Disclaimer: Berandai-andai aku yang punya Death Note... Ga mungkin deh... Bukan aku yang punya...
Summary: Sebelum L kontak dengan Kira, apa yang ia lakukan dan terjadi? L bertemu dengan seorang gadis yang bisa membunuh orang dengan mudahnya... Mungkin, sekira-kiranya, beginilah kisahnya...
Death Note: The Real One
Chapter I
L berjalan di jalan taman yang berupa susunan bata merah. Wammy, orang yang mengasuh yang juga merangkap sebagai asistennya, mengikuti dari belakang. L berjalan dengan gayanya yang agak bungkuk dan aneh, matanya melirik kiri kanan dengan tatapan datar, bola mata hitam yang terlihat setengah itu tidak terlihat menikmati pemandangan taman yang remang dan basah karena hujan yang telah berlalu sebelumnya. L tidak begitu tertarik untuk merasakan angin dingin yang menghujam tubuhnya dan membuat dedaunan pohon sekitar untuk merintikkan sisa-sisa air hujan yang menempel dan berjatuhan di atas rambut dan wajah L. Pemuda yang selalu memakan makanan manis itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah permen lolipop, membuka bungkusnya dan membuangnya dengan asal, lalu mengemut permen itu layaknya anak kecil yang masih berumur lima tahun.
Sebuah suara dentuman mengejutkan L. Seketika ia berhenti dari langkahnya, menatap lurus ke depan, lalu ke bawah dengan tatapan bingung. Matanya menangkap sosok serba hitam yang jatuh di depannya. Lalu L menatap langit dengan tatapan bingung. Tidak ada satu dahan pohon pun yang menghalanginya untuk menatap langit hitam yang kelam.
Wammy menghampiri L dengan tergesa. "Apa kau tidak apa-apa?" Matanya menangkap sosok serba hitam di depan L. "Apa itu?" tanyanya.
L terdiam menatap langit lalu menundukkan kepalanya untuk memandang sosok di depannya itu. L berjongkok, masih memandang dengan tatapan bingung nan tidak berdosa. Masih sambil menghisap lolipopnya, L mengulurkan tangannya dan menyentuh sosok itu dengan telunjuknya layaknya anak kecil yang sedang mengganggu anjing sedang tidur dengan sebuah ranting.
Bersamaan dengan angin dingin yang berhembus. Sosok itu bergerak. L menarik tangannya selambat sosok itu bangun dari posisi jatuhnya ke posisi duduk. L masih menatap dengan datar dan tidak berdosa ketika sosok itu memperlihatkan wajah mengantuk dan kedua bola mata perak dari balik rambut panjang yang hitam legam. Seorang gadis dengan pakaian hitam yang biasa disebut Gothic Lolita, menatap mata L dengan mata mengantuk.
L balik menatap gadis itu, memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengembalikkannya ke posisi semula. Seperti kucing yang kebingungan karena melihat seekor capung yang bertengger di atas sebatang bambu. L mengambil lolipop dari mulutnya. "Who?" tanyanya.
"Hmn?" Gadis yang L tanya malah ikut memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengembalikannya ke posisi semua. Sama seperti yang telah dilakukan L. Sebagai pengganti gerakan lolipop L, gadis itu menguap kecil. "Who?" Ia balik bertanya.
Sadar tampaknya sang gadis bisa berbahasa Inggris, L melanjutkan pertanyaannya dengan bahasa Inggris. "Kenapa kau terjatuh dari atas sana?" Tanya L sambil menunjuk-nunjuk langit dengan lolipopnya.
"Atas?" Gadis itu mendongak ke atas, menatap langit kelam di atasnya dengan bingung. "Apa aku jatuh?" Ia malah bertanya.
"Memangnya jatuh dari mana?" Tanya L.
Gadis itu masih menatap langit dengan mata peraknya. "Jatuh dari mana ya...?"
L terdiam melihat tingkah laku gadis yang barusan jatuh di depannya itu. L memasukkan lolipopnya lagi ke dalam mulutnya, menggigit lolipop itu sampai terdengar bunyi gemeretuk keras lalu mengunyah pecahannya. Pemuda itu membuang batang lolipop ke atas rumput melewati pembatas jalan taman yang terbuat dari besi bercat hijau.
"Siapa kamu...?" Tanya L lagi.
