A/N : Hyaaaaa… fanfic Yu-Gi-Oh pertama!! Yeiy!! Sorry, kalo banyak karakter yang jadi OoC... Hehehe. Lagi meraba-raba karakter fandom ini, sih. Hohoho. Oiya, di crita ini bakal sedikit nyerempet dengan fandom Harry Potter. Biarpun gitu juga paling cuma nama karakternya doang yang nongol. Kenapa? Karena ini sebenernya adalah spin-off dari sebuah fanfic di fandom Harry Potter bahasa Indonesia berjudul 'Ever Ever After' buatannya Moonzheng (coba aja baca. Warningnya paling rating M, sama slash sirius/remus). Tenang. Gue udah minta ijin, kok, ke Moonzheng buat ceritanya gue acak-acak. Hehehe. Malah sebenernya dia yang ngerengek minta gue bikin ini cerita...
Disclaimer : Bukan punya gue!! Amppuuuunnn... Punyanya mas Kazuki Takahashi, terus beberapa karakter Harry Potter yang kesebut disini juga bukan punya gue, tapi punya mbak JK Rowling (hmm... atau sebenernya ini punyanya Jou? JK itu Jounouchi Katsuya, bukan? *dilempar*). Intinya, semua yang berasa familiar di mata kalian atau sempet membuat kalian berkata, "He?? Kayaknya gue tau, deh..." Nah, itu berarti emang bukan punya gue. Tebak sendiri, lah, punya siapa.
Warning : PUPPYSHIPPING!! Akhirnya Tuhan... buat juga gue fanfic puppyshipping (sujud sembah). Betul saudara-saudara! Pairing utama di fanfic ini adalah Kaiba Seto/Jounouchi Katsuya. Kalo gak suka, paksain baca aja. Buat penggemar Prideshipping, bayangin aja Jou berubah jadi Yami atau Atem. Buat penggemar Wishshipping, bayangin aja Kaiba mendadak jadi Yugi (walaupun agak mustahil). Atau sekalian buat penggemar Bronzeshipping, bayangin aja Jou itu Malik, Kaiba itu Marik. Hehehe. Sama Crossdressing!Jou, abuse, non-con, sama… ada deh. Uhuhuhuhuhu.
In this life, you're the one place I call home. In this life, you're the feeling I belong. In this life, you're the flower and the thorn. You're everything that's fair in love and war. (Head Over Heels – Switchfoot) Maaf. Ini kebiasaan gue pasti nyanyi dulu sebelum mulai ceritanya. Hehehe. Harap mulai dibiasakan, ya. Hehehe.
Jou berjalan mengitari jalan-jalan ramai di kota tersibuk Inggris, London. Dengan kesalnya, ia mengacak-acak rambut emasnya, sedikit frustrasi. Sudah berhari-hari ia mencoba untuk mencari pekerjaan di kota itu, namun tak satupun berhasil ia dapat. Meskipun begitu banyak lowongan pekerjaan dibuka dan diiklankan di koran yang sedang ia genggam, tak ada satupun yang sesuai dengan keinginannya. Semua lowongan pekerjaan yang tertera di koran itu menyediakan bayaran yang tak begitu besar, padahal Jou sangat membutuhkan uang banyak dalam waktu singkat.
Semua ini – baik kepindahan Jou ke London dan pencarian pekerjaan – dikarenakan sang Jounouchi Senior. Awalnya, kepindahan mereka dimulai dari niat baik sang ayah untuk memperbaiki hidupnya dan putra sulungnya. Dengan susah payah dan juga hasil dukungan dari Jou sendiri, sang ayah pun akhirnya berhasil menghilangkan kebiasan berjudi dan mabuk-mabukkannya. Bahkan, ia pun mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang cukup besar di sebuah perusahaan di London. Maka, setelah Jou lulus SMA, dia dan ayahnya pergi meninggalkan Domino dan pindah ke London.
Awalnya semua terlihat baik-baik saja. Jou melanjutkan kuliah di bagian seni rupa sambil melakukan kerja sambilan di sebuah restoran setiap hari Sabtu dan Minggu. Pekerjaan sang ayah juga berjalan dengan lancar dan sempurna. Intinya, kehidupan mereka jauh lebih baik dari sebelumnya. Hingga suatu hari...
