Selamat datang.

Aku akan membawamu memasuki gerbang penuh cerita cinta. Lalu berlanjut memasuki gedung megah nan mewah penuh kisah abadi. Disana kita akan melihat apa-apa yang mewakili sebuah perasaan. Yang menyedihkan, yang menyenangkan, mengharukan atau membahagiakan.

Kau tak perlu tahu bagaimana rasa itu tercipta. Cinta hanya melibatkan dua insan. Lelaki dan perempuan. Memang seharusnya begitu. Namun, masih bisakah nama cinta berpihak pada dua orang dengan kelamin yang sama? Kau sebut mereka kaum gay. Tak apa, jangan mencibir. Mereka juga manusia, yang masih berpegang teguh pada kenormalan. Meski pada dasarnya, hatilah yang berbicara.

Ya, kita memiliki dua tokoh utama dalam drama picisan ini. Yang akan aku ceritakan berdasar pada keengganan hati. Tentang dua orang anak manusia yang saling bertolak belakang, merasa bahwa diri mereka adalah satu-satunya mode manusia normal. Janggal. Ini semua kesalahan. Tentang aluran memori yang terkait satu sama lain, melalui berbagai musim di Seoul. Tak ada batas bagi keduanya. Kisah ini akan menjadi sorotan.

Sekalipun takdir berkehendak lain.

Kau akan menikmati kemasan cerita ini, berikut isi bersih kisah didalamnya. Yang menyuguhkan berbagai konflik batin sekaligus suasana sekitar yang membiru haru sebagai bumbu penyedapnya. Kau hanya perlu menyimak setiap adegan yang kuberikan, tiap langkah yang mereka buat adalah sebuah kunci. Pada akhirnya, ucapan apa kabar akan berakhir dengan sampai jumpa. Pertemuan selalu memiliki perpisahan. Meski sekilas, kau tak berhak mencegahnya.

Lihatlah layar didepanmu, tirai itu hampir terbuka. Riuh rendah tepuk tangan dan sorak sorai telah memenuhi gemaan tempat kau berpijak saat ini. Kau sudah mendapatkan kursi penontonmu, kau telah menempatkan dirimu pada kenyamanan. Dan disinilah apa yang menjadi ketabuan akan memulai sebuah persembahan. Perjalanan dengan proses yang tak bisa dikatakan remeh. Awalan yang menjadi titik temu sebuah keklisean, dan akhiran yang menyatukan kesimpulan akurat sebagai penutup yang dinanti.

Kau sudah sangat siap untuk menyaksikan mereka. Mendalami tentang definisi cinta, perasaan sesama jenis, dan segala ketidaknormalan lain yang ditentang banyak pihak. Kau harus tahu, betapa tersiksanya mereka yang tak mampu menggabungkan perasaan yang sama. Ah, ini dia. Bersiaplah mengosongkan pikiranmu, karena peliknya masalah ini akan memenuhi ruang benakmu. Kau tak akan semudah itu lolos dari kurungan masa lalu. Terakhir,

Selamat menikmati.

Don't Judge Me Like You're Right

PRESENT

...

"Vintage of Us"

Chapter one

-ooo-

Starring :

Kim JongIn | Do Kyungsoo

Genre :

Romance, Angst

Length :

Continue

Rate :

Teen

Disclaimer :

I own this story, if there still same cast or storyline, there will be not on purpose. Just fiction and not real. So, don't bash it.

-ooo-

Kim JongIn POV

Kepekaan menjadi yang tak terbantahkan

Menuntut untuk sekedar kau toleh

Sekalipun jemariku tak mampu menggapaimu

Biarkanlah angin membelaikan wajahmu

Untukku..

Detikan jam dinding itu satu-satunya sumber suara yang kudengar.

Hanya sebatas derit ranjang yang menjadi pemeriah suasana lainnya. Juga hembusan angin malam dari bingkai jendela yang sengaja kubuka lebar. Berikut temaram lampu yang menyudutkan cahaya. Aku sendirian, merenung dengan pikiran tak tentu arah. Menyandarkan punggung lelahku beserta sedekapan tangan didada. Bahkan, ini sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Dan aku tetap tidak bisa tidur, meski hanya untuk sekedar memejamkan mata.

Bukan apa, aku tidak mengidap insomnia. Selain itu, aku juga tidak sedang dalam mode khusus yang mengharuskanku untuk gelisah sepanjang malam. Intinya hanya satu, aku kesulitan tidak terjaga pada waktu lewat tengah malam. Tanpa kuketahui penyebabnya. Selalu, hal ini selalu terjadi padaku sejak aku berada di Taman Kanak-Kanak. Kalau sudah begitu, aku hanya akan diam. Sesekali membiarkan diriku menikmati setiap sudut kamar tanpa melakukan apa-apa.

Kau bilang ini monoton. Aku tahu ini membosankan, benar.

"Kim JongIn, melamun di tengah malam? Lagi?" Teguran itu membuang bias halus dalam benakku. Yang sebelumnya sudah menjadi alur teratur tanpa celah sedikitpun. Pemilik suara itu adalah remaja seumuranku, yang memiliki ranjang disebelahku dan lemari disamping lemariku. Dia bukan saudaraku, dia bukan sepupuku. Ah, kami hanya berteman, kau boleh menyebut kalau kami memiliki hubungan baik sebagai sahabat. "Hei, hei. Bahkan kau mengabaikanku."

Namanya Chanyeol, Park Chanyeol. Kami sudah begini dekat hanya karena perkenalan remeh sebagai teman sekamar. Chanyeol, mode manusia yang diciptakan Tuhan dengan keceriaan tanpa batas, sekaligus lelucon-lelucon yang stoknya tak pernah habis. Tubuhnya yang kelewat tinggi, sama sekali tak menyulitkan pergerakannya yang begitu lincah, berlarian kesana-kemari bagai bocah balita. Satu yang kusukai darinya, adalah Chanyeol yang selalu sederhana. Meski terkadang mulut besarnya selalu ingin kusumpal mati-matian.

"Kembali tidur, Chanyeol. Aku tidak akan mengganggumu." Chanyeol menarik selimutnya sampai sebatas dada, lalu ia memiringkan tubuhnya menghadap kearahku.

"Cih, kusarankan untuk mencari pasangan, Jongin. Kau membutuhkannya sebagai penggantiku, tahu. Lagipula, memangnya kau tidak kesepian kalau kemana-mana harus sendirian? Maksudku, selain bersamaku dan Jongdae, Sehun, Suho, Lay. Hm?" Benar, kan, kalau kukatakan Chanyeol ini bermulut besar? Ia gemar sekali melantur dari topik semula. Kuperhatikan anak itu semakin meringkuk, memicingkan matanya, mengerutkan hidungnya, mengangkat alisnya, baru menggigit bibirnya. Chanyeol memiliki banyak hal kecil yang selalu ia tampakkan saat ingin berbicara serius.

