Bab 1
Kenangan & Doa
Kehidupan normal sebagai siswi menengah atas berusia tujuh belas tahun adalah hal yang pertama kali melintas di kesadaranku. Tinggal di rumah sederhana bersama anggota keluarga inti yang lengkap; ayah yang agak temperamen, ibu yang selalu bisa diandalkan, serta seorang adik laki-laki dan dua adik perempuan dengan watak yang berbeda-beda namun mirip. Menjalani keseharian di sekolah yang biasa-biasa saja bersama teman-teman yang biasa namun juga luar biasa.
Ah, mulai sekarang aku harus membiasakan diri dengan rasa sesak dan perih yang sewaktu-waktu muncul dalam dadaku.
Sensasi pening menjalari kepala, nafasku hangat tetapi tubuh yang sudah terbalut selimut menggigil, seluruh tulangku terasa ngilu, dan aku baru sadar kalau sedari tadi air mata terus mengalir.
Aku baru ingat tentang keadaanku. Setelah menemani salah seorang teman sekamarku memberi makan kucing yang diam-diam dipeliharanya, kami yang kehujanan memutuskan dengan nakal untuk memperparah guyuran air di tubuh masing-masing. Dia beruntung memiliki kekebalan tubuh yang baik. Berbanding terbalik denganku yang di saat-saat tak terduga dengan mudahnya bisa masuk angin atau terserang flu, dan kutambahkan: aku paling tidak tahan dengan yang namanya "dingin"—walau pada keadaan tertentu aku menikmatinya.
Aku yakin baru terserang demam ketika waktu di mana semua orang terlelap.
Dengan berusaha sebisa mungkin aku menggerakkan kepala agar leluasa mengamati ruang ini. Sepi, hanya aku seorang yang ada, karena sepertinya sekarang waktu sarapan. Menghela nafas, lalu aku berusaha mendudukkan diri seraya bersandar ke kepala ranjang dengan bantuan bantal.
Berubahkah segalanya? Mungkin saja. Aku sendiri tak pernah tahu jika seseorang sepertiku ditakdirkan Tuhan untuk memiliki jalan hidup yang seperti ini.
Kini aku penasaran. Untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa ingin mematut diri di depan cermin dengan sungguh-sungguh. Bagaimana dengan penampilanku yang sekarang? Sangat berbedakah dengan diriku yang dulu? Apakah semua yang ada pada diriku telah menjadi sesuatu yang tak kukenal?
Pintu kamar ini terbuka tiba-tiba—membuatku berjengit kaget—dan entah mengapa aku merasa tidak heran melihat seorang wanita muda yang membawa nampan makanan bersama dua orang anak, perempuan dan laki-laki, masuk menghampiriku. Dan, seruan dari mereka membuatku berada di antara menahan nafas dan merasa lega—
"Sarah! Syukurlah kau sudah bangun!"
Untuk hal itu aku merasa patut bersyukur pada Tuhan—Satu-satunya yang tidak berubah dari diriku: namaku.
.
Panti Asuhan St. Elizabeth adalah rumah diriku yang sekarang. Pemiliknya, Mrs. Hodgins, berkata bahwa aku telah menjadi bagian dari tempat ini sejak lahir dan tidak bercerita lebih lanjut (yang kuyakini karena aku belum cukup umur untuk mengetahui segalanya). Miss Claudia—wanita muda berkisar dua puluh tahun ke atas—yang kemarin membawa nampan makanan adalah pekerja paruh waktu. Aku sedikit penasaran mengapa wanita (yang lebih cocok berkarir) seperti dirinya malah bekerja di sini. Tapi, yah, tidak masalah. Jujur saja, sosoknya yang tegas namun penyayang itu sudah seperti seorang kakak perempuan di mataku.
