Hi, everyone!

Hayukk siapa yang masih puasa! Semangat, ya! Anne kali ini mau share fic baru spesial ramadhan. Kalau tahun lalu Starving Fasting muncul, tahun ini... juga. Wehehehe.. tpi untuk season ke 2 ini Anne buat setiap chapternya tidak saling berkaitan. Jadi seperti oneshot gitu aja. Dan tahun settingnya bisa berubah sesuai keinginan Anne. Hehe.. Jadi, misal belum sempat baca Starving, Fasting yang pertama, nggak masalah.

Semoga tahun ini puasa ramadhan kita semua (bagi yang menjalankan) diberikan kelancaran, ya. Dan tetap bersama cerita-cerita Anne untuk menemani puasa kalian agar lebih menyenangkan.

Langsung aja, yuk!

Happy reading!


(Tahun 2008)

Perapian berdebum cukup kencang ketika Harry sampai dengan satu kantung besar ia peluk dekat dadanya. Ginny menoleh cepat dari bayi perempuan di keranjang ayun samping sofa tempatnya duduk. Aha, orang yang ia tunggu sejak beberapa jam lalu akhirnya datang juga. Dan jika dilihat, pesanannya tadi siang benar-benar dikabulkan oleh sang suami.

"Cinnamon rolls dan bonus jus spesial dari kedai yang—"

"Waalaikum salam."

Harry terdiam mendengar respon tak relevan dari dirinya. Ditutup cepat rapat-rapat mulutnya dengan kantung belanja itu sambil terkekeh geli. Ia tahu kesalahannya tidak mengucapkan salam ketika masuk rumah. Ia hanya sempat berujar 'sorry' dengan sangat pelan sambil tersipu. Tanpa meletakkan kantung belanjanya, Harry kembali berlari ke depan mulut perapian. Diam sejenak meski senyumannya masih tertuju pada Ginny.

"Assalamualaikum, Mrs. Potter."

"Waalaikum salam, Mr. Potter."

Adegan seolah diputar kembali. Namun, kali ini tidak ada penjelasan tentang isi kantung belanja. Melainkan Ginny yang meraih tangan Harry untuk lekas ia kecup punggung tangan dari pria itu. Baru setelah Harry ikut duduk di sisi Ginny, ia jelaskan lagi mengenai roti dan sebotol minuman dingin yang ia bawa.

Harry keluarkan salah satu kantung kertas kecil berisi sebongkah kue beraroma kayu manis yang sangat khas. "Masih hangat." Jelasnya. "Madam Sarah juga memberikan tambahan jus kombinasi sayur untukmu. Katanya bisa membantu melancarkan ASI." Imbuh Harry. Sebuah botol berukuran 500 ml berisi cairan berwarna kehijauan begitu menggoda Ginny. Belum lagi baunya mampu menarik siapapun untuk mengusap air liurnya yang menetes.

"Kalau tidak sedang puasa, sudah aku minum ini di jalan." Harry singkirkan jubah Aurornya ke atas meja untuk mendekati Lily, putrinya yang baru berusia sembilan hari. Sebelumnya ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan. Baru setelah itu Harry berani mengusap tangan dan pipi mungil putrinya, tanpa berani menggendongnya sebelum seluruh tubuhnya bersih.

Ginny mendesah heran. Suaminya itu bisa-bisanya tergoda seperti anak kecil. "Ini juga jus untuk ibu menyusui, Harry. Memangnya kamu mau minum ini?" goda Ginny.

Aroma jus makin menguar ketika tutup botol itu sengaja Ginny buka untuk mengecek isinya. Harry terpaku. Merasakan sensasi manis buah serta sedikit aroma sayuran hijau yang segar. Melihat ekspresi itu, Ginny makin mendekatkan botol jusnya ke arah Harry sambil berkata, "mau?" godanya

"Nggak usah cari gara-gara, ya!" lawan Harry bernada ketus. "Sudah cukup di rumah ini hanya aku yang puasa. Jangan tambah godaanku semakin besar, sayang!"

Ya, di rumah hanya Harry seorang yang menjalankan puasa tahun ini. Jatuh di awal bulan September, membuat Ginny yang sedang dalam masa nifas, harus merelakan Ramadhannya untuk tidak berpuasa. Malam sebelum penghujung bulan Agustus, Ginny dibawa ke St. Mungo. Tidak lain dan tidak bukan jika si bungsu Potter bersiap untuk lahir. Lebih cepat dari perhitunga healer jika Lily akan lahir saat pertengahan puasa.

