Gimpo International Airport, 2039
Mereka menatap?
Semuanya. Penjaga bandara, ibu dan anak itu. Pasangan tua. Pria pemeriksa.
Ya. Tentu saja. Siapa yang tidak menatapku?
Bukan aku-lebih tepatnya gaunku. Gaun memalukan. Seorang gadis dengan gaun pengantin putih panjang menyapu lantai. Riasan wajah yang sudah luntur dan rambut yang disanggul acak-acak an.
Bahkan rasanya jet lag tidak melandaku. Rasa lelahku kalah oleh rasa takut. Rasa takut yang sangat besar melebihi rasa takut harus melompat ke jurang daripada aku berakhir seumur hidup dengan keparat itu.
Memang ini tidak baik, secara psikis dan fisik ku. Apalagi tatapan mencemooh dan tanda tanya besar seolah berada di atas kepala mereka membuatku ingin segera bersembunyi dibawah kursi tunggu. Konyol.
Aku mengedarkan pandangan sekeliling bandara yang masih tetap padat walaupun hari sudah semakin larut. Seoul memang tidak pernah sepi. Apalagi ini adalah musim liburan. Sempurna sekali. Tapi tidak dengan ku.
Beberapa meter dari tempatku berada. Deretan kursi yang tersisa satu tempat duduk kosong menjadi sebuah harapan. Alhasil dengan semangat penuh walaupun rasanya kakiku mendadak seperti bubur, aku berusaha beringsut ke kursi tersebut.
Orang disamping kursiku menatap ku aneh. Pria ras mongoloid dan mata sipitnya terang-terang an menunjukkan ekspresi yang menyebalkan seolah menilaiku. Aku merapatkan jaket tipis berbahan satin yang diberikan Amy padaku sebelum mengulas senyum menyapa.
Tapi sial! Bukan sambutan baik yang kudapatkan melainkan pria itu justru melengos padaku dan langsung bergegas pergi. Oh Tidak! Apa aku begitu buruk di matanya.
Aku menelan ludahku sebelum akhirnya mendaratkan bokongku di atas kursi yang dingin. Desahan kecil lolos dari mulutku. Betapa aku sangat lelah saat ini. Hal satu-satunya yang ingin kulakukan adalah berbaring di atas kasur yang lembut. Bukan dinginnya kursi di ruang tunggu bandara.
Kutolehkan wajahku ke kanan hanya untuk mendapati segerombolan gadis terkikik sambil bergosip menunjuk-nujuk layar ponselnya. Aku tidak tahu bahasa mereka, tapi yang jelas itu pasti berhubungan dengan boyband-boyband Korea. Ketenaran flower boy seperti mereka pun bahkan sudah merambah hingga tempat asalku, Los Angeles.
Sedangkan di sebelah kiriku berjarak satu kursi kosong, seorang pria berumur yang nampak serius membaca koran dengan kacamata kotak bertengger di hidungnya. Aku lebih memilih bertanya pada pria itu daripada sekumpulan gadis-gadis.
Aku berdehem sebentar sebelum akhirnya membuka suara, "Excuse me, what time is it?" Tanyaku berusaha seramah mungkin.
Tenggorokanku terasa begitu kering ketika berbicara. Aku hanya minum segelas air mineral saja selama di pesawat karena pikiranku benar-benar kacau. Hanya tertuju pada orang tuaku yang jahat itu. Yang tega menjual anak gadisnya pada pria pria tua hidung belang yang sayangnya kaya dan mesum.
Pria paruh baya bermata sipit itu menatapku sejenak. Tatapan nya sama anehnya seperti pria yang langsung lari tadi namun beruntung ia masih memilih untuk melirik arlojinya, "It's almost ten o'clock" jawabnya dengan suara yang sama seraknya sepertiku.
