bahkan tak kau sukai," katanya geli, menggeleng.

Potter menatapnya tanpa ekspresi Kali ini, tapi dia hanya diam. Wajahnya sudah tidak merona.

Draco mengangkat sebelah alisnya. Tumben cewek itu hanya diam saja. Biasanya dia akan membalas mengatai Draco habis-habisan.

Draco mengangkat bahu tak peduli. "Well, see you around," dia berbalik dan berjalan pergi. Hatinya masih hangat, langkahnya ringan. Potter. Menyukainya. Yah, mungkin Potter hanya tertarik karena Draco satu-satunya cowok yang memberinya penolakanmu, alih-alih mengiyakan semua kata-katanya...

Draco tak bisa berhenti memikirkan Potter sepanjang Hari itu. Dia Akan senyum-senyum sendiri mengingat wajah merona itu. Berpikir bagaimana reaksi Potter kalau Draco menciumnya...

Kalau Potter mau memutuskan diggory... Kalau cewek itu mau menerimanya... Draco menenggelamkan kepalanya ke bantalnya, tertawa terbahak, bersyukur karena dia prefek dan punya kamar sendiri.

Pacaran dengan Potter... Draco tak pernah memikirkan nya. Dia tahu dirinya punya status sosial yang jauh berbeda dari Potter. Potter, anak kepala Auror, anak ahli ramuan. Sedang Draco hanya cowok miskin yang tinggal di desa kecil, bersama ibunya yang bekerja serabutan. Potter, cewek populer, yang semua orang berharap bisa menjadi bagian dari dirinya. Sedang Draco cowok asosial yang selalu hanya di lihat sebelah Mata, tanpa Satu orang temanpun. Potter yang cantik, dengan Mata hijau besarnya, seeker Quidditch gryffindor... Sedang Draco, cuma cowok kurus yang kerjaannya hanya belajar, dan belajar, berharap bisa mengubah nasib dirinya dan ibunya.

Draco menatap langit-langit kamarnya. Kalau Potter mau menerimanya...

Draco menutup matanya. Senyum terkembang di bibirnya.

Draco mendesah menatap perapian lagi. Dia tak tahu dimana salahnya. Sungguh. Dia tak melakukan hal yang berbeda dari biasanya kan. Dia bahkan memaafkan Potter karena sudah mengatai ibunya. Dia pikir dia dan Potter akan baik-baik saja setelah itu. Walaupun tidak jadian, tapi setidaknya kembali ke rutinitas mereka yang biasa.

Draco bahkan berpikir, mungkin dia akan mengajak cewek itu kencan...

Draco mengernyit pada perapian itu, kembali mengingat.

Keesokan harinya setelah Potter meminta maaf soal ibunya, Draco berharap mereka bisa kembali jadi pasangan di Ramuan. Tapi Potter menghindari tatapannya.

Itu jelas. Saat berpapasan di koridor, biasanya Potter Akan memelototinya, atau memutar bola matanya. Atau mengatainya. Memberinya jari tengahnya. Tapi tak pernah sekalipun, sejak kelas 4, sejak mereka pertama berinteraksi, Potter tak mengacuhkannya.

Draco menatap punggung gadis itu tertegun. Bukannya mereka sudah baikan kemarin? Dan kenapa jadi Potter yang marah padanya. Apa salah nya?

Mungkin cewek itu tak melihatnya. Dia sedang asyik mengobrol dengan Weasley kan?

Draco berusaha tak memikirkannya.

Tapi fakta bahwa Potter marah padanya tak bisa di tolak keesokan harinya lagi, saat dia menghampiri Potter yang sedang duduk di kursi stadion Quidditch, sendirian, menatap langit dengan wajah lelah. Dia tak memakai seragam Quidditch, tapi membawa sapu, jadi Draco rasa dia hanya sedang senggang dan ingin terbang. Draco melihatnya saat akan menuju ke kelas herbologi untuk menanyakan PR nya pada Prof sprout, lalu berpikir bahwa pr bisa menunggu. Dia duduk di sebelah Potter, yang menoleh kaget menatapnya.

"Hei, apa yang kau lakukan di sini? Melamun sendirian?" Tanya Draco, nyengir malas padanya.

