Naruto selamanya milik Bapak Masashi Kishimoto.

*Semi Collab with Hanaruppi*

.

.

Sore itu. Di hari yang seharusnya berlangit biru dengan awan seputih salju, ditambah sinar matahari yang perlahan menghilang adalah pemadangan yang seharusnya bisa dinikmati oleh seorang pria bermata kelam. Sebilah pedang tersemat di pinggang sebelah kanan tubuhnya, jemari kanannya setia berada di ujung pegangan katana biru yang sewarna dengan pakaian yang dipakainya saat ini.

Tapi pemandangan yang tertangkap oleh mata hitamnya saat ini sedikit mengusik dirinya. Gambaran yang dulu tersimpan di dalam memorinya kini kembali muncul. Kilatan api yang menggerogoti hampir semua tempat menjadikan warna orange kemerahan mendominasi pengelihatannya. Kepulan asap hitam yang semakin meninggi seakan berniat untuk mengganti warna langit, memberi noda dan mengganti keindahannya dengan kegelapan, juga sekumpulan tubuh yang tergeletak di setiap tempat dengan noda merah darah yang sebagian menyelimuti mereka. Tubuh yang sudah tidak bernyawa di mana beberapa bagiannya sudah terpisah dan tidak lagi utuh.

Potret memori itu semakin tercetak di kepalanya, semakin menyulutkan perasaan benci, kekesalan serta amarah yang saat ini sedang ia coba kendalikan. Satu hal yang membuat ia terus menahan diri adalah status yang ia miliki. Ia adalah seorang rounin atau seorang samurai yang tidak bertuan, tidak mengikuti perintah Damiyo atau tuan tanah yang bisa memilikinya, tidak juga merupakan anggota kesatuan milik Shogun manapun.

Ia tidak terikat. Pekerjaannya adalah seorang pembunuh bayaran atau keesokannya bisa berubah menjadi seorang pengawal yang harus melindungi sebuah nyawa. Bebas, ya itulah dirinya. Ia bebas memilih pekerjaan mana yang ingin ia lakukan. Ia hanya akan menuruti perintah dari bayaran yang ia dapatkan dan selebihnya itu bukan menjadi urusannya.

Seperti saat ini. Pemandangan di hadapannya yang merupakan pembantaian sebuah desa demi menaklukkan dan memperluas kekuasaan seharusnya bukan menjadi urusannya. Seharusnya ia terus melangkahkan kakinya pergi meneruskan pengembaraannya. Seharusnya ia memalingkan wajahnya dan menutupi pemandangannya dengan topi jerami yang dipakainya. Ya, seharusnya begitu tapi kakinya terhenti dan seakan tertanam di mana kedua matanya terus menatap lekat pemandangan itu.

Tubuh-tubuh yang digantung dengan luka sabetan pedang menjadi pemandangan yang tidak bisa ia lupakan. Pegangan pada ujung handle katana-nya semakin mengerat, antara menahan diri dan keinginan untuk mencabut pedangnya.

Ia tahu ini bukan urusannya tapi lengkingan suara jeritan yang sangat menusuk telingannya hingga mampu menggores perasaannya. Jeritan penuh ketakutan bercampur dengan kesakitan semakin mengingatkannya pada jeritan seseorang yang menyebut namanya, bukan memanggil dirinya tapi jeritan yang terlontar kala itu adalah jeritan yang menyuruhnya untuk pergi, pergi menjauh dari tempat itu.

Lari bagaikan seorang pengecut.

Kuso!

.

Ia terus berteriak, menjerit, berharap ada yang dapat mendengar suaranya yang terus meminta agar seseorang, siapapun itu, mampu mengabulkannya. Ia tidak peduli dengan tenggorokannya yang semakin menggering dan semakin membuatnya kesakitan setiap ia meloloskan satu kata "tolong" dengan oktaf tertinggi yang ia bisa.

Dengan air mata yang sudah membasahi wajahnya ia terus berlari dan bersembunyi dari kumpulan orang-orang yang mengayunkan pedangnya tanpa ampun pada siapa saja yang menghalanginya.