FLASHBACK
"Aneh... Kenapa banyak sekali mobil yang parkir di sini, ya?" gumam Jou. Dahinya berkerenyit sambil memandangi mobil-mobil sedan berwarna hitam yang parkir dengan rapinya di kiri dan kanan jalan menuju rumahnya. "Apa ada pesta di sekitar sini?"
Belum hilang rasa penasaran Jou, terdengar seruan seperti bentakan yang berasal dari...
"Rumahku?"
Panik dan bingung, Jou segera berlari menuju rumahnya. Belum sampai ia menginjak pekarangan rumahnya sendiri, 2 orang berbadan besar berpakaian serba hitam segera mencegatnya. "Rumah ini sedang tidak menerima tamu." ucap salah satu dari pria berbaju hitam itu dengan kasarnya. "Pergi sekarang juga sebelum aku melemparmu ke jalanan."
"Aku pemilik rumah ini!" seru Jou kesal. Memangnya siapa orang ini? Seenaknya saja mengaturku, pikir Jou. "Pokoknya aku mau lewat sekarang juga! Minggir kalian sebelum aku menghajar kalian hingga babak belur!" Tanpa menunggu kedua pria berbaju serba hitam itu menepi, Jou segera berlari menuju rumahnya.
"Hei!!" Kedua pria itu dengan cekatan menangkap kedua lengan Jou dan berusaha menyeret anak laki-laki berambut pirang itu menjauh dari rumahnya. Pekerjaan yang cukup sulit, karena Jou memberontak sekuat tenaga. Ia terus menendang-nendang tanpa sasaran, berharap akan melukai 2 orang pria yang menahannya sambil berteriak kesal.
"Lepaskan aku, bodoh!" serunya sambil terus meronta.
"Sudah kukatakan rumah ini tidak menerima tamu! Dasar bocah!!" geram seorang pria berbaju hitam yang kesulitan menahan Jou.
"Dan aku sudah bilang kalau aku tinggal disini!" bantah Jou. "Aku punya hak untuk datang dan pergi kapanpun aku mau ke rumah ini! Lepaskan aku!!"
"Diam kau..."
"Ada apa ini?"
Semua pria berpakaian hitam yang berjaga di pekarangan rumah Jou dan juga Jou sendiri segera mengalihkan perhatian mereka ke sosok yang berdiri dengan angkuhnya di ambang pintu. Dilihat dari cara berdirinya, Jou langsung teringat akan seorang CEO muda yang super menyebalkan...
"Maaf, Tuan. Pemuda ini tiba-tiba saja datang dan langsung menerobos masuk." sahut salah seorang laki-laki yang menahan Jou. "Kami sudah memperingatkannya, tapi ia tetap bersikeras untuk masuk."
"Akan kami keluarkan segera, Tuan." sambung laki-laki yang satunya. Ia segera menarik lengan Jou dengan kasar, membuat anak laki-laki berambut pirang itu mengerang kesakitan.
"Hati-hati, bodoh!" bentak Jou. "Lagipula aku sudah bilang kalau aku tinggal disini! Aku punya hak untuk berada disini, sementara kalian tidak. Dan kau!" seru Jou ke arah laki-laki sombong yang masih berdiri dengan angkuhnya di ambang pintu rumahnya. "Memangnya kau siapa?! Lagaknya sudah seperti pemilik rumah saja. Pergi kau dari rumah ini!! Bawa juga pengikut-pengikutmu ini dan jangan pernah datang lagi!"
Tanpa diduga oleh Jou, sang pria sombong itu malah terkekeh saat mendengar ancaman Jou. "Ah. Kau pasti Katsuya, kan? Ayahmu sering cerita tentangmu. Ayo, masuk."
Dengan ragu-ragu, kedua orang berpakaian hitam itu melepaskan cengkeraman mereka dari kedua lengan Jou. Dengan sebal dan tak sabaran, Jou segera menjauh dari 2 orang itu dan berjalan menuju pintu. Ditatapnya laki-laki misterius itu dengan tatapan penuh curiga dan waspada. Ia tidak pernah melihat laki-laki itu. Jou tidak mungkin lupa dengannya karena pria ini memiliki wajah yang tampan. Ia memiliki rambut berwarna hitam yang ikal dan sepasang bola mata berwarna biru yang – lagi-lagi – mengingatkannya pada Kaiba.
Brengsek! Kenapa aku malah teringat si Mesin Uang itu? Konsentrasi, Jou. Konsentrasi... pikir Jou.
