Seorang perempuan tampak serius melarikan kedua tangannya diatas keyboard dengan cepat. Matanya yang ditutupi kacamata tebal memperhatikan tulisan yang diketikkannya dengan cermat dan sesekali mengalihkan pandangannya pada sebuah buku yang ada dipangkuannya untuk melihat apakah ada kesalahan.
Dia mengangkat salah satu tangannya untuk menyentuh lehernya yang terasa pegal kemudian menguap lebar. Tidak heran, saat ini waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam dan dia sama sekali belum tidur sepulang sekolah tadi. Tugas yang menumpuk memaksanya untuk segera mengerjakannya supaya terhindarkan dari hukuman dari guru-gurunya.
Tinggal sedikit lagi, ucapnya menyemangati diri.
Dia meregangkan tubuhnya sedikit kemudian mulai melanjutkan kegiatannya, sesekali salah satu tangannya bergerak membetulkan kacamata tebalnya yang setiap beberapa puluh menit melorot kebawah.
"Nee-chan belum tidur?" tanya seseorang tiba-tiba mengagetkannya, suaranya terdengar mengantuk.
Perempuan itu menoleh dan mendapati adiknya sedang berdiri di pintu kamarnya yang kini terbuka sedikit, menampakkan adik perempuannya yang sedang menatapnya dengan mata yang setengah terbuka.
"Belum, sebentar lagi ..." jawabnya. " Hanabi tidak tidur?"
Hanabi menggelengkan kepalanya. "Aku takut tidur sendiri."
"Aa," desah perempuan itu perlahan. Bagaimana ini?
Dia menolehkan kepalanya kembali ke layar komputernya selama beberapa saat lalu kembali menatap Hanabi, bimbang akan pilihan yang akan dibuatnya. Tugasnya masih perlu diperbaiki lagi tapi dia tidak tega menyuruh adiknya berdiri menungguinya sementara dia mengerjakan tugas.
Dia menghela napas lalu menggerakkan mouse komputernya untuk menyimpan laman tugas yang sudah diketiknya itu kemudian mematikan komputernya. Tugasnya bisa dia pikirkan nanti.
"Ayo Hanabi."
Tangannya meraih tangan mungil adiknya kemudian menariknya lembut menuju kamar mereka berdua. Perempuan itu membantu adiknya menaiki tempat tidur mereka kemudian membaringkan tubuhnya sendiri disebelah adiknya, tangannya meraih selimut yang terlipat rapi dibawah kaki mereka untuk menyelimuti tubuh mereka. Dalam beberapa detik Hanabi sudah kembali tidur dengan pulas.
Perempuan itu mengulas senyum lembut dibibirnya, tangannya terangkat untuk mengusap rambut sebahu adiknya yang halus dengan sayang. Dia menghela napas sekali lagi kemudian memeluk guling yang berada diantara dirinya dan Hanabi. Perlahan mata amethys-nya menutup dan dalam beberapa detik suara dengkuran halus berhembus keluar dari dirinya.
My Sister and I
Naruto by Masashi Kishimoto
Cerita ini asli dari imajinasiku yang gaje
Warning: AU, little bit OOC, little bit kaku (?)
Don't like? Don't read^^
Suara alarm yang berbunyi dengan keras segera mengganggu ketenangan situasi pagi yang masih tersembunyi. Matahari belum menampakkan dirinya karena waktu yang masih terlalu pagi untuk terbangun, tapi hal itu tidak berlaku untuk perempuan yang sekarang telah membuka matanya dan kemudian meregangkan tubuhnya ditempat tidur.
Perempuan itu mengerjapkan matanya sekali lagi kemudian melangkahkan kakinya melewati kamar menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya lalu melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.
Dia meraih ikat rambut yang berada diatas kulkas lalu menjalinnya menjadi ikatan di rambut indigo panjangnya. Tangannya membuka pegangan kulkas kemudian mengeluarkan bahan-bahan dari sana dan mulai memasak.
Selang beberapa menit, dia kembali memasuki kamar kemudian menggoyangkan tubuh adik kecilnya supaya bangun.
"Hanabi, ayo bangun. Nee-chan sudah menyiapkan sarapan."
Anak perempuan itu mengerang keberatan. "Hanabi masih ngantuk ..." balas adiknya itu seraya menguburkan dirinya semakin dalam ke selimut.
Perempuan itu menghela napas, adiknya memang selalu merajuk kalau waktu pagi tiba. Malas mandi.