Aku tersenyum membalas jawabannya, "thanks"
Lalu kami berdua kembali diam. Pria paruh baya itu telah kembali sibuk dengan koran yang dibacanya dan aku sibuk dengan betapa menyedihkannya diriku yang berada di negeri asing seorang diri, tanpa teman atau keluarga dan yang terparah tanpa uang.
Tak ingin memikirkan hal itu berlarut, aku mengambil kantung yang kubawa sejak tadi. Isinya adalah ponsel ku dan dua lembar uang 5 dollar. Betapa menyedihkannya!
Aku mencoba menghubungi Amy setelah ponselku hidup kembali. Namun sial! Hanya nada sambung yang menjadi jawabannya sedangkan hari sudah semakin larut. Aku tidak bisa berada disini selamanya. Mereka mungkin akan mengusirku. Melihat sedari tadi dua orang penjaga disana telah mengamatiku lekat-lekat.
Kuhembuskan nafasku kasar sebelum akhirnya bangkit dari kursi tersebut. Kulangkahkan kakiku berjalan pelan keluar dari bandara itu. Tempat Amy menitipkanku di negera asing ini.
Beberapa jam aku berjalan. Aku hampir bisa melihat bahwa semua toko sudah tutup. Jam di ponsel ku yang sudah kusetel waktu di Seoul menunjukkan pukul setengah satu pagi. Sangat-sangat larut untuk perempuan malang yang berjalan-jalan dengan gaun pengantinnya.
Kakiku benar-benar sudah mati rasa padahal aku telah melepas high heels yang kugunakan sejak tadi. Tapi kenapa sensasi ditonjok-tonjok ini masih terus melekat. Membuatku rasanya ingin pingsan saja.
Aku baru saja memasuki Distrik perkantoran-mungkin saja. Melihat bangunannya berjajar rapi dengan plang-plang bahasa korea yang tidak kumengerti. Hanya lampu jalan temaram berwarna kekuningan yang menemaniku berjalan.
Aku terus berjalan semakin jauh kesana. Rasa sakit, lelah, dan haus ku terasa begitu menyiksa. Aku ingin melambaikan tanganku ke kamera dan mengatakan pada sutradara bahwa aku menyerah namun kenyataannya ini bukan drama hits negara ini.
Ini adalah drama paling menyedihkan hingga akhirnya sebuah headlines di koran Korea mengatakan bahwa : Ditemukan gadis bule yang tewas diduga karena melarikan diri dari perjodohan.
Oh tidak!! Itu menyedihkan sekali.
Aku menggeleng pelan, aku tidak mungkin berakhir semudah ini. Aku harus kuat setidaknya sampai Amy meneleponku lagi jika baterai ponselku tidak habis terlebih dahulu. Tapi aku sangat lelah, menderita, putus asa dan haus sekali.
Oke ini berlebihan tapi kau bisa bayangkan sudah berapa jam aku berjalan dengan pakaian menyedihkan yang tidak membantuku sama sekali dalam mengatasi angin dingin dan high heels merepotkan yang sedang kutenteng saat ini.
Tuhan! Kenapa kau tidak mendatangkan limousin pada ku saja sehingga aku tidak perlu seperti ini.
Sudah kuputuskan. Aku tak lagi kuat untuk berjalan lebih jauh lagi. Mataku bersibobrok dengan spot paling nyaman yang bisa kugunakan untuk beristirahat. Letaknya dibawah temaram lampu jalan kekuningan. Sebuah kursi taman panjang di dalam halaman luas sebuah bangunan yang cukup besar.
Tak ingin membuat diriku mati lebih cepat. Aku berlari mendekati kursi taman tersebut dan langsung menghempaskan diriku disana. Kugeletakkan high heels ku sembarangan di bawah kursi tersebut. Lalu berusaha untuk mencari posisi tidur paling enak yang bisa kujangkau. Aku mulai memejamkan mataku.
Kilasan kejadian hari ini dengan drama ayah dan ibu ku juga kedatangan pria tua mesum yang datang untuk membawaku pada venue pernikahan impian-yang sayangnya gagal terjadi namun aku sangat bersyukur-berputar dalam ingatanku. Membuat pikiranku sangat letih saat ini.
