DISCLAIMER: HIRO MASHIMA

RATE : T

GENRE : CRIME/MYSTERY

WARNING : AU, 1ST POV, GORE, BIT OF OOC

.

.

Kopi Polonium Sequel

.

.

~Bloody Neck~

Bruum...Brruuumm...

Aku menginjak pedal gas mobil Honda Accord yang sedang kukemudikan dengan lebih dalam. Jarum spidometer bergerak perlahan ke arah kanan menuju angka 80. Jalanan lenggang di daerah lembah membuat aku leluasa untuk melajukan kendaraan pribadi ini.

Namaku adalah Gray Fullbuster. Seorang detektif resmi Kepolisian Hargeon berusia 24 tahun. Di hari Minggu yang lumayan cerah ini aku sengaja meluangkan waktu liburku untuk pergi ke sebuah pedesaan di ujung lembah yang bernama desa Honoka. Aku ke sana bukan dalam rangka tugas kepolisian melainkan ada kepentingan pribadi dengan seorang pria tua. Pria yang telah menjabat sebagai kepala Hargeon Police Departement selama nyaris satu dasawarsa. Pada saat beliau hampir mengakhiri masa jabatannya kebetulan aku baru saja masuk ke dalam Institusi Kepolisian tersebut. Wajar saja jika aku tidak terlalu mengenal beliau karena aku menjadi bawahannya selama satu tahun saja sebelum beliau pensiun.

Ratusan meter di depanku terlihat sebuah jembatan yang cukup besar namun sebenarnya mungkin sudah menua dimakan oleh sang waktu. Itu terlihat dari besi-besi penopangnya yang sudah berkarat serta ada papan peringatan bertuliskan 'Pelan-Pelan Karena Jembatan Akan Direnovasi' yang barusan aku lewati. Setahuku letak desa Honoka sangat dekat dengan sebuah jembatan. Itu informasi yang kudengar dari Jiemma-san, pria yang tadi kujelaskan. Dan benar saja, tidak sampai satu kilometer setelah melewati jembatan itu aku melihat gapura besar yang dibangun di atas jalan raya bertuliskan 'SELAMAT DATANG DI DESA HONOKA'.

Desa ini sepertinya cukup maju walau lokasinya yang kurang strategis karena berada di ujung lembah. Jalanannya beraspal walau tidak mulus seratus persen. Pertokoan ada di setiap perempatan atau pertigaan, pasar yang cukup ramai, rumah makan dan kedai di sana-sini, dan yang paling menonjol dari itu semua adalah patung seorang wanita berpakaian petani yang memiliki sepasang sayap mirip malaikat. Kalau tidak salah patung setinggi empat meteran yang berada di alun-alun desa itu adalah seorang penjelmaan Dewi Shri, Dewi pangan yang sangat dipercayai eksistensinya oleh masyarakat India.

Aku sempat menghentikan laju mobil sedanku di pinggiran alun-alun desa. Membuka ponsel untuk membaca denah yang telah diberikan oleh Jiemma-san kemarin sore. Di pesan masuk tertulis 'stelah sampai alun" kau lurus saja k utara mentok. manor miliku trlhat di pnck bukit'. Oke, aku akan cari setelah ini.

Aku sudah sampai di sebuah pertigaan yang mentok dan hanya ada dua jalur ke kanan atau ke kiri. Kuamati baik-baik ke arah utara dari pertigaan ini dan samar-samar di tengah rimbunnya pepohonan terlihatlah sebuah rumah berukuran lumayan besar dengan dua tingkat dan memiliki gaya Eropa klasik. Itu kah manor yang beliau katakan?

X

X

X

X

X

Kuparkirkan mobilku di depan rumah bertingkat dua ini. Pintu mobil dibuka dan aku keluar untuk mengetuk pintu.

Tok...Tok...Tok...

'Sebuah rumah tidak terlalu besar dan hanya memiliki satu lantai tambahan dan yang paling parah tidak ada belnya dikatakan, manor? terkutuk lah beliau.' batinku sembari mengetukkan jari-jari tangan kanan di permukaan pintu.

Tok...Tok...Tok...

Aku menghentikan ketukan karena mendengar derap langkah kaki dari balik pintu.

-Ceklek-

"Si...Siapa ya? Dan ada perlu ap...a?"