Potter menatapnya. Dingin. Membuat Draco agak kaget, tapi berusaha menutupinya.

"Tak Ada hubungannya denganmu," tandas gadis itu.

Draco mengernyit. "Kau ini kenapa sih? Kupikir Kita sudah baikan..."

Potter mendengus. "Baikan," katanya Kaku. "Right. " Lalu tanpa kata dia Naik ke atas sapu nya Dan melesat pergi, meninggalkan Draco yang hanya bisa menatapnya bingung. Hatinya yang hangat kini berubah dingin. Gadis itu kenapa sih?

Kesal, Draco berjalan kembali ke ruang rekreasi Slytherin, melupakan niat awalnya belajar herbologi.

Setelah itu, Potter bersikap seolah Draco sudah lenyap dari muka bumi.

Draco mendesah panjang. Besok sudah liburan musim dingin, dan dia Dan Potter masih tak saling bicara.

Dan mendadak Draco menyadari, tanpa Potter, hidupnya sangat sepi. Tak ada yang mengajaknya bicara selain guru. Tak ada yang mengajaknya berdebat. Tak ada yang membuatnya bergairah untuk mencari tahu suatu info, hanya agar bisa mengalahkan argumennya...

Tanpa Draco sadari, Potter sudah menjadi bagian dari hidupnya di Hogwarts...

-dhdhdhdh-

Part 3.

Draco mendesah panjang.

Ini Hari ketiga liburan natal. Dia sedang membuat makan malam seperti biasa. Sejak umur 8 tahun, Draco yang selalu menghandle dapur, dia suka memasak, yang membuatnya sangat Jago Ramuan juga. Dan ibu nya sangat mengapresiasi Hal ini, karena itu artinya dia bisa bekerja dengan tenang, tanpa memikirkan anak semata wayangnya kelaparan atau tidak.

Kali ini draco ingin membuat sesuatu yang hangat, yang dia harap bisa membuatnya lupa pada sikap dingin Potter padanya.

Ibunya menatapnya dari meja makan, mengangkat alis dari membaca novel Roman nya. Narcissa Malfoy adalah wanita sangat cantik berusia 33 tahunan, sudah menjadi janda sejak berusia 20tahun, bekerja keras karena seluruh hartanya Dan harta suaminya di ambil kementrian. Yang tersisa hanyalah uang untuk membeli apartment kecil mereka di sudut Wales, Kota kecil bernama Kellenville, dan walaupun sangat cerdas, tak Ada penyihir yang mau mempekerjakan istri pelahap maut, jadi dia harus bekerja serabutan dengan muggle. Narcissa punya hidup yang sangat sulit, tapi Satu yang pasti, dia sangat sangat mencintai Draco.

"Enam Kali," kata narcissa, menggeleng.

Draco bahkan tak menoleh menatapnya, masih memotong kentang, memastikan bentuknya sempurna.

"Kau mendesah panjang seperti anak tetangga depan yang sedang putus cinta."

Draco mendengus. "Really? Tak kusangka Playboy macam Andrew bisa putus cinta."

"Setelah 24 Kali pacaran, rupanya Ada Satu gadis yang menarik perhatiannya, tapi menolaknya," tawa ibunya, gosip mode-on.

"Baik untuknya," kata Draco lelah.

Ibunya menatapnya Tajam. "Kalau aku tak mengenalmu, aku juga akan berpikir kau sedang putus cinta," katanya tanpa celah.

Draco berjengit.

Ibunya meletakkan novelnya, menarik napas tajam, kaget dengan reaksi Draco yang tak di sangka-sangka. "Duduk," katanya, tak memberi ruang untuk protes. Draco mengerang, tapi meletakkan pisaunya dan duduk di depan ibunya.

Narcissa menatapnya lekat, Draco meringis. "Aku tidak sedang putus cinta Mum," katanya, mengusap rambutnya.

Narcissa hanya membalas dengan masih menatapnya tajam.

Draco mendesah. Lagi. "Oh baiklah. Aku hanya sedang berpikir tentang seseorang yang sepertinya marah padaku tanpa alasan yang jelas..." Katanya akhirnya, menyerah.

Ibunya mengangkat sebelah alisnya. "Cewek cantik?"