Berbeda dengan Ginny yang memang tidak diperbolehkan untuk berpuasa, James, anak laki-laki pertama Harry dan Ginny baru saja menginjak usia empat tahun. Ketika ia dikenalkan untuk berpuasa pada bulan Ramadhan, bocah jangkung di usianya itu begitu semangat untuk mencoba berpuasa. Tentu saja dengan memaklumi hal-hal tidak seharusnya dilakukan orang berpuasa yang ternyata dilakukan oleh James.

Sahur pukul 7 pagi dan minum serta makan snack setiap jamnya sebagai tanda berbuka puasa. Namanya juga anak-anak. Sudah baik jika James mulai berlatih berpuasa meski seenak jidatnya sendiri. Berbeda dengan Albus. Adik James itu masih belum mengerti sama sekali tentang esensi orang berpuasa. Menurut Ron, anak itu adalah godaan terbesarnya saat puasa. Ditambah putrinya Rose yang juga seumuran dengan Albus. Keduanya sering dititipkan di bawah pengasuhan toko leluconnya. Sehingga, jika keduanya ingin makan atau meminta makanan yang lain, Ron sendiri yang menyiapkan.

Rose lebih pintar untuk urusan makan. Selalu dihabiskannya. Sedangkan Albus sering menyisakan banyak makanan bahkan sama sekali tidak disentuhnya pun pernah. Yang ada, makanan itu tersisa dan harus disimpan kembali. Melihat makanan itulah yang membuat Ron kerap kali tergoda untuk mencicipnya. Tidak jarang pula, puasanya harus batal karena tidak tahan dengan hanya sekadar potongan kentang rebus sisa makan siang milik Albus.

"Ehh, kamu bukan anak kecil lagi, sayang. Anak sudah tiga, masih saja gampang digoda waktu puasa. Malu sama umur."

Harry mendesah lelah. Susah untuk membagi penderitaan puasa yang ia rasakan kini meski pada Ginny. "Coba bayangkan sendiri, Gin. Godaan di mana-mana. Tidak di luar tidak di rumah." Ungkapnya.

Sambil masih menatap lekat wajah Lily, Harry bersyukur tahun ini ia mendapat keberkahan baru. Menjadi seorang ayah untuk ketiga kalinya. "Tapi masalahnya.. Kalau lihat yang seperti ini pas pulang ke rumah, rasanya langsung diingatkan untuk bersyukur. Seger lihatnya. Iya, nak? Ini anak siapa, sih? Cantik!"

Harry menggoda Lily sampai bayi mungil itu tertawa tanpa suara. Rutin ia memberi salam pada putri kecilnya setiap pulang dari tempat kerja. Hanya mengusap-usap dahinya atau sekadar menggelitik pelan perut Lily. Sambil mengajak berbicara ringan sama seperti dulu saat Lily masih dalam kandungan.

"Lebaran nanti, siap-siap buat repot. Dapat tambahan bocah satu ini." Harry terus berbincang dengan Lily namun sesekali kata-katanya juga ditujukan untuk Ginny.

"Zakatnya juga bakal tambah satu lagi. Hore, semangat kerjanya, Daddy!"

Ah, benar juga. Harry hanya bisa terkikik geli karena tahun ini pengeluaran biaya rumah tangga akan lebih besar setelah bertambahnya satu anggota keluarga baru. Mengingat itu membuat Harry tersadar. Meski keuangannya lebih dari cukup tanpa bekerja pun, ia harus tetap bertanggung jawab atas keluarga. Tidak ada yang tahu bagaimana hidup keluarganya nanti. Selagi masih bisa bekerja, Harry akan lakukan untuk membuat anak dan istrinya bahagia.

Tidak terasa sudah cukup lama mereka berbincang hingga lupa Harry masih harus mandi. Sudah semakin mendekati waktu berbuka dan Ginny harus segera mempersiapkannya untuk Harry. "Sudah, mandi dulu. Nanti main lagi. Biar aku siapkan makanan untuk buka nanti. Kamu mau makan apa, sayang?" tawar Ginny sambil berusaha untuk berdiri dari tempat duduknya.

Sigap, Harry cepat-cepat meraih tangan Ginny dan menuntunnya bangkit. Healer masih menyarankan agar jika Ginny tetap dibantu untuk kegiatan seperti bangun, berdiri, atau beraktifitas yang cukup banyak menggunakan tenaga. Perawatan paska melahirkannya masih belum terputus. Ginny masih dalam masa recovery dan dituntut untuk banyak istirahat.

