Disclaimer: Cerita ini di angkat dari sebuah Drama Korea yang berjudul IRIS atau Airisu. Drama tersebut tayang perdana pada tahun 2009. Jika ada kemiripan nama tokoh dan nama tempat, tolong dimaklumi. Cerita ini di buat hanya untuk hiburan semata. Tokoh dan segala properti dalam cerita ini bukan milik saya, cerita ini dibuat bukan untuk tujuan komersil.


A/N : halo, fanfic ini sebelumnya sudah pernah saya post, akan tetapi saya repost kembali karena terdapat banyak sekali kesalahan dalam pengetikan. Di dalam penulisannya juga ada beberapa bagian yang saya tambahkan dan saya rombak kembali. Saya mohon maaf jika dalam penulisan fanfic ini masih terdapat banyak kekurangan atau banyak kalimat yang mungkin sulit untuk di mengerti. Saya berharap semoga fanfic ini bisa kalian nikmati dan dapat menghibur. Jika ada kritik atau saran yang ingin disampaikan, saya akan menerima dengan senang hati.

Okey, selamat membaca~

.

.

.

Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime

[ Cover is not mine ]

a RivaEre Fanfiction Written by Heichouxi

SNIPER

Action, Mystery, Thriller, Romance

Rate: M

Warnings: AU, Yaoi/BL/BoyXBoy/MaleXMale, Deskripsi agak ngawur, EYD berantakan, Bahasa tidak baku, OOC, Alur cerita yang bergonta-ganti.

.

.

.

Di dalam cerita ini, saya buat Rivaille dan Eren usianya tidak terpaut jauh. Rivaille (30 tahun) dan Eren Jaeger (26 tahun).

.

.

.

Don't Like? Don't Read, Don't Flame.

.

.

.

Enjoy Reading.

.

.

.


Bunyi derap langkah kaki seorang pria terdengar begitu tergesa-gesa, berjalan menelusuri sepanjang lorong koridor kampus yang luasnya sekian ratusan hektare itu. Setelan jaket hitam pekat yang di kenakannya nampak begitu berantakan. Keringat membasahi hampir sekujur tubuhnya, dari pelipis kemudian turun melewati rahang sampai ke leher. Nafasnya terlihat sangat memburu dan tidak beraturan. Keadaannya itu tidak jauh berbeda seperti seorang Atlet Pelari Maraton profesional. Sangat jelas sekali terlihat bahwa pria itu sedang terburu-buru. Langkah kakinya kemudian berhenti di depan sebuah papan Informasi. Jari telunjuknya yang panjang serta matanya yang sipit mulai menelusuri sekian banyak daftar nama mahasiswa/mahasiswi baru di kampus itu. Obsidian hitam pekatnya kemudian berkilat. Jari telunjuknya berhenti tepat di depan sebuah nama yang dicarinya.

"Ada."

Nomor urut tiga puluh empat. Jurusan Hukum.

Rasa bangga mungkin sedikit menyelimuti dirinya. Bukan hal yang mudah baginya untuk dapat masuk dan diterima sebagai mahasiswa di universitas tersebut. Mengingat kampus ini bukanlah kampus biasa. Ya, Kyoto University merupakan sebuah universitas nasional yang terletak di Kyoto, Jepang. Universitas ini adalah universitas tertua kedua di Jepang dan menjadi salah satu universitas dengan peringkat tertinggi di Asia dan salah satu dari tujuh universitas nasional di Jepang. Kyoto University telah menelurkan peneliti kelas dunia, termasuk delapan peraih hadiah Nobel, dua medali Fields dan satu Gauss Prize. Universitas ini secara konsisten menjadi institut terbaik peringkat kedua di Jepang sejak tahun 2008.

Mata kuliah pertama yang harus dijalaninya pada hari itu adalah mata kuliah tentang politik dan diplomasi Amerika. Belum hilang rasa pegal di kakinya akibat berjalan sepanjang lorong koridor kampus tadi, kini pria itu terpaksa harus berjalan lagi mencari dimana letak kelas mata kuliah yang akan diikutinya. Setelah sampai di depan pintu sebuah ruangan yang diyakini sebagai ruangan yang dicarinya, pria itu kemudian berhenti dan hanya diam mematung berdiri di depan pintu ruangan tersebut. Pria itu ragu untuk masuk ke dalam. Dia melirik sekilas arloji yang terpatri manis di pergelangan tangannya, menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh empat menit.

"Terlambat." Desisnya.

Aku sudah capek-capek sampai ke sini, masa balik lagi?

Pria itu membatin dalam dirinya sendiri.

Akhirnya pria itu memberanikan diri. Tangannya perlahan mulai meraih gagang pintu ruangan tersebut dan membukanya perlahan. Bunyi suara derit pintu terdengar sangat nyaring dan sontak membuat seluruh orang di dalam ruangan tersebut melemparkan pandangannya ke arah pintu masuk.

Hannes adalah seorang dosen yang saat itu sedang asyik bercerita tentang pembunuhan Presiden Kennedy. Hannes terpaksa harus menghentikan ceritanya dan ikut menoleh ke arah sumber suara pintu dibuka. Dari pintu masuk muncul seorang pria tampan berambut ebony yang menjadi tersangka utama karena kedatangannya yang terlambat. Pria itu hanya memasang wajah datar, lalu berjalan menuju kursi kosong di barisan belakang. Sesaat kemudian, suasana di ruangan kelas kembali fokus.

"Apakah ada disini yang dapat menjelaskan tentang teori kematian Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy?" Hannes melemparkan arah pandangan matanya ke seluruh penjuru ruangan, menunggu jawaban dari seseorang yang dapat memuaskannya.

Seorang pria berwajah manis berambut brunette mengangkat satu tangannya ke atas. Pria itu tersenyum sangat manis ke arah sang dosen.

"Iya, Eren. Silahkan."

Eren kemudian menganggukan kepalanya dan mulai berbicara.

"Pembunuhan John F. Kennedy, presiden ke-35 Amerika Serikat, terjadi pada hari Jumat, 22 November 1963 di Dallas, Texas pada pukul 12:30 Waktu Tengah. Kennedy tewas akibat ditembak saat berada di dalam mobil bersama dengan istrinya Jacqueline Bouvier Kennedy."

Eren berhenti sejenak, lalu kemudian melanjutkan.

"Pada tahun 1964, setahun setelah kematiannya, Gedung Putih membentuk komisi untuk menyelidikinya, yang lebih dikenal sebagai Komisi Warren. Kesimpulan komisi tersebut, Kennedy dibunuh oleh seorang pria bersenjata yang bertindak sendirian, Lee Harvey Oswald. Pada tahun 1978, Kongres juga membentuk komite untuk menyelidikinya. Mereka menemukan fakta bahwa selain Oswald, ada juga kemungkinan seorang pria bersenjata kedua ikut menembaki iring-iringan presiden. Komisi menyimpulkan bahwa orang-orang bersenjata itu adalah bagian dari konspirasi."

Hannes menganggukan kepala dan tersenyum, lalu melemparkan arah pandangannya menunju ke arah kursi di barisan belakang.

"Kau yang datang terlambat tadi. Siapa namamu?"

Pria tampan yang duduk di kursi barisan belakang lalu menunjuk dirinya sendiri seolah bertanya, Siapa yang kau maksud? Aku?

Dengan wajah datar, pria tampan itu menjawab.

"Rivaille."

Hannes mengangguk, "Rivaille, bagaimana menurut pendapatmu tentang penjelasan Eren tadi?"

Rivaille menegakkan badannya, membenarkan posisi duduknya, dan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Saya membantah teori tersebut." Tukas Rivaille.

Hannes terkejut mendengar jawaban Rivaille, kedua alisnya terangkat. "Kenapa?"

"Sebab pendapat seperti itu hanya di kemukakan oleh orang yang berfikiran sempit." Ucap Rivaille.

Eren yang mendengar ucapan Rivaille tersebut, merasa terganggu karena teorinya di bantah. Pria manis itu kemudian melanjutkan berbicara.

"Central Intelligence Agency pada masa itu ibarat hantu bagi publik AS. Badan yang didirikan pada tahun 1960 itu memiliki reputasi pembunuhan politik tingkat tinggi. Satu teori menunjukkan bahwa Oswald adalah seorang agen CIA dan berkasnya dirusak setelah pembunuhan, untuk membuatnya tampak sebagai seorang komunis dan pelaku tunggal."

Rivaille masih melipat kedua tangannya di depan dada, menyenderkan punggungnya ke senderan kursi, mendengarkan dengan jelas bagaimana Eren berbicara.