Draco mengangkat bahu. "Yeah," gumamnya.

Narcissa menatapnya takjub. "Aku bahkan tak tahu kau punya teman."

"Dia bukan temanku. Kami biasanya selalu kata-kataan setiap Kali bertemu," desah Draco, menatap keluar jendela. "Aku tak tahu apa salahku, tapi dia mendadak mendiamkanku."

Ibunya mengernyit. "Cewek tak mungkin marah tanpa alasan. Apa dia juga menyukai mu?"

Draco mengangkat bahu lagi. "Kurasa. Entahlah. Mungkin dia hanya memepermainkanku..."katanya, mengernyit dalam.

Narcissa menatapnya simpati. "Coba ceritakan padaku secara detail."

Draco cemberut. "Oh sudahlah Mum..."

"No way aku melewatkan kisah tragis cinta pertama anak kesayanganku!"

"Tragis... Merlin, Mum, jangan berlebihan..."

"Kau selalu bercerita semuanya padaku. Jangan Kira karena kau sudah 15 tahun, lalu bisa lupa padaku!"

Draco menatapnya sebal. "Kau cuma ingin mendengar gosip!"

Narcissa nyengir. "Hush. Humor me. Kau tahu aku membersarkanmu sendirian dengan Susah payah..."

"Oh baiklah baiklah! Astaga, kau selalu memberiku alasan itu dan entah kenapa aku selalu harus mengalah..." Gerutu Draco. Ibunya terbahak, mengacak rambutnya, membuat Draco Makin cemberut. "Apa yang ingin kau tahu Mum? Tak ada cerita spesialnya..."

Narcissa nyengir bersemangat. "Siapa cewek ini?"

Draco mendesah. "Anak Hogwarts."

"Aku tahu dia anak Hogwarts. Siapa namanya?" Tukas ibunya tak sabar.

Draco memutar bola matanya. "Harria."

"Dan apa dia tak punya nama belakang?"

"Tidak."

"Draco..."

"Astaga mum! Apa hubungannya sih kau tahu namanya atau tidak?"

Narcissa menatapnya kesal. "Oh baiklah kalau kau mau merahasiakan nya dari ibumu yang malang ini. Jadi kau jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama? Apa dia sangat cantik? Pintar? Aku tahu persis kau pasti tak mungkin suka pada cewek bodoh. Apa dia Ravenclaw?"

Draco mendesah lagi. "Aku tidak jatuh cinta padanya Mum. Tapi, yah, kurasa dia cantik. Mata hijaunya bagus. Pintar, dia calon terkuat ketua murid nanti. Dan... Well... Dia Gryffindor."

Ibunya membelalak. "Gryffindor? Kau suka pada cewek Gryffindor?" Ulangnya Tak percaya.

Draco meringis. "Yeah, begitulah."

Narcissa menggeleng. "Apa yang cewek ini lakukan sampai bisa membuatmu naksir?"

"Aku tak tahu Mum. She just..." Draco mengangkat bahu. "Aku tak pernah berpikir bisa pacaran dengannya. Kami sangat berbeda, dalam segala Hal. Seriusan Mum, aku sendiri tak tahu kenapa aku begitu peduli dia marah atau tidak..."

Narcissa mengernyit. "Tapi kau berpikir dia cantik kan? Kau berpikir bahwa dia cewek paling ok sesekolah?"

Draco mengetuk-ketuk jarinya ke meja makan mereka. "Yeah. Kurasa. Yeah."

"Kau terdengar tak yakin."

Draco tertawa tanpa humor. "Mum, kubilang kami terlalu berbeda kan? Mungkin ini memang jalan terbaik untuk tak berhubungan dengannya lagi."

"Apanya yang berbeda antara kau dan dia?"

"Well, dia selalu positif..."

Ibunya terkekeh. "Right. Dan kau selalu negatif. Lalu?"

"Dia populer, punya seabrek teman, bergaul dengan tanpa batas..."

Ibunya mengangguk-angguk. "Oke. Dan kau merasa tak butuh siapapun..."

"Dia sangat cantik..."

"Tapi kau juga tampan!" Protes Narcissa.

