This is Home
.
.
.
A SasuSaku fic.
by ceruleanday
August, 2010
.
Disclaimer : Kishimoto Masashi
All Naruto properties belong to Kishimoto Masashi. I'm just an imaginary girl in wonderland who borrows his masterpiece.
AU, Historical Moment in Japan, Request fic from mysticahime. (Hope you like it. ^^)
(First Page)
August, 6 and 9, 1945.
Amerika Serikat menyatakan perang pada Sekutu Asia.
Pearl Harbour membalas serangan udara tentara sekutu.
Hentikan perang itu. Hentikan tangis derai air mata itu. Untuk mereka… Ya. Hanya untuk mereka.
Mereka.
.
.
.
Anak-anak… yang tak berdosa.
'Untukku… Demi masa depanku…'
I've got my memories.
They're always inside of me.
But I can't go back, back to how it was.
I believe now, I've seen too much.
But I can't go back.
Back to how it was.
Created for a place I've never known.
.
.
Selusur pagar di loteng adalah tempatku mengadu pada dunia. Kurasakan hembusan udara pagi yang sangat bersahabat—menghirup lega nafas Tuhan untukku dan untuk kami. Aku dan yang lainnya mengerti kenapa Tuhan masih memberikan nafas berupa partikel kecil oksigen di udara ini bagi manusia, meski sekarang hingga entahlah berapa tahun lagi, bumi akan segera hancur oleh tangan-tangan manusia itu sendiri. Itu semuanya…
Karena Ia tahu. Ia paham. Ia melihat. Ia pun mendengar. Ia mendengar doa kami…tepatnya.
Aku dan lainnya telah lama berpijak pada dunia buatan ini selama lebih dari sepuluh tahun—sejak aku masih berusia lima tahun. Jadi, usiaku sudah menginjak lima belas di tahun ini. Terkadang aku berkhayal sembari melongo menatap awan dari loteng kelas, kenapa di langit yang sama ini tidak terasa sama oleh anak-anak lain di luar sana. Aku bersyukur sebab Tuhan masih memberiku nafas sekali lagi sejak saat itu. Ya. Sejak puluhan rudal mesin terbang besi itu berdatangan menghujani langit-langit negeri kami.
Kulihat kalender usang yang menempel di dinding-dinding keropos kamarku. Sekarang. 6 Agustus 1955. Tepat sepuluh tahun yang lalu. Ya. Sudah sepuluh tahun aku tak melihat wajah ayah dan ibuku lagi…
Aku mengadu—lagi—pada Tuhan di kapel. Aku sudah tak bisa menangis. Airmataku sudah begitu kering dan mungkin saja sudah kuhabiskan sejak pria-pria bertubuh besar dan berpakaian serba hijau itu memperlihatkan wajah tenang ayah dan ibu di depanku. Mereka… tertidur begitu lelapnya. Meski berteriak sekalipun, mereka tak jua bangun. Orang-orang di sekitarku menangis entah untuk apa. Untukku kah? Ataukah untuk ayah dan ibuku? Hmm, aku tidak tahu. Tapi… saat ini aku hanya ingin memandang awan saja, berharap kumpulan awan itu bisa membentuk tekstur wajah ayah dan ibu. Konyol.
Aku menghela nafas, membiarkan desau angin segar menyibak rambut hitamku. Hingga menit-menit setelahnya, aku tertidur sembari menyandarkan daguku pada selusur pagar aluminium di loteng kelas. Bau mentol segar menyapaku. Melirik dengan ekor mata, kulihat guru bahasa inggris yang kubilang sok kebarat-baratan itu menghembuskan asap hitam pekat dari bibirnya.
Hatake Kakashi. Mantan prajurit atau lebih tepatnya pejuang yang kini hanyalah seorang guru bahasa inggris di sekolah yayasan panti asuhan anak-anak korban tragedi Hiroshima-Nagasaki. Tipikal guru yang suka mengungkit-ungkit masa lalu siswa-siswinya dengan cara bicaranya yang terlalu rumit. Kini, dengan pengalaman pernah menjalani pelatihan di barak-barak mengerikan di Phoenix—US, jadilah ia sang English teacher. Ralat. The most weirdo English teacher.