"Mort..." Jawab gadis itu, ia menguap dan menggaruk-garuk kepalanya. "Yang kuingat aku sedang tidur tadi... Kenapa aku jadi ada di sini ya?"
L terdiam, ia menoleh ke Wammy dengan bingung, lalu bangkit untuk berdiri. Gadis itu, Mort, mengikuti gerakan L, ia juga berdiri.
"Nah, nah, L, bisa beritahu aku ini di mana?" Tanya Mort sambil memandang sekitar.
"... Aku belum menyebutkan namaku..." L menatap Mort dengan tatapan tajam. "Dari mana kau tahu nama L?"
Mort ganti menatap L. Ia tersenyum. "Heh... L... itu hanya panggilanmu bukan?"
L tidak mengangguk. "Ini di Venezia..."
"Venezia? Ada-ada saja..." Mort menggaruk-garuk kepalanya. "Untuk apa aku datang ke sini ya?"
Suara deringan, membuat L tidak jadi untuk mengatakan sesuatu untuk menjawab pertanyaan Mort. L langsung beralih ke Wammy yang sudah mengangkat ponsel yang ada di tasnya. Wammy menjawab telepon itu, lalu memberikannya pada L. "Ini dari FBI."
L langsung mengambil ponsel itu, dan langsung menempelkannya pada telinga. Ia mendengarkan sebentar. "Pembunuhan besar-besaran terhadap para penjahat? Di Jepang? Baiklah, aku akan segera ke sana..." Lalu ia memberikannya pada Wammy. "Kita ke Jepang sekarang."
"Ryuk..." Mort bergumam pelan. "Apa yang sedang kau lakukan?"
"Apa yang kau katakan...?" Tanya L.
"Aku akan ikut denganmu. Bawa aku ke Jepang bersamamu." Kata Mort dengan mata sayunya.
L menatap Mort sejenak. Mana mungkin ia membawa serta orang asing yang entah dari mana asal muasalnya. Namun ada sesuatu yang menariknya, sesuatu yang tidak wajar dari gadis itu yang L sendiri tidak mengerti apa. "Aku tidak keberatan..." Sesungguhnya bukan itu yang ingin dilontarkan L, tapi entah kenapa ia melontarkannya. "Tapi kamu harus punya paspor atau surat lainnya untuk ke negeri lain."
"Apa itu paspor?" Tanya Mort tanpa wajah bersalah.
"Kau tidak tahu itu?"
"Tunjukkan benda itu dan aku baru akan mengerti..." Kata Mort.
"...Baiklah." L melihat ke arah Wammy, "kita pulang. Kita berangkat ke Jepang malam ini juga." L berbalik dan langsung melangkah.
Wammy mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia langsung mengikuti L, begitu juga dengan Mort. Sesekali L melirik ke arah Mort-yang berjalan berdampingan sambil sesekali menjawab pertanyaan Wammy. Walaupun Mort seperti gadis Gothic Lolita biasa yang ada di mana-mana, L merasakan keganjilan akan keberadaan gadis itu. Semuanya berada dalam alam pikiran luar L. Bagaimana dia bisa jatuh begitu saja di depannya. Trik kah? L sama sekali tidak yakin.
Bagaimana dengan sihir? L tidak mau menggubrisnya lagi. Pikirannya cukup terkacaukan dengan kedatangan tiba-tiba Mort. Satu-satunya yang L tahu Mort berarti "kematian" dalam bahasa Perancis.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk kembali ke tempat tinggal L di Venezia, karena dapat dijangkau hanya dengan berjalan kaki. Sebuah apartemen mewah yang berkesan kuno. Begitu sampai di dalam apartemennya, L langsung menyodorkan paspornya pada Mort.
"Inilah yang dinamakan paspor." Kata L sambil duduk di sebuah kursi putih dan memakan beberapa cokelat yang ada di atas meja.
Mort mengambilnya, membuka-buka sejenak, lalu mengembalikannya lagi pada L. "Jadi yang seperti ini namanya paspor..."
"Ya..." Jawab L sambil mengunyah cokelat.
"Kalau yang ini...?" Mort menyembunyikan tangan kanannya ke belakang pinggangnya lalu seperti pemain sulap ia langsung menarik sebuah buku kecil seperti paspor L.