"Suatu saat nanti, aku akan mencarinya. Tidak untuk sekarang, Yeol." Aku kembali memusatkan perhatian pada langit-langit kamar, menghindari Chanyeol yang seolah mengintimidasiku.

Chanyeol mendengus, sesekali ia mengacak helai rambut peraknya yang sudah berantakan. "Tsk. Aku tidak pernah tahu tipikal wanita seperti apa yang kau sukai, Jongin." Lalu Chanyeol menegakkan tubuhnya, terbangun dari rebahan semula. Ia melempar selimutnya sembarang, kaki-kakinya berangsur tenggelam dalam sandal bulu-bulunya. "Ayo, kita keluar. Mencari udara segar di sekitar danau, tidak ada salahnya, kan?"

Mau apa, aku juga tak ingin mati kebosanan menunggu kantuk yang tak kunjung membunuh ini. Lagipula, ajakan Chanyeol terdengar begitu menarik. Memang tidak ada salahnya, aku juga butuh hiburan. Aku mengikuti Chanyeol, yang sudah berjalan lebih dulu didepanku. Langkah kami sebisa mungkin tak menimbulkan suara, semenjak menuruni tangga hingga melewati deretan pintu kamar. Penghuni lain tentu tak perlu tahu apa yang dilakukan dua bocah dipagi buta seperti ini.

"Jongin, riak air danau itu berkilau, ya." Chanyeol membuka suara, ia menepuk tempat didekatnya, mengisyaratkanku untuk duduk disana. Aku menurut saja, toh rerumputan ini sangat lembut dan sama sekali tidak tajam, tidak berpotensi menusuk-nusuk pantatku. Tatapanku lurus kedepan, ikut memandang riak air danau yang seperti kata Chanyeol, memang berkilau. Bagai partikel-partikel cahaya yang dihempas turun ke bumi. "Mm-hm, danau ini selalu hening. Nyaman. Aku suka."

Aku tersenyum masam mendengar penuturan Chanyeol yang satu itu. Nyaman. Definisi kata nyaman dalam kamusku adalah rasa betah yang tak tergantikan. Tapi sungguh, aku belum pernah begini seriusnya menerjunkan diri secara langsung pada danau ini. "Seharusnya aku juga. Mungkin kalau nanti aku punya pasangan, wanita itu yang akan menemaniku duduk disini. Bukan kau lagi, Yeol."

Chanyeol memberengut, bibirnya meruncing dan pipinya menggembung. Aku tak habis pikir kenapa Tuhan mempertemukan bocah konyol sepertinya padaku. Memang seharusnya aku bersyukur, Chanyeol mungkin satu-satunya spesies manusia yang bertahan melawan keegoisanku. Ya, kan? Aku tergelak melihat ekspresi menggemaskan Chanyeol, dia seperti hendak menghujamiku dengan godam-godam raksasa. Oke, mungkin ini berlebihan, tapi sungguh, Chanyeol memang terlihat seperti itu.

"Jongin, kau ada dikelas apa saja besok?" Peralihan pembicaraan. Chanyeol tidak akan membiarkan dirinya berlarut dalam sikap menyebalkannya itu. Ia menepuk bahuku sekali, keras. Hingga membuatku sedikit memajukan diri akibat ulahnya.

"Hanya kelas Geografi, Sastra, Matematika, dan mungkin Kimia, kalau aku berniat memasuki semuanya."

Chanyeol tidak perlu terkejut mendengar hal lazim itu. Asal kau tahu, Kim Jongin hobi membolos jam pelajaran. Dalam hati aku mensyukuri penyakit mulut besar Chanyeol tidak kumat, setidaknya ia tidak berkoar macam-macam tentang tabiat burukku ini.

"Klasik sekali, Jongin. Lagipula, aku selalu ikut denganmu untuk urusan yang satu itu. Aku bosan, omong-omong."

Benar, kan? Aku dan Chanyeol memang cocok. Kami ditakdirkan untuk bertemu dan mengenal karakter satu sama lain. Belum lagi dengan keempat sobatku yang lainnya, demi Tuhan kami seperti kepingan kue yang disatukan dalam toples kaca. Tanpa beda.

Aku melempar beberapa kerikil kecil menuju air didanau, dengan sepenuh tenaga. Aku melihat jangkauan kerikil yang kulempar ternyata cukup jauh, menimbulkan percikan air yang terbuncah keatas. "Ini sudah satu jam, Jongin. Ayo kembal-"

Sebelum Chanyeol menyelesaikan kalimatnya, aku yakin telinga kami berdua cukup normal untuk mendengar suara debuman keras dibalik pohon ek itu. Sesuatu. Ada sesuatu yang misterius disana.

"Aku mendengarnya, Chanyeol." Chanyeol tidak menyahut, tapi tingkat kewaspadaan anak itu pasti melonjak naik. Ia berdiri dengan gerakan cepat, sesegera mungkin menyusulku yang sudah lebih dulu menghampiri asal suara. "Ini bukan soal hewan buas, aku yakin dia yang membuat kegaduhan adalah manusia." Aku memegangi batang besar pohon ek itu, mengendus pelan sisa-sisa jejak yang ditinggalkan seseorang tadinya.

"Dia baru saja terjatuh." Argumen Chanyeol kusetujui. Mana mungkin sesuatu yang lain bisa menyuarakan gemaan sekeras itu? Maksudku, selain manusia. Aku tidak pernah percaya dengan hal gaib, omong-omong. Jadi, jangan harap poinku berubah selain menjurus pada seseorang.

"Apa yang dilakukannya?" Aku mendengar bisikan Chanyeol yang mengungkap ketidak-tahuannya. Kedikan bahu Chanyeol turut menambah kegusaran hatiku juga. Bukan apa, aku hanya merasa kejanggalan ini menjadi sesuatu yang perlu diselidiki. "Sekedar bermain-main?"

"Entahlah, menurutku, kalau dia kesakitan saat baru terjatuh, kemungkinan dia tidak jauh dari sini. Karena pasti masih membutuhkan waktu untuk sekedar menggerakkan kakinya, kan? Dan lagi, aku yakin dia berasal dari daerah sekitar sini." Penjelasan Chanyeol menerangkan sisi pikiranku. Benar juga, seseorang yang baru saja terjatuh pasti bukan dari pihak luar. Dia siswa, atau siswi dari sekolah kami. Itu jelas. Mungkin hal yang sama terjadi padanya juga, selain padaku saat lewat tengah malam. Orang ini pasti mengalami kesulitan dalam tidurnya, dan ia memutuskan untuk duduk diatas pohon ek itu. Astaga, lagipula apa yang ada di pikirannya, sih? Pohon ek ini kan cukup tinggi. "Uh, untuk apa kita memusingkan orang asing ini, Jongin? Tidak penting. Mau dia jatuh, mau dia duduk diatas pohon itu, atau apapun, kita toh tidak mengenalnya. Ayo, pulang,"

Chanyeol sudah meninggalkan tempat ini dengan langkahnya yang menyapu dedaunan musim gugur. Tanpa basa-basi aku memang menyuruhnya pulang ke asrama tanpaku. Meski sebelumnya kami berdebat, aku yakin Chanyeol aman-aman saja jika ia sendirian diperjalanan pulang. Toh, aku sudah kepalang penasaran dengan sosok aneh yang baru saja membuat sensasi heboh ini.