Alas kaki yang sudah terlepas sedari tadi hingga membuat kakinya terluka karena benda-benda tajam yang berserakan di tanah tidak membuatnya menyerah untuk berhenti. Deru napasnya juga semakin terasa mencekiknya, ia merasa udara semakin sulit ia dapatkan. Rambut merah muda yang sewarna dengan kimono-nya juga sudah basah oleh keringat.

Wajah putihnya memucat dengan tatapan penuh rasa takut. Takut jika dirinya sampai tertangkap dan berakhir sama dengan para penduduk lainnya. Ia harus bisa menemukan tempat persembunyian karena sangat tidak mungkin ia bisa keluar dari tampat yang sudah dikepung oleh puluhan pasukan yang sudah menyebar di berbagai tempat dan sebagian dari mereka menjaga di titik akses keluar-masuk desa.

Tapi di mana? Di mana tempat persembunyian untuk dirinya dan juga ibunya? Ibu yang digandengnnya agar ikut berlari bersamanya. Sedangkan sang ayah beserta para kaum laki-laki di desa mereka telah bersatu untuk memberikan perlawan kepada para musuh yang sebenarnya sangat tidak setimpal, karena pekerjaan mayoritas penduduk desa di sini hanyalah bertani dan berdagang. Mereka tidak memiliki bekal ilmu pedang sama sekali, bahkan senjata perlawanan mereka sekarang hanya senjata yang biasa mereka gunakan untuk mendukung pekerjaan mereka.

Dan air mata yang turun dari sepasang mata berwarna hijau juga merupakan sebuah tanda kesedihan atas kehilangan dari sosok satu-satunya pria dalam hidupnya, yang telah pergi di depan kedua matanya. Ia melihat dengan jelas bagaimana mata pedang itu menebas dan menembus tubuh sang ayah tanpa ampun. Tanpa peduli sosok itu berteriak kesakitan hingga akhirnya tidak ada lagi suara yang meluncur dari mulutnya. Ia hanya diam dengan mata terpejam saat pedang itu ditarik kembali dari tubuhnya oleh pemiliknya. Tubuh itu langsung terjatuh. Tidak bergerak.

Ayahnya tewas saat itu juga.

Langkah kakinya terhenti saat pegangan tangannya terlepas atau lebih tepatnya wanita itulah yang melepaskan tangannya. Kepala merah muda itu langsung menoleh dan mendapati wanita itu terengah-engah berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, kedua tangannya bertumpu pada lututnya.

"Kaa-san…" panggil perempuan yang kini sudah berdiri di hadapan wanita itu dengan wajah penuh kekhawatiran.

"Sakura, Kaa-san sudah tidak sanggup lagi." Mata perempuan yang dipanggil Sakura langsung melebar dengan bibir yang kemudian ia gigit untuk meredam rasa gelisahnya.

Sakura sadar, ia sendiri saja sudah merasa sangat lelah. Apalagi wanita paruh baya yang sekarang ada di hadapannya, wajahnya sudah sangat pucat ditambah keringat yang juga sudah membasahi kimono hitamnya.

Tapi dalam situasi seperti ini, mereka tidak bisa berhenti jika tidak ingin menjadi santapan dari katana milik para samurai itu. Mereka tidak bisa berdiam di satu tempat, seperti mengundang mereka untuk datang dan membunuh mereka secara cuma-cuma.

Sentuhan lembut pada tangannya membuat pergolakan pada batin Sakura terhenti, mata hijaunya menatap tangan sang ibu yang menggenggam erat tangannya.

"Ini adalah milikmu," ucapnya saat genggaman tangan itu terlepas.

Dengan tatapan heran, Sakura membuka telapak tangan kanannya hingga menampakkan sebuah kalung berkelopak bunga yang memiliki nama sama sepertinya. Kilatan batu berwarna merah muda itu terlihat sangat indah dengan rantai berwarna perak di mana ada batu-batu putih menghiasi sekelilingnya.