"Hari ini awannya sedang bagus ya."
Kembali ia menghembuskan asap-asap pembakaran tembakau itu. Rokoknya membuatku sesak.
"Hei. Kudengar hari ini ada pendatang lagi. Kulihat sepintas dari ruangan Sarutobi-sama, dia memiliki rambut aneh. Bukan seperti nihon-jin." katanya dengan santai. Malah, kubilang sangat terlalu santai.
"Apa peduliku. Dan oh ya, menurutmu, rambutmu sendiri tidak aneh apa? Jangan menge-judge orang kalau sendirinya juga weirdo." kataku menimpali, membuat raut wajahnya menjadi kusut.
Ia mengikik sembari menekan ujung rokoknya dan dibuangnya ke sembarang arah, "yeahh, kau benar. Weirdo. Istilah itu kenapa tiba-tiba jadi nge-tren ya sekarang? Siapa yang membesar-besarkannya?"
"Tanyakan saja pada rambutmu itu, Sir." jawabku mengejek. Ia masih mengikik saja.
"Kurasa kau benar. Aku harus bertanya pada rambutku, kecuali… kalau ibuku bukan nihon-jin. Separuh hidupku saat ini kuhabisi dengan berlatih fisik dan juga mengasah kecerdasanku di Phoenix. Almarhum ibuku merahasiakan identitas ayahku yang imigran gelap itu. Tentu saja, meski sudah ada cerita seperti kasusku, perang takkan berhenti begitu saja. Kau mau tahu tidak bagaimana rasanya dilahirkan sebagai sosok yang tak jelas identitas warga negaranya di masa sekarang?"
Jelas sekali kalau orang ini tengah melemparkan sebuah rubiks yang sudah terpecah-belah ke arahku. Dan aku paling benci dengan pertanyaan psikologis macam begitu. Aku mengalihkan perhatian ke arah langit—berharap awan-awan itu membentuk sesuatu yang bisa kujadikan jawaban.
"Aku masih lima belas tahun, Sir. Tak paham soal politik dunia." jawabku sok polos. Sebenarnya aku hanya ingin cepat-cepat mengakhiri percakapan ini.
"Astaga. Jadi, selama Homura-sama mengajar, apa yang kau lakukan di kelasmu, Sasuke? Tidur? Berkhayal? Atau…"
"Hn. Tidur."
Ia terkekeh pelah dan menepuk-nepuk pundakku dengan tangan kekarnya.
"Kita akan merdeka, Sasuke. Kita pasti akan merdeka."
Kepalaku menoleh—mendapati senyum ramah yang terpatri oleh bibir guru nyentrik ini. Masih saja aku tak percaya bagaimana orang macam dia bisa menjadi guru bagi kami. Lagipula, bukannya yang ada di otaknya itu hanya strategi bertahan hidup, strategi perang dan menghindari musuh, ataupun cara-cara bertarung dengan tangan kosong. Itu kan yang dilakukan oleh para prajurit kebanyakan? Beruntung saja kalau bisa hidup sampai sekarang sebab kematian adalah kunci dari perjuangan mereka.
"Kita sudah merdeka dari seabad lalu, Sir. Yang belum merdeka itu hanya pikiran kita saja. Ideologi. Itu kan intinya?"
Pria 'beruban' itu mengangguk sekali. "Kurasa kau tidak sepenuhnya tertidur selama pelajaran Homura-sama. Buktinya, otakmu masih saja encer mengenai ilmu sejarah."
"Aku membaca, Sir. Membaca." tukasku dengan penekanan di tiap katanya.