Aku menyusuri jalan setapak yang kian menuntunku semakin dalam menuju hutan. Biar saja, setelah ini matahari akan menyinari meski hanya dengan seberkas cahayanya. Beberapa ranting pohon sempat menghalangi jalanku, dan gemerisik daun-daun yang menjadi pijakanku cukup berisik mengusik pendengaran.

"Ssh.." Ah, yaampun. Desisan itu tertangkap olehku, semakin aku mendekat semakin kentara. Setelah aku menyibak ranting dan dedaunan didepan penglihatanku, disana, siluet itu membelakangi posisiku. Dia laki-laki ternyata. Terduduk dengan simpuhan kaki menyilang kesamping. Satu tangannya memegangi lututnya, aku tidak tahu pasti apa yang tangan satunya lakukan.

Aku tidak perlu memikirkan apapun lagi saat meyakinkan diri agar semakin mendekat. Sentuhan ringan kuberikan pada bahunya, dia menoleh. Uh, wajahnya, mata bulatnya, sungguh. Seharusnya aku mengenal anak ini, namanya saja yang sengaja kulupakan.

"Jongin-ssi?" Aku tahu dia kesulitan menyeimbangkan tubuh. Terlebih setelah kusadari separah apa luka dilututnya, hingga membuat celananya robek dibagian tempurung itu. Aku juga tahu betapa terkejutnya ekspresi itu, mimik yang terubah paksa dari raut penuh kesakitan, kini malah raut bak pencuri yang tertangkap basah ditampakkannya. Aku memundurkan diri, menjauhkan langkahku beberapa jengkal kebelakang.

Entah mengapa, pita suaraku tidak mau berkompromi disaat-saat seperti ini. Ditengah gerimis dan udara dingin yang terasa seperti menusuk tulang. Diatara pohon-pohon dengan daun rimbun yang menjulang tinggi. Aku tidak mengatakan apapun. Kubiarkan dia tetap memandangiku dari ujung kaki sampai ke kepala, kubiarkan dia tetap menunduk sambil meremas dedaunan mapple yang terjatuh. Aku tersadar dari rasa penasaranku.

"Jongin-ssi?" Dia mengulang, suaranya serak. Siluet tubuh mungilnya tertimpa sinar rembulan yang hampir memudar. Aku tetap bergeming, bukan karena alasan masuk akal apapun. Aku hanya tidak tahu harus mengatakan apa dan harus melakukan apa. Lagipula, aku tidak mungkin goyah dengan pendirianku sendiri. Ah, bahkan kubiarkan saja dirinya yang masih teronggok manis itu. Tanpa niatan sedikitpun untuk menolongnya. Ingat, dia tidak memintanya, kan?

Aku semakin memundurkan langkah, kian menjauhinya. Aku hanya menolak gejolak batin yang berteriak bahwa tidak seharusnya aku ada disini. Sebentar lagi subuh datang, dan beberapa jam lagi bel sekolahku akan berdering untuk kelas pertamaku. Aku harus pulang. Tidak peduli dengan sosok yang masih terpekur disana. Aku menghilangkan diri, bagai ditelan bumi aku benar-benar hilang dari pandangannya. Menyisakan keheranannya, dan meninggalkan kesan buruk sebagai Kim Jongin tak berhati yang enggan menolong seseorang ditengah pesakitannya.

Tapi, itu semua kulakukan, karena dia adalah..Do Kyungsoo. Ya, dia Kyungsoo.

-ooo-

Hanya pada kalbu aku meragu

Maukah kau lontarkan satu kata saja?

Tebarkan sapaanmu

Maka aku akan melupakan segalanya

Demi dirimu

Aku berjanji pada mereka

Hidup dan matiku tak pernah seberharga ini

Bahwa kau bagaikan nyanyian nafas

Alunan nada yang teruntai lembut

Betapa aku mengharapkan kau tersenyum

Setidaknya kau tujukan untukku

Tak apa hanya sekali, aku akan membungkukkan badan agar kau melakukannya untuk yang kedua

Lokerku selalu penuh dengan tempelan kertas memo berbagai warna. Bukan dariku sendiri, tentu saja. Semua itu kudapat berdasarkan kekaguman mereka, kadang senyum diwajahku tak pernah bisa mangkir hanya dengan membaca pesan-pesan khas lelucon itu. Dan aku selalu menyempatkan sedikit waktuku disela jam istirahat, ah, ini lucu.

"Menikmati kecintaan fansmu, Kim Jongin?" Suho. Tanpa menutup pintu loker pun, aku mengenali suara itu. Juga empat orang lain yang kini ikut mengelilingiku dengan sandaran punggung dan sanggaan tangan yang mereka cecapkan pada loker-loker disampingku yang kebetulan sedang sepi. "Padahal kau hanya tinggal menunjuk salah satunya, maka Kim Jongin resmi berpacaran. Masalah selesai."

Pada akhirnya, aku memilih untuk menyudahi rutinitas ini. Sepenuhnya memusatkan atensiku pada teman-temanku yang memang pada dasarnya sudah terkenal badung. "Yah, tidak jadi masalah kan, kalau gadis-gadis itu menyukaiku, tapi aku tidak menyukai mereka?" Bukan suatu bentuk bantahan. Aku hanya mempertahankan ego dan loyalitas.

Aku mendengar decakan dari Jongdae, sebelum akhirnya tawa mereka terpecah bulat-bulat, terpingkal kegelian. "Jadi maksudmu, kau sudah tidak normal? Kau tidak menyukai gadis-gadis, tapi kau menyukai laki-laki, hah?" Sialan. Jongdae selalu menjadi kompor panas dengan api meletup-letup. Aku mendelik, berang sedikit dengan maksud candaan. Sedikit banyak menepis anggapan bodoh Jongdae yang keterlaluan.

"Aku masih normal, bodoh!" Aku meninju lengan Jongdae, tanpa tenaga. Berikut dengan toyoranku pada masing-masing kepala yang seenak jidat menguarkan bau nafas mereka itu. Aku benci dipermalukan. Meski hanya didepan teman-teman sepermainan, sih. "Perempuan masih menjadi prioritas utamaku, hei!" Oke, kali ini aku berseru lantang. Namun, tak kupungkiri aku ikut tergoda dengan tawa mereka. Jadi, aku tertawa. Ikut mati bersama lelucon atas diriku sendiri.