"Setidaknya ada 50 orang telah dibunuh untuk menutupi peran CIA dalam kematian Kennedy. Beberapa dari mereka, termasuk Dorothy Kilgallen dan Mary Meyer, adalah wartawan atau penulis yang siap untuk membuka kasus tersebut. CIA menutupi pembunuhan Kennedy dengan cara mencuci otak masyarakat. Program Operasi Mockingbird CIA, yang telah mempengaruhi media-media besar AS, digunakan sebagai instrumen untuk mencuci otak dan memaksa lahirnya istilah Teori Konspirasi di tengah masyarakat. Tujuan dari program itu adalah untuk meneror spikis orang-orang, dimana mereka akan selalu mengatakan bahwa 'Kita tidak akan pernah tau siapa yang membunuh Kennedy.' Cara itu dilakukan agar masyarakat menjauhi sebuah fakta sederhana bahwa CIA membunuh Kennedy. Beberapa orang yang terlibat dalam pembunuhan Kennedy oleh CIA, mengakui masalah tersebut, termasuk Chauncey Holt, David Sanchez Morales, dan bahkan Lyndon Johnson. Tapi saksi utama di antara para pembunuh Kennedy, yang mengakui hal itu adalah pejabat tinggi CIA, E. Howard Hunt. Pada 6 Februari tahun 1985, Hunt secara resmi ditetapkan oleh dewan hakim sebagai salah satu aktor pembunuh Kennedy oleh CIA."

Tepuk tangan yang sangat keras di berikan oleh Hannes, karena merasa sangat puas dan takjub dengan teori yang di kemukakan oleh Eren tersebut.

"Excellent."

Eren tampak mengulum senyum. Pria manis itu masih belum merasa puas.

"Orang yang beranggapan bahwa pendapat yang saya kemukakan tadi adalah pendapat dari orang yang berfikiran sempit, sebenarnya orang itu merupakan orang yang bodoh." Eren memberi penekanan pada kata terakhirnya sambil melempar tatapan sinisnya ke arah Rivaille.

Pria tampan yang duduk tenang di bangku barisan belakang membalas tatapan sinis Eren kepadanya.

"Cih. Sialan."

.

.

.


Kantin merupakan salah satu tempat favorit yang paling sering di kunjungi oleh mahasiswa/mahawsiswi di kampus. Sebagian besar di antara mereka memilih kantin sebagai tempat tongkrongan karena di kantin mereka bisa dengan mudah untuk memesan makanan atau minuman jika tiba-tiba perut mereka merasa lapar atau haus, mereka juga bisa menikmatinya sambil membaca buku atau sambil mengobrol bersama dengan teman yang lain.

Bunyi suara perut terdengar begitu keras dan nyaring. Eren yang sedang asyik dengan buku yang di bacanya, terpaksa harus menghentikan kegiatannya itu karena merasa sudah tidak tahan lagi menahan rasa lapar. Eren belum sempat mengisi apapun ke dalam perutnya sejak tadi pagi. Jadwalnya yang padat merayap bagaikan semut, membuatnya tidak bisa meluangkan sedikit waktunya hanya untuk memikirkan kesehatan badannya sendiri. Segelas susu putih hangat yang di minumnya tadi pagi sebelum berangkat ke kampus, tidak banyak membantunya menahan rasa lapar. Pria manis itu kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju kantin.

Bagaimanapun juga, kalo aku lapar begini, belajar pun gak mungkin bisa masuk ke otak.

Eren memesan makanan favoritnya Hamburger Keju dan Milkshake untuk minumannya. Dia lalu membawa pesanannya itu ke meja di sudut dekat jendela, kemudian duduk menikmati makan siangnya sendirian sambil melanjutkan kegiatan membaca bukunya tadi yang sempat tertunda. Pria manis itu terlihat tengah asyik membolak-balik halaman buku tebal yang di bacanya tentang 'Dasar-dasar Ilmu Politik'. Seorang pria tampan yang duduk tidak jauh dari lokasi tempat duduk Eren, terus memperhatikan gerak-gerik pria manis itu dari jauh. Rivaille kemudian bangun dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri tempat duduk Eren. Pria tampan itu lalu duduk di kursi kosong di samping tempat duduk Eren. Eren hanya melirik sekilas dari sudut matanya, namun tetap cuek lalu fokus kembali dengan bukunya. Sadar dirinya diacuhkan, Rivaille tidak mau kalah. Pria tampan itu lalu mencoba menarik perhatian pria manis yang duduk di sampingnya dengan cara merebut minumannya dan sengaja meminumnya tanpa izin terlebih dahulu. Eren mendelik melihat minumannya di minum orang lain.

"Sumimasen, itu minumanku."

Rivaille melirik sekilas. "Ya. lalu?"

"Kenapa diminum?"

Rivaille tidak menjawab, malah melanjutkan acara minumnya.

Eren mendengus sebal, lalu menutup bukunya dengan kasar. Ekspresi wajahnya terlihat sangat kesal. "Kau sengaja ya?"

"Apa?" Rivaille balik bertanya.

"Kau sengaja ingin membuatku kesal."

Rivaille lalu menghentikan acara minumnya dan menatap kedua mata cantik milik pria manis yang duduk di sampingnya itu.

"Bukannya kau yang lebih dulu membuatku kesal?"

"Hah?" Eren terlihat bingung.

"Dua kali kau membuatku kesal loh."

Eren mengedikan bahu. "Kapan? Aku tidak ingat."

"Yang pertama, barusan kau mengacuhkanku."

Sebelah alis Eren terangkat. "Lalu?"

"Yang kedua, saat di kelas tadi. Mata kuliah diplomasi." Rivaille memberi sedikit penekanan pada nada bicaranya.

Eren nampak faham dengan maksud ucapan Rivaille.

"Oh, itu." Eren merapikan bukunya. "Kau duluan kan yang membantah teoriku? Padahal aku belum selesai menjelaskannya sampai tuntas."

"Kau ingin pamer padaku kalo kau itu pintar?"

"Tidak." Eren kemudian berdiri dari tempat duduknya. "Aku hanya mencoba menjelaskan apa yang aku tau, itu saja. Maaf aku buru-buru, permisi." Dengan cuek Eren berjalan pergi meninggalkan Rivaille yang masih duduk diam di meja.

Eren sudah tidak perduli lagi dengan rasa lapar di perutnya. Pria manis itu sudah benar-benar kesal dengan sikap Rivaille yang tiba-tiba mengganggu acara makan siangnya.

Masa bodoh jika aku terkena penyakit tukak lambung, aku sudah benar-benar kehilangan nafsu makan gara-gara pria bodoh itu!

Eren terlihat sibuk menggerutu.

Rivaille masih saja duduk di tempatnya. Pria tampan itu masih terus memandangi sosok punggung Eren yang berjalan semakin jauh lalu menghilang di balik kerumunan orang. Rivaille bergumam pelan, nyaris tidak terdengar.

"Ho. Menarik."

.

.

.


Bunyi bising suara pistol terdengar begitu keras melesak memekakan gendang telinga. Itulah alasan mengapa orang-orang kerap kali suka menutup telinga mereka saat sedang menguji coba sebuah senjata api, itu karena pada umumnya suara pistol dapat menciptakan suara yang sangat kencang sekitar 140-160 decibel (dB). Rentang decibel tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada telinga manusia. Silinder peredam suara saja tidak akan banyak membantu untuk mengurangi suara kencang tersebut. Dengan bantuan silinder peredam suara, suara kencang itu hanya akan berkurang menjadi sekitar 120-130 dB, itupun masih cukup kencang. Silinder peredam suara sering kali dapat membuat seorang penembak menjadi sulit mengetahui darimana arah suara tembakan berasal atau seberapa jauh asal suara tembakan.

Kacamata, penutup telinga dan sarung tangan (glove) merupakan alat-alat yang selalu digunakan sebagai perlindungan diri demi keselamatan saat menjalani pelatihan menembak. Hal tersebut dikarenakan proyektil peluru yang ditembakkan serpihannya akan mental berbalik secara acak setelah mengenai sasaran plat besi. Dan tentu saja itu akan dapat beresiko mengenai mata. Demikian pula dengan suara bising dari ledakan peluru, tentunya akan mengganggu pendengaran dalam jangka panjang. Untuk sarung tangan (glove) ada baiknya digunakan karena sering kali terjadi ketika pistol ditembakan atau dikokang terkadang slide dapat melukai tangan, bila posisi memegang unit tersebut salah. Target yang biasa digunakan dalam sebuah pelatihan menembak biasanya berupa sebuah penampang objek gambar yang menampakkan struktur tubuh manusia dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Letak objek gambar tersebut sangatlah jauh.