"Ayo, Hanabi," bujuknya dengan nada lebih lembut, sebuah nada menggoda terselip dari ucapannya ketika melanjutkan. "Kakak sudah menyiapkan bekal kesukaanmu lho~"
Hanabi menyembulkan kepalanya sedikit dari selimut yang dipakainya, tatapannya tampak tertarik dan penuh harap. "Nee-chan tidak bohong?"
Dia menganggukkan kepalanya dan membentuk jarinya menjadi huruf 'V'. "Nee-chan tidak bohong kok."
Mata amethys Hanabi sekarang tampak berbinar-binar senang, jarang sekali kakaknya menyiapkan bekal istimewa untuknya alih-alih roti bungkus yang biasa dijual di pertokoan dekat rumahnya. Tapi dalam sekejap wajahnya menjadi merengut. "Hanabi gak mau mandi."
Perempuan itu menepuk dahinya. Susah sekali membujuk adiknya yang lebih muda sepuluh tahun darinya.
"Ayolah Hanabi ..., kakak sudah menyiapkan air hangat untuk kamu mandi kok."
Hanabi menggelengkan kepalanya dengan keras kepala, tidak mau menurut.
Perempuan itu terdiam selama beberapa saat, menatap adiknya yang masih merengut dengan mata berkilat tajam penuh keteguhan hati anak-anak yang masih polos. Sebuah ide tiba-tiba muncul dibenaknya.
"Hhh, ya sudah," ucap perempuan itu pada akhirnya lalu mulai bergerak menuju pintu kamar. " Nee-chan tinggal mandi ya."
Hanabi segera menolehkan kepalanya dengan cepat ke kakaknya. "Nee-chan juga mau mandi?"
Perempuan itu mengangguk, batinnya berseru senang karena merasakan Hanabi mulai masuk kedalam perangkapnya untuk segera mandi. "Iya, Hanabi mau ikut?"
Anak perempuan itu terdiam seraya mengerutkan keningnya untuk berpikir keras. Beberapa saat kemudian anak perempuan itu menganggukkan kepalanya. "Aku ikut."
"Hn, ayo."
Yes ..., batin perempuan itu senang. Dia berhasil.
Perempuan itu segera menggandeng adiknya menuju kamar mandi kemudian mulai mandi bersama.
Beberapa menit kemudian mereka keluar dengan wajah yang lebih segar meskipun masih terbalut piyama semalam. Perempuan itu membuka lemari kemudian mencari seragamnya dan adiknya ditumpukkan yang kurang teratur. Setelah mendapatkannya perempuan itu memakaikan seragam pada adiknya itu lalu mengganti piyamanya sendiri dengan seragam sekolahnya.
Mereka sekarang duduk berhadapan di meja makan dengan sarapan yang berada didepan mereka lalu mulai menyuapkan makanan kedalam mulut mereka masing-masing. Selesai makan mereka melangkah ke ruang tamu untuk mengenakan sepatu dan menunggu bis sekolah datang di luar rumah.
Perempuan itu melirik jam yang melingkari tangan kirinya kemudian menatap jalanan yang berada di depannya, bis itu belum datang juga walaupun jam sudah tepat menunjuk waktu yang biasa dijanjikan.
"Nee-chan, kok lama?" tanya Hanabi, wajah adiknya tampak sudah tidak sabar lagi.
Perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya, dia juga tidak tahu dengan apa yang mungkin terjadi.
Perempuan itu kembali menoleh kearah jalanan dan masih tetep tidak menemukan bis berwarna orange yang seharusnya muncul sedari tadi.
"Hanabi, kita jalan saja yuk?" ajak perempuan itu.
Dia memutuskan kalau tidak ada gunanya berdiri diam disana tanpa melakukan apapun. Tapi sepertinya adik perempuannya itu tampak sangat keberatan dengan ajakan yang diajukan kakak perempuan kesayangannya itu, terlihat dari mata amethys-nya yang menatap dirinya dengan tatapan putus asa.
"Hanabi gak mau jalan ... capek," ucapnya Hanabi dengan nada merajuk, "Kita tunggu bisnya saja ya, nee-chan?"
Hanabi mengatakan sederetan kalimat terakhirnya itu dengan mengerahkan pandangan puppy eyesnya sampai kekuatan maksimal sehingga dalam beberapa detik saja perempuan itu segera terhanyut dalam tatapan adiknya dan tanpa sadar menganggukkan kepalanya, menyetujui rajukan adik kecilnya.
"Baiklah ..."
Hanabi berseru girang, perempuan itu mengerjapkan matanya bingung. Apa yang sudah dia katakan tadi?