Draco menatapnya yang benar saja. Ibunya memutar bola matanya. "Seriusan Draco, kau menganggap dirimu lebih buruk dari yang seharusnya..."

"Yeah, whatever. Dan dia anak kepala Auror, tinggal di istana kurasa, punya sapu tercepat sedunia atau apalah..." Lanjut Draco. Ekspresi ibunya langsung berubah. Draco buru-buru meraih tangannya, meremasnya. "Mum, aku tak peduli pada semua itu. Aku sudah cukup senang dengan kau disini, menginterogasiku soal hal tak penting," kata Draco, tersenyum pada ibunya.

Narcissa balas tersenyum sedih. "Yeah, tapi tetap saja..."

"Tak Ada tapi Mum," tandas Draco final. "I love you. You love me. Thats all what we need."

Ibunya mengecup tangannya. Mereka terdiam, lalu ibunya berkata, "tapi disamping semua yang kau katakan, pasti cewek itu, Harria, melihatmu dengan kacamata yang lain. Kau cerdas. Kau vokal. Kau pekerja keras. Kau jujur..."

Draco terkekeh, bangkit dari kursinya, kembali memotong tomat untuk melanjutkan memasak. "Kami 15 tahun Mum. Kualitas seperti itu tak diperlukan..."

"Tapi tadi kau bilang kau merasa cewek ini naksir padamu!"

Draco mengangkat bahu. "Karena aku satu-satunya cowok yang Tak menunjukan ketertarikan padanya, mungkin. Dia Gryffindor. Entah apa yang dia pikirkan kan?"

Narcissa mengernyit. "Hmm, tak semua Gryffindor bodoh Draco. Aku ingat saat aku sekolah dulu. Ada seorang cowok Gryffindor yang membuatku tergila-gila..."

Draco menoleh, mengangkat alisnya tinggi, jelas baru tahu fakta ini. "What?"

Ibunya nyengir lebar. "Yup. Cowok manis, dengan kesabaran setinggi langit. Selalu menunduk saat berjalan..."

Draco mendengus. "Yang benar saja. Mana Ada Gryffindor yang begitu." Dia meneguk air di botol minumnya.

Narcissa tertawa. "Itulah yang membuatku penasaran. Dia berteman dengan sepupu Sirius yang bacot luar biasa, dan temannya yang tak kalah bacot, James Potter..."

Draco tersedak air nya. Ibunya menatapnya kaget, buru-buru bangkit untuk menepuk punggungnya.

"Kau seangkatan dengan James Potter?" Tanya Draco kaget.

Narcissa mengangguk. "Kau kenal dengan dia?"

Draco menggeleng cepat. "Nah. Hanya pernah membaca namanya di Koran..."

Ibunya menatapnya curiga. "Hmm?'

"Jadi kau naksir teman sepupu Sirius?" Tanya draco, berusaha mengalihkan perhatian ibunya.

Narcissa mangangguk, kembali duduk. "Yup. Tapi karena aku sudah tunangan dengan ayahmu waktu itu, aku tak pernah melakukan apapun. Tahu aku tak akan punya kesempatan sama sekali dengannya. Dia darah campuran, kau tahu betapa tabu nya mereka di keluarga Black yang terhormat. Dan Gryffindor, tabu nomor dua. Dan... Well... Manusia srigala..."

Draco melongo. "What?"

Ibunya tertawa,. menggeleng. "Kalau aku menunjukan keinginan untuk bersama cowok ini dalam Hal apapun, bisa-bisa dia dibunuh oleh ayahku kan? Oh yeah, Satu lagi, dia selalu pakai baju lusuh, kau tahu, secondhand..."

Draco meringis. Tahu benar kakeknya dari cerita panjang ibunya dulu. Dan cowok srigala ini jelas tak butuh masalah lain dalam hidupnya...

"Intinya. Itu Masa lalu. Dimana prasangka masih menjadi Hal yang di junjung tinggi. Tapi sekarang, sekarang Masa yang berbeda, Draco. Kau mungkin tak melihat kualitasmu sejelas gadis ini, Harria, menatapmu." Kata narcissa, tersenyum mendukung.

"Dia selalu mengataiku asosial mum. Dan aku selalu mengatainya sok suci. Atau jalang. Tergantung situasi," kata Draco, mengernyit , melupakan tomatnya.