Seorang wanita berambut biru muda muncul membukakan pintu.

"Permisi nona, apakah benar Tuan Jiemma tinggal di rumah ini?" tanyaku ramah.

Wanita muda itu mengangguk sekali. "Ada perlu apa anda de...dengan Tuan Jiem...ma?"

'Sepertinya gadis ini sedikit gagap.' ucapku dalam hati. "Ano, saya adalah bawahan beliau saat beliau masih menjabat sebagai kepala di Kepolisian Hargeon nona. Apa Jiemma-san ada?"

"Tuan a...ada kok. Mari masuk." wanita itu membukakan pintu lebar-lebar. Aku pun masuk ke dalam.

Ini kah ruang tamu sebuah manor? Ruangan yang hanya berukuran kira-kir meter dan dekorasi ruangnya sangat minimalis? Tidak ada perabotan klasik yang menawan. Hanya ada dua sofa panjang yang mengapit sebuah meja kayu, sepasang pot bunga, almari besar yang tua, hanya itu. Ada dua tangga masing-masing di sebelah kanan dan kiri ruangan yang menghubungkan ke lantai atas. Dua buah pintu di samping kiriku sepertinya adalah kamar dan sebuah pintu besar di tengah-tengah sepasang tangga yang kemungkinan itu adalah dapur.

Aku memutuskan untuk menunggu pria berkulit sawo matang, bertubuh tegap, nan berotot itu sambil duduk santai di sofa yang sudah tersedia. Kudongakkan kepala ke atas dan di sana hanya ada sebuah lampu hias berukuran kecil yang tergantung di langit-langit. Apakah manor jaman sekarang sesederhana ini?

"GRAY!"

Aku tercengang seketika. Suara besar itu berasal dari arah tangga. Tepatnya tangga di sebelah kanan.

"Jiemma-san?" wajahku sedikit sumringah.

Pria tinggi besar itu berjalan cepat menuju ke arahku. Begitu sampai kemudian dia memeluk tubuhku dengan erat. "Wahahaha, kau sehat kan Gray?"

Aku mengangguk-angguk dengan ekspresi malas. Seperti biasa, pria ini hiperaktif dan selalu kasar. "Iya-iya. Mari kita duduk saja Jiemma-san dan lepaskan pelukan anda kalau ingin aku selamat."

"Wahaha, mari-mari silahkan duduk."

Kami berdua akhirnya duduk. Aku di sofa yang mendempet ke tembok dan beliau ada di seberang meja.

"Kau lihat kan Gray tempat ini? Benar-benar indah dan megah manor yang kubangun dengan susah payah." ujarnya.

Aku menggaruk rambut bagian belakang, "Yaah benar-benar indah dan megah untuk ukuran sebuah rumah di...kampung."

Sepasang bola matanya melotot tajam ke arahku sebelum akhirnya dia menggebrak meja dengan keras...

BRAK!

"JUVIAAA! CEPAT BAWAKAN KOPI PAHIT UNTUK KAMI BERDUA!" teriaknya menggelegar.

Wajahku mendadak pucat pasi. 'Kopi pahit dan aku dipaksa untuk menghabiskannya seperti dua tahun silam? Lebih baik aku menolaknya tegas kali ini. Secangkir kopi yang berisi lima sendok makan kopi bukan pahit lagi namanya. Sangat!'

"Jiemma-san, aku air putih saja." aku menyela.

"Haaah? Kau sudah tidak mau kopi pahit Gray?"

"Hehehe, ano...aku kebetulan sedang mengalami maag kronis. Oleh karena itu lambungku tidak boleh diasupi serbuk kopi sedikitpun." alibi yang sangat bagus.

Pria brewokan di hadapanku terlihat seperti sedang berpikir. "Oke-oke kalau begitu. JUVIAAA! SATU KOPI PAHIT DAN SATU AIR PUTIH!"

Malapetaka itu tidak akan kembali untuk yang kali kedua.

"O ya Gray, bagaimana kabar HPD (Hargeon Police Departement) sekarang? Bertambah maju kah atau mundur kah?"

