Babysitter adalah seseorang yang disewa untuk menjaga anak kecil ketika orangtua mereka pergi bekerja atau sedang sibuk. Memberinya makan, mengajaknya main, menidurkannya, serta menjaganya dari mara bahaya. Terdengar mudah memang, tapi pada kenyataannya tidak.
Kalau kalian tidak percaya tanya saja pada Kuroko Tetsuya.
Selihai-lihainya tupai meloncat, pasti pernah jatuh juga.
Kalimat tersebut sangat menggambarkan Kuroko saat ini.
Di antara semua temannya, dialah yang paling bisa diandalkan dalam mengurus anak kecil. Tapi semua itu berubah ketika ia bertemu dengan kelima bocah (empat laki-laki dan satu perempuan) dengan warna rambut yang agak mencolok dan ayah dari kelima bocah itu. Oh, minus satu karena yang berjenis kelamin perempuan ternyata adalah tetangga keempat bocah itu yang selalu bermain bersama keempat bocah laki-laki itu.
Kuroko Tetsuya. Delapan belas tahun. Seorang pemuda tulen namun wajahnya manis seperti perempuan. Bekerja sebagai babysitter.
.
.
.
Tetsu-nanny!
Disclaimer :
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Genre :
Romance/Family
Rated :
K+
Warning :
AU, OOC, Typo(s), gaje, alur kecepatan, humor garing, shounen-ai, chibi!GOM (minus Akashi), dan kekurangan lain sehingga tidak bisa disebutkan satu-satu.
Happy Reading~
.
.
.
―Prologue―
"Daiki-cchi, apa kau yakin tentang hal ini-ssu?" Seorang anak kecil berambut pirang yang tingginya tidak lebih dari kaki orang dewasa bertanya pada anak kecil lain dengan kulit yang agak gelap. Anak yang berkulit gelap itu sedang mencongkel pemanggang roti dengan kawat tipis.
"Kalau kau takut pergi sana, Ryouta. Ganggu ih!" Anak yang bernama Daiki itu membalas anak yang dipanggil Ryouta itu dengan sinis.
"Tapi, tapi," Ryouta menatap Daiki dengan tatapan was-was. Dia bingung ingin membantu Daiki atau pergi. Kalau ia pergi nanti ia dibilang pengkhianat, tapi kalau membantu Daiki bisa dimarahi papa nanti.
"Dai-chan! Ryou- chan!" Suara melengking khas anak perempuan terdengar menghampiri keduanya. "Tante jelek itu sedang berjalan kesini!"
"Bagus!" Daiki tersenyum puas dengan hasil kerjanya. "Ryouta, taruh ini di atas meja makan."
"Eh?" Ryouta menatap pemanggang roti yang ada di tangannya kemudian ke meja makan.
"Ada apa, sih?" Suara wanita dewasa terdengar mendekati tempat ketiga anak kecil berbeda warna rambut itu berbeda.
"Atsushi ingin makan roti panggang." Suara anak kecil lain terdengar menyahut pertanyaan wanita tersebut.
Ryouta yang panik langsung memanjat ke atas kursi makan dan meletakkan pemanggang roti itu diatas meja makan. Kemudian ketiganya bersembunyi di balik pintu yang ada di dekat sana. Dua diantaranya sedang tertawa cekikikan.
Tidak lama kemudian seorang wanita dengan rambut cokelat ikal sampai pinggang memasuki area dapur dituntun oleh seorang anak laki-laki berambut hijau dengan kacamata. Anak itu menunjuk sebuah pemanggang roti yang ada diatas meja makan.
"Apa benar Atsushi ingin makan roti panggang?" Tanya wanita yang tidak diberikan nama oleh author itu dengan wajah yang tidak terlalu percaya. Setelah apa yang ia alami hari ini, siapa yang akan percaya pada perkataan kelima monster cilik tersebut?
"Iya!" Anak yang memakai kacamata dengan boneka kodok di tangannya menjawab. "Kalau kau tidak memberinya makan nanti ia bisa mengadu ke papa, loh."