Pria misterius itu tersenyum dan membimbing Jou menuju ke ruang tamu. "Maaf, aku lupa memperkenalkan diriku. Namaku Tom Riddle. Aku teman bisnis ayahmu."
"... Jounouchi Katsuya... Ada urusan apa Anda datang kesini?" tanya Jou, curiga.
"Aku datang untuk membicarakan bisnis dengan ayahmu, tentu saja. Aku baru saja mendapat kabar buruk bahwa bisnisnya gagal. Bukan keuntungan yang didapat, tapi malah kerugian. Dan perlu kutekankan disini bahwa kerugian yang diderita sangat amat besar." Riddle mendesah kecewa dan menggelengkan kepalanya pelan.
"Gagal? Jadi..."
"Dan aku datang ke rumah ini untuk menyampaikan berita baik dan berita buruknya."
"Apa itu?"
"Berita baiknya, kerugian itu tidak berpengaruh apapun dengan bisinisku. Selain itu, aku akan mendapatkan uang tambahan dari kerugian itu." ucap Riddle, masih tersenyum. Tangannya perlahan bergerak melingkari pundak Jou dan merangkul anak laki-laki itu. "Berita buruknya, ayahmu harus membayar kerugian itu padaku."
Mata Jou membelalak lebar saat mendengar perkataan Riddle. "Be... Berarti ayahku berhutang padamu?"
"Bisa dibilang begitu." balas Riddle dengan entengnya. "Ah. Kita sudah sampai di ruang tamu."
Di ruang tamu, duduk Jounouchi Kousuke. Wajahnya terlihat panik dan ketakutan. Matanya terus mengerling ke arah pistol yang berada tepat di samping keningnya.
"Ayah!!" seru Jou panik. Belum sempat Jou memerintahkan kakinya untuk berlari ke tempat ayahnya, Riddle dengan sigapnya meraih pinggang Jou dan menahan mantan duellist pirang itu untuk bergerak lebih jauh. Bahkan, pebisnis itu tidak memberikan ruang gerak sedikitpun untuk Jou.
"Beruntung kau datang di saat yang tepat, Katsuya." bisik Riddle ke telinga Jou. "Mungkin kita bisa membahas masalah pembayaran denganmu juga."
"T... Tom... Kumohon. Jangan bawa Katsuya ke dalam masalah kita. Ia tidak tahu apa-apa." pinta Kousuke. Melihat tidak ada reaksi apapun dari Riddle, ia perlahan berdiri dari kursinya. Namun, mulut pistol yang ditodongkan kepadanya semakin ditekan seolah-olah memperingatinya untuk tidak berbuat macam-macam atau nyawanya melayang.
"Begini, Kousuke." gumam Riddle sambil berjalan mendekati tempat duduk Kousuke. Jou masih berusaha sekuat tenaga untuk lepas dari cengkeraman Riddle, namun sayangnya ia kalah kuat dibandingkan Riddle. "Hutangmu, kan, tidak terlalu besar. Hanya sekitar 50.000 Galleon atau selebihnya. Jadi, omonganku mengenai penyitaan rumah ini kubatalkan. Lagipula, kasihan putramu ini kalau sampai harus kehilangan tempat tinggal."
"Be... Benarkah? Terima ka..."
"Tapi, aku ingin hutang itu dibayar lunas dalam waktu 1 bulan."
Jou dan Kousuke menatap Riddle dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana caranya mereka dapat melunasi hutang sebesar 50.000 Galleon dalam kurun waktu 3 bulan? Jumlah itu sama dengan total biaya hidup mereka selama 5 tahun. Orang ini gila, pikir Jou.
"Tapi, itu tidak mung..."
"Aku tidak peduli bagaimana caranya, yang jelas kau harus membayar hutangmu. Dan jika kau belum membayarkannya padaku sebelum tenggat waktu, aku akan datang dan mengambil 'pembayaran'nya sendiri."
Jou merasakan tangan yang melilit pinggangnya mulai melonggar. Tanpa berpikir lagi, ia segera membebaskan dirinya dari Riddle dan menjauh, sambil menarik tangan ayahnya menjauhi pistol. "Kau gila!" serunya marah. "Bagaimana mungkin ayah bisa mencari uang sebesar itu dalam waktu 1 bulan saja!?"
