HUMILIATION

Cast : Tokugawa Ieyasu, Ishida Mitsunari, Chosokabe Motochika

Rating : R21

Genre : Angst, hurt/comfort, drama

Disclaimer : all characters belong to CAPCOM

Warning : sadist-rape with tools, violence, OOC, typos, don't like don't read!


Perang Sekigahara…

Sebuah perang besar antara kubu barat dan kubu timur di sebuah padang gersang bernama Sekigahara. Perang yang sangat menentukan masa depan Jepang. Setelah kematian daimyo besar Toyotomi Hideyoshi, Jepang terbagi atas 2 kubu besar yang masing-masing dipimpin oleh mantan jenderal Toyotomi. Kubu barat dipimpin oleh Ishida Mitsunari, sedangkan kubu timur dipimpin oleh Tokugawa Ieyasu.

Perang besar tersebut tidak memperbutkan lahan, melainkan kedua belah pihak berusaha menyebarkan paham masing-masing. Mitsunari ingin menjayakan kembali paham Toyotomi Hideyoshi mengenai betapa pentingnya kekuatan yang besar dalam sebuah pemerintahan. Jika nanti dia menjadi penguasa, dia tidak ingin ada orang-orang lemah dalam barisannya. Bertolak belakang dengan lawannya, Ieyasu menginginkan negeri Jepang diliputi perdamaian. Tidak akan ada lagi peperangan, permusuhan, perpecahan di mana pun. Dia yakin negeri besar ini bisa berdiri tegak berdasarkan pada sebuah ikatan kemanusiaan yang kuat.

Perang ini bermula dari masalah kecil sebenarnya. Ieyasu mencoba mendesak Hideyoshi mengganti pola pemikirannya dalam pemerintahan. Sudah banyak serangan digencarkan untuk memperluas wilayah, dan tidak sedikit pula orang yang menjadi korban perangnya. Demi menghentikan itu semua, Ieyasu ingin Hideyoshi menghentikan niat jahatnya. Sayangnya pemimpin bertubuh besar itu tidak ingin ada orang lain menghalangi jalannya. Sebentar lagi negeri ini akan jaya di bawah kedua kakinya. Ieyasu tidak punya pilihan kecuali menjatuhkannya dari pemerintahan. Dia membunuhnya di peperangan Odawara, di mana ketika itu pasukan Toyotomi berkutat melawan begitu banyak serangan dari segala penjuru.

Kejadian ini diketahui oleh Mitsunari. Pengkhianatan Ieyasu terhadap pasukan Toyotomi telah mencoreng nama besarnya. Setelah Ieyasu memisahkan diri dari Toyotomi, Mitsunari menyatakan perang melawan Ieyasu. Dia mengumpulkan segenap kekuatan dari sisi barat, yang kemudian dipertemukan dengan pasukan timur pimpinan Ieyasu di padang gersang Sekigahara. Singkat cerita, perang 2 kubu besar itu berakhir dengan kemenangan Ieyasu. Dia memerintahkan pasukannya untuk berpencar dan mencari sisa pasukan pihak barat untuk menjadi tahanannya.

Mitsunari yang mengalami kekalahan dalam perang terpaksa melarikan diri ke dalam hutan. Dia dilindungi pasukannya yang berjaga di luar hutan supaya bisa menyelamatkan diri. Namun dia tidak lolos dalam pengejaran. Pasukan Ieyasu berhasil menangkapnya dan menyeretnya untuk kemudian dihadapkan kepada Ieyasu.

"Ieyasu-sama, kami menemukan Ishida Mitsunari bersembunyi di hutan!" kata seorang prajurit kepada Ieyasu.

Tubuh Mitsunari yang sudah lelah dan penuh luka itu dipaksa berlutut di hadapan Ieyasu. Nafasnya tersengal menahan marah dan rasa lelah setelah berlari sangat jauh. Kedua tangannya diikat di belakang tubuhnya.

"Mitsunari," kata Ieyasu kemudian mendekati Mitsunari. Dia berlutut satu kaki di depannya. Tangannya mengangkat paksa dagu Mitsunari dan disuruh menatapnya. Mata cokelatnya bertemu dengan mata hijau kekuningan Mitsunari yang menyorot penuh kebencian. "Aku harap kau bisa belajar dari peperangan ini. Sekigahara akan menjadi titik tolak kebangkitan Jepang. Kita akan membutuhkan pemimpin baru untuk negeri ini."