"Oke. Oke." Dengan itu sang wanita yang berpakaian putih seperti perawat namun sudah dinodai dengan bercak-bercak cokelat mulai memasukkan roti tawar ke dalam pemanggang dan mencolok kabel pemanggang roti tersebut ke sakelar terdekat.
BLDAR!
"Yeay!"
Suara teriakan bahagia dari keempat anak berbeda warna rambut itu menggema di dapur. Sedangkan wanita yang menjadi korban keisengan bocah berusia tidak lebih dari enam tahun itu hanya bisa memasang tampang marah. Bagaimana tidak marah? Wajahnya hitam karena terkena ledakan pemanggang roti, rambutnya yang ia rawat sekarang awut-awutan, ditambah dengan tawa menyebalkan dari keempat iblis kecil di sekelilingnya.
"Kalian!" Wanita tersebut menggeram dan mulai mengejar anak-anak berbeda warna rambut itu. Tentu saja keempat anak-anak itu berlari keluar dapur dan mulai berpencar di rumah mereka yang besarnya setengah mati.
"Hahahaha~" Suara tawa khas anak kecil menggema dari segala penjuru rumah.
"Dimana kalian, hah?!" Wanita itu sudah emosi. Dari awal ia datang ke rumah itu ia sudah dikerjai oleh anak-anak kecil yang usianya tidak lebih dari enam tahun itu. Mau dikemanakan harga dirinya sebagai seorang wanita dewasa?
Buk!
"Aw!" Sang wanita tidak sengaja menabrak anak kecil berambut ungu yang sedang memakan snack tidak sehatnya.
"Maibou-ku.." Sang anak kecil berambut ungu tersebut menatap snack-nya dengan tatapan nanar dan air mata mulai menggenang di matanya.
"Uoo! Atsushi nangis!" Ucap Daiki sebagai provokator.
"Tanggung jawab kau!" Satsuki ―satu-satunya anak perempuan disana― menimpal.
"Atsushi jangan nangis-ssu~" Ryouta membalas tapi wajahnya juga memasang tampang senang.
"Kuadukan papa, loh!" Shintarou ―anak berambut hijau dengan boneka kodok― menunjuk wanita tersebut.
"Papa pulang!" Sebuah suara baritone yang sudah sangat mereka kenali terdengar. Sontak saja semua manusia yang terlibat dalam kecelakaan yang tidak terlalu disengaja ini menoleh ke arah pintu depan yang dipisahkan tembok berwarna krem.
"Papa!" Keempat bocah laki-laki langsung saja berlari menuju papa mereka disusul Satsuki di belakang mereka dan disusul wanita yang seharusnya bekerja sebagai penjaga mereka itu di belakang kelima bocah itu.
Di pintu depan terlihatlah seorang pria berambut merah dengan mata heterokromatik sedang melihat ke kanan dan ke kiri untuk menemukan sumber suara yang memanggilnya tersebut. Dilonggarkan dasi hitamnya dan ia buka kancing paling atas kemeja putihnya tersebut. Tidak lama kemudian ia dapat melihat rambut warna-warni yang berlari ke arahnya dan segera menempel pada kakinya.
"Okaerinasai, papa~" Sambut sekelompok anak berbeda rambut itu secara bersamaan.
"Tadaima." Sang pria yang diketahui sebagai ayah dari keempat bocah berbeda warna rambut itu mengelus puncak kepala anak-anaknya satu persatu.
"Okaerinasai, oji-san." Satsuki menyapa pria berambut merah itu dengan senyuman dan dihadiahi sebuah elusan juga oleh sang pria.
"Okaerinasai, Akashi-sama." Wanita yang tidak memiliki nama itu menyambut tuannya dengan terengah-engah sehabis berlari mengejar kelima bocah pelangi tersebut.
Akashi menatap wanita yang ia pekerjakan sebagai babysitter itu dengan tatapan menyelidik. Dari ujung kepala sampai ujung kaki wanita itu terlihat kacau balau. Wajahnya dilapisi warna hitam yang pekat dan rambutnya sedikit mencuat sana-sini. Mengurus diri sendiri saja tidak bisa, bagaimana mau mengurus anak? Batin pria yang dipanggil Akashi itu dalam hati. Andaikan kau tahu apa yang sebenarnya terjadi, Akashi.