"Aku tidak tahu dan juga tidak peduli." balas Riddle santai. "Lagipula, kau bisa membantunya, bukan? Daripada kau melanjutkan kuliahmu itu, lebih baik kau bekerja saja." Riddle lalu terdiam beberapa saat, seolah-olah ia menyadari sesuatu dan tertawa. "Kau tahu, Katsuya? Kau benar-benar mengingatkanku pada seseorang. Ya. Walaupun ia lebih muda 2 tahun darimu, kalian berdua sangat mirip. Ia juga memiliki rambut keemasan sepertimu. Bahkan warna matamu mengingatkanku padanya. Tapi, ia lebih tenang, tidak sepertimu yang cepat naik darah."
"Memangnya kenapa kalau aku cepat marah, hah!?" protes Jou. Baru pertama kali ia bertemu orang yang jauh lebih menyebalkan dari Kaiba.
Riddle hanya membalas protes dari Jou dengan seulas senyum dingin. "Urusan kita sudah beres disini, Fenrir." ucapnya pada laki-laki yang sesaat lalu menodongkan senjata ke arah Jounouchi Kousuke. "Sampai jumpa 1 bulan lagi." Dan ia pun pergi meninggalkan Jou dan ayahnya terpaku di ruang tamu.
Kousuke langsung jatuh terduduk saking lemasnya. Tubuhnya yang lebih besar dari Jou gemetar hebat setelah beberapa lama berada di bawah tekanan Riddle. "Bagaimana ini?" keluhnya. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. "Aku tidak mungkin membayar hutang sebanyak itu dalam waktu 1 bulan..."
Jou melihat sosok ayahnya yang terpuruk dengan tatapan sedih. Hutang 50.000 galleon bukanlah hutang yang sedikit, dan waktu pembayarannya pun sangatlah singkat. Jou menghela napas panjang dan menepuk punggung ayahnya, mencoba untuk menenangkan laki-laki yang lebih tua itu. "Tenang saja, ayah." ucap Jou sambil tersenyum. "Aku akan membantu ayah mencari uang tambahan untuk membayar hutang."
"Bagaimana dengan kuliahmu?" tanya ayahnya.
"Mungkin aku akan ambil cuti untuk beberapa minggu. Tenang saja. Semua pasti bisa berjalan dengan lancar. Dengan tabungan yang kita miliki dan kerja tambahan, pasti kita akan sanggup melunasi hutangnya."
END OF FLASHBACK
Jou mengerang pelan. "Mudah bagiku untuk bicara seperti itu..." geramnya. "Aku tidak menyangka kalau mencari pekerjaan bergaji besar itu sesulit ini. Kalau pun ada, kriterianya terlalu banyak. Menyebalkan!" Jou melirik jam tangannya dan menyadari kalau ia sudah berjalan sepanjang hari dan matahari pun mulai condong ke Barat. "Sepertinya sudah waktunya aku pulang..."
Jou hendak membalikkan badannya, namun langkahnya terhenti begitu melihat sebuah papan lowongan kerja terpampang di kaca sebuah kafe. Penasaran dengan apa yang ditawarkan kafe itu, Jou mendekati kafe itu dan membaca perincian lowongan kerja yang ditawarkan.
DICARI
Pria atau wanita berumur kurang dari 25 tahun. Mau bekerja malam hari dari pukul 20.00-02.00 tiap harinya. Bersedia mengenakan seragam yang sudah disediakan oleh pemilik kafe tanpa pertanyaan apapun. Upah akan dibayarkan per harinya sebesar 10 Galleon (belum termasuk bonus lembur)
Melihat upah yang ditawarkan, mata Jou membelalak lebar. Ini adalah tawaran pekerjaan paling menggiurkan yang pernah ia temukan sepanjang hari ini. Hanya bekerja beberapa jam di kafe sebagai pelayan dan mendapatkan bayaran sebesar 10 Galleon. Belum lagi jam kerjanya yang dimulai dari jam 8 malam membuat Jou memiliki kesempatan untuk mencari kerja tambahan di siang harinya. Ditambah lagi, akan ada bonus lembur!
"Tapi..." Jou membaca ulang papan lowongan kerja itu dengan dahi berkerenyit. "Kenapa ditulis 'bersedia mengenakan seragam yang sudah disediakan oleh pemilik kafe tanpa pertanyaan apapun', ya?? Mencurigakan..." Jou termenung sesaat sambil memikirkannya, namun iming-iming upah besar membuat otaknya tidak berjalan lancar. "Yasudah, lah. Lebih baik aku melamar sekarang saja sebelum lowongannya ditutup." Dan dengan langkah pasti Jou memasuki kafe itu.