Seorang Sniper dituntut untuk dapat membunuh musuhnya dengan santai, rileks, dan tanpa tekanan, mampu memilih target secara cermat, bisa mengontrol kualitas emosi, dan mempunyai kekuatan mental-psikologis yang memadai. Seorang Sniper yang handal sangat dibutuhkan dalam medan perang untuk membantu memenangkan perang. Seorang Sniper mempunyai slogan "One Shot, One Kill" jadi dia selalu berusaha menggunakan satu pelurunya untuk membunuh satu target. Target yang paling sering dipilih oleh seorang Sniper adalah target yang memiliki pengaruh terhadap pasukan, seperti komandan, perwira, atau operator komunikasi. Apabila Sniper dapat melumpuhkan orang-orang tersebut, maka akan mudah baginya untuk mengacau di pihak musuh. Seni menembak seorang Sniper harus dipelajari dengan serius dan latihan yang rutin serta berlanjut. Peran seorang Sniper adalah harus mampu menembak sasarannya dengan sangat akurat pada jarak diluar jarak efektif senapan serbu biasa yang tidak mungkin dilakukan oleh penembak biasa.

"Apakah dia tidak merinding?" Salah seorang anggota tim berkepala botak berbicara setengah berbisik kepada temannya.

"Sst... jangan keras-keras, Connie." Marco sedikit ketakutan.

"Bagaimana bisa dia berdiri di depan targetnya dengan gaya seperti itu." Connie malah semakin mengencangkan volume suaranya.

PLAK!

"Aduh! Hei, kenapa kepalaku di pukul?" Connie memprotes karena merasa tidak terima atas tindakan keji yang dilakukan oleh temannya itu.

Marco mendelik ke arah Connie, "Sudah aku bilang jangan keras-keras, Rivaille bisa mendengarmu, baka!"

"Takut banget sih sama dia!" Pria berkepala botak itu mencibir kesal sambil mengelus kepalanya yang terasa perih akibat dipukul tadi. "Ini benar-benar akan menjadi tantangan yang tidak mudah." Connie masih saja berkomentar.

Marco benar-benar geram. Ingin sekali rasanya memukul kepala temannya yang botak itu dengan balok es!

"HEI KALIAN BERDUA JANGAN RIBUT!" seorang atasan menegur mereka.

Connie dan Marco langsung mengunci kedua mulut mereka rapat-rapat dan menegakkan badan mereka menghadap ke depan. Berdoa di dalam hati semoga mereka tidak mendapatkan hukuman. Keduanya saling melirik dan menyumpahi satu sama lain. Atasan mereka hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku dua anak buahnya yang selalu berbuat onar itu, kemudian berjalan pergi meninggalkan mereka berdua.

"Sial. Mengagetkan saja!" Connie sedikit bisa bernafas lega.

"Aku bilang juga apa. Makanya diam dan jangan berisik!" Marco menimpali.

"Ya. Ya." Connie memutar bola matanya malas karena sudah bosan sekali mendengar nasihat dari temannya itu.

Rivaille bersiap pada posisinya. Obsidian hitam pekatnya menatap lurus ke depan. Perlahan tapi pasti, pria tampan itu terus memfokuskan arah pandangan kedua matanya kepada target objek gambar yang terus bergerak arah ke kanan dan ke kiri.

"RIVAILLE DAN FARLAN BERSEDIA!"

Aba-aba mulai diberikan.

Farlan menyikut pelan pinggang sahabatnya itu, "Hei, rileks saja. Kali ini aku yang akan menang."

Rivaille yang mendengar ucapan Farlan itu, hanya melirik dan tidak memperdulikannya.

"KESEMPATAN 3 KALI MENEMBAK! WAKTU 30 DETIK!"

Aba-aba terdengar kembali.

Rivaille mulai mengambil posisinya. Kakinya dibuka selebar bahu. Lutut sedikit tertekuk, tubuhnya miring sekitar 40 derajat. Pandangan matanya tetap fokus ke depan. Jari tangannya di tempelkan pada pelatuk.

KLIK!

Waktu mulai berjalan.

"MULAI!"

Rivaille dan Farlan berjalan ke depan selangkah demi selangkah.

CTAR! CTAR!

Bunyi pelatuk ditarik.

"LOMPAT!"

Keduanya secara bersamaan melompat dan berguling melewati besi pembatas. Kemudian bersiap untuk kembali menembak.

Peluru melesak menembus mengenai sasaran.

Keduanya merunduk.

CTAR! CTAR!

Oke. Tembakannya langsung kena!

Waktu masih terus berjalan.

Rivaille bersiap menarik pelatuknya lagi, dia berjalan mendahului Farlan.

Kenapa? Dia tidak langsung menembak?

Waktu tersisa 5 detik lagi.

CTAR! CTAR!

Bidikan Farlan meleset!

Sial!

"WAKTU HABIS!"

Target objek gambar berhenti bergerak. Pelatih mereka memperhatikan dengan cermat hasil tembakan mereka.

"RIVAILLE MENANG!"

Suara sorakan terdengar sangat keras dari para pendukung Rivaille di belakang. Connie dan Marco sampai melompat dan bertepuk tangan. Farlan seolah tidak percaya kalo dirinya baru saja gagal. "Uso!"

Farlan lalu menajamkan penglihatannya ke depan dan mengamati dengan jelas hasil bidikannya tadi. Dua bidikannya tepat mengenai sasaran, kepala dan dada. Hanya saja satu bidikan terakhir mengenai tepat dibawah—kemaluan? Loh kok? Pantas saja! Farlan menyengir malu ke arah Rivaille.

"Bajingan, kau. Fokusmu kenapa ke arah situ." Tukas Rivaille.

Semua rekan-rekannya di belakang menertawai Farlan dengan keras. Farlan hanya bisa menundukkan kepalanya merasa malu.

"Ahh... itu sangat sulit, sungguh." Farlan menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal.

"Jangan bermain-main saat latihan!" Pelatih mereka datang menegur.

Farlan menunduk malu, "Wakarimashita."

Rivaille hanya mengedikkan bahunya lalu berjalan pergi.

Para pendukung Farlan datang dan merangkulnya dari belakang. Sebagian tertawa, sebagian lagi meledekinya.

"Tidak apa-apa, kau sudah bagus kawan!" Berthold menepuk pelan pundak Farlan dari belakang. "Rivaille memang bukan orang yang mudah untuk di kalahkan, aku mengerti perasaanmu."

Farlan tersenyum getir, "Kenapa sih Rivaille itu selalu saja serius? Setidaknya sekali ini saja biarkan aku yang menang."

Teman-temannya tertawa mendengar ucapan Farlan yang terdengar putus asa itu.

.

.

.


Rivaille selalu menjalani rutinitasnya yang sama setiap hari, dengan aktivitas yang tidak pernah berubah. Memenuhi kewajibannya menjadi seorang mahasiswa sekaligus tergabung dalam pelatihan militer bersama dengan Farlan, seorang sahabat yang sudah dia anggap sebagai saudaranya sendiri. Saat di pelatihan mereka berdua sangat dekat dan saling bersaing dengan sehat. Bahkan mereka berdua adalah anggota regu yang terbaik dan seringkali membuat pelatih mereka merasa senang dan bangga melihat kekompakkan mereka berdua. Mereka bersahabat baik dan bahkan teman sekamar di asrama. Mereka juga dua orang yang paling top di antara anggota yang lain. Mereka bagus dalam tes menembak. Tapi ada perbedaannya, Rivaille selalu menyelesaikan semua tes dengan dingin dan tepat. Farlan sedikit lebih betingkah, dia juga sama bagusnya, hanya saja caranya yang sedikit tidak biasa. Farlan suka pamer. Meskipun begitu, semua hal itu tidak membuat Rivaille merasa bosan, stress atau tertekan saat menjalani rutinitasnya.

Mata kuliahnya hari ini sama seperti kemarin, namun kali ini Rivaille tidak datang terlambat. Pria tampan itu justru datang lebih awal dan terlihat bersemangat ketika memasuki ruangan kelas. Tidak lama setelah Rivaille duduk di kursinya, sang dosen akhirnya datang. Hannes masuk ke dalam ruangan kelas yang sudah di penuhi oleh mahasiswa/mahasiswi yang telah bersiap untuk memulai pelajaran. Hannes tersenyum, lalu meletakkan semua buku-buku dan perlengkapan yang di bawanya ke atas meja.

"Selamat pagi." Sapa Hannes.

"Selamat pagi, sensei." Jawab mereka semua, serentak.

Hannes mengambil salah satu buku dari dalam tasnya, membolak-balik halaman demi halaman di buku itu, lalu kemudian berhenti di halaman dua ratus tujuh puluh tiga, tentang Perang Teluk. Hannes membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot.

"Apakah ada yang bisa menjelaskan tentang penyebab terjadinya Perang Teluk?" Seperti biasa, Hannes memulainya terlebih dahulu dengan membuka sesi pertanyaan.

Ruangan kelas nampak sunyi sekali. Hannes sedikit kecewa, lalu menunduk menatap bukunya kembali, membalik halamannya lagi, mencoba mencari pertanyaan lain yang kira-kira mudah untuk di jawab.