Mata Sakura melebar menatap tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin ibunya bisa memiliki batu secantik dan bernilai mahal jika pekerjaan mereka selama ini hanyalah seorang petani bahkan tempat tinggal mereka terlampau sangat sederhana.

Ditambah lagi, benda seperti ini hanya bisa dimiliki oleh kaum bangsawan ataupun kasiar yang memiliki harta melimpah. Lalu, bagaimana ibunya mengatakan kalau benda ini adalah miliknya?

"Ya, Sakura. Kau bukanlah anak kandung kami." Tatapan mata itu segera berpindah menatap wanita yang Sakura ketahui adalah ibunya. Wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya selama ini tapi baru saja wanita ini mengatakan hal yang tidak pernah Sakura bayangkan selama ini.

Dia bukanlah anaknya?

Sakura memang pernah berpikir tentang perbedaan fisik yang terlalu menonjol antara dia dan kedua orangtuanya. Ia selalu memikirkannya dalam hati mengapa tidak jua ia temukan kemiripan dari mereka?

Sakura menyadari. Tapi ia lebih memilih untuk tidak peduli. Semua pertanyaan itu sudah ia kubur dalam-dalam tanpa pernah ia usik kembali.

"Maaf kami terus menyimpan dan menyembunyikannya darimu. Kami pikir kau tidak perlu mengetahui hal ini. Hanya benda ini yang ada di dalam keranjang saat kami menemukanmu di sungai."

Tepat saat wanita itu menyelesaikan kalimatnya, mereka mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Derap langkah tegas tanpa keraguan itu semakin jelas terdengar.

"Pergilah dan sembunyi di balik tebing kecil di ujung sungai."

"Tidak! Kita akan pergi bersama, aku-"

"Tempat itu hanya cukup untuk satu orang. Lagi pula aku sudah lelah," potong wanita itu yang segera menggenggam kembali tangan putih yang kini bergetar hebat. Air mata yang semula sempat mengering kini kembali jatuh semakin deras.

"Aku akan menarik perhatian mereka, gunakanlah kesempatan itu untuk pergi ke sana." Tangan yang sudah menampakkan sedikit kerutan kini terjulur menghapus air mata di wajah Sakura.

"Bagaimanapun kau tetaplah anakku. Aku yang menjaga dan membesarkanmu walau kau tidak tumbuh di dalam tubuhku, walau di dalam darahmu tidak mengalir darahku. Kau tetap anakku dan aku adalah Kaa-san-mu."

Sakura mengengam erat tangan wanita itu karena ia yakin bahwa setelah tangan itu terlepas maka ia tidak akan bisa merasakan kehangatan wanita itu lagi. Maka dari itu, ia tidak akan melepaskannya.

Wanita itu tersenyum lembut, senyum yang selalu dapat menenangkan hati Sakura. Memberi kehangatan dan nyaman di dalam benak Sakura. Dengan wajah yang masih terus tersenyum wanita itu perlahan menarik tangannya agar terlepas. Ia bahkan terus tersenyum seakan mengatakan semua baik-baik saja walau Sakura terus saja menggelengkan kepalanya bahwa ia tidak mau. Ia tidak mau melepaskan tangan itu.

"Teruslah hidup, Sakura."

Bersamaan dengan ucapannya gengaman tangan itu akhirnya terlepas dan segera wanita itu pergi menjauh meninggalkan Sakura yang masih menangis. Suaranya tidak sanggup lagi keluar saat telinganya mendengar derap langkah yang mulai menjauh dari tempat mereka berdiri sebelumnya.

Kedua tangannya sudah menutup mulutnya agar tidak menjerit saat mendengar suara tebasan pedang yang rasa-rasanya ikut juga menebas hati Sakura.

Kakinya kembali melangkah pergi membawa dirinya menjauh untuk menuruti permintaan terakhir dari wanita yang sangat ia sayangi. Pandangannya memburam karena air mata yang mengumpul di matanya. Air mata yang kini berusaha untuk ia tahan agar tidak kembali tumpah.