"Iya, iya. Aku tahu itu. Lalu… kau tak mau bergabung dengan teman-temanmu di bawah? Semuanya pasti akan senang sekali saat kedatangan anak baru. Katanya, saudari mereka akan bertambah satu lagi. Apalagi si Uzumaki itu. Dia-lah yang kurasa paling excited dengan berita mengejutkan hari ini."
"Hn. Begitu?" kurasa kalimatku bukanlah suatu pertanyaan, tetapi lebih kepada permintaan kejelasan.
Lagi. Ia mengangguk. "Anak perempuan sepertinya. Rambut pendek yang suka menunduk. Kasihan sekali dia. Kudengar dari balik pintu yang sedikit terbuka itu, kematian orang tuanya disabotase. Ayahnya adalah duta besar yang dikirim PBB ke Jepang untuk menyelesaikan serpihan-serpihan noda tragedi sepuluh tahun yang lalu. Seseorang atau mungkin sekumpulan orang yang tak suka dengan langkah PBB mungkin yang menjadi penyebab di balik kematian ayahnya. Hufft… bisa-bisa perang dingin ke-dua terjadi."
"Hn." jawabku singkat. "Nanti saja kulihat. Aku masih mau di sini."
Kakashi mengacak-acak rambut 'beruban'nya yang sangat pucat itu—mengikuti arah angin yang berdesau. Wajahnya berkerut, sepertinya ia sudah checkmate.
"Dengarkan aku Sasuke. Kau, Uzumaki, Inuzuka, Akimichi, Yamanaka, dan yang lainnya memang berbeda. Tapi… di tempat ini, kita semua sama sebab we're connencted by bond. A bond called brotherhood. As a family. Jadi, kau dan lainnya adalah satu keluarga. Harus saling mendorong dan membantu. Bagaimanapun juga, kau harus menemui saudari barumu hari ini. Today and now." ujar Kakashi dengan raut wajah serius. Aku sudah kesal kalau dia memperlihatkan kilatan onyx dari satu matanya itu. Jangan salahkan aku kalau aku tidak memperhatikan mata kirinya sebab bola mata kirinya sudah hilang entah ke mana akibat perang dulu.
"Nanti malam akan ada acara penyambutan. Hanya makan malam, tetapi kita semuanya berusaha membuat saudari barumu itu merasa nyaman dengan rumah barunya. Jiwanya harus dikembalikan seperti semula, Sasuke. Karena… ia adalah anak-anak, sama sepertimu sepuluh tahun yang lalu." tambahnya dengan tekanan. Dahiku semakin mengkerut saja.
Pria berpakaian bak militer itu berbalik dan menjauhiku. Ia memantik-mantikkan kembali bunga-bunga api di pucuk rokoknya dengan korek kayu. Aroma mentol aneh itu tiba-tiba menguar lagi dari kejauhan. Bisa kudengar, meski kecil, ia menyeringai.
"Rokok buatan luar memang yang paling enak. Seandainya saja aku tinggal di Phoenix sampai mati. Hmm. Tapi…"
"…"
…kalau begitu, Japan will never have a hero like me."
Tsk. Sombong sekali dia. Bukan. Sombong dan weirdo.
Angin membawa sebuah kabar berupa hembusannya yang menyegarkan. Jasnya yang berkibar bersamaan dengan rambut uban-nya itu terlihat begitu bijaksana di mataku. Kini, aku mulai paham mengapa kepala sekolah mengizinkan veteran perang dunia ini tuk menghabiskan sisa hidupnya yang menyedihkan di panti asuhan terbesar bekas pabrik senjata di ibukota negeri ini. Aku tersenyum kecil—menyadari betapa sulitnya menjalani hidup yang tak sempurna di zaman ini. Di sebuah zaman di mana anak-anak sulit mendapatkan tawanya dari dunia…
Ayah… Ibu… rupanya, aku memang tak sendiri meski terkadang aku masih bertanya-tanya letak rumahku yang sesungguhnya…
.
.
This is home.
Now I'm finding where I belong.
Where I belong.
Yeah, this is home, I've been searching for a place of my own.
Now I've found it.
Maybe this is home.