Satu tangan terangkat tinggi ke atas.

Oh, ternyata ada yang bisa menjawab.

Kali ini bukan tangan milik Eren.

"Oh, Rivaille? Silahkan."

Rivaille menutup bukunya, mencondongkan badannya ke depan, meletakkan satu tangannya di atas meja, lalu menopang dagunya dengan satu tangan.

Seluruh mata di ruangan itu tertuju padanya, menunggunya berbicara.

"Perang Teluk disebabkan atas Invasi Irak atas Kuwait 2 Agustus tahun 1990 dengan strategi gerak cepat yang langsung menguasai Kuwait. Invasi Irak ke Kuwait disebabkan oleh merosotnya ekonomi Irak setelah Perang Delapan Tahun dengan Iran dalam Perang Iran-Irak. Irak sangat membutuhkan petro dolar sebagai pemasukan ekonominya. Kuwait membantu Irak dengan mengirimkan suplai minyak secara gratis. Irak juga terjerat hutang luar negeri dengan beberapa negara, termasuk Kuwait dan Arab Saudi. Irak berusaha meyakinkan kedua negara tersebut untuk menghapuskan hutangnya, namun ditolak."

Hannes tersenyum puas mendengar jawaban Rivaille, "Iya, sangat te—"

"Jumlah Kematian Militer Amerika Serikat dalam Perang Teluk mencapai angka 73.846 orang. Gugur dalam menjalankan tugas mencapai angka 17.847 orang. Gugur dalam non-tugas mencapai angka 55.999 orang." Tukas Rivaille.

Hannes kembali mengangguk, "Baik, sangat bagus sek—"

"Stastiks untuk kasus cedera tidak mematikan juga sangat mengejutkan. Total penderita penyakit tidak terdiagnosis mencapai angka 14.874 orang. Jumlah total klaim penderita cacat mencapai angka 1.620.906 orang. Cacat dalam tugas mencapai angka 407.911 orang. Cacat dalam non-tugas mencapai angka 1.212.995 orang." Rivaille masih terus melanjutkan.

Pfft! Eren menutup mulutnya, menahan diri untuk tidak tertawa. Lalu mengangkat satu tangannya ke atas.

Hannes kemudian memberikan izin untuk Eren berbicara.

"Menghafal kronologis perang secara keseluruhan itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang berfikiran sempit, karena yang terpenting sebenarnya hanyalah maksud dan latar belakang dari perang itu sendiri. Menjelaskan tentang perang dengan menghafal semuanya adalah hal yang berlebihan. Benar kan, sensei?" Ucap Pria manis itu.

Hannes menahan diri untuk tidak tertawa mendengar kalimat sindiran Eren tersebut, lalu kemudian mengangguk dan tersenyum. "Tepat sekali, Eren."

Eren tersenyum puas lalu kembali fokus dengan bukunya, tanpa memperdulikan Rivaille yang kesal setengah mati dan hampir saja menedang kursi temannya di depan tempat duduknya.

Ho. Jadi kau balas dendam kepadaku?

Tangan Rivaille mengepal geram menggenggam pulpen, nyaris ingin mematahkannya menjadi dua kalo saja dia tidak ingat kalo itu pulpen miliknya satu-satunya.

"Bocah sialan!" Umpatnya, nyaris tidak terdengar.

.

.

.


"Oi, Eren!"

Eren menghentikan langkah kakinya lalu memutar badannya berbalik ke belakang menuju ke arah sumber suara. Pria berwajah manis itu terlihat bingung dan melempar tatapan polosnya. "nani?"

Rivaille hanya menatap Eren dengan tatapan datar. Dari wajah tampan pria itu sangat jelas sekali terlihat kalo dia sedang ingin berbicara serius.

"Sudah puas kau?"

Eren semakin bingung. "Aku tidak mengerti apa maksudmu."

"Sudah puas kau membuatku malu di depan orang-orang."

Eren tersenyum, lalu mengalihkan pandangan matanya ke arah lain, menghindari kontak mata langsung dengan Rivaille.

"Mmm... soal itu, maaf. Tapi aku harus pergi. Kita bicara lain kali saja, ya?"

Eren kemudian berbalik badan dan berjalan melanjutkan langkah kakinya tanpa memperdulikan Rivaille yang masih diam berdiri di tempat.

"Aku ingin mengajakmu minum, jika kau mau."

Langkah kaki Eren berhenti.

Pria manis itu tersenyum.

"Maaf, mungkin lain kali?" Jawab Eren seketika, tanpa memandang Rivaille di belakangnya.

Rivaille terkekeh. ho, Tawaranku ditolak? Tangan kanannya mengepal geram ingin sekali meninju apapun untuk melampiaskan rasa kesalnya.

Jangan harap aku akan bersedia mengajakmu lagi lain kali, Eren.

"Souka." Rivaille kemudian berbalik badan dan hendak pergi.

Namun, baru saja Rivaille hendak melangkahkan kakinya untuk pergi, satu tangannya tiba-tiba saja ditarik. Pria tampan itu terpaksa harus memutar badannya lagi.

Eren memegang erat tangan Rivaille dan menatap lekat kedua mata pria tampan itu dengan jarak wajah mereka yang lumayan dekat.

Sialan. Jantungku kenapa seperti mau lompat keluar?

Rivaille membatin dalam dirinya sendiri.

"Tapi kalo kau memaksa untuk mengajakku minum, aku mau kok!" Eren memasang ekspresi muka polosnya dan tersenyum sangat manis di hadapan Rivaille.

Apa-apaan bocah ini?

Rivaille masih shock dan belum juga bergerak. Pria tampan itu masih sibuk mencerna kata-kata yang di ucapkan oleh pria manis di hadapannya itu. Untung saja, Eren segera menyadarkan Rivaille dengan menepuk keras pipi pria itu.

PLOK!

Akhirnya Rivaille bisa berkedip kembali!

Eren lalu mengguncang pelan kedua pundak Rivaille. "Jadi gak sih? Kenapa malah bengong?" Tanya Eren, polos.

Rivaille akhirnya sadar dan langsung menarik tangan Eren membawa pria manis itu pergi menuju ke suatu tempat.

"Jadi lah."

.

.

.


Izakaya merupakan tempat bernuansa khas Jepang yang menyediakan minuman beralkohol dan hidangan sederhana untuk teman minum-minum. Berbeda dari rumah makan biasanya, menu utama di Izakaya adalah minuman beralkohol sedangkan makanan hanya sebagai sampingan saja. Izakaya berbeda dari bar atau pub yang bernuansa khas Barat dan menjual minuman keras khas Barat. Minuman keras yang dijual di Izakaya umumnya seperti bir, sake, atau chūhai. Hidangan yang disediakan di Izakaya juga lebih bervariasi dibandingkan hidangan di bar atau pub.

Alasan utama Rivaille membawa Eren pergi ke tempat itu bukan ingin mengajak pria manis itu untuk mabuk. Melainkan karena Rivaille tidak tau lagi dimana tempat yang pas untuk mengajak Eren mengobrol berdua.

Eren meneguk sake yang dituangnya ke dalam gelas untuk yang kesekian kalinya, ntah sudah berapa gelas yang di teguk oleh pria manis itu.

"Kau kuat minum juga ternyata." Rivaille tertegun melihat bocah manis di hadapannya itu ternyata tahan mabuk.

Eren tersenyum getir, "Tambah lagi kalo perlu, aku kuat kok."

"Hmm. Aku tidak sudi menggendongmu pulang sampai ke rumah."

"Aku bisa pulang sendiri. Serius. Ayo tambah lagi!"

Rivaille menggelengkan kepalanya, lalu merebut gelas yang baru saja ingin di teguk lagi oleh Eren.

"nande?" Eren merengut, kecewa gelasnya di rebut.

"Sudah cukup, Eren. Kau bisa benar-benar mabuk."

Eren makin merengut. Melempar pandangan matanya ke arah lain. Merasa kesal karena sikap Rivaille yang tidak memberinya izin untuk minum lagi.

"Eren."

"..." Pria manis itu tidak menjawab.

"Eren, lihat mataku."

"Malas."

"Aku ingin bicara."

Eren pura-pura tidak mendengar.

"Eren..."

Eren tetap acuh dan tidak mau merespon.

Kesal karena panggilannya tidak di respon, Rivaille lalu sontak mengulurkan tangannya untuk menyentuh dagu Eren dan memaksa pria manis di hadapannya itu untuk menatap tepat ke arah matanya. Eren sempat shock karena perlakuan Rivaille yang terbilang nekat itu, pria manisitu berusaha sekuat tenaga untuk menutupi rona merah yang muncul di pipinya akibat di tatap langsung oleh pria tampan di hadapannya.

