"[Name]?! Kamu ada dimana?!"
"Tenanglah dulu, Inari."
Yato berdiri di sebelah laki-laki berambut hijau pucat dengan mata berwarna abu-abu. Seperti yang dikatakan Yato, dia adalah Inari –atau Inari Ōkami- yaitu seorang dewa pertanian dan merupakan dewa yang terkenal.
"Bagimana aku bisa tenang Yato?!" teriak Inari panik. "Kalau [Name] tidak bisa menemukanku dan duduk di salju yang dingin..."
Masalah mereka sederhana saja; [Name], Shinki milik Inari telah menghilang dari pandangan dewa pertanian itu. Inari yang panik langsung berlari ke segala arah, sampai dia tidak sengaja menabrak Yato dan langsung mengatakan tentang hilangnya [Name]
"Kamu terlalu membesarkan masalah ini. Lagipula, kenapa Shinki milikmu pergi?" Yato bertanya kepada teman baiknya itu. Walaupun tidak terlalu kelihatan, Inari menjadi tegang dan keringat mengucur dengan deras di belakang kepalanya.
"Inari?"
"A-Aku mengalihkan pandangan ke alat berkebun yang kulihat, dan [Name] menghilang begitu saja."
Hening.
"Kamu benar-benar dewa yang tidak becus."
"Aku tidak ingin mendengar itu darimu!"
"Hiyori belum pulang dari sekolahnya..." Yukine bergumam sambil menendang batu berukuran kecil yang ada di jalanan. Yato tidak punya pekerjaan untuk hari ini, jadi dia membiarkan Yukine yang memutuskan untuk pergi ke tempat Hiyori. Tapi sayangnya, seperti yang dikatakan barusan, Hiyori belum pulang.
"I-Inari-sama..." Shinki berambut pirang itu mendengar suara seseorang, seperti anak perempuan yang menangis. Dia mulai mencari asal suara itu, dan melihat seorang anak perempuan dengan rambut seputih salju dan...telinga rubah?
Yukine mendekatkan tangannya, tapi dia berhenti saat melihat tulisan nama yang ada di bagian belakang leher anak perempuan itu.
"[Name]? Apa kamu juga seorang Shinki?" Ah, itu bukan pertanyaan yang bagus. Seharusnya dia menanyakan apa anak itu baik-baik saja, tapi rasa penasarannya mengalahkan hal itu.
"K-Kamu juga?" tanya [Name] dengan gugup. Yukine berusaha untuk bersikap santai, jadi dia tersenyum dan menganggukan kepalanya. Melihat ini, bahu [Name] yang tadi tegang menjadi sedikit rileks.
"Namaku [Name]."
"Yukine," jawab laki-laki itu. Yukine melihat air mata yang membasahi wajah [Name] dan teringat akan suara yang membawanya kesini. "Kenapa kamu menangis? Apa kamu baik-baik saja?"
"A-Ah, itu..." [Name] melihat Yukine, tidak yakin harus mempercayainya atau tidak. Tapi karna Yukine tidak melakukan apapun, tidak ada salahnya untuk mempercayainya kan? "Aku terpisah dengan Inari-sama..."
"Inari-sama... itu nama dewamu?" [Name] mengangguk. "Bagaimana kalau kita mencarinya bersama?"
"Apa dewamu tidak akan khawatir tentangmu?" tanya [Name]. Yukine terdiam sebentar, memikirkan tentang dewanya yang miskin dan bagaimana kalau Shinkinya menghilang sebentar saja.
"Dia tidak akan khawatir. Ayo cepat, mungkin saja dia masih ada disekitar sini," kata Yukine dengan tenang sambil mengulurkan tangannya. [Name] melihat Yukine dengan bingung, lalu melihat tangan Yukine; terus begitu selama satu menit.
Laki-laki itu menghela nafas. "Kamu tidak mau tersesat lagi kan? Jadi kita berpegangan tangan."
[Name] mengedipkan matanya dengan perlahan, berusaha mencerna kata-kata Yukine dengan baik. Tanpa dia sadari, senyum kecil terpasang di wajahnya, dan tangannya yang kecil bersentuhan dengan tangan Yukine yang hangat.
"Apa kamu sudah lama disini? Tanganmu dingin."
"Tapi tangan Yuki-kun hangat, jadi itu bukan masalah."
"Y-Yuki-kun?!" teriak Yukine panik, membuat [Name] memiringkan kepalanya dengan bingung. Wajah Yukine mulai memerah, tapi sayangnya [Name] tidak menyadari itu.
"Tidak boleh?"
"A-Ah, tidak papa..."
Dan mereka berdua berjalan bersebelahan, bergandengan tangan dan menghangatkan satu sama lain; Yukine dengan tangannya yang hangat, dan [Name] dengan kata-katanya—yang tidak dia sadari membuat wajah Yukine berubah merah.