"Baiklah, Jongin. Bisa kupilihkan laki-laki mana yang cocok denganmu, hm?" Mereka rupanya tidak menggubris amukan samarku barusan. Dan berani mengulanginya didepan wajahku, astaga ini sama sekali tidak lucu. Kali ini, suara Lay yang meninterupsi. "Atau kau Sehun, kau sepertinya bisa menjadi salah satu kriteria Jongin." Yang disebut namanya makin terbahak, ia menepuk-nepuk bahuku berulang kali. Dan Lay, ia malah mengedipkan matanya, mengerling memuakkan bagiku. Sialan. Mereka sungguh sialan.

"Tidak lucu, hei. Sudahlah, jangan bahas guyonan tidak bermutu seperti ini." Aku berbalik, melipat kedua tangan didepan dada seraya memutar bola mata jengah. Mereka tetap asik dengan hal konyol semacam menertawaiku. Sehun melirikku, lalu menepuk dadaku sekali.

"Yah, Jongin. Bagaimana dengannya? Apa dia termasuk kedalam kriteriamu?" Dagu Sehun menunjuk kearahnya. Dia yang kepayahan mengatur barang bawaannya sendiri, langkahnya pincang. Mm-hm, si Kyungsoo itu yang dimaksud Sehun. Bukannya menyangkal godaan Sehun, aku malah mengamati Kyungsoo sampai ia menghilang dikoridor depan. "Uh-oh, yang itu memang kriteriamu rupanya, Jongin. Yeah!" Sehun terlihat girang bukan main, girang karena seorang Kim Jongin kalah telak dibawah leluconnya. Sialan.

"Apa-apaan, Sehun!" Iringan tawa keempat temanku yang lain benar-benar menjemukkan. Kenapanjadi serumit ini? Hanya Chanyeol yang terlihat normal diantara mereka. Dia memang ikut tertawa, tapi sedikit lebih terkendali.

"Oh, ya, bagaimana dengan si misterius semalam, Jongin? Kau berhasil menemukan siapa dia?"

Ya, dan dia adalah Kyungsoo. Do Kyungsoo.

Untuk pertanyaan Chanyeol itu, aku tidak mungkin menyuarakan isi pikiranku. Bungkam adalah satu-satunya jalan terbaik. Tentang solusi, aku bisa mengarang ceritanya saja.

"Yah, kurasa aku kehilangan jejak, Chanyeol. Sayang sekali sebenarnya."

Chanyeol hanya mengangguk-angguk, tanda mengerti. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar paham atau hanya sebagai formalitas.

Setidaknya, aku bersyukur empat bedebah lainnya itu sama sekali tidak curiga dengan obrolanku bersama Chanyeol.

"A-ha, aku harus ke kelas Geografiku, buddies!" Kurasa lelucon tentang orientasi sexku sudah menyurut sedemikian rupa. Seusai kalimatku, aku segera berpamitan pada mereka semua dan berjanji akan menampakkan diri di jam istirahat yang berikutnya.

Tapi dasar Kim Jongin, mana mungkin dia setepat waktu ini memasuki kelas? Yah, aku membelokkan sebentar haluanku. Menuju kearah mana si Kyungsoo itu pergi. Jangan tanya apa yang sedang kupikirkan mengenai remaja penuh teka-teki itu. Aku hanya ingin melihat lebih jauh bagaimana si Kyungsoo itu menjalani hari-harinya. Jangan anggap aku begitu penasaran padanya, atau bahkan aku bukanlah penguntit. Cukup satu, aku hanya ingin tahu.

Terakhir, si mata bulat itu memasuki kelas Pemerintahan. Setelah meletakkan beberapa bukunya dimeja, ia keluar lagi. Kyungsoo, aku sekelas dengannya di empat kelas lain, didalam kelas itu pula aku tahu bagaimana rasanya menjadi Kyungsoo yang serba aneh. Terkucilkan.

Ah, itu dia. Kyungsoo. Berada diujung koridor, oh tunggu, dia tidak sendirian. Ketiga orang lainnya ada disana, dan aku mensinyalir ketidakberesan dalam suasana itu. Benar-benar bukan sembarang situasi remeh yang bisa kutinggalkan.

Kyungsoo itu sedang mengalami kekakuan yang tak pasti. Dia merosot dibawah tiga orang lain yang mengungkungnya. Sesuatu yang buruk pasti telah mereka katakan bertubi-tubi, karena Kyungsoo tampak enggan mendengar itu semua. Ia menutup kedua telinganya dengan dua tangannya, seraya menggelengkan kepalanya berulang kali. Tapi tidak berhenti disana, mereka kini mulai berjongkok, memberikan sentuhan kasar pada sisian wajah Kyungsoo.

Biadab. Aku tidak terlalu mengenal mereka, ketiganya tidak pernah satu kelas denganku. Tapi aku tahu yang mereka lakukan pada Kyungsoo adalah tindakan kriminal. Ah, setidaknya aku ingat nama mereka. Kris, Tao, dan Minseok. Uh, berandal. Jauh lebih berandal daripada aku dan teman-temanku.

Aku tetap memperhatikan kebejatan mereka. Umpatan-umpatan keji yang jelas meyakiti hati Kyungsoo, aku tidak tahu persis apa ucapan sadis itu. Yang jelas, mereka mulai beralih melakukan kontak fisik pada Kyungsoo. Tao, anak itu bahkan dengan beraninya menekan pelipis Kyungsoo, membuat wajah itu sedikit terlempar kesamping. Sesekali aku melihatnya meringis, tapi tidak memberontak sedikitpun. Seolah ia pasrah diperlakukan seperti itu. Apalagi selain bodoh yang bisa menggambarkan si Kyungsoo itu? Sialan. Aku tetap pada posisiku. Bersembunyi dibalik dinding, dan sesekali mengintip dengan jeli. Omong kosong, aku sama sekali tidak ingin menolongnya?

Bukan tidak ingin, melainkan lebih kepada masih dalam lingkup memperhatikan. Oke, terserah. Aku memang memiliki pribadi yang menyebalkan, kau boleh bilang seperti itu. Selebihnya aku tetap mendiamkan mereka, membiarkan Kyungsoo kini direbahkan. Kris maju, melakukan sesuatu lagi pada tubuh Kyungsoo. Kali ini dadanya, ia menendang sekilas tapi telak. Berikut Minseok dengan tawa kurang ajarnya, yang ikut memukul punggung Kyungsoo tanpa ampun. Baiklah, kali ini aku memajukan beberapa langkah kakiku. Mendekat agar lebih jelas mendengar lamatan suara mereka. Tapi nihil. Aku tidak mungkin kesana lebih jauh lagi. Dengan jarak seperti ini saja, aku tidak mendengar apapun. Dan potensi mereka mengetahui keberadaanku akan semakin menyulitkanku. Aku tidak mungkin mengambil resiko, kan?