"Yahari, kau benar-benar mabuk. Wajahmu merah sekali."

"Aku tidak mabuk." Eren menyingkirkan tangan Rivaille yang masih menyentuh dagunya, "Tolong jangan sembarangan menyentuhku."

Rivaille lalu menjauhkan tangannya dari dagu pria manis itu, "Aku hanya menyentuh dagumu, bukan menyentuh yang lain-lain."

Eren mendelik, Menyentuh yang lain-lain apa maksudmu? Dasar hentai. Eren lalu mengedikan bahunya, "Kau mau bicara apa?"

Rivaille menyamankan posisi tempat duduknya, menyenderkan punggungnya ke senderan kursi, menatap lekat kedua mata Eren.

Eren sedikit salah tingkah di tatap seperti itu.

Rivaille dapat melihat dengan jelas kalo pria manis di hadapannya itu sedang salah tingkah.

"Biasa saja, aku tidak akan memakanmu."

"Tentu saja, aku kan bukan makanan!" Eren menjawab dengan ketus.

"Aku ingin bilang padamu kalo aku ini tidak bodoh. Jadi berhentilah mencari masalah denganku saat di ruang kelas."

Eren tersenyum, "Memangnya kapan aku bilang kalo kau itu bodoh?"

"Kau bilang aku berfikiran sempit."

Eren mengangguk, "Bukannya memang benar begitu?"

"Asal kau tau saja. Aku mampu menghafal apapun secara keseluruhan meskipun hanya sekali lihat."

Eren tertawa geli sekali. "Uso!"

"Aku serius."

Rivaille kemudian memutar badannya ke belakang, mengedarkan arah pandangannya ke seluruh penjuru ruangan di tempat itu, bola matanya kemudian tertuju pada sebuah papan daftar menu makanan besar yang di gantung di dinding. Dalam waktu singkat, Rivaille membaca semua daftar menu makanan di papan itu secara keseluruhan, lalu memutar badannya kembali menghadap Eren.

"Oke." Rivaille mengarahkan jari telunjuknya ke arah papan daftar menu makanan besar di belakangnya.

"Apa?" Eren nampak bingung, kemudian matanya bergerak mengikuti arah jari telunjuk Rivaille.

"Tanyakan apa saja tentang nama menu makanan di belakangku." Tukas Rivaille.

Eren mengedikan bahu, "Untuk apa aku harus melakukannya?"

"Cih. Cepat tanyakan saja!" Rivaille memaksa.

Eren mengangkat sebelah alisnya, "Umm..." pria manis itu nampak berfikir sebentar, kemudian mengarahkan pandangannya ke papan daftar menu makanan besar di belakang Rivaille. "Sebutkan apa saja nama menu makanan utama disini?"

Rivaille nampak berfikir sebentar, "Oke." Kemudian matanya menatap lurus ke arah kedua mata Eren, "Kulit babi, iga babi, kerang panggang, makarel panggang, corvina panggang, pollack panggang, ayam tembolok, kaki ayam, kerang rebus, udang, belut."

"Hoo..." Eren menganggukan kepala, "Lalu, apa saja nama daftar menu makanan yang dijual disini seharga 30.000 yen?"

Rivaille nampak berfikir lagi sebentar, kemudian menjawab "Iga babi, makarel panggang, kerang panggang, ebi isi telur, acar, telur ikan, kepiting goreng, salad."

Manik hijau di kedua mata Eren membulat sempurna. Pria manis itu seakan ingin bilang bagaimana mungkin dia mampu menghafal semuanya? Mata Eren lalu bergerak, mencari sesuatu. Bola matanya berpendar saat melihat botol sake di hadapannya. Eren mengambil botol tersebut dan meminta Rivaille untuk membaca barcode yang tertera pada botol itu dalam waktu hanya 3 detik!

Belum sempat Rivaille membacanya dengan teliti, Eren sudah terlebih dahulu menarik kembali botol itu, "Sebutkan barcode nya."

Rivaille memejamkan matanya sebentar. Lalu membuka matanya kembali dan menatap lurus ke arah kedua mata Eren.

"ISBN 978-3-16-1484..." Rivaille berhenti sejenak, mencoba mengingat 3 digit angka terakhir, "...10-6?"

Tepat sekali! Sama persis!

Mulut Eren menganga lebar. Kali ini pria manis itu benar-benar percaya, "Kau..."

Rivaille memasang wajah datar, "Otak ku ini jenius. Aku memiliki daya tangkap yang melebihi orang normal."

Eren tersenyum geli mendengar pengakuan pria di hapannya itu, namun diam-diam Eren sedikit merasa kagum karena baru pertama kali itu dia menjumpai seseorang seperti Rivaille.

Eren tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya.

"Kau mau kemana?"

"Pulang."

"Aku antar."

"Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri." Eren merapikan tas dan bukunya.

"Masa bodoh. Aku antar." Rivaille tetap ngotot.

"Terserah, kau bayar saja dulu ini semua. Aku tunggu diluar." Eren tersenyum sangat manis, dan berjalan keluar kedai duluan.

Rivaille langsung berjalan menuju ke tempat pembayaran dan membayar semuanya. Setelah selesai, pria itu langsung bergegas menyusul Eren keluar. Saat Rivaille tiba di luar, Eren tidak ada disana. Rivaille sudah mencoba mencarinya ke sekeliling tempat itu, namun dia tetap tidak menemukan Eren.

"Cih. Kabur kemana dia?"

Rivaille menendang dengan keras kaleng bekas minuman kosong di hadapannya.

"Sial. Dia membodohiku."

.

.

.


Hari berikutnya, Rivaille datang lebih awal ke kampus. Pagi itu, Rivaille berdandan lebih rapi. Lain dari biasanya, kemejanya dirapihkan dan dikancingi dengan benar. Rambutnya yang biasanya dibiarkan berantakan, kali ini disisir dengan rapi. Pria tampan itu terlihat jauh lebih tampan dari biasanya. Ya, memang dasarnya tampan sih mau bagaimanapun juga tetap saja tampan. Rivaille lalu memilih tempat duduk di kursi dekat tempat Eren biasa duduk. Namun anehnya, sampai waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat dua puluh lima menit, pria manis yang di tunggunya itu belum juga datang. Bahkan sampai mata kuliah selesai, Eren masih belum juga terlihat sama sekali batang hidungnya. Rivaille lalu mendatangi dosennya yang terlihat masih sibuk merapikan buku-buku dan alat perlengkapannya ke dalam tas. Menyadari kehadiran Rivaille di hadapannya, Hannes kemudian menghentikan kegiatannya sejenak dan menatap Rivaille dengan tatapan heran.

"Ada apa, Rivaille?"

"Eren tidak masuk?" Tanya Rivaille, tanpa basa-basi.

"Memangnya kau tidak tau?"

"Soal apa?" Rivaille balik bertanya.

"Eren itu bukan seorang mahasiswa di kampus ini, dia hanya seorang Audit." Ucap Hannes, sambil merapikan bukunya kembali.

Rivaille terkejut mendengar ucapan dosennya itu, "Audit?"

"Iya, departemen di kampus ini memberinya izin. Jadi aku sama sekali tidak keberatan." Hannes lalu bersiap pergi meninggalkan ruangan.

Rivaille menahannya, "Apa anda tidak tau sama sekali soal identitasnya?"

Hannes seolah mengerti dengan maksud pertanyaan Rivaille, dosen itu menggelengkan kepalanya, "Maaf Rivaille, aku tidak tau sama sekali tentangnya." Hannes lalu berjalan pergi meninggalkan ruangan.

Eren bukan seorang mahasiswa di kampus ini?

Dia adalah seorang Audit?

Apa maksudnya?

Rivaille masih belum bergerak dari tempatnya berdiri, pemuda itu nampak terlihat sedang berfikir dan bingung dengan apa yang baru saja di dengarnya. Merasa belum puas karena tidak menemukan jawaban, akhirnya Rivaille pergi meninggalkan ruangan kelas. Langkah kakinya berjalan cepat menuju ke arah kantin, Rivaille berharap mungkin saja Eren sengaja menghindarinya hari ini dan tidak ikut kegiatan mata kuliah lalu lebih memilih menghabiskan waktunya untuk membaca buku sambil menikmati makanan di kantin. Namun lagi-lagi, tebakan Rivaille salah. Setelah sampai di kantin, Rivaille tidak menemukan Eren disana. Rivaille tidak menemukan sosok yang dicarinya, dimanapun.

Dimana kau, Eren?

Siapa kau sebenarnya?

Kenapa kau tiba-tiba menghilang?

.

.

.