"Kau dipecat." Akashi meluncurkan dua kata itu dengan tatapan dingin sambil mengarahkan kelima bocah itu masuk ke dalam rumahnya.
"Tapi Akashi-sama.." Perkataan itu terputus ketika sebuah gunting menancap di belakang tembok tempat ia berdiri.
"Berani membantahku?" Akashi melirik dingin wanita tersebut dan dibalas dengan anggukan kikuk sang wanita, kemudian wanita itu keluar dari rumah kediaman Akashi yang luasnya minta ampun.
Akashi menghela nafas setelah wanita itu keluar. "Sekarang kalian melakukan apalagi, huh?"
Raut lelah jelas terlihat di wajahnya yang tampannya itu. Tidak di kantor, tidak di rumah, sama-sama melelahkan.
"Tadi dia menginjak maibou-ku, papa-chin." Atsuhsi menjawab yang pertama kali.
"Dia juga meledakan bola basket kami." Kali ini Ryouta yang menjawab.
"Dia berbicara di telepon mulu!" Satsuki menimpali pengakuan teman-temannya.
"Dia membiarkan kami kelaparan." Daiki menyambung. Perutnya berbunyi dengan keras.
"Dia tidak membiarkanku menonton Oha Asa." Ditutup oleh Shintarou sambil menegakkan kacamatanya.
"Kalian tahu," Akashi memijat pelipisnya. "itu adalah babysitter kedua puluh lima bulan ini."
Kelima bocah berusia tidak lebih dari enam tahun itu mengangguk dengan mantap seolah-olah bukan merekalah yang mengusir kedua puluh lima babysitter itu. Dasar anak kecil.
"Satsuki, sekarang sudah sore, pulanglah." Akashi menatap satu-satunya anak perempuan disana. Tidak disangka anak perempuan itu juga ikut terlibat dengan semua kegilaan ini.
"Bye bye, Dai-chan, Ryou-chan, Shin-chan, At-chan, dan Sei-san." Satsuki berlari keluar dari rumah kediaman Akashi dengan langkah riang. Tidak lupa ia melambaikan tangannya.
"Bye bye, Momoi-chan!" Keempat anak kecil berjenis kelamin laki-laki itu menyahut secara bersamaan.
"Sekarang sudah sore, ayo kalian semua mandi." Akashi menggiring anak-anaknya itu ke kamar mandi seperti anak bebek.
..
…
..
Langit Tokyo sudah mulai menggelap. Seorang pemuda bernama Kuroko Tetsuya sedang berjalan menuju rumahnya. Hari ini seperti hari biasa lainnya ia jalani dengan tenang. Bangun pagi, mandi, sarapan, pergi ke kampus, kerja sampingan sebagai guru TK, lalu pulang. Tidak ada yang aneh. Tapi kenapa seharian ini Kuroko merasakan sesuatu yang mengganjal, ya?
Dengan langkah santai dan wajah sedatar tembok, Kuroko berhenti di depan pagar rumahnya. Perasaan mengganjal itu semakin terasa sekarang. Mungkin seharian ini ia bisa mengesampingkan hal itu tapi sekarang entah kenapa ia tidak bisa. Dengan satu tarikan nafas akhirnya Kuroko sudah memantapkan hati dan masuk ke rumahnya.
"Tadaima." Kuroko membuka sepatunya dan menggantinya dengan sandal rumah. Ia letakkan sepatunya di rak sepatu dekat pintu masuk rumahnya.
"Tetsuya-chan." Panggil seorang wanita dengan rambut biru muda sepinggang yang sedang duduk bersimpuh di depan pintu masuk bersama dengan sang suami.
Oke, ini aneh.
"Ada apa, kaa-san, tou-san?" Tetsuya bertanya kepada kedua orangtuanya dengan wajah yang masih datar. Bohong besar jika ia tidak was-was saat ini. Berbagai pertanyaan aneh mengitari kepalanya, seperti 'apa bisnis tou-san bangkrut?' sampai 'apa aku akan dijodohkan?'. Oke, yang terakhir memang tidak nyambung.