Lain kedua perempuan tersebut, lain pula kedua anak yang masih asyik beradu argumen di hadapanku ini. Sejauh yang kuingat—karena bercampur-aduknya ingatan diriku yang dulu dan sekarang—mereka berdua adalah teman paling akrabku di panti asuhan. Aku tidak menyangkal kehangatan yang kudapat dari anak-anak lain, tetapi merekalah yang paling bisa bergaul dan menerima diriku. Yang perempuan bernama Luculia dan laki-laki bernama Charles. Karena suatu alasan, mereka diberi nama keluarga yang sama—Connor.
Aku yang dilarang beraktivitas masih duduk di kasur sambil memerhatikan mereka yang sekarang bersaing menyodorkan buku cerita yang keduanya rekomendasikan. Luculia adalah anak perempuan yang manis, dan aku yakin suatu hari nanti dia bisa menjadi istri seorang bangsawan yang anggun. Charles pula tipe anak laki-laki yang tidak banyak bicara dan memancarkan sosok pemimpin yang dicari orang-orang, tapi dia bisa menjadi begitu cerewet jika berada di sekitar kami.
Yah, begitu yang bisa kusimpulkan berdasarkan ingatanku yang tidak seberapa ini. Lagipula, apa yang bisa diharapkan dari diri baruku yang bahkan masih berusia empat tahun? Ditambah lagi aku adalah orang yang ceroboh dan pelupa.
Kini aku berusaha melerai mereka dan dengan canggung mengatakan bahwa akan membaca buku yang keduanya sarankan. Mereka kelihatan tidak puas, namun tetap menurut dan kembali bersikap normal: Luculia yang tersenyum manis dan terkadang menuturkan bahan obrolan, dan Charles yang mengawasi kami dengan wajah datarnya. Tak lama, Mrs. Hodgins datang untuk memanggil mereka berdua ke ruang makan serta membawakan jatah makan siangku. Aku bisa merasakan keberathatian mereka yang akhirnya tetap pergi setelah berkata bahwa mereka akan kembali secepat mungkin.
Pintu tertutup dengan gelengan maklum dari Mrs. Hodgins yang mendekatiku. Beliau duduk di tepi kasur dan dengan hati-hati meletakkan nampan tersebut di pangkuanku. Aku segera mengucapkan terima kasih dengan kikuk, lalu perlahan memulai suapan pertama bubur gandumku.
Sebelum Mrs. Hodgins bisa menanyai keadaanku lalu pergi membawa nampan setelah mengelus kepalaku, tanpa bisa dicegah aku memandang jendela kamar dengan pemandangan pepohonan yang disinari mentari akhir musim panas di baliknya.
.
Musim gugur tiba dan aku sudah mulai terbiasa dengan ingatan gandaku. Berdasarkan informasi yang kudapat—setelah menanyai berbagai penghuni panti asuhan dengan kedok obrolan tak penting—sikapku tak ada yang berubah setelah hari di mana aku terkena demam sekaligus kembalinya ingatan masa laluku, kecuali menjadi betapa canggung dan kikuknya aku. Itu artinya sifat atau watakku tidak berbeda dengan jati diriku. Ini juga merupakan suatu keberuntungan yang kusyukuri karena itu artinya aku tidak perlu repot-repot menanggapi respons kebingungan mereka andai kata yang terjadi malah sebaliknya.
Untuk penampilanku, well, aku cukup terkejut setelah beberapa saat berhasil memahaminya. Rambut hitam ikal yang agak sulit diatur, mata hitam—atau mungkin coklat yang sangat gelap—yang jika tertawa tampak sangat sipit, dan postur tubuh yang biasa saja namun terbilang cukup besar untuk ukuran anak sebayaku. Singkat kata, penampilanku yang sekarang seperti versi pembaharuan diriku yang dulu—Terlihat berbeda, tetapi pada dasarnya mirip.
Taman berukuran sedang yang terletak di depan panti asuhan kini berwarna jingga kecoklatan. Cuaca terasa sejuk hari ini, dan keputusanku tepat untuk mengikat rambut. Aku dan Luculia yang mulai merasa lelah bermain bersama anak lain memutuskan untuk menghampiri Charles yang sedari awal memilih membaca buku di salah satu kursi taman. Kami bertukar sapa lalu mengobrolkan banyak hal.