Yeah, this is home
Bulan menggantikan posisi sudut lintang dan bujur mentari. Langit berubah hitam pekat tanpa ada penghias kerlap-kerlip. Kemilau rembulan menjadi satu-satunya sinar terbesar dari arah sana. Jauh sekali. Sangat jauh. Aku sering mendengar kisah dongeng dari para pengasuh waktu aku masih enam tahun. Mereka, sebelum aku tidur, pasti akan menceritakan kisah Putri Kaguya padaku. Kadang aku bertanya-tanya, memangnya apa isi bulan sampai-sampai seorang putri pun sangat berkeinginan mencapainya.
Bukannya isi bulan hanya pasir dan bebatuan? Apa asyiknya? Itu yang kutahu melalui buku cetakan edisi pertama maestro astronomi dunia—Galileo Galilei—dari perpustakaan umum gedung inti panti asuhan anak-anak korban perang ini.
Usia lima belas tahun tak menjadikanku sebagai remaja dengan hormon yang meledak-ledak. Kalau ada jam kosong, maka aku memilih bersimpuh di kapel atau di perpustakaan. Di kapel hanya untuk berdoa dan pengakuan dosa—itu sih karena aku sering tertidur saat pelajaran Homura-sama di kelas. Di perpustakaan? Tentu saja membaca buku-buku tua using dan reot. Dari balik rak-rak tinggi itu, seringkali kudengar kikikan. Entah kikikan itu ditujukan padaku atau tidak, yang jelas sangat mengganggu konsentrasi membacaku. Kalau sedang sial, maka jangan harap aku bisa membaca atau berdoa dengan tenang bila si Uzumaki yang sangat suka makan ramen itu bergelayutan di sekitarku. Maksudnya, bullying me!
Suatu hari, seorang gadis bernama Sasame Fuuma menerjangku dari arah depan. Saat kutanya ada apa, tiba-tiba di menyodorkan sebuah surat ke arahku dan setelahnya, ia lari terbirit-birit. Memangnya dia sedang melihat hantu ya? Apa aku se-mengerikan itu. Hn. Entahlah. Dan saat berikutnya, penasaran pun membuatku membuka isi dari amplop yang entah kenapa memberikan efek pusing. Kubaca dengan seksama seluruh potongan kata-kata dalam surat itu, lalu…
…Uchiha-san… Atashi… Atashi ga… Aishiteru!
Hahh… surat ke-dua puluh sembilan yang berintikan sama. My Lord, aku ini tidak pantas disukai, ralat, dicintai oleh saudariku sendiri. Hei, kata suster dan guru-guru kami, semua anak-anak penghuni panti kami adalah satu keluarga. Kami saling menyayangi hanya dalam artian bersaudara saja. Simbol panti asuhan ini saja adalah rantai yang melingkari sosok anak laki-laki dan perempuan, kemudian ada tulisan kanji yang artinya 'kita keluarga besar'. Jadi, jangan salahkan aku kalau aku menolak semua surat-surat macam begitu.
Aku belum melaksanakan perintah Kakashi. Hingga selarut ini pun, tak ada terbersit niat di kepalaku untuk menemui saudari baru kami. Di ruang tengah sedang ada makan malam besar, dengan semua guru dan pengasuh yang juga ikut bersama. Tapi, lagi-lagi aku memilih berdiri sendirian di balkon ruang tengah—membiarkan musik-musik klasik Antonio Vivaldi atau musik tradisional Kyoto memenuhi bagian-bagian yang kosong di ruangan itu.
Sosok saudari baru kami tengah terduduk lesu di salah satu kursi makan. Saat kulirik dari ekor mataku, sepertinya ia terlihat sangat tegang. Takut? Mungkin. Ia tak punya sanak keluarga di Jepang. Bahkan mungkin, ia sama sekali tak mengerti bahasa Jepang. Yang dikatakan Kakashi siang itu kurasa benar. Rambutnya berwarna merah muda, lagi-lagi ada weirdo di panti asuhan ini, dengan boneka teddy merk luar negri yang selalu dipeluknya. Kepalanya tertunduk dan tampak tak menikmati sapaan ramah dari kami semua.