Kedua matanya kembali melebar saat mendengar derap beberapa langkah kaki yang berlari dari arah belakangnya. Dari sudut matanya, ia berhasil menangkap tiga sosok samurai dengan pedang yang sudah ternoda oleh darah di tangan kanannya berlari mengejarnya.

"Dia yang terakhir," ucap salah seorang pria yang mengejarnya. Suaranya yang lantang mampu ditangkap oleh indera pendengaran Sakura karena jarak mereka yang ternyata semakin dekat.

Karena bola mata Sakura yang berganti menatap arah depan dan belakang membuat ia tidak terlalu jelas menatap jalan yang ia lewati sehingga kakinya tersandung oleh bongkahan kayu yang berasal dari salah satu rumah penduduk yang sudah hancur. Tubuhnya terjatuh tanpa bisa ia tahan dengan kedua tangannya hingga kepalanya ikut membentur keras tanah yang sudah berlumuran oleh darah orang yang sudah tewas tak jauh disamping kirinya.

Panik. Sakura berusaha untuk kembali berlari. Ia bangkit secepat yang ia bisa dan kembali melangkahkan kakinya yang ternyata terkilir akibat bertubrukan dengan bongkahan kayu itu. Dengan langkah terseok-seok, Sakura berusaha terus menjaga jarak dari para samurai yang mengejarnya.

Sayangnya ia kembali terjatuh karena kakinya terselip oleh kimono yang dipakainya. Ia meringgis saat mencoba untuk menggerakkan kakinya. Wajahnya semakin pucat saat ia melihat ketiga samura itu sudah berdiri di belakangnya. Salah satu samurai itu sudah mengangkat katana-nya dan siap menebas kepala Sakura.

Tolong. Siapapun. Batin Sakura saat kedua matanya terpejam. Berharap ada sebuah keajaiban datang padanya.

Satu detik.

Dua detik.

Hingga sepuluh detik berlalu namun Sakura tidak merasakan apapun. Tidak ada sebuah benda yang menyentuh tubuhnya. Tidak ada rasa nyeri atau sakit oleh benda yang seharusnya sudah melukai tubuhnya tapi ia sangat jelas mendengar suara tebasan pedang di dekatnya.

Ayunan pedang dan jeritan seseorang terdengar olehnya.

Dan rasa penasarannya terjawab saat ada sebuah cipratan mengenai wajahnya, menimbulkan bau amis yang menyengat.

Apa ini ... darah?

Perlahan Sakura membuka kedua matanya dan mendapati sosok pria dengan katana yang berada di samping kirinya karena pria itu memegangnya dengan tangan kiri. Berdiri dan menatapnya tajam. Tetesan darah turun dari pedangnya dan jatuh mengenai tanah yang telah berubah menjadi kemerahan.

Hanya dia. Karena ketiga orang yang mengejar Sakura sudah tergeletak tanpa nyawa dengan luka di tubuh mereka.

Tatapan itu masih terus berlangsung. Pikiran Sakura mulai sibuk menanyakan banyak hal pada dirinya sendiri. Siapa pria ini? Apakah dia ada di pihak mereka? Atau dia ada di pihak lain yang juga ingin menguasai desa ini? Dan yang paling buruk adalah...

Apakah dia juga akan menghunuskan pedangnya pada Sakura?

Dan pertanyaan terakhir itu segera terjawab karena pria bermata hitam itu sudah membalikkan tubuhnya. Dengan pedang yang belum ia kembalikan ke tempatnya, laki-laki itu sudah berjalan pergi meninggalkan Sakura yang masih menatapnya.

Tetesan darah dari ujung katana-nya bagaikan jejak langkahnya. Meninggalkan bekas kepergiannya. Sakura yang sedari tadi diam memandangi kepergian punggung pria yang belum jauh kini mulai tersadar dan meneriakkan suara yang membuat langkah kaki itu terhenti.

"Tunggu!"