"Sebentar lagi sudah Bulan Oktober, ya?" Luculia memulai obrolan lain yang langsung menuai kerutan di kening Charles dan tanda tanya di benakku.
"Oktober masih sebulan lagi. Dari mananya sebentar lagi?" sahut Charles yang langsung menutup bukunya.
"Yah, tapi bagiku itu sudah sebentar lagi!" protes Luculia, "Apa jangan-jangan kau melupakannya, Charles?" tudingnya.
Charles menghela nafas jengkel, "Hal seperti itu seharusnya terasa lama dan dirahasiakan. Apa kau ingin mengingatkannya agar nanti tak perlu ada kejutan?"
Gaya bicara mereka sangat bertolak belakang. Luculia yang masih polos dengan semangat jiwa anak kecilnya, lalu Charles yang hanya dengan mendengar saja membuatku melongo tak percaya bahwa ada anak kecil yang sedewasa ini. Tapi, bukan itu permasalahan utamanya.
Sebenarnya, apa yang mereka katakan, sih?
"Err… Sebenarnya, dari tadi kalian membicarakan apa?" tanyaku memotong perdebatan mereka.
Secara mengejutkan (dan sungguh membuatku terkejut) keduanya menjawab dengan kompak, "Ini tentang ulang tahunmu yang kelima nanti!" lalu tanpa disangka menuai reaksi yang serupa tapi tak sama: Luculia yang sontak menutup mulut terkejut akan ucapannya sendiri, dan Charles menepuk dahinya seraya mendecihkan kata "Bodoh!" entah untuk siapa.
"…"
Hening menjalar dengan wajah kecewa dan bersalah memenuhi pandanganku. Okay… Sepertinya, aku harus memeriksa akta kelahiran untuk memastikan hal lain. Dan, jika dugaanku memang benar, maka sekali lagi aku bersyukur pada Yang Maha Kuasa: tanggal lahirku pun tidak berubah.
.
Untuk sekali saja aku ingin terlepas dari jeratan etika dan moral yang telah mendarah daging hingga ke dalam jiwaku. Why? Oke, pertanyaan bagus. Alasannya adalah karena sekarang ingin sekali aku mengerang sekeras-kerasnya sambil mengeluarkan sumpah serapah—Entah kepada takdir atau diriku sendiri.
Hari Sabtu tanggal 7 Oktober 2006 adalah hari di mana aku telah resmi berusia lima tahun, setidaknya dalam sudut pandang kehidupan baruku. Hari di mana seharusnya aku merasakan kebahagiaan lebih dari hari-hari biasa. Panti asuhan biasanya sering merayakan ulang tahun anak asuhnya jika ada dana secara kecil-kecilan. Lantas, bagaimana bisa aku berpikir bahwa mereka tidak akan merayakan hari milikku?
Sayang sekali ternyata itu hanya angan-anganku saja.
Perutku yang bergemuruh terkadang beradu dengan suara semilir angin dan dedaunan di luar sana. Aku kembali menggosok telapak tangan dan merapatkan jaket tebal musim dingin (yang agak kebesaran) pemberian Miss Claudia bekas keponakannya yang menjadi kesayanganku. Sudah kuduga jika bulan terakhir musim gugur pasti sudah terasa dingin.
Pagi tadi setelah sarapan seharusnya aku bermain bersama anak-anak lain. Dan—sial atau beruntung?—aku malah melihat dan mengembalikan pot yang terjatuh di dekat gudang belakang. Entah hanya perasaan atau khayalan, aku mendengar panggilan dari dalam gudang. Tanpa pikir panjang kuikuti, dan singkat cerita aku terkurung di dalamnya.
Rasa lapar yang mendera membuatku sulit berkonsentrasi. Entah sudah berapa lama aku terkurung di sini, masa bodoh. Yang penting adalah bagaimana caranya memberitahukan keberadaanku pada anak-anak lain yang sedang asyik bermain di taman?