Ibunya mengangkat bahu. " Kau memang asosial kan?"

Draco menggeram. "Yeah, yeah. Dan itulah yang membuatku bingung. Kami selalu kata-kataan, Dan Tak pernah sekalipun sakit hati..."

Narcissa menatapnya Tajam. "Kata-kata apa yang terakhir kau ucapkan padanya?"

Draco mengangkat bahu. Dia menatap jendela lagi. "Just... Kami bertengkar karena... Karena sesuatu..." Katanya akhirnya, memutuskan bahwa percuma menutupi apapun dari ibunya, yang Jago mengorek-ngorek. Harusnya ibunya menjadi Intel karena kemampuan luar biasa untuk membuat orang bicara ini

"Sesuatu apa?"

Draco mendesah, bersandar di konter dapur. "Dia mengatakan sesuatu yang membuatku marah. Lalu aku mendiamkannya. Dan... Dan dia meminta maaf. Dia bilang... Dia bilang dia selip karena marah karena... Well... Karena aku cerita padanya soal cewek lain, kau tahu tetangga sebelah, Rebecca..."

"Kau cerita padanya kau tidur dengan Rebecca?" Ibunya mengangkat sebelah alisnya.

Wajah Draco merona luar biasa. "Kami sedang mengerjakan soal Ramuan, Dan dia cerita duluan padaku kalau dia tak mau tidur dengan pacarnya," kata Draco membela diri.

Ibunya membelalak. "Si Harria ini udah punya pacar?"

Draco mengangguk. "Satu alasan lagi kenapa aku tak pernah memikirkan soal berkencan dengan nya..."

"Seperti apa cowok itu?"

Draco mendesah. "Hufflepuff. Boring. Ketua murid. Pemenang turnamen Triwizard tahun lalu. Kapten Quidditch. Dan cowok Paling populer sesekolah."

Ibunya berjengit. "Well..."

Draco mendengus. "Aku tahu Mum, aku tahu. Dia sempurna kan? Jadi cewek ini... Bercerita padaku bahwa dia ingin putus dari Diggory, itu nama cowoknya, Dan Tak ingin tidur dengannya, karena dia menyukai cowok lain..."

Narcissa terkekeh. "Yaitu kau?"

"Dia tak bilang begitu Mum."

"Tapi jelas tersirat kan? Dia tak mungkin cerita begitu padamu kalau tidak."

Draco mengernyit. "Dia hanya ingin tahu pendapatku apakah etis menolak pacarnya yang sempurna untuk tidak melakukan hubungan intim setelah setahun pacaran Dan seluruh keluarga besarnya merencanakan pernikahan mereka..."

"Padahal tadi kau bilang dia punya banyak teman cowok? Kenapa harus cerita padamu, musuh bebuyutannya?"

Draco mengangkat bahu. "Karena aku jujur? I won't spare her feelings..."

"Atau dia ingin tahu reaksimu kalau dia bilang dia masih perawan dan ternyata ingin putus dari pacar aslinya..."

Draco menggeleng. "Imajinasimu terlalu liar mum."

"Lalu? Apa yang kau katakan?"

"Aku bilang padanya lakukan saja. Maksudku, ini kan cuma seks..." Wajah Draco merona lagi, selalu tak nyaman jika membicarakan Hal ini dengan ibunya.

Narcissa mendesah panjang. "Draco. Kau ini memang sungguh nggak sensitif ya?" Dia menatap Draco tajam.."bagi seorang cewek keperawanan it harga yang sangat Mahal."

Draco mengangkat bahu. "Well, Mana aku tahu kan? Dia meledekku masih perjaka, jadi kukatakan padanya soal... Soal Rebecca... Dan dia marah Dan mengatakan sesuatu yang membuatku sungguhan murka padanya... Tapi lalu dia meminta maaf, Dan berkata semua itu dia ucapkan karena marah mendengar aku sudah pernah melakukan nya..."

Ibunya tertawa. "Terdengar seperti cemburu..."

Draco mengernyit. "Kupikir juga begitu. Jadi aku menggodanya, bertanya apa dia cemburu? Apa dia diam-diam naksir aku? Dan... Dan dia tidak membantah Mum..."