"Nggak apa-apa," kata Ginny agar suaminya tidak khawatir. "Nggak usah pakai ekspresi seperti itu, ih. Aku sehat, sayang. Waktu kamu di Kementerian saja aku biasa lakukan sendiri." Tuturnya.

"Tuh, kan. Ingat, perut kamu masih belum stabil. Jangan dibuat kerja kencang-kencang otot perutnya! Besok aku hubungi Andy juga untuk sering-sering menjengukmu."

Ginny hanya mengayunkan tangannya tanda tidak peduli. Ia berseru jika ibunya sudah cukup untuk berkunjung dan membantunya membersihkan rumah. Tidak perlu Andy atau Andromeda, nenek Teddy, ikut datang dan membuat orang lain repot. Sambil berlalu menuju dapur, ia menunjukkan satu kantung plastik berisi nugget ayam buatannya sendiri ke arah Harry. Memberi pilihan untuk dimasakkan sesuatu dengan lauk kesukaan anak-anak mereka dengan tambahan sup sayuran sebagai pelengkap asupan serat. Harry membebaskan Ginny untuk memasakkan apa pun untuk berbuka nanti. Asal Harry berpesan untuk disiapkan beberapa butir kurma dan segelas teh hangat. Sederhana itu permintaan Harry.


Waktu berbuka di London jauh lebih lama dengan beberapa daerah di muka bumi ini. Celakanya hal itu yang sering membuat penduduk Inggris mengeluh setiap puasa tiba. Sambil menikmati siaran televisi, Harry menuntaskan puasanya hari ini dengan menyesap hangat teh buatan istrinya itu dan tidak lupa menikmati singkat beberapa biji kurma sebelum menjalankan sholat Maghrib.

Namun, baru saja Harry bersiap mengambil air wudhu, James mendekatinya sambil berkata, "Jamie mau ikut." Katanya memohon.

Apa yang dikatakan James membuat Harry tertahan. "Ikut ke mana, James?" tanyanya.

"Ikut Allah," kata James singkat. Jangan salah dulu. Yang James maksud adalah ikut sholat dengan menambah isyarat gerakan tangan seperti sedang sholat yang sering ia ketahui. "Ya, ya!" pinta James lagi pada Harry. Hal itu yang seketika membuat Harry terharu.

Orangtua mana yang tidak bangga melihat anaknya begitu tergugah untuk ikut belajar beribadah. Dengan mata berbinarnya James terus meminta diajak ikut sholat. Saking senangnya, Harry tidak pikir panjang mengajak James untuk segera masuk ke kamar mandi dan menuntunnya mengambil air wudhu.

Ginny sesekali menyaksikan pemandangan ayah-anak itu dengan dada bergemuruh haru. Putranya yang sehari-hari sangat hobi sekali membuat kerusuhan, di bulan puasa kali ini, James menunjukkan sisi patuhnya dan niatan besar untuk belajar. Ginny seolah kembali meyakinkan dirinya jika tahun ini Harry tidak akan merasa sendirian menjalankan ibadahnya. Bersama James, semuanya akan jauh lebih indah.

Tidak lama setelah sholat Maghrib yang-entah-benar-atau-tidak James laksanakan berkat mengikuti ayahnya, ia kembali menarik-narik sarung yang dikenakan Harry ingin mengungkapkan sesuatu sembari berjalan keluar dari kamar.

"Nanti Daddy ke masjid?" tanya James. Dari arah dapur Ginny mendengarnya lumayan jelas.

"Oh, iya. Nanti Daddy sholat Isya berjamaah terus lanjut tarawih. Memangnya kenapa, James?"

James tidak langsung menjawab. Ia memandang kedua telapak tangannya lebar-lebar. Menghitung jemarinya sambil bergumam tidak jelas. Karena melihat putranya berhenti di tengah jalan, Harry spontan menggendongnya untuk mengajak turun. Harry ingin makan berat sedikit sebelum tarawih nanti.

Kebetulan, hari ini Ginny memasak spageti dan nugget goreng untuk anak-anak. Diambil satu porsi untuk kembali dihangatkan dengan menambahkan beberapa bumbu untuk rasa lebih pedas sesuai selera Harry. Tidak lupa sup ayam buncis dan kacang polong turut disajikan.

"James mau makan nugget atau spageti lagi, nak? Tadi kamu makan sedikit, loh." Tanya Ginny tepat ia mendapati Harry masuk sambil menggendong James.

"Nggak! Jamie mau ikut Daddy." Seru James minta diturunkan.