Jou duduk termenung di ruang ganti kafe yang ternyata memiliki nama 'Muggle's Lovers' itu. Ia menatap tidak percaya ke kotak berisi seragamnya. Ya. Jou telah mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan baru di kafe itu. Ia hanya perlu duduk, menceritakan sedikit tentang dirinya dan voila! Jou mendapatkan pekerjaan itu. Hanya saja...
"French maid?" desis Jou setengah tidak percaya dan setengah jijik saat mengeluarkan seragamnya. "Yang benar saja... Masa' aku harus pakai pakaian perempuan?! Kafe macam apa, ini?!" keluh Jou. Ia mengambil name tag yang terletak di dasar kotak dan mendengus saat membaca nama yang tertera. "'Josephine'... yang benar saja. Aaarrrgghh!! Yang bodoh itu aku! Mau saja melamar pekerjaan yang mencurigakan seperti ini. Baka!" rutuk Jou, kesal dengan kebodohannya sendiri.
Jou terduduk lemas dan menutupi wajahnya. Bagaimanapun juga, ia sudah menandatangani kontrak dengan sang pemilik kafe, Molly Weasley. Di kontrak itu tertulis jelas kalau ia tidak bisa mengundurkan diri setelah 6 bulan kerja. Jadi, ia harus terperangkap di kafe itu selama 6 bulan mengenakan seragam aneh yang disodorkan padanya.
"Bodoh..." gumam Jou dari balik telapak tangannya. "Bodoh, bodoh, bodoh, bodoh, bo..."
"Siapa yang bodoh?"
Jou mendongak terkejut saat mendengar seseorang berbicara padanya. Ia menoleh ke arah asal suara dan menemukan seorang anak laki-laki mengenakan seragam SMU berdiri di ambang pintu. Ia juga membawa 1 kotak berisi seragam. Anak laki-laki berambut emas dan bermata emas itu tersenyum hangat sambil berjalan ke samping Jou.
"Uum... Bukan siapa-siapa." balas Jou gugup. "Aku hanya bicara pada diriku sendiri, kok."
"Oh." Anak laki-laki berambut emas itu melirik ke kotak berisi seragam yang tergeletak tak berdosa di samping Jou. Ia tersenyum sambil menatap Jou, seolah-olah ia tahu inti permasalahannya. "Soal seragam, ya?"
Dengan malu-malu, Jou mengangguk pelan.
"Aku juga begitu sewaktu hari pertama kerja disini." ucap pemuda itu. Senyum manis masih terus menghiasi wajah imutnya. "Aku sempat berpikir kalau kafe ini adalah kafe dimana pelayannya bukan hanya menjual makanan dan minuman, tapi juga menjual diri."
Jou mengangguk penuh pengertian. Pemuda ini benar-benar mengerti apa yang ada dipikiran Jou, seolah-olah ia bisa membaca pikiran.
"Tapi, ternyata tidak. Kafe ini benar-benar hanyalah kafe biasa dengan makanan dan minuman terenak yang tak akan pernah kau temui dimanapun di Inggris. Selain itu, tertulis jelas di pintu masuk 'MAKHLUK MESUM DILARANG MASUK', kok. Dan kita juga punya keamanan yang dengan senang hati mau menolong kita saat kita digoda." Pemuda itu kembali tersenyum. "Nah. Ayo, ganti baju. Kafe akan dibuka sebentar lagi."
Jou mengangguk pelan, sedikit antusias dengan pekerjaan barunya ini. Perlahan, Jou mulai melepas pakaiannya satu persatu, begitu pula pemuda yang ada disampingnya. "Oiya," kata Jou. "Aku lupa memperkenalkan diriku. Namaku Jounouchi Katsuya."
Pemuda itu tersenyum sebelum membalas, "Aku Remus Lupin. Aku lebih dikenal sebagai Carrie di kafe ini daripada Remus atau Lupin." Remus melirik ke dalam kotak seragam milik Jou. "Kau dapat nama apa?"
"Eh? Oh! Namaku Josephine."
Remus tersenyum. "Salam kenal, Josephine." ucapnya dan iapun melanjutkan mengganti pakaiannya.