Waktu menunjukkan pukul dua belas malam lewat empat puluh delapan menit. Sudah hampir mau jam satu pagi, tapi Rivaille masih saja terjaga dari tidurnya. Pria tampan itu belum juga berhasil memejamkan kedua matanya dan pergi ke alam mimpi. Banyak sekali hal yang sangat mengganjal di dalam fikirannya. Dan setiap kali dia mencoba untuk memejamkan mata, sosok pria manis itu selalu muncul di dalam fikirannya.

Bocah sialan!

Rivaille mengacak rambutnya hingga kusut.

Sudah seminggu Eren tidak muncul di kampus, dan selama itu pula Rivaille terus mencari tau kabar tentangnya, namun pria itu tidak pernah mendapatkan apa yang dicarinya. Rivaille benar-benar frustasi. Eren benar-benar seperti menghilang dalam kehidupannya.

"Hei, kau kenapa?" Suara Farlan menyadarkan Rivaille dari lamunannya.

"Seperti orang yang sedang depresi saja. Kau tidak tidur? Sudah jam berapa ini? Kau ini memang punya obsesi mempertebal kantung mata ya?" Sindir Farlan.

Rivaille sedang tidak mood sama sekali meladeni pertanyaan Farlan.

Farlan bangun dari posisi tidurnya yang telentang menjadi duduk, "Kalo punya masalah, apa susahnya sih cerita?"

Rivaille benar-benar sedang sangat malas berbicara dengan teman sekamarnya itu. Pria itu lalu merubah posisi tidurnya menjadi miring ke samping, sengaja memunggungi Farlan.

"Kau tidak sedang putus cinta kan, Rivaille? Sungguh aku tidak ahli loh kalo harus menghibur orang yang sedang galau." Farlan masih terus berceloteh.

Berisik!

Rivaille memaki.

"Ayolah Rivaille, jangan sok tegar begitu."

Sialan!

Rivaille akhirnya bangun dari posisi tidurnya yang miring menjadi duduk di tepi ranjang menghadap Farlan. Farlan merasa sangat puas karena berhasil membuat teman sekamarnya itu merasa kesal.

"Ada seseorang yang aku suka, tapi orang itu tiba-tiba saja menghilang. Dia tidak pernah muncul lagi di hadapanku, bahkan sampai sekarang." Rivaille akhirnya mau juga bercerita kepada sahabatnya itu.

Farlan terkekeh, "Memangnya seperti apa orang yang kau suka itu sampai membuatmu menjadi seperti anak abege yang baru pertama kali jatuh cinta?"

Rivaille mendelik ke arah Farlan.

"Apa katamu barusan?"

"Hah?"

"Ulangi."

"Yang mana?"

"Kalimat terakhir."

"Jatuh cinta?"

BRUK!

Sebuah bantal mendarat tepat di wajah tampan Farlan.

"Akh..." Pria itu mengaduh. "Kau ini, apa-apaan sih?"

"Siapa yang kau maksud sedang jatuh cinta?" Rivaille bersiap ingin melempar Farlan dengan bantal lagi.

Farlan lamgsung memasang pose bersiga untuk menghalau serangan Rivaille.

"Aku kan hanya bertanya, kenapa kau marah? Atau jangan-jangan..." Farlan memutuskan kalimatnya. Dia beringsut mundur teratur ke belakang saat melihat Rivaille berjalan mendekatinya. Kedua alis sahabatnya itu terlihat menyatu. Raut wajahnya menjadi sangat serius. Tangannya mengepal kuat seperti ingin memukul orang.

Gawat!

"Hei, aku cuma bercanda tau." Farlan benar-benar menyumpahi dirinya sendiri kenapa mulutnya bisa keceplosan asal bicara.

Rivaille maju selangkah.

Farlan mundur selangkah lagi.

Rivaille kemudian berhenti.

Farlan masih merasa was-was.

"Dia punya mata yang cantik." Ucap Rivaille.

"eh...?" Farlan bingung. "Barusan kau bilang apa?"

"Aku sangat menyukainya karena dia mempunyai mata yang cantik." Jelas Rivaille.

"Tunggu, kau ini benar-benar Rivaille, kan?" Farlan sedikit bergidik ngeri melihat sahabatnya itu yang sudah seperti orang lain saja.

Rivaille bersiap-siap melayangkan tinjunya ke wajah Farlan, untung saja Farlan bisa segera mengindar dan melompat menjauh.

Farlan bersyukur di dalam hatinya karena masih di beri selamat dari tinjuan maut Rivaille. Wajah tampannya itu tidak jadi bonyok.

"Siapa orang yang kau taksir itu?"

"Aku tidak tau siapa dia. Aku tidak tau dimana dia tinggal. Aku tidak tau apapun tentangnya. Aku sudah seperti di sihir." Ucap Rivaille.

Farlan mengernyitkan keningnya mendengar ucapan Rivaille barusan.

"Aku yakin, orang yang kau taksir itu adalah orang yang memiliki kekuatan sihir tingkat tinggi yang mampu memikat laki-laki manapun melalui matanya, lalu semua laki-laki yang masuk ke dalah perangkapnya akan tergila-gila, kemudian kehilangan kewarasannya. Seharusnya kau bersyukur karena kau bisa lepas dari perangkapnya hidup-hidup, Rivaille." Ucap Farlan.

Rivaille mendelik mendengar ucapan Farlan, "Apa maksudmu?"

"Tentu saja aku bercanda." Farlan tertawa tanpa dosa. "Sudahlah, lupakan saja dia. Jika dia memang orang yang baik dan pantas untukmu, dia tidak akan mungkin tiba-tiba menghilang dan meninggalkanmu begitu saja. Kau pasti mengerti kan maksudku?" Farlan masih bersiaga, kalo-kalo dia di serang telak lagi.

Rivaille terdiam, raut wajahnya yang datar itu terlihat sedang berfikir. Pria itu kemudian berbalik badan dan kembali berjalan ke tempat tidurnya, duduk diam di tepi ranjang. Sorotan matanya terlihat murung.

Farlan masih berdiri di tempatnya mengamati gerak-gerik sahabatnya itu.

"Ya, mungkin kau benar. Dia bukan orang yang baik untukku." Ucap Rivaille.

Farlan seakan mengerti dengan kondisi mood sahabatnya yang tidak terlalu baik dan sedikit berbeda dari biasanya itu. Leluconnya tidak akan mempan disaat seperti ini. Farlan kemudian berjalan menghampiri sahabatnya lalu duduk di sampingnya.

"Besok aku mau bertemu dengan teman lamaku, untuk minum bersama. Kau mau ikut?" Farlan menepuk pelan pundak Rivaille.

"Tidak."

"Kenapa?"

Rivaille diam saja.

"Kau baik-baik saja kan?" Farlan nampak khawatir.

"Ya."

Rivaille lalu beringsut ke atas tempat tidurnya, dan tidur dengan posisi miring menghadap ke tembok. Kedua kelopak matanya mulai terpejam.

"Yasudah kalo kau tidak mau ikut, aku tidak akan memaksa." Farlan kemudian berpindah ke tempat tidurnya sendiri dan memejamkan kedua matanya juga.

"Oyasumi."

.

.

.


Bar merupakan sebuah tempat yang menyediakan pelayanan makanan dan minuman, baik yang mengandung alkohol maupun yang tidak mengandung alkohol. Contohnya bir, anggur, likeur, atau koktail. Bar dikenal dengan sebutan tavern. Bar berasal dari kata barrier yang berarti sesuatu yang menghalangi, yaitu kayu pemisah antara bartender dengan tamu. Kayu pemisah atau penghalang tersebut dinamakan counter yang dilengkapi dengan kursi tinggi yang disebut bar stools.

Farlan terlihat sedang menimang-nimang gelas minuman yang ada di tangannya, meneguknya sampai habis lalu mengisinya lagi sampai gelas itu terisi penuh kembali. Pria tampan itu duduk sendirian di dalam sebuah bar sambil di temani oleh minuman yang dipesannya. Wajahnya terlihat sangat suntuk dan bosan. Farlan lalu menuang kembali minumannya ke dalam gelas kosong yang di pegangnya, kemudian meneguknya lagi sampai habis. Baru saja Farlan hendak mengisi kembali gelasnya itu, tiba-tiba saja punggungnya di tepuk keras oleh seseorang dari belakang. Acara minumnya menjadi terhenti. Dengan sangat malas, Farlan memutar kepalanya ke belakang untuk melihat siapa orang yang berani mengganggu acara minumnya itu.

"Kau..." Desisnya.

"Maaf aku terlambat, kau sudah lama menunggu disini?"

"Aku sudah hampir menghabiskan dua botol, sialan!" Farlan memaki.

"Kau masih saja seperti dulu, kuat minum." Pria itu menepuk pundak Farlan sekali lagi, kali ini lebih keras.

Farlan mengaduh, "Hentikan, Erwin. Sakit!"