L terlihat sedikit kaget. Ia mengulurkan tangannya untuk meminta buku yang seperti paspor kepunyaannya dari tangan Mort. Mort segera memberikannya pada L yang langsung membolak-balik lembaran buku itu. Di halaman identitas terdapat foto Mort, beserta identitasnya. 'Mort Zapiska... umur 16 tahun... Kewarganegaraan Itali... dan alamatnya... alamat apartemen ini...' "Ini juga... paspor... ?"
"Kau tidak perlu tanya bagaimana ataupun dari mana paspor itu. Tapi aku meminjam alamatmu. Tidak keberatan bukan?" Tanya Mort.
L hanya diam dan menatap Mort dengan mata setengahnya. Pemuda itu mengembalikan paspor Mort. Ini paspor palsu...?"
"Kau akan tahu nanti..."Mort menyunggingkan senyum pertamanya di depan L, terlihat misterius dan mencurigakan.
"Pesankan tiket untuk anak ini juga..." Kata L pada Wammy yang ada di belakangnya.
Wammy mengangguk pelan sambil tersenyum. Lalu beralih pada Mort. "Jika kau tidak keberatan, bolehkah saya meminjam paspormu?"
"Silakan..." Mort memberikan paspornya pada Wammy yang segera ke ruangan lain.
"Death Note... apa yang kau maksudkan itu?" Tanya L secara tiba-tiba ketika Wammy sudah tidak ada.
"Hanya sebuah nama..." Jawab Mort. "Aku dinamakan begitu karena aku bisa mengambil siapapun yang aku suka ataupun benci. Katanya sih begitu."
"Aku tidak tahu kalau ada orang tua yang menamai anaknya dengan nama itu. Mort dari bahasa Perancis yang berarti kematian, dan Zapiska dari bahasa Rusia yang berarti catatan, dengan kata lain adalah Death Note." L mengambil cokelat batang yang ada di meja dan memakannya.
"Bukan orang tuaku... Aku tidak punya orang tua." Mort mengambil beberapa permen segi empat yang ada di sebuah mangkuk lalu menyusunnya hingga berbentuk piramida.
"Lalu siapa?"
"God..." Lalu piramida permen yang disusun Mort roboh.
L mengerutkan keningnya. Ia tidak pernah berpikir ada anak yang langsung diberikan nama seperti itu oleh Tuhan. 'Siapa anak ini sebenarnya? Utusan Tuhan?' Cepat-cepat L mengusir pikirannya itu. Ketika ia akan bertanya lagi, Wammy menghampirinya.
"Tiket sudah dipesan dan kita dapat berangkat pukul 10 malam nanti." Lalu beralih pada Mort, "Ini paspormu nona..."
Mort menerimanya, lalu bertanya pada L, "Bukannya kau punya pesawat sendiri?"
"Rusak..." Jawab L singkat, lalu ia berdiri. "Siapkan semuanya dan kita segera ke bandara," katanya pada Wammy lalu ia melompat ke atas kursi di mana ada meja di depannya dengan sebuah laptop putih yang terbuka. "Aku akan menginvestigasi sebentar... Jika semua sudah siap, beritahu aku."
Mort mengamati L dengan tatapan lurus, lalu gadis itu menunduk dan memejamkan mata. Pusaran ingatan berputar pada alam pikirnya; sebuah nama Light, sosok mengerikan berwarna hitam kebiruan, kematian seorang gadis, senyuman kemenangan dari seseorang yang memakai tudung cokelat muda.
L melirik Mort, dan mengira gadis itu tertidur, tapi ketika melihat Mort membuka mata secara tiba-tiba dengan mata yang cukup terbelak, L langsung menoleh sepenuhnya pada gadis itu, memperhatikannya sejenak sebelum akhirnya menghampiri karena Mort memegang kepalanya seperti orang pusing atau memang pusing.
"Kau baik-baik saja?" tanya L sambil mencari-cari wajah Mort.
"Ya..." Jawab Mort sambil menurunkan tangannya dan kepalanya tidak menunduk lagi. "Aku tidak apa-apa..."