Setelah menunggu beberapa lama akhirnya suara klakson bis yang sudah terdengar akrab ditelinga mereka mulai terdengar dari kejauhan dan dalam beberapa saat bis itu sudah berhenti dihadapan mereka dan membuka pintu lebar-lebar.
Keributan suara anak-anak kecil segera mendera telinga mereka bertepatan dengan mereka yang segera memasuki bis itu lalu mulai berjalan mendekati duduk tempat duduk yang masih kosong. Hanabi menyamankan dirinya dikursi itu seraya menatap keluar jendela, kakaknya yang duduk tepat disampingnya segera membuka sebuah novel kemudian mulai membaca. Tampak tidak terganggu dengan keributan yang berada disekitar mereka.
.
Perempuan itu memasuki kelasnya tanpa banyak suara yang berarti. Terlihat dari anak-anak yang berada di kelasnya yang masih asik mengobrol karena merasa tidak mendengar suara pintu yang bergeser pelan membuka.
Perempuan itu mengabaikan semua itu kemudian berjalan mendekati tempat duduk di barisan tengah dekat jendela. Dia menghempaskan tubuhnya disana lalu mulai merapikan ikatan rambutnya yang mulai berantakan. Tangannya bergerak membuka resleting tas yang berada didekat kakinya untuk meraih sebuah buku pelajaran dan mulai membaca, buku novel yang tadi dibacanya sekarang sudah berada di dalam tas Hanabi.
"YO MINNA-SAAANN!" seru seseorang dengan keras.
Perempuan itu menghela napas ketika mendengar suara menggelegar itu dengan jelas, laki-laki itu lagi. Anak laki-laki yang selalu tampak kekanakan dengan senyum lebar yang terlihat bodoh diwajahnya ketika dia menyapa orang-orang yang berada disekitarnya dengan rambut pirang berdiri dan mata sebiru safir.
"Yo, Naruto," sapa seseorang balik, lengannya tiba-tiba saja sudah melingkari leher pria kekanakan itu –jangan tanya perempuan itu tahu darimana. "Kau sudah ngerjain presentasi sejarah?"
Terdengar sebuah jeda disini.
"ASTAGGAAAA!" suara menggelegar lagi-lagi terdengar dari laki-laki kekanakan itu. "TAMATLAH RIWAYATKKUUU!"
Semua anak yang ada di ruang kelas itu segera sweatdrop berjamaah.
"Kau lupa lagi, Naruto?" tanya seseorang itu sambil terkekeh –antara malu dan kasihan, pada Naruto.
Laki-laki kekanakan yang dipanggil Naruto hanya menganggukkan kepalanya lesu. Dia akan kena hukuman lagi kali ini. Mana yang ngajar guru killer lagi. Mati.
Perempuan itu yang melihat semua kejadian itu hanya mendengus meremehkan kemudian kembali asik membaca buku pelajarannya. Dasar bodoh.
Dari kejauhan perempuan itu dapat mendengar suara hiburan yang terdengar bersemangat dari seseorang yang menyapa Naruto tadi. Seseorang itu mengatakan kalau mungkin saja Anko-sensei nanti tiba-tiba saja tidak masuk dan menunda presentasi yang merepotkan itu.
Itu sama sekali tidak akan–
"Tidak akan terjadi," suara seseorang memutus pikiran perempuan itu sehingga perempuan itu segera mendongak cepat untuk melihat siapa yang sudah melanjutkan ucapan dalam hatinya itu.
Nara Shikamaru, nama laki-laki yang memutus ucapan perempuan itu tampak menguap lebar dengan raut wajah bosan. "Anko-sensei tidak akan pernah tidak masuk dalam pelajarannya sendiri."
Perempuan itu menoleh kearah pria kekanakan itu untuk melihat reaksi yang ditampakkannya. Sesuai dugaannya, pria kekanakan itu yang sebelumnya tampak sedikit bersemangat kembali menunduk lesu dengan garis-garis hitam imajiner membayangi bagian atas kepalanya. Dia tampak sangat putus asa saat ini.
Perempuan itu mendengus tertahan, sebuah senyum kecil tertahan disudut bibirnya yang menahan senyumnya mati-matian. Pria kekanakan itu memang sangat bodoh.
"Kau sama sekali tidak membantu, Shikamaru," seru seseorang itu protes.
Shikamaru kembali menguap. "Aku 'kan hanya mengatakan sebuah fakta yang tidak terelakkan," ucapnya terdengar tidak peduli.
Seseorang itu hanya bisa terdiam tanpa mengatakan apapun setelah mendengar perkataan itu, ucapan Shikamaru memang ada benarnya.