Beberapa menit yang lalu aku sudah menyibukkan diri berusaha mencari jalan keluar, namun hasilnya nihil. Pintu hanya bisa terbuka dari luar, jika tebakanku benar. Tubuhku yang masih kecil terlalu berbahaya untuk memanjat guna keluar melalui ventilasi setengah rusak itu.
Percuma. Lebih baik beristirahat dan mencari hiburan dibanding membuang-buang tenaga. Setidaknya aku yakin dalam sejam kemudian mereka pasti mencariku, terutama Luculia dan Charles.
Omong-omong, tentang perasaanku yang tadi—adanya panggilan dari gudang ini—tiba-tiba membuatku merinding. Bagaimana bisa ilusi pendengaran seperti itu tetap kuladeni? Baiklah, berhenti berkhayal atau mungkin nanti aku akan pingsan ketakutan di sini (dan kuakui itu sangat memalukan jika betulan terjadi).
Tepat sedetik kemudian terdengar suara asing dari dalam gudang ini. Aku segera mengawasi sekitar, lalu menepuk-nepuk telinga dan pipiku sendiri. Jangan bilang sekarang halusinasiku naik tingkat?
Aku terkejut dan refleks berdiri seraya mempertajam indera penglihatan dan pendengaran. Suara tadi jelas-jelas berasal dari ruang ini, entah di mana tepatnya. Hanya satu kata, namun mampu membuatku bergidik ngeri.
"Tolong."
Kata itu terulang lagi dan makin terdengar lirih. Bulu kudukku meremang dan nyaliku luar biasa menciut. Mengapa hal tak terduga selalu menjadikan aku sebagai korban?!
Entah bagaimana aku baru menyadari bahwa selalu ada suara seperti dentingan bel saat kata itu tersuarakan. Dengan memaksakan diri aku bernafas teratur dan menyiapkan mental. Mungkin saja sumber suara ini tidak seperti di film-film horor itu, kan?
Dengan perlahan aku mendekati tumpukan kardus berdebu yang terletak di ujung sisi kiri gudang. Aku berjengit kaget ketika suara aneh kembali terdengar. Pada akhirnya aku tetap bertindak untuk mengusaikan rasa ingin tahuku dengan menyingkirkan kardus serta tumpukan barang rusak lainnya.
'Oh my God! Apa-apaan ini?!'
Aku berdiri mematung dengan barang-barang berdebu masih digenggaman. Makhluk itu juga sama terkejutnya denganku. Dia terlihat ingin pergi melarikan diri, namun malah terjatuh karena tubuh yang (terlihat jelas) dalam keadaan tidak sehat.
Aku tersadar dan segera meletakkan barang-barang yang kuangkut. Diriku yang ragu antara 'ya dan tidak' tanpa sadar berusaha menolongnya untuk berdiri atau sekadar duduk. Namun, tanpa diduga makhluk itu mendesis marah. Aku dengan ragu memundurkan diri memberi jarak agar dia tidak merasa dalam bahaya.
"Er… Kau baik-baik saja?"
Pertanyaan bodoh meluncur begitu saja dari mulutku.
Makhluk itu mendelik padaku, lalu suara seperti dentingan mengiringi suara halusnya yang tajam, "Bagaimana bisa manusia hina ini menemukan diriku?"
Rasanya seperti baru saja ada tombak yang menusuk jantungku. Makhluk gak jelas ini baru saja menghinaku? Baiklah, untuk sementara kuterima dengan lapang dada karena dua perangkat utama pada diriku sedang tidak sinkron: otakku tersinggung, namun hatiku kaget dan bertanya-tanya.
"Em, maaf. Tapi, keadaanmu sedang tidak baik. Apa ada yang bisa kubantu?" tanyaku hati-hati.
Mata lebar yang seperti boneka itu kembali mendelik, "Lebih baik aku mati daripada ditolong manusia hina."
Aku tercengang untuk kesekian kalinya. Rasa bersalah dan tersinggung bercampur aduk. Dan, sekarang aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Aku berdehem membersihkan tenggorokan, lalu berucap dengan amat hati-hati, "Mengapa kau menjuluki rasku seperti itu?"