Wajah L tidak menunjukkan ekspresi yang berarti. Pemuda itu melompat duduk-di samping Mort- dengan kaki ikut naik ke atas sofa. Mort menengok ke L, melihat apa yang akan dilakukan pemuda itu. L mengangkat tangan kanannya, berhenti di depan mata Mort, kemudian langsung menyentuh dahi Mort dengan telapak tangannya. Mata L langsung terlihat bingung, tangannya merasakan suhu tubuh Mort yang terlalu dingin, padahal suhu ruangan cukup hangat.
L menarik tangannya kembali. "Kau... kedinginan?" Tanyanya ragu.
"Tidak."
"Tapi," L meraih pergelangan tangan Mort. Dingin. Lalu melepasnya. "Suhu tubuhmu terlalu dingin untuk orang normal. Apa kau sakit?"
"Aku tidak tahu karena aku tidak pernah sakit sebelumnya. Memangnya seperti apa?"
"Suhu tubuh terlalu panas atau terlalu dingin."
"...Begitu...? Mungkin karena aku baru pertama kali ke sini."
"Ke mana? Venezia?"
"Tanah."
Kali ini L terdiam. Apa yang dimaksud dengan "Tanah"? Tidak ada niat L untuk bertanya lagi.
Tidak seperti biasanya, penerbangan malam kali ini sangat ramai. Kursi pesawat nyaris terisi penuh. Mort memperhatikan pramugari yang mempresentasikan cara-cara penyelamatan diri saat darurat. Lalu ia memperhatikan lautan permata yang berkilauan-cahaya lampu dari gedung-gedung- dari balik jendela ketika pesawat telah lepas landas.
L yang duduk di sebelah Mort, tengah seperti mengantuk. Beberapa kali matanya terpejam dan terbuka. Ia menguap sejenak lalu memejamkan mata, bermaksud untuk tidur. Tapi tidak lama kemudian, ia memutar posisinya ke kiri lalu ke kanan, begitu terus seperti tidak nyaman pada posisinya.
"Kau kenapa?" Tanya Mort yang akhirnya menyadari gerakan L yang terlalu gaduh.
L tidak menjawab. Tapi Wammy yang duduk di seberang bangku L, "maaf Mort, ia tidak bisa tidur dengan tenang di pesawat jika tidak di dekat jendela."
Sebenarnya Mort sudah mengetahui alasannya sebelum Wammy menjawabnya, tapi karena L diam saja, ia jadi tidak begitu peduli, lagi pula L juga tidak meminta untuk duduk di dekat jendela. Namun, dari pada L membuat suara gaduh tidak jelas, Mort menawarkan agar mereka tukar tempat. L diam, namun tampak menyetujuinya karena ia langsung berdiri dari tempatnya dan keluar dari tempat duduknya. Mereka berdua berpindah tempat. Kini L tidak berbuat gaduh lagi.
"Silakan..." Seorang pramugara menyapa dengan bahasa Inggris karena melihat wajah Mort yang berwajah campuran, etnis barat dan timur. Ia memberikan Mort dua buah selimut. Satu untuk dirinya dan satu untuk L.
"Terima kasih." Kata Mort denga bahasa Inggris yang fasih setelah menerimanya. Mort menatap pramugara itu lama sekali.
"Eh... Ada yang bisa kubantu lagi?" Tanya pramugara itu.
"Namamu Giorgio Louis, apa benar?"
Pramugara itu tampak bingung. "Ya, benar." Ia melihat Name Tag yang terpasang di bajunya. Tertulis "G. Louis". Ia bingung dari mana Mort bisa mengetahui nama depannya. "Ada sesuatu nona?"
Mort menatapnya agak lama. "Tidak, terima kasih atas selimutnya."
"Baiklah.. Jika ada sesuatu yang anda perlukan, beritahu aku." Lalu, Louis, pramugara itu melanjutkan pembagian selimutnya.
Mort memandang Louis lagi, lalu ke arah L yang sudah terlelap. Mort membuka selimut lalu menyelimuti L, lalu membuka selimut yang satunya lagi kemudian melipatnya kembali dan meletakkannya di pangkuan. Mort tidak merasa kedinginan, juga merasa hangat.
Perjalanan akan habis selama 12 jam, dan baru terjalani selama 6 jam atau setengahnya. L sudah terbangun, dan Mort yang semalaman tidak tidur mengucapkan selamat pagi. Tidak tampak wajah Mort mengantuk. L tahu kalau gadis itu semalaman tidak tidur, karena dia sendiri tidak tidur, melainkan hanya memejamkan mata sambil berpikir.