Kyungsoo masih tetap disana, sama sekali tidak ada niatan untuk melawan atau setidaknya berteriak meminta tolong. Ketiga remaja tak berpendidikan itu bahkan tak memedulikan keadaan sekitar, sudah terlanjur asik dengan mainan baru mereka. Dalam hal ini adalah Kyungsoo, yang keberadaannya di sekolah ini nyaris tak terlihat oleh mata manapun. Termasuk aku, yang sengaja mengabaikan hembusan nafasnya, atau mengacuhkan gerakan lamban tubuhnya. Kris, Tao, dan Minseok masih memberikan beberapa pukulan pada Kyungsoo, entah kini dibagian lengan atau perut. Aku mungkin bisa merasakan betapa nyeri dan ngilunya rasa sakit itu, belum lagi bilur dan lebam yang nantinya membekas. Ya, aku sangat tahu ini termasuk kekerasan yang tidak pantas. Menjijikkan. Aku bahkan tak bergerak sama sekali meski untuk sekedar bersuara, sedikit banyak demi menghentikan aktivitas dungu itu.

Tapi tidak, aku bergeming. Tanpa alasan, aku bagai dipasung.

Berikutnya, tanpa ada pencegahan dariku, dan mereka tampaknya sudah puas, ketiga orang itu berlalu pergi. Meninggalkan Kyungsoo yang meringkuk memegangi perutnya, kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri. Seharusnya, perasaan kemanusiaanku atau paling tidak rasa ibaku bisa muncul saat ini. Seharusnya aku menghampiri Kyungsoo, menolongnya. Ah, mustahil. Kubiarkan saja Kyungsoo mulai mengangkat kakinya, beranjak lewat dirinya yang kepayahan. Sebelah tangannya meraba dinding, menjadikannya sebagi tuntunan. Kyungsoo melangkah tertatih, masih dengan pincang yang sama. Sekaligus ringisan diwajah, dan desisannya, aku tahu Kyungsoo tidak dalam keadaan baik-baik saja. Tentu aku tidak keliru.

Do Kyungsoo baru saja mendapat tindakan tidak senonoh, istilahnya bully. Anak itu bertahan, bertahan sekuat batin dan fisik untuk tidak mengeluh. Ia tidak berargumen lebih lanjut mengenai masalah ini. Bahkan tidak berniat melapor, berteriak atau melawan. Sama sekali tidak. Kim JongIn, ah, peduli apa aku meneliti si Kyungsoo ini. Betapa rancunya aku mengurusi kehidupan orang lain. Biarkan saja ia berlaku sesuka hati. Apa hakku ikut campur dalam kiasan seorang Kyungsoo? Omong-omong, yang sudah kubicarakan secara monolog itu, sudah hilang dari pandangan mataku. Entah menuju kemana. Aku tak pernah memikirkan apa motif mereka melukai Kyungsoo. Sekedar main-main atau malah ada dendam kesumat. Peduli apa, masa bodoh. Aku hanya ingin tahu, kan? Dan tentang mengapa Kyungsoo tidak melawan atau berteriak, kurasa aku juga tak perlu mengurusinya.

Do Kyungsoo, bukan siapa-siapa. Aku benar, kan?

-ooo-

Siluetmu tersamarkan

Kau bersuara dengan ketegangan yang sama

Kau mungkin membenciku

Tapi aku tidak pernah terpikirkan sedikitpun untuk melakukan hal itu

Kau mungkin ingin menjauhiku

Tapi aku ingin selalu mendekat

Biarkan saja dering nyaring yang mengusik

Aku tak pernah peduli betapa aku sangat merindumu

Hanya sekali saja, aku ingin kau rebahkan diri bersamaku

Inginku untuk selalu melihatmu, sekedar merekammu dalam ingatan

Jingga senja menggetarkan semu dirimu

Aku..hanya ingin memberi kesan manis, untukmu.

Seperti yang kubilang sebelumnya, mana mungkin Kim Jongin datang tepat waktu dalam sebuah kelas? Yah, alhasil aku terlambat seperti biasa. Seharusnya, si Kyungsoo itu juga. Tapi sejauh aku mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kelas, tak kujumpai juga wajah polos dengan mata bulat itu. Hei, kalau dia tidak masuk ke kelas, lalu dimana?

Baiklah, aku tidak mungkin memusingkan Do Kyungsoo, atau apapun yang saat ini sedang dilakukannya. Bagiku, duduk dibangku dekat jendela adalah yang terbaik. Dan melipat tangan diatas meja sebagai tempat benaman kepala juga termasuk salah satunya. Aku melakukan itu tanpa beban, tentu disela ocehan sang pengajar yang sudah kuhafal diluar kepala.

Kesalahan. Rintihan Kyungsoo terngiang ditelingaku, dan kejadian malang yang menimpanya beberapa menit lalu juga turut membentang dimemoriku. Apa-apaan, memangnya kenapa aku harus repot-repot mengulang peristiwa itu? Lagipula, tidak ada untungnya juga untukku. Yah, meski aku tidak mengelak, kalau saja aku sedikit mengkhawatirkannya. Memangnya, kemana sih Kyungsoo itu?

Sebelum pertanyaanku terjawab bersamaan hadirnya tubuh mungil dengan rambut cokelat yang berantakan itu. Berdiri diambang pintu dengan badan yang cenderung dimiringkan, seperti menahan sesuatu yang perih dibagian kakinya. Kyungsoo, ya, dia Do Kyungsoo yang sejak tadi berputar-putar dikepalaku, yang sejak tadi menyelami sisi lain dari diriku. Sialan. Bahkan dia masih menampakkan senyumnya yang kelewat tulus dan astaga, benar-benar alami. Tidak dibuat-buat.

"Maafkan aku, karena sudah terlambat masuk ke kelas." Dia menunduk, meratapi ubin yang tak bersalah dibawah sepatunya. Menunggu jawaban dari si lawan bicara, tapi malah deheman singkat yang didapatnya. "Ada sesuatu yang harus kuselesaikan tadi."

Cih, sesuatu yang harus diselesaikan? Apanya? Otaknya yang bodoh atau hatinya yang terlalu baik?

"Kau sama saja dengan Jongin hari ini, Kyungsoo." Ya, aku juga melihatnya. Ekspresi terkesiap itu kentara sekali, dia cepat mendongak, menatapku dengan satu kedipan mata, lalu kembali melengoskan wajahnya menghadap sang pengajar. Berpikir apa Kyungsoo, kenapa dengan reaksinya yang tampak heran? Hei, bukannya dia tidak perlu terkejut? Kim Jongin selalu datang terlambat disetiap kelasnya, kan? "Kali ini kumaafkan, duduk ditempatmu."

Sahutan itu menyentak Kyungsoo yang sempat terhenyak nyaman dalam lamunannya. Langkah terseoknya disembunyikan cukup baik, profesional sekali, hah. Dia duduk didekatku, tentu saja karena bangku kosong hanya ada disana. Tersedia untuknya. Diiringi tatapan merendahkan teman-teman sekelasku, Kyungsoo akhirnya kembali menutup mulut. Tidak banyak berkomentar sampai pengajar didepan menjelaskan materi menggunakan papan.