Sejenak aku meluruskan pandanganku terus-menerus ke arah gadis itu. Kuperkirakan usianya mungkin beda setahun atau dua tahun di bawah dari usiaku. Jarak balkon dengan meja makan berbentuk silinder dua dimensi dan panjang itu tak begitu jauh, hanya saja karena ia duduk di ujung terjauh dari jarak fokus mataku, aku tak bisa melihat jelas warna iris mata dan juga… wajahnya.
Prosesi makan malam yang sangat hangat itu berakhir. Kini, sang kepala sekolah mulai melakukan tradisi lama yang selalu dijaganya dari tahun ke tahun. Mendongengkan kami semua—meski aku yang sudah lima belas tahun ini—dengan kisah-kisah menakjubkan dari alam mimpi. Once Upon A Time… Selalu saja diawali dengan kata-kata itu. Sungguh membosankan. Namun nyatanya, aku masih terdiam sendiri di sini dengan kedua telinga yang terpancang—menjaga resonansi suara sang kepala sekolah agar bisa kudengar juga.
Gelak tawa dari Naruto bisa kudengar. Dasar dia itu. Sebenarnya usianya berapa sih? Sudah setua ini, masih saja kelakuannya seperti Konohamaru—cucu termuda kepala sekolah yang sering mengekor di belakang Naruto. Usianya baru saja menginjak tujuh tahun bulan april kemarin.
…Satu hari, sang pejuang tengah menyiapkan pelurunya untuk mempertahankan diri dari serangan para pria bertubuh besar dan tinggi itu.
…lalu, ratusan bom berjatuhan layaknya hujan di malam hari.
…lonceng-lonceng berbunyi keras, begitu pula dengan sirine ambulans.
…semuanya mati, tak ada bersisa. Namun, hanya ada satu yang hidup. Ya, hanya satu…
…ialah kini yang berdiri di hadapan kalian semua, anak-anak…
Aku berusaha menyembunyikan senyumku. Sesekali, dongeng itu boleh berasal dari kisah nyata sang pendongeng kan?
Aku berjalan mendekati kerumunan anak-anak berbagai usia yang mengelilingi Sarutobi-sama—sang penolong kami. Aku memilih duduk bersila di ujung paling belakang kumpulan anak berusia delapan atau sembilan tahun. Bisa kulihat, sudah ada yang tertidur lelap sembari mengemut jempolnya dengan paha sang kawan seperjuangan sebagai bantalnya. Mainan robot-robotan tengah dipeluknya erat. Lagi. Aku tersenyum kecil.
Kemudian, kepala sekolah berdiri dari kursi makannya dan memanggil saudari baru kami. Sang kepala sekolah mendekati lingkaran kami dan duduk bersila bersama kami. Kini, akhirnya… Aku bisa melihat dengan jelas wajah, iris mata dan juga tekstur teddy bear-nya. Boleh kubilang… saudari kami adalah gadis yang sangat cantik. Sangat cantik…
Wajahnya yang putih karena terkena pancaran sinar lampu chandelier dan lilin-lilin berwarna-warni semakin membuatku tak berhenti menatap lurus ke arahnya. Sang kepala sekolah membisikkan sesuatu di telinga gadis mungil itu dan sungguh ajaib! Sedikit demi sedikit, wajahnya yang terus tertunduk itu kemudian diangkatnya pelan-pelan hingga…
Suara decak kagum dari para lelaki seusiaku membahana. Dan aku? Hanya memeluk kaki sambil membulatkan mata.
"Cantik…" bisikku di luar kesadaranku sendiri.
"Namanya Sakura, anak-anak. Mulai hari ini, Sakura akan menjadi saudari baru kalian."