"L..."
"Hm?"
Mort menatap L dengan tatapan lurus. "Sebentar lagi..."
"Nn?" L bingung.
Belum sempat bertanya ada apa, alarm pesawat berbunyi dan membangunkan seluruh penghuni pesawat yang kemudian berujung pada kepanikan.
"Semua dimohon harap tenang!" Suara dari interkom membuat kepanikan sedikit mereda. "Pesawat ini telah kami bajak, jangan melakukan hal-hal bodoh!"
Kali ini tidak ada yang tenang. Semuanya ribut setengah mati, ada yang bingung, menangis, panik, gemetar, dan diam karena takut.
L menoleh ke kiri dan atas, tepatnya ke arah interkom. "Pembajakan di saat seperti ini?"
Sebuah suara tembakan membuat orang-orang berteriak sesaat lalu diam melihat dua orang berpakaian hitam keluar dari pintu depan. "Diam dan jangan melakukan hal ceroboh!"
Semuanya mematuhi perintah itu, para pemumpang diam dengan keadaan masing-masing; bergumam tidak jelas, gemetar tidak karuan, memeluk sahabat atau keluarga yang ada di sampingnya.
Mort, L, dan Wammy juga diam. Wammy terlihat cemas namun tenang, Mort hanya menatap lurus ke arah salah satu pembajak, begitu juga dengan L yang kemudian menatap Mort dengan takjub. "Gadis ini sama sekali tidak panik? Raut wajahnya juga sama sekali tidak berubah? Apa sebenarnya yang-"
Belum sempat L meneruskan pikirannya, salah satu pembajak menghampiri Mort sambil mengacungkan pistolnya. "Urusan apa kau menatapku seperti itu!"
Di luar dugaan, Mort malah tertawa dengan ganjil. L menatapnya dengan kebingungan serta cemas bercampur. "Mo-"
Mort mengisyaratkan L agar diam. Ia menatap L dengan senyum ganjil. "Tenang saja," ujarnya.
"Eh?"
Pembajak terlihat naik pitam. "Apa yang sedang kau lakukan! Kau menantangku, nona!" Ia menempelkan mulut pistol ke kepala Mort.
Secara perlahan Mort menggerakkan tangannya ke pistol dan mendorongnya ke samping. Gadis itu berdiri di hadapan pembajak, dan mengarahkan tangannya ke pembajak. Mort tersenyum dengan ganjil sebelum akhirnya mengucapkan, "Tuhan telah menjemputmu Giorgio Louis..."
"Ap-" Pembajak itu berniat berbuat sesuatu, tapi ia langsung memegang dadanya. "Ugh!" Lalu terjatuh dengan perlahan, meringkuk, kejang-kejang, dan akhirnya diam. Sosok itu tidak bergerak lagi.
L melihat Mort yang menatap pembajak dengan tatapan lurus. L tidak bisa untuk menatap Mort dengan tatapan terkejut tidak percaya.
"Hey! Louis!" Pembajak lainnya yang tadinya terpaku di depan menatap adegan itu, langsung berlari menghampiri pembajak yang terkapar di depan Mort. Ia mengguncang-guncangkan tubuh temannya, membuka penutup wajah temannya, dan segera terkejut melihat wajah temannya yang sangat terkesan menahan sakit, wajah itu, L mengenalnya, dialah pramugara yang berbicara pada Mort semalam.
"Louis!" Pembajak yang satu lagi memanggil nama temannya itu. Ia memeriksa nadi Louis. Tidak ada denyut. "Di...dia tewas!" lalu beralih pada Mort yang berdiri tenang di depannya. "Apa yang telah kau lakukan! ?" teriaknya dengan bahasa Itali yang kasar.
Baru saja pembajak itu akan menarik pistolnya, Mort lebih dulu mengacungkan pistol Louis-yang ia ambil ketika pembajak menghampiri Louis-pada pembajak itu. "Jatuhkan senjatamu..." Perintah Mort, juga dengan bahasa Itali.
Pembajak itu menatap dengan tidak percaya, lalu perlahan menuruti perkataan Mort, karena Mort telah menembakkan pistol itu ke lengannya sendiri, diikuti beberapa teriakkan para pemumpang dan tatapan kaget L dan Wammy.