Tanpa kuduga dia malah tampak terkejut, lalu gantian makhluk itu yang dengan hati-hati bertanya, "Kau mengerti ucapanku?"
Kali ini aku bingung dengan responnya yang berubah, dan segera membalasnya dengan ragu, "Ya, begitulah. Sejak awal kau berucap meminta tolong—"
"Aku mengucapkannya kepada bangsaku, Anak Manusia. Jangan salah paham."
"Oh, ya, paham. Baik," sahutku takut, "Tapi, um, suaramu terdengar aneh. Seperti ada denting bel saat kau bicara."
Matanya menelitiku, lalu seraya memejamkan mata dan menghela nafas dia berujar, "Pergi dari sini sekarang. Aku tidak mengulanginya."
"M-Maaf, tapi aku tidak bisa,"—matanya kembali mendelik padaku—"Itu karena aku terkunci di sini! Aku tidak bohong! Bahkan sedari tadi aku menahan rasa lapar dan dingin," seruku panik.
"Apa? Bagaimana bisa?!"
Dengan begitu aku menceritakan penyebabnya dan kemudian tanpa disadari suasana tegang yang kurasakan mulai berkurang.
"Kau orang yang ceroboh dan bodoh kalau boleh jujur, Anak Manusia," komentarnya sambil menghela nafas, membuatku hanya bisa meringis malu.
Keadaan kembali sunyi. Aku sendiri tidak tahu harus berkata. Makhluk itu pun juga tidak mengucapkan apa-apa lagi selain mengalihkan perhatiannya dariku.
Aku mengambil kesempatan untuk mengobservasinya. Dalam sekali lihat, aku dengan yakin memastikan bahwa dia adalah dari bangsa sejenis peri. Matanya yang besar, rambut panjangnya yang bergelombang teratur, serta telinganya runcing dan enam buah kelopak sayap yang mirip daun. Pakaiannya yang tampak seperti gaun tidur terlihat seperti kain sutra. Dia tak memakai alas kaki, namun salah satu pergelangan tangan dan kaki serta leher terlihat samar-samar ada perhiasan entah apa. Satu hal yang mencolok dari dirinya adalah keseluruhan tubuhnya yang berwarna biru dengan beragam gradasi.
Aku bingung harus merasa takjub atau takut. Pasalnya, di kehidupanku sebelumnya yang normal hal seperti ini dianggap tabu dan hanya sebuah mitos. Apakah wajar jika manusia sepertiku berkomunikasi dengan peri seperti dia?
Aku memilih mendudukkan diri dengan koran bekas sebagai alas. Peri itu masih diam membisu di atas kardus, namun setidaknya aku bisa mengawasinya dari sini. Aku memutar otak agar keheningan tersingkirkan, namun tak banyak topik yang bisa terpikirkan.
"Um… Apa selama ini bangsaku selalu berbuat jahat pada bangsamu?"
Astaga! Lagi-lagi pertanyaan bodoh keluar begitu saja dari mulutku! Dapat kulihat dari sudut mata perubahan gestur tubuh kecilnya itu.
Peri itu terlihat membuka mulut untuk menjawab, namun jeda sesaat yang digunakannya malah mengeluarkan balasan lain, "Itu bukan urusanmu, Anak Manusia. Berusahalah untuk tidak mencampuri urusan orang lain."
"…" Oke, balasan tajam nan ketus itu berhasil membungkamku. Dengan takut-takut aku berbisik, "Sorry."
Entah bagaimana aku bisa merasakan lirikan dari mata besarnya itu. Terdengar dengusan peri itu, dan aku hanya bisa menghela nafas diam-diam. Berapa lama lagi aku harus menghadapi suasana canggung nan tegang ini?
Oh! Aku tahu! Seharusnya hal ini kulakukan sedari awal!