"Umm... Apa kau nanti ikut melayani di luar?" tanya Jou ragu-ragu. Jujur, ia sedikit gugup. Ini adalah kali pertamanya ia berkerja sambil mengenakan pakaian wanita. Paling tidak, jika Remus ada di sampingnya, ia bisa sedikit lebih tenang dan bisa bertanya tanpa ragu padanya.
Wajah Remus yang ceria mendadak berubah menjadi sendu dan sedih. Perlahan, ia menggeleng pelan. "Tidak malam ini." sahutnya. "Aku akan bekerja di dapur. Ada tamu yang ingin kuhindari hari ini..."
"Oh..."
"Aku pulang." seru Jou begitu ia membuka pintu rumah. Sayangnya, tidak ada jawaban sama sekali dari dalam rumah.
Jou berjalan memasuki rumahnya yang gelap gulita. Aroma alkohol samar-samar tercium hidungnya. Alkohol? pikir Jou. Ayahku sudah berjanji tidak akan minum lagi. Tidak mungkin rumah ini berbau alkohol. Apa mungkin...?
"Ayah? Apa kau di rumah?" panggil Jou. Dengan susah payah, ia berusaha mencari saklar lampu. Begitu lampu menyala, duellist pirang ini tidak percaya apa yang ia lihat.
Botol alkohol berserakan dimana-mana.
Piring-piring kotor dan satu kotak bekas pizza tergeletak di atas meja di depan TV yang masih menyala.
Puntung rokok bertebaran dimana-mana, mengotori parket yang biasanya selalu bersih.
"Tidak mungkin..." Jou menatap kondisi rumahnya dengan penuh ngeri. Ingatan-ingatan akan masa-masa dimana ayahnya selalu mabuk mulai kembali. Ingatan buruk mengenai kebiasan minum ayahnya itu juga secara tak langsung mengingatkannya akan luka-luka yang menghias tubuh kurus Jou, entah itu memar atau luka sayatan. "Tidak mungkin..." bisik Jou sedih. Ia berusaha untuk tidak mempercayai apa yang telah ia lihat. Tidak. Ia tidak mau mempercayainya. Ayahnya sudah berjanji. Ia sudah berjanji...
"Kemana saja kau selarut ini baru pulang?"
Jou memutar tubuhnya dan menemukan ayahnya berdiri di ambang pintu kamarnya. Wajahnya memerah karena mabuk dan pakaiannya berantakan. Tangan kirinya menggenggam sebotol bir yang sepertinya sudah habis.
"A... ayah, kenapa ayah..."
"Aku tanya, kemana saja kau baru pulang setelah larut malam begini, hah?!" bentak ayahnya sambil berjalan mendekati Jou. Wajahnya menyiratkan amarah yang Jou ingat benar akan berakhir dengan ia tersungkur di lantai, penuh luka.
"A... aku mendapatkan pekerjaan." jawab Jou pelan. Ia mengambil langkah mundur tiap kali ayahnya mengambil langkah maju.
"Pekerjaan?" ulang Jounouchi Kousuke sambil terus berjalan maju ke arah Jou.
"I... Iya. Sayangnya, pekerjaan itu dimulai pukul 8 malam dan selesai sekitar jam 2 pagi." Jou mengambil satu langkah mundur untuk menghindari ayahnya. "Maaf. Aku lupa memberitahumu. Aku baru saja melamar pekerjaan itu siang ini dan tidak menyangka akan langsung diminta kerja pada hari yang sama. Ma..."
Belum sempat Jou menyelesaikan kalimatnya, tangan kanan Kousuke melayang ke pipi kiri Jou dan meninggalkan bekas yang menyengat. Jou yang tidak siap dengan serangan dari ayahnya itu, jatuh tersungkur sambil mengerenyit kesakitan.
"Dasar anak tidak berguna!!" seru sang ayah. Ia melancarkan sebuah tendangan tepat ke rusuk Jou, membuat anaknya mengerang kesakitan. "Untuk apa aku membelikanmu telepon selular kalau tidak kau gunakan, hah?!" Ia kembali menendang rusuk Jou.
"Aku benar-benar lupa, ayah! Ma... Maafkan aku. Kumohon, hentikan...!" pinta Jou.