Suara kepala sekolah memecah kesunyian di sudut paling ujung otakku. Aku tersentak kaget dan kembali memfokuskan pengelihatanku. Jadi… namanya Sakura? Sesuai dengan warna rambutnya.
"Ano! Sarutobi-sensei, bolehkah aku bertanya pada Sakura-chan?"
Seorang anak perempuan yang kutahu bernama Yamanaka Ino menaikkan sebelah tangannya ke langit-langit—seakan tengah menunjuk ke arah lampu-lampu kristal yang berwarna mengkilat di atas kami. Kepala sekolah mengangguk dan mempersilakannya bertanya.
"Ng, apakah kamu bukan orang jepang? Namamu sih seperti nihon-jin tapi… warna rambutmu aneh."
Kembali, wajah gadis itu tertunduk dan semakin mengeratkan pelukan teddy bear-nya yang berwarna coklat usang. Namun, jawaban seorang Inuzuka Kiba malah seakan menggantikan suara gadis bernama Sakura itu. "Kenapa kau tidak bertanya pada dirimu sendiri, Ino? Rambutmu juga pirang, mirip seperti orang amerika. Huh."
Bogem mentah berupa cubitan maut ala Yamanaka Ino menjadi balasan sementara. Yang lainnya terkikik keras, begitu pula dengan Sakura. Ah, aku bisa melihat senyumnya untuk pertama kalinya.
Sarutobi-sama kembali membisikkan sesuatu ke telinga gadis berambut merah muda itu. Reaksinya sungguh membuatku terkejut. Ia menjawab pertanyaan Yamanaka tadi dengan bahasa asing yang kuyakini adalah bahasa Rusia.
"Нет, я не являюсь(1)…"
Semua mata menoleh ke arah sang empunya suara. Wajah-wajah bingung begitu pula dengan keheningan sesaat tersebar luas di ruangan ini. Suara detik jam kuno di ruang tengah yang sangat hangat ini terdengar begitu eksplisit di telingaku. Karpet-karpet Turki yang melindungi kami dari lantai-lantai keramik yang dingin menjadi satu-satunya hal yang mampu mencairkan suasana kurang nyaman ini.
"Russian. Itu… Itu bahasa Rusia, Sir." ucapku tiba-tiba. Dan betapa bodohnya aku, kini semua mata berpaling ke arahku. Tsk, kau hebat Sasuke, pikirku dalam kepala. Kau sudah membuat semua mata tertuju ke arahmu.
Hijau. Jade, kurasa. Mata emerald itu membulat sebentar ke arahku. Dari balik sela-sela kumpulan anak-anak yang menutupiku dari pengelihatannya, ia tampak berusaha mengenali suaraku. Keheningan menyesakkan menjadi pengalih perhatian gadis itu padaku. Aku merasa sedikit kehilangan keberuntungan saat ini. Ya. Ataukah hanya aku saja yang merasa seperti itu.
Mata coklat yang dikelilingi oleh kerutan kasar pada kulit wajahnya membuatku menoleh—membiarkan sang kepala sekolah sekaligus pemilik panti asuhan ini mengutarakan pendapatnya. "Baiklah anak-anak, kurasa sekarang sudah begitu larut. Saatnya kalian kembali ke kamar kalian masing-masing. Begitu pula denganmu, Sakura." katanya guna memecah keheningan semu.
Gadis itu mengangguk. Ia tetap mengatupkan bibirnya tak berbicara lebih, hanya kata itu saja. Apakah ia tak senang dengan perhatian dari kami ataukah itu hanya sikap yang ditunjukkan seseorang ketika bertemu dengan orang asing? Antara keduanya, bila aku adalah dia, maka aku akan menjawab yang kedua.
Aku berdiri perlahan. Kulihat, Sakura—gadis berambut merah muda itu mengikuti salah satu pengasuh tersepuh di panti asuhan ini—Tsunade-baa-san—dari belakangnya. Masih saja ia memeluk boneka teddy bear-nya dengan erat dan kembali mengalihkan perhatiannya pada sosok boneka plushie coklat tua yang seakan menjadi teman khayalannya. Entah kenapa ia kembali terlihat muram.