Perempuan itu segera menggelengkan kepalanya kemudian mengalihkan perhatiannya ke buku pelajaran, kembali serius menekuni buku yang masih berada digenggamannya. Suara-suara yang tidak penting yang sebelumnya masih terdengar sangat berisik sekarang berangsur lenyap menjadi bisikan tidak berarti yang terdengar begitu lirih. Perempuan itu menghela napas lega dan kemudian semakin menenggelamkan dirinya ke dalam bacaan.
.
"... nata-chan..."
"Hina ..."
"Hinata-chan!" sebuah suara keras berikut gebrakan meja segera mengejutkan dirinya dan membuat dirinya tertarik paksa kembali ke dunia nyata.
Perempuan itu atau sekarang Hinata mengerjapkan matanya lalu memandang seorang perempuan berambut pirang panjang yang dikuncir tinggi dengan tatapan datar. "Ada apa?"
"Bu Anko menyuruh kita pindah ke lab bahasa, kau masih mau tetap duduk disini?" tanyanya terdengar ambigu. Apa maksudnya?
Perempuan itu terlihat mendesah pelan. "Yang lain sudah ke atas, kau tidak ikut?" tanyanya lagi. "Kalau kau tidak ikut aku akan segera menyusul yang lain ke atas."
Hinata terdiam selama beberapa saat untuk memproses kata-kata tersebut dan akhirnya paham akan ucapan perempuan itu ketika dirinya melihat kondisi kelasnya yang sekarang begitu sepi tanpa ada siapapun disana kecuali dirinya dan perempuan itu.
"Kau ikut?"
Hinata mengangguk. Dia buru-buru mengambil alat tulis berikut buku-buku yang diperlukan kemudian berjalan beriringan dengan perempuan itu menuju lantai atas.
"Makasih sudah nungguin aku," ucap Hinata terdengar lirih, menahan malu karena bisa-bisanya dia tidak menyadari teman-teman di kelasnya sudah pergi keluar kelas.
Perempuan itu menoleh sekilas kemudian menampilkan senyum kecil dibibirnya. "Sama-sama, aku kebetulan juga telat masuk kok."
Hinata hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanggapan.
Dalam beberapa saat mereka sudah tiba di depan lab bahasa kemudian memasuki ruang itu dan mengambil tempat masing-masing, perempuan itu beranjak darinya menuju temannya. Hinata melengos kearah kursi yang masih kosong kemudian mendudukkan dirinya disana.
Situasi yang sebelumnya cukup ramai tiba-tiba menjadi hening ketika Anko-sensei, dengan mantel putihnya yang sedikit berkibar diiring ketukan sepatu hak tingginya, memasuki lab. Dia meletakkan tumpukkan kertas dan buku yang dibawanya dengan cukup keras sehingga menimbulkan debuman di mejanya.
"Nah, silahkan maju bagi yang sudah siap," ucap guru itu terdengar lantang lalu duduk di tempatnya.
Anak-anak di ruang kelas segera berbisik-bisik dan pura-pura sibuk dengan urusannya masing-masing. Hinata sendiri sekarang sedang membuka resleting dompet yang biasa dia bawa untuk mengeluarkan flashdisk berisi tugasnya.
Tangannya menyusup masuk untuk mencari benda persegi panjang yang agak pipih itu didalam dompetnya dan setelah beberapa menit setetes keringat gugup mengalir menuruni dahi porselennya. Flashdisknya tidak ada.
Tanpa menunggu lebih lama lagi dia segera beranjak dari kursinya kemudian berjalan mendekati guru perempuan itu.
"Sumimasen sensei, saya minta ijin ke kelas untuk mengambil flashdisk saya yang tertinggal."
Guru itu menganggukkan kepalanya. "Ya, silahkan."
Hinata segera keluar dari kelas lalu berjalan cepat menuju kelasnya. Tangannya segera membuka pintu kelasnya lalu menuju tasnya untuk membongkar isinya, tangannya mengacak cepat isi tasnya itu untuk mencari benda kecil yang sangat penting itu dengan penuh harap.
Tidak ada.
Hinata mengatupkan mulutnya rapat lalu membaringkan kepalanya ke atas meja, berusaha mengingat-ingat dimana benda itu diletakkan. Perempuan berambut indigo panjangnya itu menepuk dahinya dengan keras ketika teringat bahwa benda kecil itu masih terpasang di CPU yang ada di rumahnya, tadi pagi dia lupa memindahkan benda itu kedalam tasnya.
Gawat, dia bisa mati.
.
.
.
To be continued
.
.
.
Terima kasih sudah membaca :)
(edited)