Aku hanya melirik melalui ekor mata, tidak banyak melayangkan protes saat Kyungsoo tampak membutuhkan bantuan dengan beberapa bukunya yang terjatuh. Kyungsoo lagi-lagi tak mengucapkan apapun, tidak memohon padaku untuk sekedar mengambil alat tulisnya yang ikut terjatuh. Aku tahu dia kewalahan menggapai itu semua, asalkan semua orang tahu, selama dia diam saja, kurasa dia bisa mengatasinya sendiri. Ya, kan?

"Terima kasih untuk tidak menghajar mereka."

Hah? Suara seraknya mengisi ruang kosongku secara tiba-tiba. Mengisi sudut pikiranku yang bertanya-tanya akan maksud pernyataannya barusan. Astaga, senyum bodoh itu mampir lagi diwajahnya. Betapa senyum itu sudah menjadi prioritas utama seorang Do Kyungsoo, hm?

"Aku melihatmu, Jongin-ssi."

Melihatku? Melihat dalam-ah, yaampun. Aku mulai tersambung dengan segala perkataan samar Kyungsoo. Sepertinya merujuk pada apa yang dilakukan tiga orang bedebah itu padanya, ya, saat dikoridor tadi. Dan salah satu alasan yang membuat kami terlambat juga. Kalau dia melihatku, mengapa, maksudku, mengapa tidak meminta tolong? Oh, ayolah. Apa sulitnya berteriak dengan suara lantang?

"Maaf aku tidak melakukan apa-apa."

Berhenti. Seharusnya yang mengatakan itu adalah aku, Kim Jongin yang dengan tenangnya menyaksikan tanpa berbuat apapun. Mengesankan. Sebenarnya, siapa pihak yang bodoh disini? Aku atau Kyungsoo? Bodoh. Aku berani bersumpah, pikiran Kyungsoo pasti sedang terserang sebuah sindrom yang menjelmakan hatinya hingga menyerupai malaikat.

Aku tetap memandang lurus kedepan, sesekali menguap dan memainkan jemariku. Dan Kyungsoo, anak itu malah mengalihkan seluruh perhatiannya pada jendela disamping bahuku, senyumnya kembali ditebarkan seolah seluruh dunia berhak tahu ia sedang memamerkan suatu kebahagiaan. Aku heran, darimana dia mendapatkan kesenangan semacam itu sementara beberapa menit lalu ia baru saja mengalami hal-hal tidak mengenakkan? Bodoh, Do Kyungsoo benar-benar bodoh.

Satu kata pun sama sekali tidak kuobral demi membalas tiga ucapan Kyungsoo. Entah, aku hanya malas menanggapi sesuatu yang konyol dengan lekatan nama Kyungsoo. Hingga menit berlalu menjadi jam, terus sampai pengajar didepan kelas mengakhiri teori-teorinya. Berlanjut sampai seluruh murid dikelas ini meninggalkan kelas, lagi-lagi menyisakan aku dan Kyungsoo.

Sialan. Kenapa dia tidak menyingkir dari sana, sih? "Aku mau lewat, bisa kau pergi dari sana?"

Kyungsoo mengangkat wajahnya, dua bola matanya terpaku pada iris mataku. Beradu sebentar sebelum senyum memuakkan itu kembali ditunjukkan.

Dia tuli, atau berpura-pura tidak dengar? Kenapa, kenapa malah tersenyum? "Kyungsoo, permisi."

Harus dua kali aku mengucapkan permintaan sederhanaku, seakan aku beramah-tamah dengan bocah idiot. Kyungsoo berdiri, meminggirkan posisi tubuhnya. Lalu mempersilahkan aku melewati tubuh mungilnya. Sebelum aku melangkah lebih jauh, Kyungsoo kembali memanggil namaku. Tidak membuatku menoleh, tetapi membuat langkahku berhenti.

"Lain kali, kau bisa tinggalkan aku kalau saja melihat hal seperti tadi. Aku tidak ingin membuatmu terlambat."

Yang dimaksud adalah penindasannya, Kyungsoo yang sengaja menyerahkan dirinya untuk disakiti. Bodoh. Sungguh bodoh. Aku diam, membisu beberapa saat. Sebelum akhirnya aku terpikir hal yang sama sekali tak ada hubungannya dengan pembicaraan Kyungsoo.

"Kau tetap disini?" Anehnya, aku menyadari Kyungsoo mengangguk. "Untuk apa?"

"Menenangkan diri? Aku butuh suasana hening seperti ini, Jongin-ssi." Kyungsoo sudah mendudukkan dirinya di bangku semula, sibuk dengan kertas-kertas diatas meja. Entah apa yang dilakukannya dengan media putih itu. Aku tidak peduli. "Sampai jumpa, Jongin-ssi."

Saat diambang pintu, aku bersyukur tidak mendengar anak itu berbicara lagi. Pada akhirnya, aku membanting pembatas ruangan dibelakangku, menggemakan debuman keras dan aku yakin Kyungsoo pasti sedikit berjingat kaget. Biarkan saja. Aku tetap memacu langkah menuju kelas berikutnya, tidak lagi ingin dibayangi sosok kelewat baik seperti Kyungsoo, yang justru malah membuatku naik darah. Sialan, kenapa harus ada jenis manusia seperti Kyungsoo, sih?

-ooo-

Baiklah, mungkin memang sudah garis Tuhan

Aku dipertemukan denganmu

Tapi tak pernah bisa menyentuh apapun yang ada pada dirimu

Secuilpun

Seberkas cahaya yang menyinarimu, membuka pikiranku

Aku tak bisa memungkiri bahwa kau berupa bayangan

Hanya candaan yang menguap sebatas angan

Kau hanya mimpi

Mimpi yang tak pernah kupejamkan

Mimpi yang mustahil kuperindah dengan pelangi

Kau bahkan hanya memandang kearah sepatuku

Wajahku kau anggap goresan pilu

Memang, aku bukan siapa-siapa

Kali ini aku benar-benar tidak menemukan dimana para konco yang agaknya memang mengingkari janji mereka. Hah, dasar tukang kibul. Bukan apa, aku hanya jengkel saat disuruh menunggu lama seperti ini. Belum lagi ditemani tatapan-tatapan aneh disekitarku, orang-orang asing yang memandangiku seolah aku memang seharusnya tidak berada disini.

Memangnya orang mana yang mau disuruh duduk dibawah pohon selama dua jam, selain aku? Aku tidak tahu apa yang direncanakan Chanyeol, Jongdae, Sehun, Suho, dan Lay. Bagai orang kolot, aku jongkok dengan dua tangan diletakkan diatas lutut. Sekali lagi masih meyakinkan diri, mereka akan datang. Sayangnya, dia yang datang sama sekali diluar pradugaku.

"Jongin-ssi?" Tsk. Demi Tuhan, aku yakin dia adalah Kyungsoo. "Sedang apa?"

"Apa pedulimu?" Aku menimpali dengan kesinisan diatas rata-rata, kenapa harus dipertemukan dengannya lagi? Ah, apakah ini bukan berdasar kesengajaan? "Bukan urusanmu juga, kan?"