"Aku tidak butuh ceramah apa pun darimu, Ieyasu!" bantah Mitsunari. "Meski kau diangkat menjadi shogun di negeri ini, aku tidak akan mengakuinya!"

"Akuilah kekalahanmu, Mitsunari! Kubu barat sudah dilenyapkan. Aku dan pasukanku sedang melakukan pencarian terhadap sisa-sisa pasukan dari barat. Aku akan segera menahan dan menghukum mereka. Kau pun akan menjadi bagian dari itu semua!"

"Oh ya? Kalau begitu, hukum aku sekarang juga! Penggal kepalaku dan buang tubuhku sejauh apa pun yang kau mau! Lakukan sekarang di sini, disaksikan oleh semua pasukanmu!"

BUAGH!

Kepalan kuat tangan Ieyasu meninju wajah Mitsunari hingga tubuhnya terhuyung dan jatuh ke tanah. Dia menjambak rambut perak Mitsunari dan mendekatkan wajahnya kepadanya. "Aku tidak menemukan secercah harapan darimu, Mitsunari. Padahal aku masih berharap kau punya hati nurani untuk mengakui kekalahanmu dan bersedia menyerah tanpa perlawanan. Tapi lihatlah dirimu sekarang. Bahkan berdiri tegak pun tidak bisa."

"Ieyasu…uurgh! Ieyasu!" geram Mitsunari melawannya. "Sampai nyawa ini berpisah dari tubuhku, aku akan tetap membencimu!"

"Ya, bencilah aku sesukamu. Memang itulah tujuanmu hidup kan? Kau hidup untuk membenciku, untuk menyingkirkan aku dari muka bumi. Namun sayang sekali kenyataannya begitu pahit untukmu. Kemenangan ada di tanganku. Kau bukan lagi seorang jenderal, atau orang lain dengan jabatan tertentu."

"Apa yang akan kau lakukan padaku, Ieyasu?! Bukankah lebih mudah membunuhku di sini daripada menghabiskan tenagamu mencaci dan memakiku, hah?"

Wajah mereka semakin dekat, Ieyasu menatap mata Mitsunari dengan tajam dan lekat. Dia berkata, "Kau akan membayar kesalahanmu dengan sisa hidupmu, Mitsunari."

-000-

Istana Edo, setelah perang Sekigahara…

Kaisar Go-Yozei mengangkat Tokugawa Ieyasu sebagai Sei Taishogun, meneruskan pemerintahan sebelumnya yaitu klan Ashikaga. Dari istana Muromachi, pemerintahan kemudian dipindah ke Edo. Kini, Ieyasu secara resmi menjadi Shogun dan berdomisili di Edo.

Meski dia tidak pernah membayangkan dirinya menjadi Shogun, kedudukan yang didapatnya kini mempermudah dia menyebarkan pahamnya. Dia mengakhiri peperangan perebutan lahan antar daimyo dan menyatukan Jepang dalam perdamaian. Dia membina ikatan yang baik dengan semua orang, ikatan kuat yang sudah dimilikinya dipererat supaya bisa bertahan sampai akhir zaman. Dia percaya bahwa negeri yang kuat terletak pada ikatan yang kuat pula. Dia bertekad menyingkirkan segala dendam dan kebencian.

Suatu malam, Ieyasu keluar dari kamarnya membawa obor didampingi 2 orang pengawalnya. Dia keluar dari istana dan pergi ke komplek penjara. Di istananya, dia menahan hampir semua pengikut Toyotomi dan sisa pasukan kubu barat di peperangan Sekigahara. Rencananya, dia akan menghukum mati semua orang itu tanpa sisa. Pengikut-pengikut mereka yang masih bertahan di wilayah masing-masing juga akan dieksekusi. Hanya ada satu orang yang akan dia sisakan untuk hidup.

Di sebuah penjara gelap di bawah tanah…

Menuruni beberapa anak tangga, dia tiba di penjara bawah tanah. Hanya ada satu ruangan di sana yang dikelilingi teralis besi yang kokoh. Obor menjadi satu-satunya penerangan untuk Ieyasu berjalan di tempat gelap ini. Tak ada seberkas cahaya apa pun yang masuk dari luar. Dia tiba di pintu masuk dan membuka gembok besarnya.