"Maaf?! Kau sudah membuatku khawatir setengah mati, kau tahu itu?!" geram Kousuke. Direngkuhnya kerah baju Jou dan ditariknya Jou ke posisi berdiri. Dengan kasarnya, ia dorong anak lelakinya semata wayang hingga kepalanya membentur tembok dengan suara yang mengerikan. Kousuke mendekatkan wajahnya ke tubuh Jou dan mengendus, seolah-olah ia berusaha menangkap aroma yang menempel di tubuh anaknya. "... bau parfum..."
"Eh?"
"Tubuhmu penuh bau parfum. Pria dan wanita." desis Kousuke. Ditatapnya Jou dengan tatapan curiga. "Pekerjaan yang dimulai malam hari dan berakhir dini hari... Wangi parfum... Dan apa itu di matamu? Maskara?"
Jou mulai bisa menangkap pikiran ayahnya. "Ti... Tidak. Ayah salah paham. Aku tidak bekerja seba..."
"Kau menjual tubuhmu untuk mendapatkan uang." potong Kousuke. Amarah tergambar jelas di wajahnya.
"Bu... Bukan begitu, ayah. A... Aku bisa jelaskan..."
Tanpa basa-basi, Kousuke melempar Jou dengan ringannya ke seberang ruangan. Tubuh besarnya mendekati Jou dengan gerakan berbahaya. "Aku tidak terima ada pelacur di rumah ini." geramnya. "Aku tidak menerima pelacur tinggal bersamaku!" Diraihnya segenggam rambut pirang Jou dan perlahan namun menyakitkan ditariknya putranya itu hingga wajah mereka berdekatan. "Dan aku tidak terima anakku menjual dirinya sepertimu!!" serunya. Aroma alkohol yang menyengat tercium sangat jelas, membuat Jou ingin muntah.
"Bukan begitu..." Jou berusaha sebisanya untuk menjelaskan pada ayahnya, namun sang ayah sama sekali tidak mau mendengar perkataannya.
"Anak kurang ajar!!" Satu pukulan mendarat telak di pipi kiri Jou, meninggalkan bekas lebam berwarna biru kehitaman yang tidak menarik. "Aku sudah susah payah membesarkanmu dan kau malah menyianyiakan hidupmu?!" Kali ini tendangan keras mengenai perut Jou, membuat duellist pirang itu mengerang kesakitan. "Kau hanya membuang-buang uangku saja!" Sebuah tinju yang sangat keras dihempaskan oleh Kousuke tepat ke arah dada Jou. "Kalau kau tidak ada, pasti aku akan dengan mudah membayar hutangku pada Riddle!" Tendangan keras mengenai tulang kering Jou. "Dasar pelacur!!" seru Kousuke sambil terus menendangi dan memukuli Jou yang tak berdaya. "Pelacur sepertimu seharusnya mati saja! Kau dengar itu?! MATI!!"
Kousuke menghentikan serangannya dan berjalan menjauhi sosok Jou yang terkapar di lantai penuh luka dan lebam. Rasa sakit menyergap seluruh tubuhnya tiap kali ia bergerak. Bahkan tiap tarikan napasnya sangatlah menyakitkan. Napasnya tersengal-sengal, lelah setelah mendapat tendangan dan pukulan yang tak terhitung jumlahnya. Paling tidak ia sudah pergi, pikir Jou tenang. Aku bisa beristirahat sebentar disini. Aku tidak kuat kalau harus berjalan lagi ke kamarku, pikirnya. Matanya perlahan-lahan mulai menutup dan kantuk mulai menyergap.
"Selamat datang!!"
Jou mengerang pelan saat ia melihat sosok laki-laki yang telah menyentuhnya secara tidak senonoh di hari pertamanya bekerja di kafe. Pria berambut hitam legam itu selalu saja datang bersama dengan kedua temannya yang berkacamata dan satu lagi sedikit berisi. Gaya angkuh si laki-laki berambut hitam itu benar-benar mengingatkannya akan sebuah sosok tinggi tegap yang selalu mengenakan trench coat panjang berwarna putih. Belum lagi kepopulerannya juga mengingatkan akan sosok sombong di Domino dengan para groupiesnya itu. Groupies... CEO sombong itu juga sering mengatai dirinya sebagai pemandu sorak Yuugi dan Yami tiap kali duel. Yuugi... Yami... Honda... Anzu... Ryou... Otogi...