Hal terakhir yang kuingat sebelum kegelapan menelan kesadaranku adalah semilir angin malam yang terdengar syahdu dan derap langkah kaki entah siapapun itu yang terdengar mendekat menyisakan sebuah tanda tanya besar.
Aku saat ini sedang berjalan dengan manisnya di atas sebuah panggung peragaan busana. Berjalan lenggak-lenggok seperti model terkenal. Aku tidak ingat kapan aku belajar melakukannya. Tapi yang jelas sambutan meriah ini terlalu sulit untuk dilupakan. Yeah! Daniella Fienberg! Dia adalah The next Adriana Lima.
Yuhu! Aku bisa mendengarnya boys! Seruan para laki-laki yang mengagung-agungkan namaku dan membawa poster poster besar dengan gambarku. Ha-ha aku tahu sejak dulu aku sudah berbakat, yeah! Tidak perlu sungkan!
Aku melambaikan tanganku pada mereka semua yang langsung berteriak histeris seolah tidak pernah melihat malaikat turun dari surga. Sedangkan para gadis lainnya memuji betapa sempurna nya aku. Hahaha memang tak ada yang kuinginkan selain.
Apa ini?!
Tiba-tiba bumi yang kupijak bergetar. Bergetar dengan sangat hebat. Riuh teriakan penonton berganti dengan jerit kepanikan dan lolongan minta tolong. Para model dibelakangku berlomba-lomba berlari mencari perlindungan begitupun juga aku. Oh Tidak!!
Gempa itu semakin dahsyat hingga aku terjatuh ketanah. Menatap sekitar kekacauan parade fesyen yang terjadi membuat ku meringis. Apa yang terjadi?! Aku menjerit frustasi sambil memekik ketakutan.
Bumi bergetar lebih hebatnya disusul suara menggema yang berteriak dalam bahasa yang tidak kupahami. Semakin kasar dan keras hingga aku harus menutup kedua mataku erat-erat dan tiba-tiba,
PLAKK!!
Bunyi tamparan yang sangat keras mengagetkanku disusul dengan rasa panas dan nyeri menjalar di pipiku.
Aku berusaha membuka mataku perlahan sambil mengaduh pelan, "Ouch..!" Kuusap-usap pipiku mencoba untuk menghilangkan rasa panas dan nyeri tersebut.
Tepat saat di depanku berdiri seorang wanita mungkin berumur 20 tahun lebih aku pun tidak tahu yang jelas dia terlihat sangat marah padaku. Wajahnya merah padam dan ia bersidekap seperti majikan.
Aku menatapnya bingung yang dibalas dengan pelototan mata, "Excuse me?" Tanyaku ragu,
Dia memutar bola matanya kemudian berbicara dengan bahasa yang tidak kupahami lalu mengangguk ke arahku. Dia melotot lagi. Ya ampun sangat mengerikan. Berbanding terbalik dengan wajah malaikatnya tersebut.
Dia berbicara lagi dalam bahasa Korea. Itu sebabnya aku tidak mengerti apa yang dibicarakannya selain kata 'ne' diakhir kalimat.
Memangnya apa itu ne?! Seseorang adakah yang sanggup mengerti apa itu ne?!
Kumohon tolong aku!
Dia menepuk jidatnya setelah berbicara panjang lebar dalam bahasa Korea yang hanya bisa kubalas cengiran lebar. Betapa memalukannya saat ini. Tolong ingatkan aku untuk mengikuti les bahasa Korea saat aku kembali ke Los Angeles supaya aku tidak berakhir seperti ini lagi.
Wanita itu mendesah kasar sebelum akhirnya ia mengulurkan tangannya ke arahku. Aku melirik tangannya yang terulur dan dia membalasnya dengan pelototan mata.