Pria itu hanya melirikkan matanya sebentar sebelum ia kembali melangkahkan kakinya lagi tanpa ada niat untuk menuruti ucapan Sakura. Dengan kekuatan terakhir yang ia miliki, ia menggerakkan kakinya yang terasa berat untuk bisa menyusul pria itu.

"Tunggu!" Teriaknya lagi.

Namun pria itu masih tidak mau mengikuti perintah Sakura. Seolah ia tidak mendengar suara Sakura.

"Tunggu, kumohon. Ijinkan aku untuk ikut bersamamu."

Sakura semakin berusaha untuk mempercepat langkahnya karena pria itu sendiri berjalan dengan sangat santai. Tapi dengan langkah yang sesantai itu tetap membuat Sakura kesulitan untuk mengejarnya.

Sakura kembali terjatuh dengan keras sehingga mampu terdengar oleh pria di depannya. Isakan tangis yang meluncur dari mulutnya membuat langkah kaki pria itu terhenti.

"Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kumohon, Tuan. Tolong aku," pinta Sakura di sela-sela isak tangisnya.

"Kau hanya akan menyusahkanku." Suara berat dan tenang akhirnya keluar dari mulut pria bernama Uchiha Sasuke. Seorang rounin yang akhirnya memutuskan untuk menjadikan pembantaian di desa ini sebagai urusannya.

"Aku berjanji akan membantu sebisaku, tapi tolong jangan tinggalkan aku."

Jangan tinggalkan aku.

Kata-kata itu kembali terngiang di telinga Sasuke. Terus mengulang hingga membuat kenangan itu muncul. Kenangan di mana dirinya dulu pernah mengucapkan kata-kata itu setelah orangtuanya mengucapkan kata perpisahan untuknya.

Setelah orangtuanya menyuruhnya untuk pergi dan meninggalkan dirinya.

Gengaman pada katana-nya kembali mengerat. Ada perasaan perih yang mengiris hatinya kala mengingat kejadian itu.

"Tolong bawa aku, Tuan. Tolonglah aku, kumohon."

Suara tangisan Sakura yang terdengar di telinga Sasuke juga ikut menusuk dan mengoyak perasaannya. Pasalnya tangisan itu terdengar sama seperti tangisan yang pernah ia dengar. Seandainya saja saat itu ia seperti ini. Seandainya saat itu ia sudah memiliki ilmu pedang seperti saat ini, ia pasti bisa dengan mudah melawan mereka. Mereka yang sekarang baru saja tewas di tangan Sasuke. Mereka yang dulu juga pernah menggantung tubuh ayahnya.

Sakura yang masih menangis sontak terkejut saat sebuah pedang sudah menancap di tanah persis di depan lutut kanannya.

Katana yang ia yakini sebagai milik pria yang saat ini sudah berjongkok menyamai dirinya.

"Sampai kita menemukan desa berikutnya. Kau akan aku tinggal di sana." Sasuke kemudian menggamit kaki Sakura yang terluka dan mulai mengobatinya.

Sakura menjerit saat Sasuke melilitkan perban pada kakinya karena caranya yang kasar. Seakan tidak peduli, Sasuke terus saja melanjutkan kegiatannya. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia mau melakukan hal ini. Hal yang menurutnya adalah bukan menjadi urusannya.

Menyesalkah? Tentu saja tidak. Karena akhirnya Sasuke dapat membalaskan dendamnya pada kelompok samurai ini. Kelompok yang pernah membunuh orangtuanya. Tapi harusnya sampai di situ saja ia melakukannya. Harusnya ia tidak terlibat lebih jauh lagi, apalagi pada wanita ini.

Namun sebagian perasaannya kembali memutar kenangan yang tidak ingin ia ingat lagi. Rasa bersalah karena tidak mampu menyelamatkan orang yang ia sayangi. Tidak mampu melindungi apa yang berharga untuknya.

Perasaan bersalah yang akhirnya ikut memanas di dalam benaknya sehingga ada suatu pemikiran yang tiba-tiba menyeruak. Mungkin dengan menolong wanita ini ia mampu membayar ketidakmampuannya dulu.