"Em… Perkenalkan, namaku Sarah Williams. Aku tidak biasa dipanggil dengan nama belakang, tapi terserah kau ingin memanggil seperti apa. Dan, hari ini aku berusia lima tahun!" ucapku ragu-ragu namun riang, 'Ya, perkenalan pasti bisa mencairkan suasana ini!'
Sayang sekali balasan yang kudapat adalah mata besarnya yang melihatku seolah-olah berkata memangnya-aku-peduli? kembali membungkam diriku.
'Tak kusangka peri yang pertama kali kutemui seumur hidupku sejudes ini.'
"Kau berulang tahun hari ini, Anak Manusia?"
Aku tak menduga dia akan menanggapi, dan baru saja aku akan membalas peri itu kembali bersuara.
"Mengejutkan di hari istimewamu—setidaknya bagi bangsa kalian—kau malah terkurung di sini dan tak ada yang mencari."
Aku kaget dan refleks membalas tidak setuju, "Tidak. Mereka pasti akan mencariku. Mustahil teman-temanku tidak menyadari diriku yang hilang dan tidak melaporkannya ke pengurus panti asuhan."
"Oh, begitu?" aku mulai tidak menyukai cara bicaranya yang tajam dan ketus itu, "Tapi, yang terjadi kau masih berada di sini entah sudah berapa lamanya."
"Mereka mungkin sibuk dengan urusan lain, makanya belum mencariku," sahutku kesal, "Lagipula, ini hari ulang tahunku. Mustahil mereka melupakanku."
"Oh, benar. Ini hari ulang tahunmu," peri itu berubah menjadi lebih sarkastik, "Dan, kau yakin sekali bahwa mereka memang peduli dan mengingatnya."
Aku membuka mulut untuk kembali mendebatnya, namun tak keluar satu kata pun dari sana. Benar. Dari mana aku tahu bahwa mereka memang ingat dan peduli tentang hal itu?
"…"
Ya, bodoh juga diriku yang berharap hingga membayangkan bahwa mereka menyiapkan kejutan karena terlalu besar kepala.
Walau begitu—
"Aku tetap percaya," aku mendapati matanya menatapku heran, "Aku percaya mereka pasti ingat dan akan mencariku," lalu dengan percaya diri aku memberi cengiran seraya berujar, "Selain itu, aku yakin mereka juga menyiapkan sesuatu untukku. Lagipula, acara tak akan bisa dimulai tanpa ada tokoh utamanya!"
—seseorang sepertiku pun boleh berharap, kan?
Matanya yang besar menatapku tak percaya, lalu peri itu mengalihkan pandangannya sambil menggerutu, "Dasar Bocah Manusia Bodoh!"
Keadaan kembali hening walau berbanding balik dengan hatiku. Jujur saja, aku merasa mendapatkan kemenangan atas perdebatan ini, namun di sisi lain aku juga merasa tidak enak hati padanya. Aku bahkan masih bertanya-tanya, mengapa peri ini begitu tidak ramah dan berusaha menjatuhkan opiniku?
"Vierra."
Aku spontans mendongakkan kepala mengikuti sumber suara. Tunggu. Tadi dia berbicara padaku? Tapi, apa yang baru saja diucapkannya?
"Itu namaku. Ingat baik-baik karena aku tak mau mengulangi ucapanku."
"Ah, oh, ya. Baik! Eh, um, maaf, tapi siapa namamu tadi?"
"Kau mengerti dengan jelas apa yang baru saja kuucapkan, Bocah."
"Ng, maaf, tapi aku tidak terlalu jelas mendengarnya dan sebenarnya aku adalah anak yang pelupa—Aku tidak bohong! Aku benar-benar pelupa dan harus fokus mendengarkan sesuatu!"
"Hhhh! Dengar baik-baik! Tak akan kuulangi lagi! Vi-er-ra!"
"Vi-er-ra… Vierra? Vierra! Oke, berhasil kuucapkan! Nice to meet you, Vierra!"