Aku menaruh kedua telapak tangan di belakang kepala sebagai bantal, "Semenjak anda pensiun, Kepolisian Hargeon mengalami kemajuan yang lumayan pesat. Ibu Ul telah membuat banyak gebrakan dan sistem yang bagus. Seperti sanksi yang tegas bagi para indisipliner, meningkatkan pelayanan publik, penerapan pengaduan via internet dari masyarakat, dan masih banyak lagi."

"Jadi kau mau mengatakan yang sebenarnya bahwa pada saat aku masih menjabat, HPD mengalami kemunduran? Begitu?" dia menekuk lengan kanan sehingga otot biceps-nya nampak jelas.

"I...Itu, itu tidak seperti yang anda bayangkan pak. Anda sudah bagus kok, iya benar. Hanya saja mungkin Ibu Ul lebih dinaungi keberuntungan lebih dalam memimpin." aku menghela nafas lega begitu mengetahui pria freak itu melemaskan kembali otot-ototnya. Sebuah pukulan maut di ubun-ubun masih terasa jelas sakitnya ketika aku diberi sanksi oleh Jiemma-san dua tahun silam.

Wanita berambut ikal bergelombang yang tadi sempat membukakan pintu untukku berjalan menghampiri kami berdua dengan membawa nampan berisi cangkir kopi pahit panas dan gelas air putih dingin.

"Silahkan diminum Tuan Jiemma d...dan juga..." sepasang bola mata hitam miliknya melirik malu-malu ke arah wajahku.

"Gray Fullbuster. Panggil saja Gray." jawabku datar.

Tangan kekar Jiemma-san menepuk-nepuk pundak wanita bernama Juvia itu, "Dan pria ganteng itu adalah mantan anak buahku dulu."

"Ohh. A...ano saya...saya permisi dulu." sebelum Juvia beranjak pergi, aku sempat melihat semburat merah tipis yang menghiasi kedua pipinya.

"Ayo kita bersulang sebagai simbol keakraban anggota Kepolisian Hargeon Gray!" Jiemma-san mengangkat cangkir kopinya ke udara.

"Baik." aku mendekatkan gelasku ke cangkirnya kemudian kami saling bersulang seperti yang biasa dilakukan dua tahun silam.

X

X

X

X

X

Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 18.30. Sejak tadi pagi hingga sore aku menghabiskan hari untuk ngobrol, bersenda-gurau, bermain catur, memancing ikan di sungai yang letaknya tidak terlalu jauh, serta berakhir dengan istirahat di kamar masing-masing akibat kelelahan. Kebetulan aku menempati kamar yang letaknya paling dekat dengan pintu masuk karena itu adalah kamar tamu. Yang ada di lantai satu.

"Jam setengah tujuh sore ya." gumamku seraya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Aku putuskan pergi keluar untuk sekedar jalan-jalan di desa Honoka ini sambil mencari makanan karena kebetulan perutku sudah terasa lapar. Ketika aku sedang melangkah melewati pintu masuk rumah, tiba-tiba saja ada sebuah mobil SUV berwarna oranye yang masuk ke dalam halaman rumah milik Jiemma-san. Setelah berhenti, masing-masing pintu di sisi kanan dan kiri terbuka. Memperlihatkan dua orang manusia dengan jenis kelamin berbeda, satu pria dan satunya lagi wanita.

Aku menunduk sopan saat wanita pengemudi mobil itu melintas di hadapanku.

"Maaf, kau...siapa ya?" tanya wanita bertubuh molek nan sintal itu. Seorang wanita yang memakai make-up mirip wanita dari negeri tirai bambu di era dinasti Han lebih dari seribu tahun lalu.

Kusodorkan tangan kanan ke arahnya, "Perkenalkan nona, namaku adalah Gray Fullbuster. Dan aku merupakan mantan bawahan Jiemma-san di saat beliau masih menjabat sebagai pimpinan HPD."

Dia sontak menjabat tanganku tanpa ragu, "Salam kenal Gray-san. Perkenalkan juga diriku. Minerva Orland, putri tunggal dari ayahandaku." senyuman manis mengembang di bibir eloknya. Ehm, lebih tepatnya itu mirip seringaian.

'Jadi dia anak perempuan dari Jiemma-san? Yang banyak diceritakan oleh rekan-rekan kerjaku karena menurut mereka sangat menggairahkan? Hmm.'

"Apa pekerjaanmu sekarang Gray Fullbuster?" tanyanya. Masih tersenyum seperti tadi.

