Come Away by Little Princezz Everlazt

Summary: Hutan dibelakang Malfoy Manor selalu merupakan hutan terlarang. Draco tahu itu, tapi dia ingin tahu darimana datangnya bisikan-bisikan itu. Bisikan-bisikan yang tidak didengar oleh siapapun. Disitulah dia bertemu Harry, anak laki-laki yang tidak bisa meninggalkan hutan. Based on the Grimm Brother's fairytale "The Rose".

A/N: Cerita ini diterjemahkan dari cerita A. J. Kelly dengan judul yang sama. Selamat membaca, semoga kalian suka J

OoO

"Come away, O human Child!

To the waters and the wild

With a faery, hand in hand,

For the world's more full of weeping than you can understand."

Si kecil Draco Malfoy tahu dia seharusnya tidak pergi ke hutan di belakang Manor. Hutan itu gelap dan menakutkan, dan tentunya mempunyai sihir yang terlalu susah bagi pikiran Sembilan tahunnya itu untuk mengerti. Seringkali di malam hari ketika dia tidak bisa tidur, Draco bisa mendengar suara-suara – bisikan-bisikan aneh dan aungan yang merambat masuk lewat jendela kamarnya melalui udara. Tepat keesokan harinya, Draco akan berlari menyusuri Manor hingga dia mencapai gerbang besi yang memisahkan taman dengan pahatan indah dengan hutan liar dan berbahaya itu. Tidak peduli berapa lama dia berdiri menempel pada pagar tersebut dan berusaha untuk memasukan kepala kecilnya melewati pilar-pilar besi, dan tidak peduli sejauh apa dia menanjamkan pendengarannya, dia tidak pernah mendengarkan suara-suara itu pada siang hari.

Draco tidak pernah mengatakan pada orangtuanya tentang suara-suara itu. Meskiupun pada umur sembilan tahun, dia menyadari bahwa orangtuanya tidak akan mempercayainya. Dan, jika mereka memang percaya, mereka akan melarangnya untuk pergi ke taman belakang dan dia tidak akan pernah mencoba untuk mendengar bisikan-bisikan itu lagi.

Draco mencoba untuk bercerita pada ayah baptisnya. Severus Snape adalah orang terbijak yang Draco tahu, dan Draco menyayanginya lebih dari rasa sayang pada ayahnya sendiri. Tapi, segera setelah dia menyebutkan tentang hutan itu, Paman Severus meraih kedua bahunya dan menarik Draco mendekat padanya, dan membuat Draco berjanji tidak akan pernah menyelidiki hutan itu lagi.

Draco bersumpah, tapi dia tidak pernah mengatakan pada ayah baptisnya bahwa jarinya tersilang dibelakang punggungnya. Draco tidak bisa menahan keinginan untuk pergi ke hutan itu jika dia bisa.

Meskipun dia sudah berjanji dan dengan semua larangan-larangan yang ada, di suatu siang yang cerah Draco mendapati dirinya berada di taman belakang dan hanya berjarak satu kaki dari gerbang besar yang menakutkan itu. Gerbang itu selalu terkunci, sudah berkarat karena telah bertahun-tahun tidak dibuka. Tapi Draco tetap mencoba setiap hari. Dia tidak bisa menunggu sampai pada waktu dia bisa menggunakan sihir. Kemudian dia akan menggunakan sihir untuk membuka gerbang itu dan melihat rahasia yang tersembunyi dalam hutan itu.

Hari itu, Draco duduk di sebuah bangku batu tua yang ditutupi oleh rumput dan membuka buku ramuannya agar dia bisa belajar. Pamannya, Severus, sudah mengajarinya tentang ramuan-ramuan sehingga dia bisa menjadi yang terpintar di kelasnya saat dia masuk Hogwarts nanti. Jika biasanya Draco akan benci untuk belajar tentang sesuatu saat musim panas, dia suka ramuan, jadi itu adalah hal yang menyenangkan.

Dia sudah duduk dan belajar selama satu jam, ketika dia mulai merasakan ada yang memandangnya. Draco melihat lewat halaman-halaman bukunya, berharap akan menemukan ibu atau ayahnya dan mempersiapkan dirinya untuk dimarahi, tapi tidak ada siapapun disana.

Draco cemberut dan membiarkan bukunya terbuka di pangkuannya saat dia mengamati sekelilingnya. Tidak ada apapun disekitarnya. Bahkan suara kicauan burungpun tak dapat terdengar dimanapun. Hal itu harus membuat Draco waspada, tapi, di umur sembilan tahun, dia sama sekali tidak menyadari dan peduli tentang hal-hal seperti itu.