"Menembak itu mudah..." Ujar Mort dengan tatapan dingin. "Sekarang berdiri..."
Tanpa menunggu lagi, pembajak langsung berdiri sambil mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Ia melirik tangan kiri Mort yang ditembak Mort sendiri, segelintir darah mengalir menuruni lengan sampai ke ujung jari. Warna merah yang sangat pekat, agak kehitaman.
"Buka penutup wajahmu!" perintah Mort lagi. Sementara pembajak membuka penutup wajahnya dan para penumpang menonton dari tempat duduknya masing-masing dengan tegang.
Mort tersenyum melihat wajah pembajak itu. "Kau juga pramugara pesawat ini rupanya..." Ia mengangkat tangan kirinya yang berlumuran darah dan menurunkan tangan kanannya yang memegang pistol. Darah menodai telapak tangannya, dan seperti lukisan abstrak yang acak-acakan. "Tuhan telah menjemputmu Neil Joshua..."
Untuk kedua kalinya, pemandangan yang sama langsung terlihat. Pembajak itu langsung memegang dadanya. Lalu terjatuh dengan perlahan, meringkuk, kejang-kejang, dan akhirnya diam. Sosok itu tidak bergerak lagi.
Bergegas, L segera menghampiri pembajak yang barusan roboh. Ia memeriksa nadi pembajak itu. "Dia... tewas?" Lalu menatap Mort. "Mort? Apa yang telah kau lakukan?"
"Mereka telah dijemput Tuhan..." Jawab Mort singkat, kemudian ia memegang lengannya yang ditembak dengan tangan kanannya yang masih memegang pistol. "Sir Wammy. tolong beritahu pada pilot untuk melanjutkan perjalanan, karena dia tidak terlibat, beritahu juga untuk mengumumkan keadaan yang sekarang sudah baik-baik saja."
Wammy mengangguk dengan hormat, lalu langsung menuju ke depan.
"Dan anda, Michael Guive." Mort berkata pada pria besar-seperti pemain rugbi- yang duduk di belakang bangku Wammy. "Tolong anda beritahu ke para pramugari di tempat penyimpanan bahwa keadaan baik-baik saja. Mereka dikurung di belakang."
Pria itu memandang dengan takjub serta bingung dari mana Mort mengetahui namanya, dan ia langsung mengangguk dan mengerjakan perintah Mort. Beberapa orang berdiri dari tempat duduknya. Mereka menghampiri Mort, dan salah satu dari mereka berkata, "aku tidak mengerti apa yang telah terjadi dan bagaimana kau melakukannya. Tapi aku akan membereskan orang-orang ini agar tidak mengganggu pemandangan."
"Ya, aku juga," timpal yang lainnya.
Mort mengangguk dan menyingkir dari jalan. Mereka mengangkut dua mayat pembajak ke belakang. Para pramugari yang telah bebas berteriak kecil ketika melihat mayat dua orang teman mereka diangkut,
L terdiam memandang sekitar, memikirkan apa yang telah terjadi. Pikiran itu sangat berlawanan dengan logikanya. "Membunuh hanya dengan mengacungkan tangan? Mustahil..."
"Kau berpikir itu mustahil?" Seperti membaca pikiran L, Mort langsung tersenyum simpul. "Tapi ini kenyataan..." Dan tiba-tiba saja dia oleng.
L segera mencegahnya terjatuh. Ia menuntun Mort agar duduk di kursi. "Kau tidak apa-apa...?" Walau bertanya begitu, L hanya melihat ekspresi dingin Mort yang tidak menggambarkan apapun; rasa sakit, takut, cemas. Tidak ada ekspresi apapun. Hanyalah sebuah raut pucat yang memang Mort punya.
Mort meletakkan pistol ke pangkuannya. Ia menusap luka dengan tangan kanannya, lalu ia menatap telapak tangan kanannya yang kini penuh darah merah yang pekat kehitaman. "...Rasa sakit itu seperti ini?"
"... Kau harus menghentikan darahnya atau kau akan mati kehabisan darah..." L menarik pita hitam yang terikat di pergelangan baju Mort, lalu mengikatkan pita itu di atas lengan Mort yang tertembak atau lebih tepatnya ditembak sendiri. "Aku heran kau menembak lenganmu sendiri. Apa alasanmu?" Namun Mort tidak menjawabnya.