Aku jadi semakin penasaran padanya. Sungguh sangat penasaran. Padahal, God! Aku hanya mengucapkan kata-kata yang kurasa tidak sepantasnya untuk dikatakan kepadanya. Maksudku, perkataanku tadi seakan-akan aku sedang menunjuk seorang terdakwa yang entah berbicara apa hingga akhirnya muncullah sosok sang jaksa penuntut yakni aku—menekan mental si terdakwa. Kurasa, aku sudah benar-benar jadi orang jahat sekarang.
Yang lain pun mengikuti derap langkah sang guru, pengasuh, dan juga…
"Eh?"
"Dari mana kamu belajar bahasa Russia, Uchiha-san?"
Tiba-tiba saja, kepala sekolah sudah ada di sampingku sembari meletakkan tangannya di pundakku.
"Itu… Itu dari buku, Sir."
Ia memperlihatkan senyumnya—senyum khas seorang kakek-kakek yang berwibawa namun terasa begitu hangat.
"Bertemanlah dengannya, lalu jadilah sosok kakak baginya, ok? Dan oh ya—"
"Ya, Sir?" tanyaku. Sepintas terlihat gurat kekhawatiran di balik wajah sendu milik Sarutobi-sama. Ia mengatupkan bibirnya lebih erat seperti ingin menahan sesuatu untuk dikatakan kepadaku. Hanya jemari keriputnya saja yang bergerak-gerak mengikuti arah rotasi bola mataku.
"Kamu sudah dewasa. Sudah saatnya untukmu mengenali dunia luar, Uchiha-san. Panti ini memercayakan kalian, para anak-anak, tuk belajar mengidentifikasi diri kalian masing-masing sebelum akhirnya kalian paham akan urusan dunia luar yang sungguh sangatlah kurang menyenangkan. Tetapi… jika kamu berkenan…"
Aku mengikuti arah gerak jemarinya. Dari saku mantel bulu selututnya hingga tepat di hadapanku. Sebuah amplop kekuningan kusam dengan cap merah di permukaannya.
"Boleh saya tahu ini apa, Sir?"
"Ambil dan bacalah. Kemudian, putuskan sesuai kata hatimu. Aku akan menunggu jawabanmu hingga akhir musim panas ini."
Kutarik perlahan amplop itu darinya. Bentuknya seperti perkamen masa lalu yang berisi mantra-mantra aneh. Tapi… kurasa isinya bukanlah mantra, meski kutahu tiap deretan kalimat yang tersurat di dalamnya hampir menyerupai mantra paling mengerikan yang pernah kualami selama hidupku…
.
.
Belief over misery, I've seen the enemy.
And I won't go back.
Back to how it was.
And I got my heart set on what happens next.
I got my eyes wide.
It's not over yet.
We are miracles and we're not alone
.
.
TSUZUKU
A/N :
(1) No, I am not.
Err—jadi fic ini mengambil setting pada tahun 1955 di sebuah panti asuhan terbesar di Tokyo. Sasuke adalah salah satu anak yang selamat dari tragedi Hiroshima-Nagasaki sepuluh tahun yang lalu.
Sakura-nya udah muncul tapi dia cuma ngomong pake bahasa Rusia gitu. Lalu, keseluruhan fic ini menggunakan POV-nya Sasuke.
Maaf bila dalam fic ini ada mistypo, ketidaksinkronan cerita dan judul, terlalu aneh, dan yang lainnya. Saya hanyalah manusia biasa.
Fic ini hanya salah satu dari sekian banyak pendapat saya mengenari arti perang di mata anak-anak. Idealnya, tak ada satupun anak-anak di dunia ini yang ingin terpisahkan oleh keluarga mereka karena perang. ^^
This is Home by The Chronicles of Narnia : Prince Caspian OST
Sung by Andy Dood and Switchfoot
Yang terakhir, boleh minta review?