Belum sempat dia bereaksi, terdengar beberapa pasang langkah kaki yang terdengar buru-buru mendekati pintu gudang. Kami saling berpandangan sesaat, lalu dengan segera aku bangkit dan mengembalikan posisi barang-barang gudang yang tadi kuangkut. Kami kembali berpandangan, dan dengan ragu aku tersenyum sambil berucap, "Until we meet again!"
Pintu terbuka bersamaan dengan tanganku yang baru saja berhasil menggapai kenop pintu gudang. Oh, astaga! Aku pasti akan terjatuh! Padahal aku sudah menyiapkan diri mendengar dan merasakan tubuhku terjerembab ke tanah dengan mata terpejam erat, namun tanpa diduga dua pasang tangan menangkapku.
"Sarah! Kau baik-baik saja?!" seru Luculia panik.
Charles pun juga menyuarakan kekhawatirannya, "Kami terus mencarimu sedari tadi."
"Bagaimana kamu bisa berada di sini, Williams?" tanya Miss Claudia yang sekarang berjongkok di hadapanku menggantikan keberadaan keduanya yang langsung menyingkir. Aku sedikit merasa asing dan tidak terbiasa dengan panggilannya, tapi bukan itu fokus perhatianku. Bahkan Miss Claudia pun tak bisa menyembunyikan rasa khawatir dari wajahnya.
Dengan rasa bersalah aku berusaha menjawab sambil meringis, "Tadi pagi saya mengembalikan posisi pot yang jatuh di sana," aku menunjuk deretan pot mungil di seberang gudang, "Lalu, tidak sengaja saya melihat ada kupu-kupu yang masuk ke sini dan saya ikuti. Ternyata, ada angin kencang lalu pintu jadi tertutup dan tak bisa dibuka. Jadi saya hanya duduk di dalam sambil menunggu kalian."
Aku berhasil menjawab walau dengan terbata, terutama pada beberapa kalimat terakhir. Oke, kuakui jika kali ini aku pasti dapat dosa. Kebohongan pertamaku di kehidupan baruku.
"Ya Tuhan, syukurlah tidak terjadi apa-apa padamu," Miss Claudia memeluk dan mengelus rambutku singkat namun lembut, "Baiklah. Mari kita segera kembali ke gedung utama."
Kami bertiga mengangguk dan dituntun berjalan di depan wanita pengurus panti asuhan itu. Sebelum Miss Claudia menutup sepenuhnya pintu gudang, aku bisa melihat sekilas Vierra yang mengintip di balik tumpukan kardus tadi. Tak ada salah satu dari kami yang bisa memberi respon apa pun pada momen yang singkat itu.
Saat itulah aku baru sadar, dunia tempatku hidup sekarang mungkin lebih menyimpan banyak hal seperti itu.
.
Tak terasa malam tiba setelah sore tadi kami disibukkan dengan gotong royong membersihkan panti asuhan, dan kami bertiga sepakat mengambil bagian di ruang perpustakaan.
Usai membersihkan diri dan merapikan tempat tidur, aku dikejutkan dengan kedatangan Luculia dan Charles yang mencurigakan. Setelah mengobrol sebentar, mereka lalu menggiringku ke ruang makan dengan mata tertutup. Kami tiba dan ketika mataku terbuka tampak pemandangan yang membuatku diam mematung.
Ruang makan dihias dengan sederhana namun dengan nuansa ceria dan hangat. Beragam makanan dan minuman yang tampak sederhana namun lezat tersaji rapi di meja makan. Anak-anak panti asuhan yang lain mulai bernyanyi bersamaan dengan Miss Claudia yang mendekatiku dengan kue ulang tahun berukuran sedang di tangannya. Api mungil yang berasal dari sebuah lilin yang sama mungilnya berdiri tegak di atas kue tersebut.
Di kehidupanku sebelumnya ulang tahun setiap anak di keluargaku tidak dirayakan dengan cara seperti ini. Kami hanya akan membuat sebuah makanan yang lebih istimewa dibanding hari-hari biasa dan berdoa bersama. Hanya seperti itu, dan hal sesederhana itu mampu membuat hatiku hangat.