Sekali lagi dia mengamati sekitarnya, tapi ketika dia tidak menemukan apapun, dia mendengus dan membenamkan wajahnya dibuku. Beberapa saat berlalu sampai Draco merasakan lagi ada yang mengamatinya.

Kali ini dia memasukkan satu jari untuk menandai bukunya, dan memeluk bukunya dengan erat ke dadanya.

"H-Halo?" panggilnya dengan gugup.

Tidak ada balasan. Bahkan tidak ada suara angin berdesir melalui pohon-pohon yang dapat menimbulkan suara.

"Apa ada orang disana?" tanyanya, merasa bimbang antara ingin dijawab dan takut akan jawaban yang akan diterima.

Terdengar desiran diantara pepohonan tepat di depannya, dan Draco dengan takut mundur ke belakang. "Aku-ini adalah rumahku. Aku tidak melakukan apapun yang salah. Dan kau telah melewati batas!" dia mencoba untuk mengatakan kalimat terakhir dengan suara 'Tuan Kecil' terbaiknya, suara yang sering digunakan ayahnya atau teman-temannya ketika mereka menginginkan sesuatu atau sedang berusaha untuk mengintimidasi.

Desiran itu semakin mendekat dan Draco berdecit ketakutan, berbalik secepat yang dia bisa, dan berlari pergi, menjatuhkan buku ramuannya ke tanah.

Severus sangat jengkel ketika Draco muncul pada pelajaran berikutnya tanpa buku ramuannya. Draco berbohong dan mengatakan bahwa dia lupa bukunya di kamar, tapi dia tahu pasti dimana buku itu berada.

Hari itu adalah dua minggu setelah Draco akhirnya berani kembali ke taman belakang. Dia memilih siang hari yang cerah, berharap hal itu bisa mengurangi rasa takut akan monster hutan yang menakutkan untuk menyerangnya.

Ketika dia tiba di tempat dimana dia menjatuhkan bukunya, Draco pelan-pelan berjalan maju, mempersiapkan mata dan telingannya pada setiap gerakan dan tanda yang menunjukkan bahwadia tidak sendiri. Dia melihat ke tanah, tapi terkejut, buku ramuannya sudah tidak ada lagi disana.

Dia mengeluarkan tangisan frustasi dan menendang tanah, kemudian berbalik kearah hutan dan bangku batunya. Kemudian dia berhenti dan menarik napas.

Disana, diatas bangku, terletak buku ramuannya, sangat bersih dan tepat pada tengah bangku. Draco ragu-ragu untuk sejenak, tapi kemudian mengumpulkan semua keberaniannya dan berjalan menuju bangku. Perlahan, Draco mengangkat jari-jarinya menyusuri punggung bukunya. Tak ada yang berubah, disamping, tentu saja, fakta bahwa buku itu telah mengangkat sendiri dirinya dari tanah ke atas bangku. Dia tidak bisa merasakan sihir apapun dari buku itu – setidaknya tidak diluar sihir yang ada dalam buku itu.

Draco baru saja berhasil meyakinkan dirinya bahwa dia sedang menghayal, ketika sebuah suara dehaman terdengar dibelakangnya. Dia berbalik dan berusaha menahan teriakan yang akan keluar.

Disana, berdiri dibalik pagar, seorang anak laki-laki.

Dia tampaknya seumuran dengan Draco, dengan rambut hitam yang berantakan, kulit coklat yang halus, dan mata emerald yang serasi dengan permata di cincin Draco. Anak laki-laki itu hanya sedikit lebih tinggi dari Draco, dan dia memakai pakaian polos berwarna coklat dan yang sangat mengagumkan dari semuanya adalah bahwa dia yang memang datang dari hutan adalah anak laki-laki itu bertelanjang kaki.

"Halo," kata anak laki-laki itu dengan seringai lebar.

"Hai," balas Draco, pelan.

"Kau kembali! Aku bertanya-tanya kapan kau akan kembali. Sudah sangat lama sejak terkahir kali kau kemari, aku mulai berpikir kau tidak akan pernah kembali lagi."

Draco tidak tahu bagaimana membalasnya. Dia tidak tahu siapa anak laki-laki ini, dia tidak tahu darimana anak itu datang, dan sekarang anak itu berbicara padanya seolah-olah mereka adalah kawan baik!

"Siapa kau?" tanya Draco.

"Aku Harry," kata anak laki-laki itu tanpa keraguan apapun.

"Darimana kau datang?"

"Hutan."