Erwin terkekeh, lalu duduk di kursi kosong di samping Farlan. Kemudian ikut menuang minuman ke dalam gelas kosong, lalu meminumnya,

"Oh iya, aku ingin memperkenalkanmu pada seseorang." Erwin melirik arloji di pergelangan tangannya, "Mungkin sebentar lagi dia akan sampai kesini."

Farlan melempar pandangan bingungnya, "Siapa?"

Belum sempat Erwin menjawab pertanyaan Farlan, tiba-tiba saja dari pintu masuk datang seorang pria manis berambut brunette, memakai dalaman kaos berwarna putih dengan setelan jaket berwarna coklat muda. Celana jeans berwarna sedikit gelap dan sepatu sneakers yang di kenakannya juga tidak luput membuat penampilannya malam itu menjadi semakin terlihat manis. Gaya berapakaiannya mungkin biasa saja, tapi terlihat mempesona di mata Farlan.

"Senpai, maaf aku terlambat." Pria manis itu lalu duduk di sebelah Erwin, dan tersenyum manis ke arah Farlan.

Farlan yang melihat senyum manis pria itu, sampai lupa bagaimana caranya untuk berkedip. Mulutnya menganga lebar dan air liur imajiner mulai menetes dari sudut bibirnya.

Erwin menyikut Farlan pelan, tapi pria itu tetap tidak bergeming. Farlan masih asyik dengan fantasi liar yang berputar-putar di dalam kepalanya.

"Farlan! Farlan!" Erwin mencoba menyadarkan temannya itu dengan mengguncang keras kedua pundaknya, "Farlan! Kau baik-baik saja?"

Sesaat kemudian, Farlan tersadar. Dia kemudian menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, "Ah, aku tidak apa-apa."

"Syukurlah. Jangan minum lagi! Kau mulai sulit di ajak berkomunikasi." Erwin menjauhkan gelas minuman di tangan Farlan.

Pria manis yang duduk di sebelah Erwin, menyaksikan dengan jelas tingkah Farlan itu, kemudian menahan diri untuk tidak tertawa. Farlan semakin salah tingkah jadinya.

"Oh iya, dia orang yang ingin aku kenalkan padamu tadi, Farlan." Erwin kemudian menoleh ke arah pria manis yang duduk di sampingnya, "Dia adalah teman lamaku, yang sudah aku anggap sebagai adik sendiri. Namanya Farlan."

Pria manis yang duduk di samping Erwin lalu mengulurkan tangannya, memberi isyarat kepada Farlan untuk mengajaknya bersalaman, "Senang bertemu dengamu, Farlan. Namaku Eren."

Tanpa disia-siakan, Farlan langsung mengulurkan tangannya juga, bersalaman dengan pria manis yang sukses membuat jantungnya berdetak tidak karuan daritadi, "Oh. Halo Eren. Namaku Farlan."

1 menit.

2 menit.

5 menit.

Farlan masih belum juga mau melepas jabatan tangannya.

Erwin yang duduk di antara mereka berdua mulai gerah lalu berdiri dari tempat duduknya, "Ayolah, mau sampai kapan kalian bersalaman? Aku harus segera pergi. Ada satu pekerjaan yang harus aku selesaikan."

Farlan langsung menghentikan acara mari-bersalaman-sampai-puas dan terpaksa ikut berdiri dari tempat duduknya.

"Kenapa buru-buru banget sih." Farlan terlihat kaku.

"Kita bisa mengadakan acara seperti ini lagi lain waktu, Farlan." Erwin lalu memberi isyarat kepada Eren untuk mengikutinya. Pria itu kemudian berjalan keluar Bar, disusul oleh Eren di belakangnya.

Farlan lalu membayar semua minuman yang dipesannya, setelah itu dia langsung menyusul mereka berdua keluar. "Erwin! Tunggu! Aku ingin bicara sebentar."

Erwin menatap Farlan Heran, "Mau bicara apa?"

"Sebentar saja, tapi tidak disini." Farlan memberi isyarat kepada Eren untuk menunggu sebentar. Eren mengangguk mengerti. Setelah itu, Farlan langsung menarik lengan Erwin mengajaknya berjalan sedikit menjauh dari Eren.

"Kau ini kenapa sih?"

"Ano..." Farlan sedikit gugup, "Dia itu... siapa? Manis sekali." Farlan mencengkram kuat lengan baju Erwin, ekspresi wajahnya sudah seperti seorang fudanshi yang sedang fanboyingan.

Erwin tertawa, "Kau menyukainya? Tadinya aku memang berniat mau mendekatkan kalian berdua."

Farlan semakin ingin guling-gulingan rasanya, "Ah... dia itu tipeku, sungguh!"

"Dasar kau ini, sudah seperti bocah saja." Erwin menggelengkan kepalanya, lalu berjalan duluan. Pria itu menoleh kembali ke belakang, "Eren, ayo!"

Eren yang mendapat perintah untuk ikut, segera mengangguk dan melangkahkan kakinya mengikuti Erwin. Sesaat kemudian Eren menghentikan langkah kakinya tepat di hadapan Farlan lalu tersenyum manis di hadapan pria itu.

"Semoga lain waktu kita bisa bertemu lagi, Farlan." Eren tersenyum menatap ke arah Farlan, kemdian berlalu meninggalkan pria itu.

Farlan diam terpaku pada tempatnya. Dirinya seakan terhipnotis oleh senyuman dan tatapan Eren padanya barusan. Pandangan matanya tidak lepas memandangi Eren dari jauh. Sesaat kemudian Farlan mencubit keras pipinya sendiri. Sakit!

"Aku tidak sedang bermimpi."

.

.

.


Kamar itu nampak sunyi dan gelap. Cahaya yang masuk ke dalam kamar itu hanya berasal dari cahaya lampu pijar yang menyala di luar, kemudian masuk melalui celah lubang fentilasi yang terdapat di atas pintu. Detik suara jam di dinding seakan menjadi satu-satunya suara yang mengisi kesunyian di dalam kamar itu. Rivaille terlihat sedang tidur pulas di atas tempat tidurnya.

CEKLEK!

Suara pintu dibuka. Cahaya lampu pijar yang menyala di luar masuk ke dalam kamar yang gelap dan minim cahaya itu. Rivaille sedikit terusik dan tidurnya menjadi tidak nyaman karena silau.

"Oi, Farlan. Tutup pintunya!"

Tidak ada jawaban.

"Cih. Kau cari mati ya?" Rivaille memaki.

Masih tidak ada jawaban.

Rivaille bersumpah akan menghabisi teman sekamarnya itu jika belum juga menutup pintunya.

"Oi, bodoh. Tutup pintunya!"

Shit!

Rivaille terpaksa bangun dari tempat tidurnya, memutar kepalanya menghadap ke pintu, menajamkan penglihatannya yang sedikit buram karena mengantuk, bersiap untuk menghabisi teman sekamarnya itu, "Oi, Farlan. Kau ini tuli atau ap—"

Kalimatnya terputus. Kedua matanya terbuka sempurna. Rasa mengantuknya seketika hilang. Kakinya langsung berdiri menapak lantai. Jantungnya berdetak sangat kencang.

Bukan Farlan yang membuka pintu kamarnya.

Dua orang yang tidak dikenal, berpakain serba hitam dan berbadan gempal. Satu orang lagi adalah atasannya sendiri. Rivaille sama sekali tidak tau apa maksud kedatangan mereka semua malam-malam begini.

"Komandan..." desis Rivaille.

Salah seorang dari mereka kemudian memerintahkan untuk membawa Rivaille pergi, akan tetapi Rivaille menolak untuk ikut. Pria itu terus memberontak dan meronta. Sorot matanya seakan meminta penjelasan.

"Ikut saja dulu. Kau akan tau setelah sampai disana nanti."

Tidak ada pilihan lain. Mereka memaksa. Rivaille akhirnya menurut untuk ikut dengan mereka.

Rivaille lalu digiring masuk ke dalam sebuah mobil berwarna hitam, kedua orang berbadan gempal itu duduk di sisi kanan dan kiri Rivaille, seakan tidak memberi celah sedikit pun untuknya bisa kabur.

"Aku mau di bawa kemana?"

Tidak ada jawaban.

Percuma saja bertanya. Orang-orang itu sudah seperti bisu tidak punya mulut. Rivaille tau ada yang sedikit tidak beres, tapi pria itu masih saja bersikap tenang. Pria itu seakan tidak memiliki rasa takut pada apapun sama sekali. Deru mesin mobil kemudian menyala, mobil hitam itu melaju dengan kecepatan tinggi membawa Rivaille menuju ke suatu tempat yang dia sendiri tidak tau tempat seperti apa itu.