"Aku sekarang bekerja sebagai detektif resmi Kepolisian Hargeon. Anda nona Minerva?"

"Aku adalah dokter umum yang berpraktek di desa ini. O ya, perkenalkan juga sahabatku yang kebetulan juga sedang bertamu sama seperti anda." wanita itu melepaskan jabatan tangan kemudian memegang pergelangan tangan pria di sampingnya untuk berjabatan denganku.

"Dia adalah Laxus Dreyar. Sahabatku yang tinggal di kota Magnolia yang juga merupakan seorang atlet bela diri tingkat regional." Minerva memperkenalkan pria kekar berambut spike berwarna pirang itu kepadaku.

Kujabat tangannya, "Gray Fullbuster."

"Laxus." ucapnya singkat.

Wajah pria itu terpaku selama beberapa detik saat menatap wajahku. "Anda bukannya Gray Fullbuster yang pernah memecahkan kasus pembunuhan di Hotel Moonlight itu kan? Benar bukan?"

Aku tersenyum simpul, "Benar."

Jabatan tangannya mengerat, "Sungguh sebuah kehormatan bisa bertemu dengan detektif ternama di seantero Fiore seperti anda."

"Haha, biasa saja. Tidak usah terlalu hiperbolis seperti itu, hahaha."

"Laxus, mari kita masuk. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu di dalam." putri Jiemma-san itu menarik lengan berisi milik Laxus.

"Oke-oke. Kami permisi dulu detektif."

Aku menghela nafas panjang saat mereka berdua sudah masuk ke dalam rumah serta menutup pintu. Aku sungguh tidak menyangka jika diriku seterkenal ini. Jam terbangku yang baru dua tahun setelah lulus dari Hargeon Police Academy tidak membuat karierku tertinggal jauh oleh para detektif senior yang ada. Justru di usia karierku yang baru seumur jagung ini aku mampu mengukuhkan nama sebagai salah satu detektif paling handal, berintegritas tinggi, serta memiliki track record terbaik di seluruh negeri.

Kulangkahkan kedua kakiku di atas trotoar. Matahari hampir terbenam dan karena cuaca cerah maka hal itu mengakibatkan terjadinya efek senja yang mengagumkan. Desa Honoka ini terbilang cukup ramai di sore hari menjelang senja. Beberapa mobil serta sepeda motor berlalu-lalang di jalanan yang bisa dikatakan sempit dan kurang rata. Pengguna sepeda justru sangat lah banyak. Ini bagus karena polusi akan berkurang dan kelestarian alam tetap terjaga dengan baik.

Kuputuskan untuk masuk ke dalam sebuah kedai kecil yang ada di pertigaan tempat aku tadi menghentikan mobil. Kedai bernama 'Oishi' itu tidaklah terlalu ramai, lumayan kata yang pas, sehingga aku bisa mengisi perut tanpa perlu takut terganggu oleh kebisingan apapun. Lantunan lagu Ai no Uta dari Koda Kumi yang disetel sayup-sayup membuat suasana semakin tenang.

Aku duduk di meja nomer 4 dan tak lama setelah itu datanglah seorang laki-laki muda berbaju pelayan. "Selamat malam tuan, mau pesan apa?"

Tanpa perlu melihat menu aku langsung berkata, "Nasi goreng seafood pedas dan minumnya jus jeruk dingin."

Pelayan itu menunduk, "Siap tuan." kemudian dia kembali ke dapur.

Waktu terus berjalan. Menit demi menit terlewati dan makanan serta minuman yang aku pesan tak kunjung datang.

~Sora wo miagereba hoshitachi ga hora matataiteru. Kono hoshi...~

Segera kuangkat telepon saat ponsel yang kuletakkan di atas meja berdering.

Aku : "Moshi moshi?"

X : "Ini benar nomornya uhuk Gray Fullbuster?"

Aku : "Iya. Ini adalah nomor Jiemma-san kan? Kenapa...kenapa suara anda berubah menjadi lirih dan serak?"

X : "Saya bukan Tuan Jiemma. Saya adalah tukang kebunnya, Yajima. Cepat pulang Tuan Gray Fullbuster, uhuk cepat!"