Draco berkedip, kemudian menjadi sedikit marah dengan anak baru ini. "Jangan bohong," bentak Draco. "Tidak ada seorangpun yang tinggal di hutan. Itu sangat berbahaya. Ibuku berkata seperti itu."

"Aku tidak berbohong," Harry membela dirinya. "Aku tinggal di hutan. Dan hutan itu tidak menyeramkan jika kau tahu apa yang harus diwaspadai."

"Aku tidak percaya padamu."

Seringai di wajah Harry membuat Draco takut. "Kau tidak percaya, eh? Nah, baik, aku akan buktikan itu."

"Kau tidak bisa membuktikan itu," kata Draco berdebat. "Pertama-tama, aku tidak bisa pergi ke hutan. Jika kau belum menyadarinya, gerbang itu terkunci dan rusak. Tidak bisa dibuka. Kedua, bahkan jika aku bisa pergi ke hutan, aku tidak akan pergi denganmu."

"Kau tidak bisa membukanya, tapi aku bisa."

"Tolong tinggalkan aku sendiri," kata Draco sebisanya dengan pantas. Dia berbalik membelakangi anak laki-laki itu dan mengambil buku ramuannya dan melingkarkan lengannya disekeliling buku itu. "Aku lelah dengan hal ini. Aku tidak peduli dari mana kau datang, tapi ayahku punya bangsal di sekeliling Manor. Jika kau mencoba untuk melewatinya, kau akan kena masalah."

"Tunggu!" teriak anak laki-laki itu, saat Draco mengambil langkah untuk menjauhinya. Draco berhenti dengan ragu-ragu dan meskipun pikirannya berteriak padanya untuk tetap berjalan menjauh dan tidak pernah kembali lagi ke taman belakang, sesuatu dalam dirinya memaksanya untuk mendengar anak laki-laki itu.

Draco sudah dilatih dari umur yang sangat muda bagaimana bersikap dengan pantas. Dia tahu bagaimana seorang Tuan Kecil harus bersikap, siapa yang pantas untuk berhubungan dengannya, dan yang lebih penting, bagaimana dia harus bersikap pada dunia. Tapi dia benci semua itu. Dia ingin dunia liar dan petualangan – sesuatu yang tidak ada di taman indah dan sempurna dari Malfoy Manor. Dibalik gerbang itu terdapat hutan, dimana semua yang Draco inginkan dan takutkan: petualangan, bahaya, dan dunia liar yang tak diketahuinya.

Draco membuat keputusan cepat dan berbalik kearah anak laki-laki itu. "Apa?"

"Aku sudah memberitahu namaku. Siapa namamu? Aku sudah melihatmu datang kesini beberapa kali, dan kupikir kita bisa menjadi teman."

Jantung Draco berdetak cepat dan dia memiringkan kepalanya ke samping. "Kau mau menjadi temanku?"

"Well, yah," kata Harry. Dia menggumankan sesuatu yang membuat Draco tidak mengerti saat dia mengacak rambutnya yang sudah berantakan itu.

"Mengapa?"

"Aku tidak tahu. Aku menyukaimu dan kupikir kau menarik. Jika kau mau menjadi temanku, aku berjanji aku akan menunjukkan hutanku padamu."

Draco mengamati Harry sejenak, kemudian dia maju ke depan gerbang dan memasukkan tangannya lewat pilar besi. "Aku Draco."

Harry menyengir dan meraih tangan Draco, menjabatnya dengan cepat penuh semangat. "Senang bertemu denganmu, Draco. Apa kau mau melihat hutanku?"

"Aku tidak bisa lewat," kata Draco menunjukkan. "Lihat?" dia menarik gerbang dengan kuat, tapi gerbang itu sama sekali tidak bergerak. Kemudian dia berpindah ke kunci. "Ini tidak digunakan selama bertahun-tahun. Aku tidak bisa membuatnya terbuka."

Harry menyeringai dan mendorong Draco dengan pelan menjauh dari gerbang. "Mundur ke belakang dan aku akan menunjukkan sesuatu padamu."

Harry meletakan tangannya diatas gembok dan membisikan beberapa kata yang tidak dapat didengar oleh Draco. Secepat dia membisikan kata-kata tersebut, karat di gerbang itu bersih, logam itu kembali pada keadaannya yang indah, dan Draco terpesona. Harry, tanpa kunci, membuka gembok dan membiarkan gerbang itu terbuka.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Draco benar-benar punya akses ke tempat terlarang itu. Dia menatap kedalam kegelapan hutan di depannya, bertanya-tanya apa yang tersembunyi disana dan apa yang akan dia temukan jika dia melangkah lewat bangsal yang ada.