Walau berbeda, namun ternyata aku juga merasakan hal yang sama. Tetes demi tetes air mata jatuh dari pelupuk mata. Aku tersadar akan hal itu dan berusaha menghentikannya, namun percuma. Sekarang yang ada diriku malah terus-menerus mengusap mata sambil sesegukan.
Rasa perih dan sesak itu kembali menyusup ke dadaku, namun kali ini berbeda.
Rasa lain bernama kehangatan juga ikut bersamanya.
"Ayo, sekarang ucapkan permohonanmu dalam hati dan tiup lilinnya!"
Aku yang telah berhasil menguasai diri segera menurut lalu memejamkan mata untuk berdoa.
Ya Tuhan, aku harap bisa menjadi orang yang lebih baik di kehidupan kedua yang entah mengapa Kau berikan padaku ini.
Ya Tuhan, semoga hidupku kali ini tidak ada yang aneh-aneh namun tetap menarik.
Ya Tuhan, aku hanya bisa meminta hal terbaik untukku dan semua orang di sekitarku.
"Amin."
Nyala api sirna yang disambut dengan tepuk tangan. Aku tersenyum dengan lebar walau masih berlinang air mata. Malam itu kuhabiskan dengan menikmati hidangan yang menggugah selera dan berbagi canda serta kisah bersama yang lain.
Tak ada yang tahu apa yang bisa terjadi nanti, jadi untuk kali ini kubiarkan diriku hanyut dalam kehangatan senyum dan tawa.
~ To be continued ~
~ Author ground ~
Author: Assalamu'alaikum, or Moshi-moshi, Minna! :) Yak, penjelasan mengenai ff ini adalah… terencana dengan rinci namun membingungkan.
Seperti ff saya (di fandom lain) yang berjudul "Ozmafia! School!", ide cerita ini adalah tentang Heroine yang bereinkarnasi. Dengan kata lain, terinspirasi dari light novel serta komiknya yang berjudul "Otome Game no Hametsu Flag shika nai kuyaku Reijou ni Tensei shite shimatta…". Judul ff ini pun hasil remake dari judul versi inggrisnya, setelah beberapa lama saya tidak menemukan ide judul yang lain. _|| Tapi, ada hal lain yang masih saya ragukan, jadi untuk sementara belum terkuak dan diputuskan. (?)
Karena saya baru di fandom ini, maka saya ucapkan… Hajimemashite or nice to meet you! :D
Sebenarnya, saya sudah lama suka Harry Potter (bersama seorang sahabat saya yang lebih senior tentang HP). Namun, waktu itu kesukaan saya pada HP belum masuk tingkat sampai ingin membuat ffnya (ya iyalah, wong saya masih eSDeh waktu itu). Akan tetapi, karena suatu hal yang saya tidak ingat dengan jelas, beberapa minggu yang lalu saya kembali mencari tentang HP dan malah berkecimpung dengan ff serta fanart animenya di Mbah Gugel. Dan, jadilah sekarang saya malah membuat karya di fandom ini. /bingung harus bangga atau pusing/
Yah, seperti pemberitahuan di salah satu ff pada fandom tetangga jauh, saya akan berusaha update walau bakalan ngaret. Mohon pengertiannya. #Sumimasen!
Karena saya lupa apa saja yang ingin dibahas dan begitu banyaknya words padahal baru chapter pertama, maka akan disambung pada chapter selanjutnya. :) Selamat menikmati ceritanya! :D
All: Silakan memberi kritik, saran, dan komentar serta pertanyaan! :) Akhir kata, hontou ni arigatou gozaimasu, terima kasih atas perhatian dan pengertiannya, dan sampai jumpa~! :D O:)
RnR? :)
At last but not least…
Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun
TURUT BERDUKA CITA ATAS PERISTIWA PENEMBAKAN DI SELANDIA BARU
Semoga amal ibadah korban diterima dan keluarga/kerabat yang ditinggalkan serta korban lain diberi ketabahan dan kekuatan, amin ya robbal 'alamin.