Ouch! Dasar wanita barbar! Desahku dalam hati.
Namun aku memilih menyambut uluran tangannya yang seputih porselen itu. Aku sempat khawatir apakah dia benar-benar manusia atau patung keramik melihat tangannya yang mulus itu.
"Do you speak English?" Tanya nya padaku yang langsung kujawab dengan dengan anggukan.
Kali ini ia berbicara dengan bahasa yang kupahami.
Ia mendengus langsung sebelum meninggalkanku berdiri disana. Namun beberapa saat ia menoleh kembali ke belakang. Menatapku dengan tatapan aneh, "Apa yang kau lakukan? Kemarilah!" Ia berseru.
Segera aku menyusulnya meskipun aku tidak tahu kemana ia pergi membawaku. Ia mengajakku masuk ke dalam bangunan besar yang sempat kulihat kemarin malam. Ahh ternyata aku tahu. Ini adalah sebuah kantor dengan tulisan besar TnP Entertainment di depannya.
Begitu aku masuk hal memalukan selanjutnya yang terjadi di bandara kembali terulang namun kali ini lebih menewaskan. Mereka semua. Hampir semua pegawai yang bekerja sontak melihatku dengan tatapan menyebalkan itu lagi. Merek terdiam ketika melihatku.
Bahkan ada beberapa diantaranya secara terang terangan berbicara dengan bahasa Koreanya sambil memelototiku. Kuremas tanganku dengan gelisah. Aku rupanya sudah berkeringat dingin.
Wanita barbar tadi segera memasuki kubikel lift begitu pintunya terbuka. Aku langsung menyusulnya. Di dalam lift aku bisa bernafas lega karena tidak perlu berhadapan dengan mereka lagi.
"Tidak perlu malu, itu juga salahmu memakai pakaian seperti itu" ujar wanita barbar itu sarat akan cemooh disampingku sambil bersidekap.
Aku mendelik kesal, "Maaf tapi kemana kau membawaku?" Tanyaku mencoba mengabaikan nada mencemooh nya.
"Kau akan tahu" ia membalas singkat.
Selanjutnya tak ada lagi percakapan antara aku dengan wanita barbar hingga lift berdenting berbunyi.
Sebuah lorong panjang dengan dinding berwarna kelabu dan karpet coklat kehijauan terbentang di depanku. Konsep desainnya sangat modern dan minimalis. Hanya ada empat pajangan foto pada lorong tersebuf. Selanjutnya aku tidak bisa melihat hiasan lainnya.
Foto yang dipajang adalah sekumpulan pria pria flower boy yang kukatakan kemarin namun kali ini tampak lebih manly. Ah! Sepertinya aku mengenal mereka.
XBC
Hmmm... Amy sepertinya pernah membicarakan beberapa kali tentang ini. Geng flowerboy yang memenangkan Billboard tiga tahun berturut-turut sejak mereka pertama kali di bentuk. Atau bukan yah?
Aku tidak yakin. Tapi melihat fotonya yang familiar kurasa Amy dan Candice memang pernah membicarakannya berulang-ulang. XBC ?
"Hei, pengantin!!" Teriakan wanita bar-bar mengagetkanku yang sedang mengamati lukisan itu.
Aku tersentak dan langsung menoleh ke arahnya. Ia mengedikkan bahu nya pada sebuah pintu di depannya. Aku lalu berlari kecil sambil menenteng heels ku menghampiri wanita barbar.
Dan selanjutnya hal mengejutkan lagi adalah ketika aku melihat sebuah ruangan luas bernuansa sejuk yang kental. Sinar matahari menerobos dari dinding kaca besar yang terpasang pada ruangan setinggi sembilan meter tersebut. Di tengahnya ada sofa-sofa yang masih ditutupi kain putih bersih.
Begitupun beberapa perabot lainnya disana semuanya tertutupi oleh kain putih tersebut. Mungkin tempat ini masih baru. Yang membuatku tertarik adalah sudut game lengkap dan mesinnya yang berkelip-kelip menggoda untuk dimainkan dan sebuah tv plasma besar menghadap kami.