"Bagaimana kau melakukan itu?" tanya Draco dengan menuntut. "Bagaimana bisa kau menggunakan sihir? Kau masih dibawah umur."

Harry cemberut dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Aku selalu bisa menggunakan sihir. Aku tidak tahu kalau yang lain tidak bisa."

"Tidakkah orangtuamu mengatakan bahwa kau tidak boleh menggunakan sihir sampai kau berumur tujuh belas tahun? Semua anak tahu hal itu."

"Aku tidak punya orangtua." Kata Harry.

Sekarang giliran Draco yang cemberut saat dia berusaha untuk mengerti apa yang dimaksudkan Harry. "Semua orang punya orangtua. Siapa yang mengurusmu jika kau tidak punya orangtua?"

"Aku mengurus diriku sendiri."

"Itu tidak benar," kata Draco, merasa sangat kasihan pada teman barunya. "Semua orang harus punya seseorang untuk mengurus mereka. Kau harus ikut ke rumah denganku. Ibuku akan mengurusmu, kau bisa ikut belajar denganku, dan kita akan menjadi teman." Draco meraih lengan Harry untuk menariknya melewati bangsal, tapi Harry berlari kembali menuju garis pohon.

"Aku tidak bisa meninggalkan hutan," kata Harry membalas tatapan penuh tanya di wajah Draco.

"Itu sangat konyol," Draco mendengus. "Ayolah, sudah hampir makan malam dan kita akan makan pai malam ini. Itu adalah kesukaanku, jadi aku yakin kau akan menyukainya. Ayo."

"Aku tidak bisa," kata Harry, menggelengkan kepalanya.

"Bagaimana kita bisa berteman jika kau tidak bisa meninggalkan hutan?" kata Draco dengan nada merengek.

"Kau harus datang ke hutanku," kata Harry. "Aku tidak bisa meninggalkan hutan, tapi aku akan mengijinkanmu untuk datang dan pergi sesukamu. Jadi kunjungi aku disini."

Draco tidak begitu senang mendengar bahwa teman barunya tidak akan pernah mengunjungi rumahnya, atau bertemu orangtuanya, tapi dengan cepat menghilangkan kecewanya. Ada sesuatu yang luar biasa jika mempunyai sebuah rahasia, dan apa yang lebih rahasia lagi dari mempunyai seorang teman rahasia yang hidup di hutan yang menyeramkan?

"Baik, aku akan kembali lagi besok setelah pelajaranku selesai," jelas Draco. "Aku benar-benar harus pergi sekarang."

Harry tersenyum dan tanpa sepatah katapun, menghilang kedalam hutan. Draco menatapnya selama beberapa saat, sebelum berbalik dan berlari sepanjang jalan menuju Manor.

Dia tidak bisa percaya apa yang telah terjadi! Mata yang dia rasakan mengamatinya adalah mata milik Harry – anak laki-laki luar biasa dan misterius yang ingin menjadi teman Draco dan tinggal di hutan yang merupakan fantasi Draco. Itu adalah hari terbaik bagi Draco dan dia tidak bisa menahan senyumnya untuk tidak muncul diwajahnya sepanjang malam itu.

Malamnya, Draco berbaring di tempat tidurnya, bersandar pada ibunya yang dengan lembut membacakannya sebuah cerita. Dia sudah tidak perlu cerita tidur lagi, tapi hal itu membuatnya tenang dan Draco suka membayangkan dongeng-dongeng yang dibacakan ibunya. Pikirannya beralih pada Harry, dan sebelum dia bisa menghentikan dirinya, Draco berkata, "Mummy, aku melihat seorang anak laki-laki di hutan tadi."

Narcissa menghentikan bacaannya dan mengangkat kepala Draco supaya dia bisa menatap mata Draco. "Apa maksudmu, Dragon?"

Draco berharap dia tidak mengatakan apapun, tapi sekarang sudah dilakukannya, ibunya tidak akan membiarkannya lolos tanpa penjelasan. "Well, tadi aku sedang membaca di taman belakang…"

"Draco! Apa yang sudah kami katakan tentang pergi kesana?"

"Aku hanya membaca," kata Draco. "Tapi ada seorang anak laki-laki di hutan. Namanya Harry."

"Draco, sayang, tidak ada anak laki-laki di hutan. Monster menakutkan yang tinggal disana, bukan anak-anak kecil."

"Tidak, mummy, aku melihatnya!" kata Draco.