Mampu mengganti apa yang tidak bisa ia lakukan dulu. Mungkin.

Setelah selesai, ia kembali menarik pedangnya, membersihkan noda darah yang tersisa pada pedangnya kemudian menyarungkannya kembali.

Matanya sempat menatap Sakura sebentar sebelum tubuhnya kini memungungi Sakura yang masih terduduk.

"Jangan menyusahkanku." Matanya melirik Sakura, lebih tepatnya matanya mengarah pada kaki Sakura.

Sakura yang menyadari pandangan mata itu segera bangkit, berdiri tepat di belakang Sasuke. Dan Sakura mengerti kenapa laki-laki ini mau repot untuk mengobati kakinya yang terkilir. Ya, hal itu ia lakukan semata-mata agar Sakura tidak menghambat dirinya dengan membantu Sakura untuk berjalan. Walau begitu Sakura tetap merasa senang. Ia masih bisa hidup dan menuruti keinginan kedua ibunya.

Dengan langkah kaki yang diseret, Sakura mengikuti Sasuke. Matanya terus menatap punggung pria yang masih berjalan enam meter di depannya. Seharusnya ia tidak bisa percaya begitu saja pada orang yang belum dikenalnya. Apalagi ia tidak mengetahui sama sekali siapa orang ini sebenarnya dan kenapa ia tiba-tiba datang membunuh semua samurai yang membantai desanya?

Tapi apapun tujuannya melakukan itu, Sakura merasa berutang budi padanya. Apapun yang terjadi, pria ini telah menolongnya. Menyelamatkan hidupnya.

Lamunannya terhenti saat kepalanya menabrak punggung Sasuke, membuat mata kelam itu melirik ke arah Sakura yang kini mengusap-usap pelan dahinya.

Tanpa ada sepatah katapun yang terucap, Sasuke kini menuruni bukit kecil yang menjadi pembatas antara jalan setapak dan sungai di bawahnya. Sakura mengedip beberapa kali saat melihat turunan berumput yang sebenarnya tidak begitu curam, dan sangat mudah untuk dilalui jika saja kondisi kakinya sedang tidak terkilir seperti saat ini.

Tidak mungkin baginya untuk turun begitu saja, bisa-bisa ia langsung terjatuh dan mengakibatkan luka pada kakinya semakin parah, dan berakhir ditinggalkan oleh pria yang menolongnya karena kondisinya kakinya itu. Tidak! Sakura tidak menginginkan hal itu terjadi. Jujur saja, hanya pria itulah satu-satunya orang yang dapat membuatnya merasa aman.

"Tuan ...," panggil Sakura, sedikit meninggikan nada suaranya agar terdengar oleh Sasuke yang sudah kembali melanjutkan langkah tanpa memedulikannya.

Upaya itu berhasil. Langkah Sasuke segera terhenti dan menolehkan kepalanya menatap Sakura yang masih berdiri di atas jalan setapak itu. Mata hitamnya terus menatap datar seakan menunggu lanjutan dari kalimat Sakura.

Beberapa detik Sakura hanya terdiam karena mendapat tatapan yang membuat tubuhnya merinding. Bola matanya sempat berpindah sedetik sebelum akhirnya kembali menatap langsung mata hitam Sasuke.

"Aku tidak bisa ... maksudku, kakiku sedang terluka ...," Sakura langsung membungkukkan badannya. "Tolong aku, Tuan. Aku tidak bermaksud untuk menyusahkanmu. Hanya saja jika aku terjatuh, nantinya aku akan semakin menyulitkanmu."

Kedua mata Sakura terpejam erat sembari melontar kata-kata itu. Tidak ada jawaban ataupun penolakkan yang ia dengar, hanya suara gemericik air serta daun yang bergesekkan akibat angin kencang sore ini. Apakah Tuan Penolong-nya telah pergi meninggalkan dirinya begitu saja?

Apakah Sakura salah meminta bantuan darinya?