L meminta bantuan pramugari yang segera menguasai keadaan dengan menenangkan para penumpang walaupun para pramugari itu masih takut dan tegang. Dua orang pramugari membantu L memberikan pertolongan pertama pada Mort. Setelah selesai, L duduk di kursinya dan bertanya pada Mort.
"Dan bagaimana caranya kau membereskan kedua pembajak itu?"
"Tuhan telah menjemput mereka..." kali ini Mort menjawabnya
"... Apa itu sebuah mantra sihir?" tidak ada pikiran L untuk bertanya itu, namun terucap juga.
"Kalau kau berkata itu adalah sebuah mantra, aku tidak pernah tahu ada mantra membunuh yang menyebutkan nama Tuhan," kata Mort.
"...Dari mana kau mengetahui nama mereka?"
"Seperti aku mengetahui namamu, L, atau boleh kusebut dengan—."
"Berhenti!" ujar L pelan. "Jika kau tahu namaku, aku ingin kau tidak menyebutnya."
"...Baiklah..." Mort menyenderkan kepalanya ke kursi, dan menatap langit-langit, ia memejamkan mata, alam pikirannya berputar lagi; pemuda bertudung cokelat yang makin terlihat wajahnya, L yang menggigit jarinya, tatapan sinis, sebuah buku berwarna hitam bertuliskan huruf aneh, dan dirinya yang terjun dari sebuah gedung. Melihat adegan yang terakhir dalam pikirannya itu, ia langsung membuka matanya dengan tiba-tiba. Ia menatap langit-langit. "Apa yang akan terjadi...?"
"Apa kau Malaikat Kematian?"
Segera Mort menatap L dengan tajam, tapi ia langsung tersenyum dengan ganjil. "Bagaimana ya...? Apa menurutmu aku itu malaikat?"
L juga menatap Mort dengan tajam, "tidak," jawabnya, "Walaupun begitu, siapa sebenarnya kamu?"
Senyum Mort makin terlihat ganjil, "Mort Zapiska."
Tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulut L mendengar jawaban itu. Ia hanya menatap Mort sejenak lalu membuang muka ke arah jendela.
Mort membiarkan L untuk diam dan berpikir ataupun tidak berpikir. Gadis itu merasakan seperti sengatan listrik menjalar pada lengannya yang terluka akibat ulahnya sendiri. Rasa sengatan itu adalah rasa sakit akibat luka. Darah merah kehitaman mengalir dan menetes, membasahi baju Mort dan mengotori karpet, tidak ada tanda-tanda luka itu tertutup dan berhentinya aliran darah. Mort tidak mengeluhkan apapun, ia hanya berpikir, kenapa dia bisa merasakan sakit. "Kalaupun aku menjadi manusia biasa dengan turunnya aku ke tanah ini, kenapa aku bisa menggunakan kekuatanku?" Ia menatap langit-langit. "Tuhan... Apa yang menjadi kehendakmu?"
"Apa hanya mereka berdua yang menjadi korbanmu?" tanya L dengan tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangan dari jendela.
"Entah..." jawab Mort, juga tanpa mengalihkan pandangan dari langit-langit. "Tuhan akan menjemput siapapun yang kusebut dengan tanganku."
L menoleh. "Tangan?" ia langsung terpaku melihat Mort yang mengacugkan tangan ke depan, atau ke orang yang duduk di kursi depan Mort.
Bibir Mort bergerak mengucapkan sesuatu dengan berbisik, namun L dapat mendengarnya, "Tuhan telah menjemputmu, Caroline Locke..." Lalu Mort menurunkan tangannya, "lihatlah, apa gadis di depanku ini tewas..."
Tanpa berpikir lagi, L langsung berdiri dan melongok ke kursi depan, dan melihat seorang gadis berambut pirang-yang duduk di depan Mort—terlihat seperti tertidur. L tidak bisa menebak ia mati atau tidak, tapi L tidak melihat gerak nafasnya. Pemuda itu langsung memindahkan pandangannya pada Mort. "Dia—."
Mort menatap datar. "Entahlah..." Ia mengangkat tangannya ke atas. "Tuhan telah memberhentikanmu... Wahai waktu..."