Harry menarik satu bangku untuk James duduk. Sambil menunggu makanannya disiapkan, Harry menengok ke arah sofa panjang di dekat perapian. Albus sudah terlelap tidur dengan Lily di sampingnya ikut berbaring. Hanya saja, anak perempuan itu masih saja terjaga meski sudah tenang di posisinya.

Satu persatu kecupan hangat Harry berikan di dahi Albus dan Lily bergantian. Memberi proteksi mantera di sekitar sofa agar kedua anaknya tidak terguling. Setelah memastikan semua aman, Harry kembali ke meja makan dan mendapati James memasang wajah memohon padanya.

"Nanti kamu mengantuk. Tarawihnya sampai malam, James."

Suara Ginny terus memperingatkan jika James tidak perlu ikut Harry ke masjid untuk tarawih. Waktu tarawih bisa sangat panjang dan pulang saat tengah malam. Bahaya jika nanti tiba-tiba James uring-uringan dan meminta pulang saat dipertengahan sholat. Ginny tidak mau menganggu ibadah Harry yang mana akan berimbas juga pada jamaah yang lainnya.

"Bawa anak-anak ke masjid untuk sholat itu susah, Harry." kata Ginny memperingatkan Harry pada konsekuensinya.

"Nggak masalah kalau sekali-kali, sih. Hitung-hitung latihan ibadah buat James." Harry berusaha membela. Berharap jika keputusannya bisa membuat James ikut belajar dengan makna beribadah di masjid. James sudah cukup besar untuk mulai dikenalkan dengan suasana sholat berjamaah di masjid. Toh, Harry pernah membaca jika tawa anak-anak di masjid seperti tawa malaikat.

James sontak bertepuk tangan kegirangan namun segera ditahan oleh Ginny. Ingat jika kedua adiknya masih tertidur.

"James bisa jadi anak sholeh. Asal jangan nakal saat di masjid nanti. OK!

"OK, Daddy!"

Mau tidak mau Ginny pun membolehkan saat Harry memberi garansi padanya jika James akan baik-baik saja. Ini adalah tarawih pertama James. Pernah dulu ia diajak oleh Harry ke masjid saat sholat Jumat. James bisa anteng di tempatnya meski ia hanya duduk saja. Dan kali ini, Harry berharap James bisa mengikuti gerakan sholat dari yang sering ia ajarkan saat di rumah.

"Nurut sama Daddy, James!" tambah Ginny langsung mendapatkan anggukan semangat dari James.

"Senangnya bisa sholat tarawih bareng Daddy!" sambungnya membantu James memperbaiki peci di kepalanya.

Harry telah siap. Ia memanggil James agar cepat menghampirinya untuk segera menuju masjid. Adzan sholat Isya sudah terdengar. Tidak ada waktu lagi jika ingin tidak terlambat.

"Aku benar-benar tidak merasa beribadah sendirian lagi. Untung ada James." Bisik Harry pada Ginny sebelum berangkat. Ginny hanya mengantar sampai depan pintu dan menyaksikan kedua pria kesayangannya berjalan saling bergandengan saling tertawa semangat.

Senang, tentu saja. Hanya saja Ginny berdoa jika James akan kuat menjalankan tarawih pertamanya itu. Sebab, tidak bisa dipungkiri jika perasaannya kali ini terasa tidak enak.


Pukul setengah sebelas malam. Ginny baru saja selesai menghangatkan makanan untuk persiapan Harry sahur nanti. Coklat hangat di hadapannya juga sudah siap. Yang meminta pun pasti sudah menunggu di dalam kamar. Harry, telah kembali ke rumah saat baru saja satu jam meninggalkan rumah. Ginny heran tidak biasanya suaminya itu tarawih begitu cepat. Belum lagi seseorang yang tertidur pulas di gendongannya. Siapa lagi kalau bukan James.

"Apa aku bilang," sambil tersenyum, Ginny mengingat perkataan pertama Harry setelah mengucapkan salam sepulangnya dari masjid. Menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan kejadian luar biasa yang dialaminya selama tarawih berlangsung hingga membuatnya pulang lebih awal.

Suara alunan seseorang mengaji terdengar lamat-lamat namun syahdu. Dibukanya pintu berkusen coklat kegelapan itu dan mendapati Harry sedang berselonjor santai di atas kasur sambil membaca mushaf Al Qurannya. Masih memakai baju koko dan sarung yang sama saat tarawih tadi. Bedanya di kedua tangan Harry sama-sama membawa sesuatu. Tangan kanannya diangkat untuk menyimak bacaan ayat-ayat sucinya sementara tangan kiri memeluk erat sosok mungil yang tertidur dengan kepala bersandar nyaman di dadanya.