Perlahan Sakura memberanikan diri untuk membuka kedua matanya. Dengan posisi badan yang masih membungkuk Sakura mulai mengangkat kepalanya. Perasaan cemas dan takut yang semula melanda dirinya segera sirna saat melihat pria itu sudah mengulurkan tangan kanannya ke arah Sakura.

Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, Sakura segera menyambut uluran tangan yang terasa hangat itu. Ditambah lagi keduanya saling mengeratkan genggamannya saat Sakura mulai menggerakkan kakinya untuk turun. Ada perasaan lain yang juga dirasakan oleh Sakura saat ini. Perasaan dijaga dan dilindungi.

"Terima kasih," ucap Sakura yang sudah berada tepat di depan Sasuke, dan bersamaan dengan itu pula gengaman tangan itu terlepas. Yah, Sasuke-lah yang lebih dahulu melakukannya.

Sakura kembali hanya bisa melihat punggungnya karena ia segera melangkahkan kakinya menuju pinggir sungai. Sesaat ada perasaan kecewa yang Sakura rasakan kala tangan itu terlepas karena dengan begitu kehangatan dan perlindungan juga langsung lenyap bersamaan.

Mata hijaunya yang sempat memandangi telapak tangannya kini beralih menatap punggung pria itu. Dingin dan hangat. Itulah Sang Penolong-nya.

"Kita akan beristirahat di sini," ucap Sasuke sembari menarik katana-nya keluar dari persembunyiannya.

Sakura mengangguk patuh walau Sasuke tidak melihatnya. Kakinya kembali melangkah menghampiri Sasuke yang kini sibuk membersihkan pedangnya. Ia melihat pantulan wajahnya di beningnya air sungai yang juga mengalir melewati desanya. Ada banyak noda di wajahnya, Sakura yakin itu adalah darah yang sudah mengering. Memang ia sempat menyekanya menggunakan ujung tangan kimono-nya, namun sepertinya tidak semua berhasil lolos dari kain merah muda itu.

Ia menangkup air pada kedua telapak tangannya dan membasuhkan ke wajahnya. Berulang kali ia melakukannya sembari menggosok-gosok wajahnya hingga semua noda darah itu benar-benar hilang.

Belum sempat ia mengeringkan wajahnya, mata Sakura sudah terfokus menatap pria penolongnya sedang sibuk memburu ikan menggunakan bambu yang ujungnya diruncingkan hingga seperti tombak. Sakura bahkan tidak pernah menyadari kapan pria itu membuat alat itu.

Tak butuh waktu lama, Sasuke berhasil menangkap empat ekor ikan. Dengan dibantu oleh Sakura, api telah berhasil mereka buat sebagai sarana memasak sekaligus penerang dan penghangat bagi tubuh mereka di tengah dinginnya angin malam.

Langit yang sudah menghitam dan tanpa dihiasi oleh satu bintang pun menjadi atap bagi kedua orang yang kini sedang menikmati santapan malam mereka. Makanan sederhana yang dimasakn secara sederhana pula tanpa bumbu apapun.

Hanya ada suara jangrik sebagai lantunan lagu kegiatan mereka. Pengusir sepi dari kebisuan dua insan yang masih sibuk mengunyah dan memasukkan daging ikan itu. Sakura beberapa kali melirikkan bola matanya menatap sosok pria yang duduk tepat di samping kirinya.

"Tuan ...," ucap Sakura ragu, satu-satunya suara yang akhirnya terlontar sejak tadi.

Tidak ada balasan seperti biasa. Pria yang dimaksud oleh Sakura terus saja melakukan aktifitasnya tanpa merasa terganggu. Atau mungkin seperti merasa ucapan Sakura hanyalah embusan angin yang berlalu begitu saja.

"Terima kasih," sambung Sakura, mengerti kalau pria itu tidak akan pernah menanggapinya jika memang ia merasa perlu.

"Terima kasih karena telah menyelamatkanku."