Mobil hitam itu kemudian berhenti di depan sebuah pagar pembatas yang di jaga oleh lima orang penjaga. Masing-masing di tangan para penjaga itu terdapat sebuah senapan berlaras panjang. Di sisi sebelah kiri pagar pembatas itu terdapat tulisan "DANGER" lalu di sebelah kanan terdapat tulisan "RESTRICTED AREA". Rivaille dapat membaca dengan jelas tulisan-tulisan itu. Kaca mobil di kursi bagian belakang tiba-tiba di buka. Salah seorang dari penjaga datang menghampiri Rivaille sambil membawa sebuah kertas map yang di dalamnya berisi data diri Rivaille lengkap beserta fotonya. Petugas itu kemudian menyamakan foto di dalam map tersebut dengan wajah Rivaille, setela merasa yakin bahwa wajah yang ada di foto itu sama persis, petugas itu lalu menganggukan kepalanya memberi izin Rivaille untuk masuk. Rivaille langsung diseret keluar. Dua orang berbadan gempal itu masih siaga berjaga di sisi kanan dan kiri. Rivaille berjalan menelusuri jalan setapak yang sedikit becek dan berkelok-kelok. Jalan itu membawanya menuju ke sebuah tempat seperti markas bawah tanah yang di jaga oleh banyak sekali penjaga. Di depan pintu masuk markas itu, berdiri empat orang penjaga yang berpakaian sama seperti dua orang penjaga yang ada di sisi kanan dan kiri Rivaille, mereka semua berpakaian serba hitam.

Salah seorang dari penjaga itu menekan sebuah angka pada papan tombol di dekat pintu masuk, angka itu merupakan sebuah kode rahasia. Tidak lama setelah penjaga itu memasukkan angka, pintu besar itu pun terbuka. Rivaille digiring masuk ke dalam. Empat orang penjaga di pintu masuk tadi ikut masuk dan menjaga Rivaille di belakang, jadi sekarang ada sekitar enam orang berbadan gempal yang mengawal Rivaille di sisi kanan, kiri, dan belakang. Sebenarnya tempat apa ini?

Rivaille masih terus berjalan, blok demi blok di lewati. Seakan tempat ini sama seperti sebuah terowongan bawah tanah yang tidak pernah ada ujungnya. Apakah ini sebuah markas rahasia? Tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu. Setiap sudut di tempat yang di lewatinya pasti terpasang sebuah kamera CCTV yang terus menerus berputar merekam siapapun yang melintasi tempat itu.

Rivaille lalu diminta untuk mengganti pakaiannya di salah satu ruangan. Salah seorang penjaga memberinya sebuah A-Shirt atau Athletic Shirt. Sejenis kaos singlet tanpa lengan berwarna putih. Rivaille dengan sigap menangkap kaos itu dan langsung memakainya. Setelah berganti pakaian, Rivaille diminta untuk berjalan lagi ke sebuah lorong yang lebih dalam. Saat melewati beberapa blok, dari blok sebelah barat, samar-samar telinga Rivaille seperti mendengar sesuatu. Seperti suara rintihan namun tidak terlalu jelas. Sesaat kemudian suara itu terdengar semakin jelas di telinganya.

"AAARRGGHHH!"

Rivaille lalu menghentikan langkah kakinya.

Suara itu... Seperti aku kenal!

"Hei kau, ada apa?" Salah seorang penjaga di belakangnya mulai curiga.

Rivaille diam saja. Enam orang penjaga berbadan gempal yang menjaganya di sisi kiri, kanan, dan belakang tampak terlihat bersiaga.

"AAAAARRRRGGGGHHHH! HENTIKAN!"

Suara itu terdengar lagi.

Kini Rivaille yakin betul suara siapa itu, obsidian hitam pekat miliknya kemudian bergerak mencari dimana letak sumber suara itu berasal.

"FARLAN! KAU DIMANA?"

Salah seorang penjaga berbadan gempal menarik Rivaille dengan kasar, kedua lengannya di putar ke belakang badan.

"AAKH!" Rivaille merintih kesakitan.

Penjaga berbadan gempal yang lain ikut mengunci seluruh pergerakan tangan dan kaki Rivaille. Namun Rivaille terus melawan. Kakinya bergerak menendangi mereka semua satu per satu.

BUAGH!

Rivaille berhasil menendang salah seorang penjaga hingga jatuh terpental. Rivaille berhasil melepaskan diri dari cengkraman kuat salah satu dari mereka lalu mengamuk menendangi mereka semua secara membabi buta.

BUAGH!

BUAGH!

BUAGH!

Salah seorang penjaga ada yang berhasil bersembunyi lalu mencoba untuk menghubungi sesorang.

"Sir, tahanan mengamuk!"

Tidak lama setelah salah satu dari penjaga itu melapor, muncul banyak orang berpakain serba hitam datang untuk mengepung Rivaille. Mereka semua berjumlah kurang lebih delapan orang. Rivaille mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Dadanya naik turun. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Luka memar dan lebam di lengan dan punggung akibat di pukuli tadi tidak membuatnya menyerah. Darah segar mengalir dari pelipisnya yang terkena pukulan dari salah seorang penjaga. Sudut bibirnya sedikit mengeluarkan darah. Tangan dan kakinya masih terasa ngilu dan perih setelah memukul, menonjok, menendang dan mematahkan tulang hidung mereka satu per satu. Bahkan ada salah satu dari mereka yang mulutnya sampai sobek.

Rivaille menatap orang-orang yang baru datang itu satu per satu.

Mereka tidak membawa pistol?

Mereka ingin mencoba untuk melawanku dengan tangan kosong?

"Cih." Rivaille mengelap darah dari sudut bibirnya.

Rivaille lalu berdiri tegak mengepalkan kedua tangannya. Mulutnya perlahan terbuka, mengatakan sesuatu.

"Aku tidak tau apa maksud kalian semua membawaku ke tempat seperti ini." Rivaille maju selangkah.

"Aku tau salah satu dari kalian yang kalian sebut sebagai Leader pasti sedang asyik mengamatiku dari kamera CCTV itu, bukan?" Rivaille maju selangkah lagi.

Pria itu lalu berhenti, dan kedua tangannya mengepal semakin kuat.

"MASA BODOH DENGAN APA YANG KALIAN RENCANAKAN, CEPAT KATAKAN PADAKU APA YANG TELAH KALIAN LAKUKAN TERHADAP FARLAN?"

Tanpa basa-basi lagi, Rivaille langsung melayangkan tinjunya kepada mereka satu per satu, menedang tepat ke arah perut mereka.

Namun, tiba-tiba saja salah seorang penjaga mengeluarkan sebuah suntikan, lalu menancapkan suntikan tersebut tepat di bagian lengan sebelah kanan Rivaille.

CRASH!

"ARGHH."

Rivaille sempat memberontak, lalu mencabut kembali suntikan itu dan melemparnya ke sembarang arah. Rivaille mencoba mencekik leher seorang penjaga yang telah berani menyuntiknya tadi. Namun sayang sekali, cairan di dalam suntikan itu ternyata telah berhasil masuk ke dalam tubuh Rivaille dan melumpuhkan sel-sel syarafnya. Rivaille langsung jatuh limbung tersungkur ke tanah. Tangan dan kakinya terasa lumpuh dan tidak bisa lagi digerakkan.

BRAK!

Pandangan mata Rivaille perlahan mulai kabur dan kesadarannya semakin menghilang.

"Akh..."

Kepalanya berdenyut hebat dan detak jantungnya semakin melemah.

Suntikan apa itu?

Mereka ingin membunuhku?

Rivaille masih mencoba untuk bangkit.

"Khh..."

Akan tetapi, tubuhnya seakan menghianatinya dan tidak mau lagi bergerak.

"Ka...u."

"Menyerah saja, Rivaille. Dan jangan membebani tubuhmu sendiri." Kata salah seorang penjaga.

Pandangan matanya semakin kabur, dan... gelap.

"Si...a...l."

Rivaille tidak sadarkan diri.

"Sir, tahanan sudah berhasil kami lumpuhkan."

Salah seorang penjaga itu lalu mengaggukkan kepala, memberi isyarat untuk membawa Rivaille. Dua orang penjaga yang lain kemudian segera memapah tubuh Rivaille dan membawanya masuk ke dalam sebuah ruangan. Ruangan yang semua dindingnya di lapisi oleh kaca satu arah, dan di dalam ruangan itu di penuhi dengan banyak sekali alat-alat yang biasa di gunakan untuk menyiksa orang.

.

.

.

To be continued.


Audit : dapat diartikan dengan pemeriksaan atau dalam arti luas bermakna evaluasi terhadap suatu organisasi, sistem, proses, atau produk. Audit dilaksanakan oleh pihak yang kompeten, objektif, dan tidak memihak, yang disebut auditor. Tujuannya adalah untuk melakukan verifikasi bahwa subjek dari audit telah diselesaikan atau berjalan sesuai dengan standar, regulasi, dan praktik yang telah disetujui dan diterima.