"Bangun, Mitsunari. Ini aku," katanya kemudian. Suaranya menggema di seluruh ruangan gelap itu.

Terdengar suara rantai-rantai berat bergerak di ujung kegelapan. Ieyasu mengangkat obornya dan mendapati sosok Ishida Mitsunari duduk di tanah yang dingin tanpa alas. Kulit pucatnya terlihat kotor, terdapat luka lebam di beberapa bagian. Dia mengenakan yukata yang lusuh dan penutup mata. Kedua tangannya diborgol di depan, kedua kakinya juga diborgol dan diberi bola besi pemberat di masing-masing pergelangan. Tidak hanya itu, bahkan di lehernya juga dipasang borgol.

"Waktunya berganti pakaian," katanya sambil meletakkan obor di salah satu dinding. Dia memerintahkan 2 pengawalnya mengganti yukata lusuh Mitsunari dengan yang baru. Tubuhnya ringkih dan lemah, bahkan terasa dingin ketika di pegang. Tulang-tulangnya mulai menonjol ke permukaan, bahkan pipinya semakin tirus. Borgolnya dibuka sebentar supaya mudah memakai yukata barunya. Selesai diganti, dia kembali diborgol. Ieyasu menyuruh 2 pengawalnya keluar dan berjaga di atas.

"Aku tidak tahu sudah berapa lama membiarkanmu berada di sini dengan 1 pakaian itu saja. Untung saja aku masih ingat denganmu. Kucarikan yukata bekas layak pakai untukmu," Ieyasu lalu duduk bersila di depan Mitsunari. Dia menoleh ke sisi lain ruangan ini dan mendapati beberapa nampan berisi makanan yang sudah basi. Dia menghela nafas dan berkata, "Aku sudah cukup baik memberikanmu makan 3 kali sehari. Mengapa kau tidak makan, Mitsunari?"

Alih-alih menjawab, Mitsunari mengulum bibir tipisnya yang gemetar menahan marah. Penutup matanya membuatnya pusing, aliran darahnya tidak lancar di kepalanya. Kedua tangannya yang diborgol terkepal erat. Dia mendengar Ieyasu melanjutkan, "Sebagian besar pasukan yang kau bawa saat berperang di Sekigahara sudah kuhukum mati. Tidak hanya itu, sisa pengikut Toyotomi yang bermukim di Osaka juga sudah kutahan kemari."

"Apa katamu?!" sontak Mitsunari mengangkat kepalanya dan berusaha mengarahkan dirinya pada sumber suara Ieyasu. "Hidup dan mati mereka ada di tanganku! Mereka pasti menanti kedatanganku kembali ke Osaka! Kau tidak bisa begitu saja memutuskan sepihak atas nasib mereka, Ieyasu!"

"Menurutmu begitu, hm?" Ieyasu mendengus tertawa dan melanjutkan, "Dengan jabatan yang kupunya sekarang, aku bisa memutuskan apa pun yang aku mau, Mitsunari."

"Jabatan…tunggu dulu! Jabatan apa maksudmu, hah?!"

Dengan kasar, Ieyasu menarik turun pembuka mata Mitsunari. Cahaya obor yang redup itu bahkan terasa menyilaukan mata mantan jenderal Toyotomi itu. Dia ingin menghalau cahaya obor itu dari matanya, namun sayang kedua tangannya keburu ditahan oleh Ieyasu karena Shogun itu sedang menunjukkan selembar kertas lekat-lekat ke matanya. "Lihat ini, baca dengan baik. Aku harap cahaya obor bisa membantumu membaca," katanya kepada Mitsunari.

Karena sudah cukup lama matanya ditutup rapat, Mitsunari kesulitan memusatkan pandangannya yang terkaburkan oleh lendir dan air mata. Kelopaknya berkerut, kantung matanya terlihat besar. "Apa ini, Ieyasu? Aku melihat ada lambang kekaisaran di akhir suratnya."

"Ya, kau benar. Ini adalah surat keputusan resmi dari Kaisar Go-Yozei atas pengangkatan diriku sebagai Shogun."