Kyungsoo malah membanting pantatnya agar terposisi disampingku, ia menekuk lutut didepan dada. Lagi-lagi dengan senyum melankolis itu. Setelan pakaiannya yang tampak membosankan semakin membuat langit sore seolah memandikan cahayanya ditubuh Kyungsoo. Keanehan yang menyilaukan mataku, Kyungsoo begitu menjemukkan, eh?

"Well, well, Kim Jongin dan Do Kyungsoo, hm?" Jongdae. Tawa mengejek itu berasal dari mulutnya. Disusul gelak tawa lain dari Chanyeol, Suho, Lay, dan Sehun. Sialan, aku tahu mereka dalang dari semua ini. "Hei, hei. Kami tidak menjebakmu, Jongin. Jangan salah sangka dulu."

Aku menggeram, bukannya sedang menahan amarah. Aku hanya kesal dengan permainan konyol ini. Aku menjejak rumput dan berbalik menghadap kelima temanku, membiarkan Kyungsoo ikut berdiri dan sedikit menyembunyikan tubuh mungilnya dibalik badan tegapku. Apa-apaan, kenapa dia malah menampakkan raut ketakutan seperti itu? Sedang saat bersamaku tidak? Seolah ia merasa aman, seolah ia merasa ia akan baik-baik saja saat berbicara atau apapun denganku? Begitu? Oh, omong kosong.

"Lihat, Kyungsoo sepertinya menyukaimu, Jongin?" Ah, aku lupa mendeskripsikan tempatku. Ini danau didepan asrama kami, sesuai dengan ajakan Jongdae untuk bersantai bersama, aku datang kemari. Dan lihat apa yang kudapatkan? Mereka kurang ajar, kan? Oke, barusan yang bersuara adalah si mulut besar, Chanyeol. "Aku tahu dia selalu diam disini, memandangi perairan danau. Mungkin sampai airnya sudah mengering dia akan pergi, haha. Tapi, untungnya tidak."

Bahkan, kini aku tahu darimana asal ketakutan Kyungsoo. Teman-temanku tidak jauh beda dengan Kris, Tao dan Minseok.

"Diam." Hah, mungkin suaraku terlalu mendramatisir suasana. Tapi bagiku yang merasakan getaran Kyungsoo dibalik punggungku, suara seperti itu memang pantas di situasi seperti ini. Aku mengira dengan kepastian berlebih, kalau mereka juga pernah melakukan hal tak bermoral pada Kyungsoo. Tanpa sepengetahuanku. "Apa maksud kalian menyuruhku datang kesini, dan mempertemukanku dengan Kyungsoo?" Tidak peduli lagi telunjukku yang sudah teracung kemasing-masing wajah orang didepanku.

Suho menyahut dengan seringainya, "Hanya untuk membuktikan betapa besarnya cinta Kyungsoo padamu, Jongin." Kyungsoo menggeleng cepat, berkali-kali. Sesuatu yang sama seperti kejadian dikoridor tadi, bedanya ia tidak menutup telinga. "Dia aneh, Jongin. Kau pasti mengetahuinya juga, kan?"

Ya, aku tahu. Aku sangat sadar betapa mengerikannya berlama-lama didekat Kyungsoo. Menjijikkan, seseorang yang mudah ditekuk dengan hati selembut kapas. Sekalipun kau tancapkan belati yang membelah sembilunya, Kyungso akan tetap tersenyum.

"Kau mau mengatakan sesuatu, Kyungsoo?" Tawaran dari Lay, ia memang pintar memainkan peran. Dengan gerakan cepat, ia menarik Kyungsoo agar mendekat padanya, secepat kilat pula ia mengalungkan sebelah lengannya ke leher Kyungsoo yang, sekali lagi dengan kebodohannya, menurut saja. "Apa? Kau mau bilang apa pada Jongin, hah?"

"Oh, ayolah, Jongin. Santai saja, kita hanya bermain-main, kan?" Sehun menyambar, tangannya mengacak-acak rambut Kyungsoo, yang sialnya malah memperkeruh benakku dengan anggapan, mungkinkah Kyungsoo terlihat begitu menarik dengan rambut yang sengaja diacak-acak? Tsk. Sehun menaikkan sudut bibirnya, mengangkat sebelah alisnya, baru kemudian menelengkan kepalanya, "Atau kau Jongin, apa yang ingin kau katakan pada Kyungsoo?"

Mungkin, kubiarkan kepalaku berdenyut. Sedikit mencari inspirasi atas apa yang harusnya kuungkapkan pada bocah aneh sejenis Kyungsoo.

"Apa yang kau pikirkan tentangku, Kyungsoo?"

Crap! Aku tahu ini kesalahan fatal. Pertanyaan yang justru menimbulkan konflik. Mereka tertawa, lagi-lagi menjadikanku bahan lelucon. Astaga, ini sama sekali tidak berguna. Oh, tapi sungguh, satu hal itu yang menjadi beban penasaranku. Apa yang ada dipikiran Kyungsoo, hm?

"Jongin-ssi, Jongin-ssi, ter-terlihat baik."

Baik? Cih. Klise. Itu jelas semakin memperburuk keadaan. Bagaimana bisa? Selama ini aku todak pernah menyapanya, bahkan atas dua peristiwa yang melibatkanku disekitarnya, aku sama sekali tidak membantunya. Bisakah kau sebut itu suatu kebaikan? Dari sisi mana? Seharusnya Kyungsoo mengikuti kata hati kecilnya, bahwa akan lebih baik kalau ia tidak datang kesini. Lagi-lagi aku harus mengatasnamakan kebodohan Kyungsoo, kenapa ia ada disini? Oh, tidak. Maksudku, kenapa aku ada disini?

"Baik? Wow, kau dengar sendiri, kan, Jongin? Satu-satunya orang yang ia anggap baik hanyalah dirimu? Tsk, lucu sekali." Jongdae kembali melebarkan senyum bangsatnya, berikut wajahnya yang sengaja dipalingkan. "Anak ini benar-benar tidak normal."

Aku tidak akan membela Kyungsoo. Kuatkan dirimu, Jongin, teguhkan pendirian. Kyungsoo bukan siapa-siapa, waktu yang mendekatkan kami beberapa jam ini. Hanya itu, hanya itu, Ya Tuhan. Aku tidak ingin kerumitan ini bertambah parah, apalagi dengan adanya Kyungsoo.

"Jauhi dia, Jongin. Kalau kau tidak ingin tertular penyakit aneh sepertinya." Saran dari seorang pembual seperti Chanyeol, apa benar harus kuturuti? Kurasa, ya. "Kyungsoo berbahaya, dia bisa merusakmu, hah. Kami hanya mengingatkan, karena sejak pagi tadi kau seperti terus memperhatikannya. Atau kau jatuh hati juga padanya?"

Hah? Tuduhan tak berdasar. Sialan.