"Draco, hentikan ini! Tidak ada anak-anak laki-laki di hutan. Sekarang aku melarangmu untuk pergi kesana, apa kau mengerti? Ada hal-hal di hutan itu yang akan menyakitimu. Orang-orang sudah menghilang di hutan itu. Kau akan aman selama kau tidak melewati bangsal, tapi jika aku menemukan bahwa kau telah…"

Ancaman itu tidak perlu dikatakan; Draco tahu pasti apa yang dikatakan ibunya. Dia menyilangkan lengannya di depan dada dan menurunkan dagunya. Narcissa mencoba untuk mendapatkan jawaban darinya, tapi Draco menolak untuk menjawab.

Akhirnya, dengan desahan pasrah, dia mengucapkan selamat malam dan dengan mantra nox, kamar Draco diliputi kegelapan.

Draco berguling ke sisinya yang lain dan menatap keluar jendela kearah hutan. Dia tidak mendengar bisikan-bisikan kali ini, tapi Draco tahu ada sesuatu di hutan itu. Sesuatu yang harus ditemukan.

Draco menutup matanya, dan setelah berjanji pada dirinya bahwa dia tidak akan pernah menyebutkan Harry lagi, dia tertidur.

Dua Tahun Kemudian…

Draco berlari menyusuri lahan tanah Manor, sebuah surat tergenggam erat dalam kepalannya. Surat itu akhirnya tiba, Draco tidak sabar untuk menunjukkannya pada Harry.

Draco berlari melewati air mancur besar dan sebuah danau kecil, sepanjang jalan menuju taman belakang. Saat dia mencapainya, Draco terengah-engah dan harus duduk di bangku batu untuk menghirup udara.

Sebuah tawa kecil terdengar dari hutan dan Draco berdiri. "Harry? Harry buka gerbangnya, aku punya sesuatu yang ingin kutunjukkan!"

Harry muncul dari balik sebuah pohon dan mengayunkan tangannya kearah gerbang. Gerbang itu terbuka dan tanpa berpikir, Draco melewati gerbang itu dan memasuki hutan. Tepat beberapa kaki di depan Harry, dia mengeluarkan sebuah surat dengan bangga dan membusungkan dadanya.

"Lihat, kataku surat itu akan datang, bukan?! Pagi ini saat sarapan burung hantu tiba. Aku akan pergi ke Hogwarts!" seru Draco. Dalam semangatnya dia membuang dirinya kearah Harry dan disambut dengan pelukan. Harry membalasnya lemah, kemudian mendorong Draco menjauh.

"Kapan kau akan pergi?" tanya Harry.

"Bulan September," kata Draco dengan sebuah cengiran. Dia menyadari bahwa Harry yang tampak lesu ketika mendengar kata-katanya itu mulai cemberut. "Harry, ada apa? Kupikir kau akan senang."

"Aku senang Draco, benar. Hanya saja… kau akan pergi jauh ke sekolah dan aku tidak akan bisa bertemu denganmu lagi. Kau tidak bisa mengunjungiku setiap hari."

Bahu Draco merosot saat dia menyadari apa yang dikatakan Harry. Setelah dua tahun mereka habiskan bersama setiap hari. Draco menganggap Harry sebagai sahabatnya. Jauh dari Harry untuk waktu yang lama akan sangat sulit bagi mereka berdua.

"Kau bisa ikut denganku," usul Draco, meskipun dia sudah tahu apa jawaban Harry.

"Kau tahu aku tidak bisa. Aku tidak bisa pergi."

Draco mendesah. "Aku tahu, aku tahu. Tapi aku akan kesini setiap kali aku ada dirumah. Ada hari Natal dan liburan lainnya. Aku janji aku akan berkunjung."

"Tapi tidak setiap hari."

"Tidak," kata Draco, "tidak setiap hari. Itu adalah sekolah asrama. Aku harus tinggal disana."

"Itu tidak akan sama," kata Harry.

"Yah, maafkan aku, Harry," kata Draco, menyilangkan lengannya didepan dada. "Tapi aku tidak bisa tidak pergi ke sekolah."

"Aku tidak memintamu!" gerutu Harry saat dia menendang sebuah batu, kemudian dengan cepat mengambilnya lagi dan mengembalikannya pada tempatnya.

"Baiklah, kalau begitu, kita akan bertemu setiap kali aku pulang."

"Setuju."

"Keren. Sekarang, ayo pergi menjelajah. Kau janji padaku akan menunjukkan sungai tempat ikan terbang."

Mereka bermain seolah-olah tidak ada yang berubah, tapi mereka tahu besok, semuanya akan berubah.

TBC!

A/N: Maaf, ceritanya saya bagi lagi jadi 2 chapter, hehe.

Reviewnya jangan lupa ya.