Seperti mendapat hantaman keras di kepala, Mitsunari dibuat terkejut bukan kepalang. Cahaya obor membantunya melihat jelas sosok Ieyasu di depannya. Dia tidak lagi mengenakan pakaian perang berwarna kuning seperti yang biasa dikenakannya. Kini, Ieyasu telah memakai pakaian kebesaran pemerintah. Dia benar-benar terlihat layaknya seorang pemimpin tertinggi di negeri ini, bukan lagi seorang jenderal atau daimyo seperti dulu.

"Apa kau bilang tadi? Kaisar mengangkatmu sebagai Shogun?" ucap Mitsunari masih tidak mengerti. "Pembunuh keji macam kau dijadikan Shogun?! Kau yakin tidak sedang mengarang cerita, hah?!"

"Dan pembunuh keji yang kau benci seumur hidupmu telah berhasil menyatukan Jepang dalam perdamaian," jelas Ieyasu. "Kau mau tahu sedang berada di mana sekarang? Ini adalah penjara bawah tanah istanaku, yaitu Istana Edo."

"Edo, katamu?! Jadi aku sekarang berada di Edo?"

Ieyasu menurunkan selembar kertas tadi dari depan mata Mitsunari dan disimpan kembali ke bawah lengannya. Dia berkata, "Aku menutup matamu supaya kau tidak perlu tahu di mana kau berada. Bahkan sekarang kau sudah melihat tempat tinggalmu, kau masih tidak tahu jika kau berada di Edo. Yang perlu kau tahu adalah bahwa kau masih hidup di bawah naunganku. Tenanglah, kau tidak akan bernasib sama seperti para pengikutmu."

"Aku tidak butuh belas kasihanmu, Sialan! Shogun, katamu? Keh! Jangan membuatku tertawa, Ieyasu! Dibandingkan Hideyoshi-sama, kau tidak punya wibawa apa pun sebagai pemimpin. Lalu apa dengan jabatan yang kau punya sekarang, kau bisa berbuat sesukamu terhadap hidup orang lain?"

"Masalahnya aku tidak ingin barisanku diisi oleh orang-orang pendendam macam kau dan pengikutmu. 4 bulan setelah aku diangkat sebagai Shogun, aku berhasil melenyapkan semua orang yang hidupnya dipenuhi rasa benci dan dendam. Ribuan pasukanmu dari kubu barat telah kutahan dan kuhukum mati. Pengikut Toyotomi yang bermukim di Osaka juga sama nasibnya. Tadinya aku berencana membawamu keluar dan melihat proses eksekusi mati semua prajuritmu. Barang kali bisa menjadi bahan pelajaran tambahan untuk hidupmu, Mitsunari."

"Grr…! Ieyasu!" geram Mitsunari, amarahnya semakin meledak. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya untuk bisa memukul Ieyasu. Namun rantai di lehernya menahannya kuat sehingga dia tidak bisa bergerak jauh dari posisinya. Dia tidak tahu bagaimana meluapkan amarahnya. Dia hanya bisa menggeram dan memukul-mukul tanah dengan kedua tangannya yang diborgol.

Ieyasu mencengkeram dagu Mitsunari dan dipaksanya menatap mata cokelatnya. Dia berkata, "Jika kau ingin menyalahkan orang mengenai nasibmu sekarang ini, kau bisa salahkan Hideyoshi-kou. Demi memperluas kekuasaannya dan diakui oleh semua orang, dia melakukan segala cara termasuk menimbulkan penderitaan di mana-mana. Aku tahu, kau pun sebenarnya menderita, Mitsunari. Tidakkah kau lelah mengemban amanah yang sebenarnya menyakitkan hatimu? Apakah kau menikmati kejayaan Hideyoshi-kou di atas penderitaan banyak orang? Katakan padaku, apa asyiknya mengayun pedang dan membunuh orang-orang tidak bersalah?"

"Karena Hideyoshi-sama hanya butuh orang-orang yang kuat dan sejalan dengannya! Dia adalah pemimpin sejati negeri ini. Kekuatannya besar dan jumlahnya sangat banyak. Invansi kami lakukan ke mana pun dan kami berhasil! Kau…kau juga ada dalam misi pembesaran namanya, Ieyasu! Sekarang kau malah berbalik menyalahkannya. Hideyoshi-sama telah menaruh kepercayaannya padamu. Mengapa kau mengkhianatinya?! Terlebih lagi, mengapa kau membunuhnya?!"