Suaranya tidak keras. Takut Lily terbangun. Harry melakukan tadarusnya sendiri meski juga turut ditujukan untuk putri kecilnya. Mengenalkan bacaan Al Quran seperti alunan nina bobo yang menenangkan.

Tidak beberapa lama Harry mengakhirinya. Mengecup Al Qurannya lalu berganti mengecup pipi Lily.

"Anteng banget diajak ngaji."

"Dia langsung tenang saat aku peluk. Pas aku ngaji dia malah tidur."

Harry dan Ginny saling tersenyum melihat putri mereka begitu tenang saat tidur. Lily segera berganti alih dengan Ginny. Ia digantikan oleh segelas coklat hangat yang diterima dengan senang hati oleh ayahnya. "Alhamdulillah, rasanya aku butuh ketenangan dengan segelas coklat hangat." bisiknya.

"Berlebihan. Memangnya.. James separah itu, ya?" tanya Ginny sambil menahan tawanya.

Harry menegakkan punggungnya sambil membayangkan ulah-ulah James. Seperti mengabsen, Harry mulai bercerita dengan runtut.

"Berteriak kegirangan gara-gara ada anak pakai sarung bergambar Shawn the Sheep, lari keliling barisan shaf laki-laki saat masuk rokaat ke enam, nyasar di tengah-tengah shaf perempuan, dan nangis kejang sambil berteriak 'Daddy, aku ngantuk' melebihi suara imam." Harry menahan kata-katanya untuk menyesap sekali lagi coklat hangatnya, "em—satu lagi, dia pinjam jilbab seorang ibu untuk dijadikan selimut saat dia tidur sepanjang aku menyelesaikan sholat witir. Sebagai balasannya, aku harus rela foto dengan para ibu itu untuk membawa segera James pulang ke rumah. Di masjid, James jadi idola para ibu-ibu."

Cerita Harry makin membuat Ginny terkikik geli dengan penuturan suaminya. "Nah, kamu bisa menilai sendiri apakah itu parah atau hanya sekadar cukup parah." Harry beristigfar pelan mengingat-ingat ulah luar biasa putra sulungnya itu.

"Semoga, Albus bisa jauh lebih aman untuk urusan ke masjid. Dan aku rasa perlu diperhitungkan usia berapa anak-anak bisa diajak ke masjid nantinya." Harry mengatur napasnya lebih tenang. Coklat lumayan membantu saat pikirannya baru saja diobrak abrik karena James.

"Tidak masalah, sih. Asal kita bisa jaga benar-benar saat membawa mereka. Tanggung jawab kita juga untuk mengajarkan mereka beribadah di rumah. Supaya jauh lebih terbiasa dan menjadi tanggung jawab saat mereka lebih dewasa."

"Ini—" Harry membelai pelan pipi Ginny sambil menatap wajah ayu itu lekat-lekat, "ini yang sebenarnya membuat aku selalu merasa tidak sendirian untuk beribadah. Terima kasih, sayang!"

Ginny hanya melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Apapun kondisinya, ia akan membantu dan mendampingi suaminya untuk kelancaran beribadahnya. "Kamu imamku. Aku akan mengikutimu untuk beribadah di jalan Allah. Jadi, tuntun aku untuk dapat keridhoanmu.. dan keridhoan dari Tuhanku."

Sepertinya Harry salah jika terus mengira tahun ini dan hari-hari sebelumnya ia selalu beribadah sendirian. Tanpa di sadarinya, Ginnylah yang bahkan memberikan jalan dan tuntunannya untuk selalu mengingat Tuhannya.

[]


#

Namanya juga anak-anak. Udah biasa kalau di masjid kota aku banyak anak-anak yang lebih suka kejar-kejaran selagi orangtua mereka sholat. Belum lagi kalau udah nangis. Selama sholat cuma bisa sabar... sabar... sabar... hehehe..

oh ya, ini setting ambil tahun 2008. Dan waktu itu kalau lihat di kalender, puasanya sekitar masuk awal tanggal 1 September.

Oke, untuk chapter selanjutna bisa update sekitar seminggu lagi. Kalian bisa kok request masalah apa yang bisa jadi cerita di Ramadhannya ala Potter Family. Langsung ke kolom komentar, ya. Anne tunggu!

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Thanks,

Anne x