Sebentar kulirik Kyungsoo, menunduk ditengah rangkulan Lay, dan cekalan tangan dikepalanya dari Sehun.

"Dia yang mendekatiku. Ingat, aku sama sekali tidak mungkin tertarik dengannya. Aku normal, aku..aku," Ajaib. Aku kehilangan kata-kata? "Aku tidak akan mudah terpengaruh dengan muslihat Kyungsoo. Camkan itu."

Masa bodoh dengan Kyungsoo yang masih berada dibawah kendali kelima binatang buas itu. Aku melenggang pergi, memutuskan untuk tidak menoleh lagi kebelakang. Kubiarkan saja teman-temanku iti mengurusi Kyungsoo dengan segala kebodohannya yang kian memuakkan.

Aku tahu-tahu saja kalau Kyungsoo mengikuti langkah menghentakku dengan tatapannya yang seolah memohon padaku agar tetap tinggal. Seperti yang sudah kubilang, masa bodoh. Aku tidak lagi peduli dengan urusan anak itu.

Tidak ada yang mencegahku, memanggilku atau menahanku. Kurasa, aku memang dibiarkan pergi. Baiklah, kutekankan, mulai saat ini, apapun yang terjadi dan sekecil apapun kemungkinannya, aku tidak akan membiarkan Kyungsoo berkeliaran disekelilingku.

Tidak akan ada lagi keramah-tamahan dan rasa sungkan untuknya. Kyungsop membuat harga diriku begini direndahkan oleh sahabatku sendiri. Sialan, aku benar-benar marah sekarang.

-ooo-

Jangankan melihatmu, satu kedipan mataku pun tak mampu mencecapmu

Tak boleh, tak diizinkan

Jika saja helaan rembulan dapat merengkuhmu

Maka aku bersedia memandangi malam hanya demi melihat bayangmu

Sejak kapan aku menyimpan ini dalam kunci kebungkaman

Enggan menari dalam sentuhan abadi

Cukup, satu yang batinku ingin teriakkan

Adalah namamu

Kulantunkan dalam setiap doaku

Kau, satu-satunya yang tercipat begini sempurna

Meski kutahu tak ada yang sempurna didunia ini.

Aku hanya mendambamu, terlalu mendambamu.

Ah, aku melantur terlalu jauh.

Dirimu, tentang dirimu yang terlampau istimewa.

Dan begitu sulit untuk kujamah.

Jaraknya ribuan kilometer, biar aku tahu kau hanya sebatas depan pelupukku

Ajaib. Kau membuatku berlaku tidak semestinya

Jongin. Kim Jongin. Lelaki berusia tujuh belas tahun dengan kulit gelap, rambut ikal, dan dua iris mata legam. Aku bertahan disini, di sebuah asrama yang menampungku beserta pendidikanku. Aku hanya akan pulang setiap akhir bulan, melepas rindu yang sudah membelenggu.

Berada di kurungan waktu yang berbeda, tak pernah membuatku begitu hening memikirkan keadaan rumah dan diri sendiri. Pembelajaran hidup mandiri sudah terlalu sering kukaitkan dengan kehidupan nyataku. Merutuki akibat tidak akan memecahkan sebab.

Malam ini, seperti biasanya. Aku tetap menghabiskan waktu dengan hanya memandangi rerumputan yang bergoyang atau dahan-dahan pohon diluar sana yang saling berirama. Bingkai jendela menjadi tempat paling nyaman untukku, selalu setiap saat. Kubiarkan berbagai alat musik yang dimainkan teman-temanku diruang berkumpul hanya akan menerobos pemdengaranku. Aku tidak tertarik untuk bergabung. Sebelum sebuah ketukan menghentikan rutinitas yang benar-benar membosankan ini. Kugapai gagang kenop, menarik tanpa tenaga.

Oh, shit. Kyungsoo? Mau apa lagi dia? Dan, hell yeah, masih berani menunjukkan dirinya setelah aku terang-terangan menyatakan hal menyakitkan sesorean tadi?

"J-jongin-ssi.." Ia berucap terbata. Membuatku malas menunggu agar dia menyelesaikan satu panggilannya. "A-aku.."

BRAK!

Oke, ini keterlaluan.

Aku membanting pintu tepat didepan wajahnya. Dan, yah, aku tahu Kyungsoo sempat memundurkan langkahnya yang hampir terjungkal karena kehilangan keseimbangan.

Tapi, aku tidak peduli, kan?

Bahkan sebelum aku mengetahui apa yang ingin dikatakannya, kurasa aku tidak butuh obrolan ringan bersama seorang idiot seperti Kyungsoo.

Bukankah sudah sangat jelas, bahwa kalimat tersirat tadi sore adalah secara tidak langsung menyuruhnya untuk tidak menggangguku?

Bodoh. Sudah berapa kali kukatakan kalau Do Kyungsoo itu bodoh?

Nah, sekarang lihat pintu itu sedikit bergerak, bukan karena ada seseorang yang mencoba membukanya. Namun, seseorang seperti sedang menyandarkan punggungnya disana. Karena gerakan pintu itu cukup lama, aku menarik kesimpulan bahwa orang itu memerosotkan dirinya hingga dia terduduk dibagian bawah pintu kamarku.

Dasar. Apa Kyungsoo mau menunggu sampai Chanyeol melihat ini? Apa dia senang dengan gosip yang disebar teman-temanku?

Ya, ya, aku tahu dia hanya ingin berteman denganku. Cukup tahu sampai aku membencinya. Apa yang ada dipikirannya, sih? Mengira seorang Kim Jongin orang baik adalah kesalahan. Benar-benar kesalahan. Bisikan apapun yang menuntunku untuk mendekati pintu justru kesalahan dua kali lipat. Aku menghampiri pintu itu, tanpa niatan untuk membukanya. Tetapi, kubiarkan tubuhku bersandar disana. Sama seperti yang dilakukan Kyungsoo diluar.

Oh. Inikah dua dimensi yang menyerangmu, dikala disudutkan pada dua hal yang membuatmu kebingungan setengah mati?

Do Kyungsoo jawabannya. Kemutlakan yang begitu menyebalkan.

-ooo-

TBC

or

END?

A/n :

Oooops..

Ada ff baru lagi.

Ide pasaran yah hahahha..Mohon dimaklumi jika ada typo dan kesalahan lain2, authornya ngebut parah xD

Oke, gimana nih? Ada kesan? Silahkan curhat dikolom review. Ohiya, author update tuh selalu nunggu review, jadi kalo ngga banyak ya ngga lanjut2 wkwk

Nah, sebenernya, ini chapter satu, *lahemangiyapan, makanya sedikit doang. Masih dengan karakter yang jadi favorit author, yakni kaisoo! Kyungsoo ngga terlalu tertindas kok, ini romace yang sweet2 menyakitkan gitutuhh, hahaha..terus si kai ini sifatnya agak2 labil, kadang kasian kadang gengsian. Huhu..

Dinantikan ya kelanjutannya, kalo kalian mau lanjuuut gaeees!