"Aku tidak berniat menyelamatkanmu." Mata Sakura melebar. Bukan karena ucapan yang ia dengar, ia terkejut karena pria ini mau membalas ucapannya.

"Apapun itu, kau telah menyelamatkan hidupku. Aku sungguh-sungguh berterima kasih hanya saja ...," ucapan Sakura terhenti. Matanya kini menatap sendu pada kobaran api yang secara tidak sengaja mengingatkanya kembali pada peristiwa pembantaian desanya.

Bagaimana tubuh-tubuh itu sudah tergeletak bahkan parahnya tergantung di pohon-pohon dengan sayatan, darah mengumpul di bagian bawahnya. Rumah yang sudah rata dengan tanah di mana api telah menelannya adalah pemadangan yang Sakura lihat kala berjalan meninggalkan desanya. Desanya yang telah mati.

"Seandainya saja Anda datang lebih cepat, pasti Kaa-san atau mungkin Tou-san dan semua orang di sana tidak akan mati. Seandainya saja aku bisa membawa Kaa-san bersamaku lebih lama pasti Anda sudah menyelamatkan kami."

Satu tangan Sakura yang terbebas kini berpindah menghapus air mata yang sudah turun ke pipinya, sedangkan satu tangannya lagi masih memegang bambu kecil yang digunakannya untuk menusuk ikan.

Kegiatan Sasuke sempat terhenti. Mata kelam itu melirik sebentar kepala merah muda yang kini bersembunyi di antara kedua lututnya. Isakan tangis kini menjadi pengusir sepi diantara mereka. Suara yang sebenarnya tidak pernah Sasuke sukai karena entah mengapa ia kembali mengingat tangisan wanita itu.

Tidak ada yang Sasuke lakukan, atau mungkin tidak ada yang Sasuke bisa lakukan untuk menghentikan tangisan itu. Walau tidak menyukainya, ia hanya diam dan kembali melanjutkan kegiatannya.

Hingga akhirnya kegiatan itu kembali terhenti saat sesuatu menyentuh pundak kanannya, membuat kedua matanya langsung menengok dan mendapati perempuan berisik itu telah tertidur dengan air mata yang masih mengalir dari matanya.

Menyusahkan!

Memang suara tangisan itu telah berhenti, namun bukan berarti ia harus memberikan pundaknya untuk sandaran gadis itu. Helaan napas meluncur begitu saja dari mulutnya, sekali lagi entah kenapa ia tidak bisa menjauhkan kepala merah muda itu atau menggeser tempatnya agar menjauh tidak peduli kepala itu akan terantuk dengan keras. Terluka ringan atau bahkan parah, harusnya ia tidak peduli. Tapi, ia kembali tidak bisa melakukannya.

Ia hanya diam sembari menarik katana-nya yang semula ia letakkan di samping kirinya kini berpindah menyangga di depan bahu kirinya dengan kaki yang ia silangkan hingga ujung pedangnya masuk di sela-sela kakinya.

Perlahan ia memejamkan kedua matanya sama seperti kepala merah muda yang kini terpejam di pundak kanannya. Tertidur dengan irama napas yang sama.

Curcul :

Hai... ^^

Ini adalah Fic semi collabku dengan Hanaruppi.

Berawal dari obrolan tidak penting mengenai ending song Naruto tiba-tiba kami berdua memang ingin bikin cerita bertemakan seorang samurai dan tau-tau berakhir dengan Hana yang memberikan IDE awalnya dan beberapa ide tambahan yang kami bicarakan bersama hingga sampai ke ending cerita.

Tapi, semua chapter dari awal hingga ke akhir nanti, semuanya aku yang eksekusi (reader kecewa) ^^ jadi, maaf-maaf klo adegan romance-nya ngak manis, semanis akuh *digeplak* untuk typo dan semacemnya aku harap ngak muncul karena Hana juga membantu untuk nge-beta disela-sela kegiatannya *maksabawagolok*

Makanya aku (disetujui oleh Hana) menyebutnya dengan SEMI COLLAB.

Jadi, semoga kalian suka dengan ceritanya ^^