Seketika itu, L hanya bisa mendengar dengungan aneh di telinganya, suasana yang terlalu sunyi, juga pandangan yang agak bergelombang dan kabur. L menoleh kanan kiri dengan gelisah. Semuanya tidak bergerak, tampaknya waktu telah berhenti. L mengangkat kedua tangannya dan menatap keduanya, ia menggerakkan jari-jarinya dengan perlahan. "Bergerak...?"
"Hanya orang yang kutatap yang tidak terpengaruhi oleh berhentinya waktu." Mort bangkit. "Dengarkan aku, L... Aku bukanlah malaikat, dan aku juga bukan manusia, tapi aku tidak tahu sebenarnya "apa" diriku ini... Kekuatanku untuk mencabut nyawa siapapun yang aku mau bisa digunakan, tapi tubuhku rentan seperti tubuh manusia. Aku bisa terluka dan merasakan sakit yang tidak pernah kurasakan sebelumnya."
"...Bagaimana kau mencabut nyawa mereka semua?" Tanya L dengan tatapan waspada.
"Hanya dengan menyebutkan nama Tuhan, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan "akhir" dan penunda waktu bisa berjalan sesuai kehendakku. Kematian seseorang, ataupun berhentinya waktu, seperti sekarang ini. Hanya saja, aku baru bisa menewaskan seseorang dengan menyebutkan nama dan membayangkan wajahnya." Mort balik menatap L dengan tatapan datar. "Agar orang lain yang bernama sama tidak ikut tewas."
"Tapi kau bisa mengetahui nama orang begitu saja?" L masih waspada.
"Aku hanya bisa mengetahui jika aku melihat wajahnya." Mort melangkah mendekati L. "Ingin tahu alasanku?"
L tidak menjawab, melainkan hanya mengangguk pelan setelah terdiam beberapa saat. Kini tatapan lurus Mort berubah menjadi tatapan mengerikan seperti iblis, begitu tajam dan ganjil, tidak berperasaan. "Aku melakukannya demi diriku sendiri yang hidup dari nyawa seseorang."
"Hidup dari nyawa seseorang?" L mengulanginya.
"Satu nyawa seseorang yang kukeluarkan sama dengan tiga belas tahun makanan untuk nyawaku bertahan."
Salah satu kaki L bergerak mundur seraya Mort yang mengangkat tangan kirinya ke arah L. "Tapi ingatlah satu hal, aku bukan malaikat... Tuhan telah menjemputmu..."
Seakan pemanah profesional memanahnya dengan anak panah yang memiliki mata tertajam, L tersentak kaget, matanya sedikit terbelak, menatap panorama biru dan putih di depannya dari balik kaca jendela pesawat. L terpaku menatap panorama itu, birunya langit dan putihnya awan yang terlintasi. Hari sudah terang.
"Tuhan telah menjemputmu..." teringat kalimat terakhir Mort serta acungan tangannya. L langsung berbalik dan melihat Mort yang tengah seperti tertidur di sebelahnya. L menatap bingung, yang ia ingat adalah ia sedang berdiri dengan terhentinya waktu. L berdiri untuk memastikan, semuanya terlihat baik-baik saja. Dia melihat ke arah Mort lagi, kali ini ke lengannya yang ditembak, masih ada luka tembak di situ, kejadian pembajakan bukanlah mimpi.
"Lalu, apakah pada saat waktu berhenti itu hanya imajinasiku yang muncul karena aku terlalu banyak menatap ke arah luar jendela?" Pikir L dengan bodohnya, entah kenapa otak jeniusnya menjadi turun dan berpikiran dangkal yang tidak masuk logika. Ia mengusir pikiran itu dan merasa dirinya bodoh. Ia merasa kejadian terhentinya waktu terlalu nyata.
Akhirnya tibalah mereka di bandara internasional Jepang. Seperti yang telah diperkirakan sebelumnya, polisi telah bersiaga untuk menginvestigasi. Mereka telah dihubungi melalui komunikasi pesawat. Para penumpang diinterogasi, termasuk L dan Wammy, sedangkan Mort dan dua jenazah pembajak dibawa ke rumah sakit terdekat oleh agen kepolisian. Di luar dugaan, ada satu jenazah lagi, seorang wanita asal Venezia, bernama Caroline Locke yang diperkirakan meninggal karena gagal jantung. Kematian yang satu ini membuat L merasakan keganjilannya lagi, dan dia tampak begitu curiga dan waspada.