"Kau mau tahu apa kesalahan terbesar pimpinanmu itu, hah? Dia telah mengkhianati umat manusia. Jika kau adalah manusia, seharusnya hati nuranimu bisa merasakannya. Lain halnya jika kau binatang yang hanya menurut bekerja setelah dicambuk di punggungnya!"

Dikuasai amarahnya, Mitsunari meludah dan mengenai wajah Ieyasu. "Pecundang macam kau tidak layak menjadi Shogun," katanya dalam geramannya. "Hideyoshi-sama tidak pernah mengkhianati umat manusia. Kau pikir dia tidak punya hati nurani? Macam kau itu tidak punya hati nurani! Pengkhianat sepertimulah yang seharusnya bernasib sama sepertiku!"

"Aku tidak mengerti apa yang sudah ditanamkan Hideyoshi-kou ke dalam hati dan pikiranmu," balas Ieyasu sambil menyingkirkan air liur Mitsunari di dekat matanya. "Untuk apa dia mengumpulkan orang banyak jika tidak membangun ikatan yang baik antar sesamanya?"

"Persetan soal ikatan itu! Omong kosongmu sejak dulu telah mengotori pikiranku, Ieyasu! Ikatan yang kuat adalah mukjizat. Murninya kepercayaan orang terhadap sesamanya adalah keajaiban. Kau perlu tahu bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini!"

"Lalu kau mau bilang apa soal ikatan kuat yang dimiliki Hideyoshi-kou dan Hanbei-donno? Kau mengagumi mereka karena terhubung sangat baik. Tidakkah kau iri pada mereka untuk bisa mempunyai ikatan seperti itu? Dengan pasukanmu? Dengan Gyobu? Dengan Sakon? Atau denganku?! Bukankah hidup kita akan lebih indah jika bisa terhubung dengan cinta dan kasih, Mitsunari?!"

"Hentikan!" teriakan Mitsunari lalu mendiamkan Ieyasu. Cengkeraman tangan Ieyasu di dagunya masih kuat. Dia tidak bisa bergerak sedikit pun. Rahangnya seperti mau retak dicengkeram kuat seperti itu. Kedua mata hijau kekuningannya ditutup erat, ada tetesan air mata mengalir keluar dari sudut matanya. Giginya gemeretak menahan marah.

Melihat Mitsunari seperti ini, Ieyasu pun melepaskan tangannya. Dia berdiri tegak dan menghela nafas. Rasa lelah menguasainya, menahan marah ternyata menguras cukup banyak tenaganya. Sejak dulu dia bertengkar dengan Mitsunari, dia selalu menjadi pihak yang mengalah. Sampai sekarang pun, dia masih memilih untuk mengalah saja. Berdebat dengan laki-laki berambut perak itu tidak akan pernah habisnya. "Kau selalu jujur dengan kata-katamu, Mitsunari. Jika kau tidak suka, kau akan bilang tidak suka. Begitu pula sebaliknya. Hatimu begitu bersih, sebersih sorot matamu. Namun sayangnya, kau tidak memberi ruang sedikit pun untuk perasaan cinta dan kasih. Tidak heran jika sampai ajalmu nanti, hidupmu hanya dipenuhi perasaan benci dan dendam."

Shogun berbadan besar itu bersiap meninggalkan penjara. Langkahnya lalu terhenti sejenak di pintu teralis dan berkata tanpa membalik badan, "Ini sudah masuk bulan ke 5 sejak aku menangkapmu setelah perang Sekigahara. Aku mengurungmu di tempat gelap, tanpa seberkas cahaya apa pun yang menerangi ruangan ini. Matamu kututup demi tidak melihat hal-hal yang tidak perlu kau lihat, termasuk rusaknya tubuhmu termakan usia dan udara dingin. Aku berharap semua ini bisa memberikanmu pelajaran, namun rasanya tidak memberikan pengaruh apa pun padamu."

"Mau sekeras apa pun siksaanmu padaku, perasaanku tidak akan pernah berubah, Ieyasu," balas Mitsunari dengan suaranya yang lirih. "Aku akan selalu membencimu…"

Pintu penjara tertutup dan dikunci. Sebelum melangkah lebih jauh, Ieyasu berkata untuk terakhir kalinya, "Begitu pula perasaanku padamu, Mitsunari. Bahwa aku masih mencintaimu…"

-to be continue-