Ibunya cekikikan lagi. "Lihat? Jelas sekali kan? Kalau dia nggak naksir kamu, dia pasti sudah menatapmu seolah kau sudah gila," katanya, matanya bebinar.

Draco mengusap rambutnya lagi. "Kupikir juga begitu Mum. Malam itu... Semalaman aku berpikir akan mengajaknya kencan... Berpikir bahwa... Kalau dia mau menerimaku... Aku akan berusaha untuknya..." Dia mendengus. "Tapi besok paginya, mendadak dia cuek, marah entah karena apa..."

Ibunya mengernyit. "Well, kau tidak bicara yang aneh-aneh menurutku. Kau hanya menggodanya kan? Dan dia hanya diam, dengan wajah merah padam kurasa..."

Draco mengangguk. "Yeah, aku menggodanya... Kubilang padanya juga kalau aku ngga mau sama orang sok suci sepertinya..."

Ibunya membelalak. "What?"

Draco mengangkat bahu. "Itu kata-kataan biasa kami. Kubilang aku bisa muntah kalau lama-lama melihat akting sok sucinya. Tapi dia tahu aku tak serius berkata begitu kan?"

Ibunya tergagap. "Oh my God. Draco..."

"What? Seriusan mum, it's not a big deal buat kami. Aku pernah mengatainya dengan Hal yang jauh lebih buruk dan dia tetap santai saja!"

Narcissa berdiri, menggebuk kepala Draco keras.

"AAU! MUM!"

"itu hukuman karena sudah sangat tak sensitif pada perasaan cewek," tandas Narcissa, melotot. "Aku tidak Susah payah membersarkanmu untuk jadi cowok yang jahat pada wanita!"

Draco tergagap, masih memegangi kepalanya.

"Merlin Draco, kau beruntung cewek ini tidak mengutuk mu sampai ujung dunia. Kurasa dia punya tingkat kesabaran yang tinggi. Kalau aku jadi dia, entah apa yang Akan kulakukan," ketus Narcissa lagi.

Draco masih mematung syok. "But mum..."

Narcissa mendesah, menunjuk kursi. Draco dengan patuh duduk. Narcissa duduk di depannya.

"Draco, aku tahu ini semua salahku juga, kau jadi cowok asosial. Tanpa empati," desahnya. "Tapi biar kujabarkan ini padamu. Kau menolaknya."

Draco tampak seperti habis kesambar petir.

Narcissa akhirnya menatapnya simpati. "Cewek ini setengahnya Susah payah mengakui kalau dia naksir kamu, Dan yang kau lakukan adalah bilang kau Tak sudi jalan dengannya?"

Draco tergagap lagi. "Tapi kami biasa kata-kataan begitu Mum!"

"Tapi tidak saat dia sedang mengutarakan cinta padamu dong, Draco sayang..."

" tidak sedang mengutarakan cinta! Dia bahkan ngga ngomong apa-apa!"

"Tapi kau menunjukan kalau kau tahu perasaanya, mengonfirmasinya, Dan dia tidak menolak..."

Draco sungguh tak mengerti.

"Draco, cewek beda dengan cowok. Tak semua Hal harus tersurat. Bagi cewek, yang tersirat pun masih sah..."

Draco hanya bisa terdiam, tak tahu harus berkata apa.

"Kalau kau memang naksir dia, coba katakan dengan jelas padanya. Tanpa kata-kataan. Aku yakin dia akan memaafkan mu," kata Narcissa baik hati. "Katakan bahwa kau tak bermaksud menolaknya. Bahwa kau juga suka padanya. Bahwa kau berpikir bahwa dia sangat cantik, dan hidup mu hampa tanpa dia..."

Draco menatap ibunya seolah ibunya sudah gila. Narcissa terbahak.

"Trust me. Lakukan itu, Dan dia Akan melupakan semua kebodohanmu."

Draco mendesah panjang, menatap salju di luar jendela yang sudah mulai turun.

Mungkin saja...

-dhdhdhd-

Bersambuuung

Serial baru wkwkwk.. tapi cuma beberapa chapter. Lima Paling banyak. Yukk coba di review guyss