Ruangan itu berlantai dua dengan bukaan ditengahnya. Sedangkan diatasnya bisa kupastikan itu adalah kamar-kamar berderet dengan pintu berwarna keabuan. Lantai ruangan ini digelari karpet raksasa berbahan beludru yang berwarna abu-abu. Kontras dengan seisi ruangan yang di dominasi warna putih tersebut
Aku berdecak kagum melihat interior yang disajikan. Sangat mewah dan berkelas. Apalagi ada mini bar disudut ruangan menghadap ke cahaya matahari. Ahh-aku membayangkan betapa damainya bisa bersantai di minggu pagi dengan segelas teh dan menghadap sinar matahari. Itu pasti menyenangkan.
"Mulai sekarang kau harus bertanggung jawab pada asrama ini. Kebutuhan, kebersihan, makanan, dan apapun yang dibutuhkan mereka haruslah kau yang menyediakan. Semua kebutuhan mereka harus terpenuhi. Aku tidak menerima laporan apapun bahwa pekerjaanmu terbengkelai dan membuat mereka terlibat masalah mengerikan.
Kau bebas melakukan apapun di dalam sini asalkan satu. Kau tidak membiarkan seorang pun tahu identitas mu dan keadaanmu saat ini. Apa kau mengerti, Nona?"
Aku mengangguk mengiyakan. Hah memang inilah yang kuinginkan. Tenang dan damai sendirian tapi, eh tunggu dulu? Membersihkan ruangan ini?!
Aku mengernyit bingung. "Tunggu!" Teriakku mencegahnya yang sudah beranjak pergi.
Ia membalikkan badannya dan menoleh, "Sekarang apalagi nona?" Tanya nya acuh.
"Apa maksudmu aku membersihkan ini semua aku tid-
Ucapanku terpotong begitu saja dengan decakannya, "Itu sudah jelaskan? Kau akan menjadi pengurus rumah disini. Kau akan menjadi kepala pelayan tanpa bawahan. Menarik bukan? Aku akan menghubungi Minna untuk meminta dokumenmu dan selamat bersenang-senang!"
BLAMM
Pintu tertutup sebelum aku sempat berucap apapun. Bahkan mencerna apapun. Pe-pelayan?! A-aku jadi pelayan?!
APA??!!
Suara berisik mengganggu tidur pagiku yang menyenangkan padahal saat itu aku tengah bermimpi berpiknik di taman bunga dengan pangeran tampan masa kecilku yang sayangnya wajahnya di buramkan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Namun aku sangat menikmati keberduaan kami.
Pangeran masa kecilku yang kucari selama ini. Kuhabiskan untuk mencarinya bertahun-tahun namun ternyata aku tidak pernah menemukannya lagi. Aku tidak tahu dimana ia dan bagaimana ia sekarang. Namun yang jelas perasaanku padanya tidak pernah berubah.
Yang selalu kuingat adalah bagaimana matanya yang sipit menatapku teduh dari kejauhan.
Sial! Kegaduhan ini semakin membuyarkan fantasi ku pada pangeran kecil. Aku melenguh pelan sebelum akhirnya mengerjapkan mataku untuk bangun. Perlahan-lahan sinar matahari yang kutangkap membentuk siluat wajah wajah asing nan familiar.
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali namun bayangan lima pasang mata yang balik menatapku tidak berubah malah semakin jelas. Aku mengernyit bingung, menengadahkan wajahku menatap mata mata tersebut. Salah satunya seseorang dengan mata sipit dan kantung mata yang besar
Mereka menelengkan kepalanya, "Tobias Kim?" Tanyaku ragu.
Si mata sipit mengangguk, "Siapa kau?"
Apa?!!
TOBIAS KIM?!!!
Gawatt!! Aku disarang XBC!!