Aku : "Bisa anda jelaskan apa sebenarnya yang terjadi dan mengapa saya harus terburu-buru?"

Yajima : "Tuan Jiemma uhuk dia...dia...dia..."

Aku : "Katakan ada apa?"

Yajima : "Dia tewas."

Celaka 13 jika itu terjadi. Aku harus memastikan kebenarannya sekarang juga. Siapa tahu ini adalah main-main.

Aku langsung bergegas untuk kembali. Kubayar harga makanan dan minuman secepat mungkin di kasir. "Makananku dibungkus beserta minumnya. Akan aku ambil nanti. Terima kasih."

Berlari sekencang yang kubisa membelah trotoar desa. Orang-orang melihatku dengan tatapan aneh tapi ku tak peduli.

Sesampainya di halaman rumah Jiemma-san perlahan-lahan aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Kebetulan pintunya tidak dikunci dari dalam. Tapi jika ada orang tewas seharusnya terlihat beberapa atau bahkan banyak warga sekitar yang ingin menonton. Atau jangan-jangan ini memang bohongan belaka?

Kalau tidak salah kamar beliau ada di atas dan berada paling ujung kiri. Aku berjalan mengendap-endap kali ini dan berusaha untuk mengamati keadaan sekitar. Tidak ada kehebohan sama sekali. Hanya...terdengar sesenggukan dari seorang wanita. Itu adalah suara dari wanita yang tadi bersalaman denganku di halaman.

"Hiks...hiks..."

-Ceklek-

Pintu depan rumah terbuka dan munculah pelayan yang bernama Juvia itu. Di kedua tangannya terdapat banyak sekali barang belanjaan. Aku menempelkan jari telunjukku di depan mulut dan Juvia hanya menatapku dengan ekspresi bingung. Wanita itu berjalan pelan-pelan naik ke atas melalui tangga. Begitu juga denganku.

Aku lekas bergerak cepat saat melihat ada tiga orang yang berada di dalam kamar pribadi Jiemma-san. Putrinya yang bernama Minerva sedang tersungkur di depan mayat ayahnya, sesenggukan menangisi raga tanpa jiwa. Pria bernama Laxus diam membeku di depan daun pintu yang terbuka. Sedangkan yang terakhir adalah seorang kakek-kakek bertubuh sangat pendek juga kecil yang hanya bisa memandangi sosok majikannya yang sudah tidak bernyawa dengan tatapan tidak percaya. Di telapak tangan kanannya ada sebuah ponsel yang tadi digunakan untuk menghubungiku. Bukankah itu ponsel Jiemma-san? Apa yang dia lakukan dengan ponsel Jiemma-san sehingga berujung meneleponku?

Aku mendengar suara barang-barang terjatuh di belakangku. Juvia menjatuhkan barang belanjaannya saat menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri sosok tuannya yang kini tergeletak di atas ranjangnya dengan keadaan yang sangat memprihatinkan.

Matanya terpejam.

Darah membasahi seluruh spreinya hingga warna sprei itu yang tadinya putih kini berubah menjadi merah.

Dan yang terparah...

Leher kekarnya nyaris putus dengan luka bacokan benda tajam yang mengiris tepian lehernya di sebelah kiri.

Ini bukan bunuh diri ataupun kecelakaan. Ini adalah pembunuhan! Dan aku dapat mengantongi nama seluruh calon tersangka yang ada sesegera mungkin. Satu dari empat orang yang ada di rumah ini saat aku pergi adalah pelakunya.

Yajima.

Minerva Orland.

Laxus Dreyar.

Juvia Loxar.

"Hiks, ayaaaahhh..."

Perhatianku teralih kepada Minerva yang tiba-tiba saja suara tangisnya mengeras. Kepalan tangan kirinya digedor-gedorkan ke lantai kamar.

"Aku bersumpah hiks aku akan membunuuuhhh...PELAKUNYAAA!" jeritnya.

-TSUZUKU-

Author memberanikan diri untuk menulis fic bergenre crime bertema pembunuhan lagi, hehe. :D

Doakan author ya agar fic ini bisa selesai dan tidak berhenti di tengah jalan. :)

O ya, menurut kalian ada tidak petunjuk 'kecil' di chapter perdana ini? Ada tidaaakk? Hayo? :D

Terima kasih sudah membaca!