"Bisnis tou-san bangkrut dan sekarang kita terlilit hutang." Sang kepala keluarga yang berambut hitam itu membuka suara. Kuroko berterima kasih kepada Tuhan karena bukan yang terakhir.
"Dan kita harus membayar hutangnya sebelum akhir bulan ini." Sang ibunda yang sangat mirip dengan putranya itu membalas.
"Sepertinya aku punya sedikit uang hasil kerja paruh waktu di TK." Tetsuya membalas sambil mengambil buku tabungannya dari dalam tas punggungnya.
"Tidak. Tidak." Sang ibu menggeleng sambil menggenggam tangan putra semata wayangnya itu. Tetsuya menatap heran ibunya.
"Setelah tou-san memohon kepada pemilik perusahaan yang menjadi penyedia dana untuk perusahaan ayah, ia menyetujui memperingankannya dengan satu syarat." Sang ayah memulai dengan bertele-tele.
"Lalu syarat apa yang ia tawarkan?" Tetsuya masih bisa memasang wajah sedatar tembok itu walaupun di otaknya sudah berseliweran hal-hal yang aneh seperti apakah aku akan dijodohkan untuk membayar hutang?
Oke, mungkin Tetsuya terlalu banyak membaca novel.
"Kami harus mencari babysitter profesional untuk menjaga anak-anaknya." Sang ibu menjawab. Rambutnya yang sepinggang berwarna sama dengan Tetsuya melambai tertiup angin yang entah masuk darimana dengan wajah penuh pengharapan.
Tunggu.
Babysitter profesional.
Wajah ibunya yang penuh pengharapan.
Oh, shit.
"Kami memintamu untuk menjadi babysitter-nya. Bisa 'kan, Tetsuya-chan?" Sang ibu bertanya setelah melihat wajah horror sang anak yang sudah paham maksudnya setelah menghubungkan satu titik dengan titik lainnya.
"Hm..mungkin?" Tetsuya terlihat ragu. Ia bukanlah babysitter profesional. Ia hanyalah guru TK.
"Kami yakin kau bisa." Sang ayah merengkuh pundak sang istri sambil menatap putranya dengan tatapan penuh perngharapan. Tetsuya dapat melihat background sinar halo dibelakang kepala kedua orangtuanya itu.
Ia tidak mempunyai pilihan lain, bukan?
"Oke."
"Kalau begitu kau akan pergi ke Kyoto besok pagi." Sang ibu lagi-lagi membuat anaknya itu terkejut.
Tetsuya membelalakan matanya.
"Orang itu tinggal di Kyoto. Dia adalah pemilik perusahaan Rakuzan." Ayahnya menimpal.
Siapa yang tidak pernah mendengar nama Rakuzan? Perusahaan paling besar di Jepang dan dunia yang sudah menyumbang berbagai teknologi tinggi untuk dunia gunakan. Ditambah lagi dengan pemilik perusahaan itu yang terkenal dengan julukan Emperor walaupun usianya masih tergolong muda untuk menjabati posisi chairman.
Double shit.
Sejak hari itu Kuroko Tetsuya mengetahui kehidupannya tidak akan sama lagi seperti yang dulu.
―To Be Continued
Author Note:
Fic kedua saya di fandom Kurobas nih~
Sudah lama ingin membuat fic seperti ini tapi nggak dapet yang cocok. Akhirnya memilih Kurobas saja karena mereka bisa saya lecehkan seenak jidat /plakk/ Lagi-lagi AkaKuro tentunya~ Saya cinta OTP ini~ Plus, rasanya lucu aja kalau bikin Kiseki no Sedai jadi anak kecil hiperaktif begini. Saya masih agak nervous untuk publish fic ini karena takut nggak ada yang mau baca. Tapi.. ya saya coba dulu saja 'kan? :3
Jadi gimana prologue-nya? Semoga suka dan dukung saya untuk melanjutkan fic ini, ya. Review adalah semangat saya melanjutkannya.
Happy New Year 2015~