"Bodoh..." bisik Jou lirih. "Sekarang aku malah teringat teman-temanku. Semua ini salah Kaiba!" geram Jou. Diletakkannya nampan berisi piring kotor di troli dengan kasar, membuat beberapa tamu tersentak kaget. Bahkan salah satu tamu ada yang berbisik, "Cantik-cantik tapi galak, ya..." yang membuat Jou mendelik sebal ke arah tamu tak sopan itu. Jou mendengus gusar dan kembali ke posnya. Saat itulah ia mendengar bel tanda pengunjung masuk berbunyi.
"Joey." panggil seorang pelayan berambut pink terang bernama Dora. "Coba kau layani tamu di meja nomer 3." lanjutnya sambil menyerahkan 2 buku menu kepada Jou.
"Baiklah..." balas Jou lemas. Sebenarnya, kemarin malam ayahnya lagi-lagi memukulinya hingga ia pingsan. Bahkan, ia baru terbangun sekitar pukul 10 pagi. Beruntung ayahnya sedang pergi membeli minuman keras. Kalau tidak, ia pasti akan lebih babak belur dari sekarang.
Minuman keras... Pada akhirnya, Jounouchi Kousuke kembali lagi ke kebiasaan awalnya, yaitu minum minuman keras saat putus asa. Ya. Ia sangat putus asa mengenai hutang yang luar biasa besarnya itu. Ia mencoba untuk melupakan kesulitan hidupnya dengan alkohol, bahkan ia meninggalkan pekerjaan tetapnya. Semua uang tabungan dan hasil yang telah didapat Jou ia pergunakan untuk membeli minuman baru, bahkan kadang berjudi. Uang tabungan mereka perlahan-lahan mulai ini membuat Kousuke semakin depresi. Semakin depresi, maka ia semakin berusaha melupakannya dengan tenggelam di lautan alkohol.
Jou menggelengkan kepalanya perlahan, mencoba untuk melupakan masalah hidupnya saat itu. Ia sekarang harus melayani pelanggan dan tidak boleh terlihat muram. Dengan senyum manis yang berhasil ia keluarkan, Jou berjalan dengan langkah pasti menuju meja nomer 3. "Selamat malam! Ini men..."
Mata Jou membelalak.
Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Tamu yang duduk dihadapannya adalah orang yang selama ini terus menghantuinya siang dan malam. Orang yang selalu ia benci segenap hatinya, dan orang yang selalu ia rutuk setiap kemalangan menimpanya. Orang paling sombong yang pernah ia temui. Orang yang ingin sekali Jou hindari.
Kaiba Seto.
"Terima kasih menunya, nona." kata seorang laki-laki paruh baya yang duduk di depan Kaiba. Dari pakaiannya, sepertinya ia adalah teman bisnis Kaiba. Kemungkinan besar, orang ini pula yang mengajak Kaiba ke kafe itu. Pria paruh baya itu langsung mengambil 2 buku menu yang dibawakan Jou tanpa permisi dan langsung memberikannya pada Kaiba yang masih menatap Jou dengan kedua mata birunya. Intensitas pandangannya seolah-olah menembus kulit luar Jou dan meresap masuk ke dalam tubuhnya, membaca semua yang ada di pikiran Jou.
Merasa tidak sanggup lagi untuk terus berdiri di tempat itu, Jou memutuskan untuk pergi. "Ka... Kalau kalian sudah menetapkan ingin memesan apa, silakan panggil pelayan." Ia memberikan anggukan pelan dan segera pergi dari hadapan Kaiba.
"Joey? Kau kenapa? Wajahmu pucat. Apa kau sakit?" tanya Alice khawatir.
"Ti... Tidak. Aku tidak apa-apa." balas Jou gugup. Ia benar-benar gugup. Ia tak menyangka sama sekali Kaiba Seto akan datang berkunjung ke kafe tempatnya bekerja. Dan tatapannya itu seolah-olah ia mengenali Jou. Apa Kaiba betul-betul sudah tahu sosok asli Jou?
"Joey!" Terdengar suara Dora memanggilnya dari meja kasir. Ia menunjuk-nunjuk meja nomer 3 dimana sang pria paruh baya yang datang bersama Kaiba sedang mengangkat tangannya, meminta untuk dilayani.
Jou menatap meja nomer 3 dengan khawatir. Ia menggeleng pelan, mengatakan dengan jelas kalau ia tidak mau kembali ke meja itu. Tapi, Dora terus memaksanya ke meja itu dengan alasan tidak ada pelayan yang menganggur selain dia. Setelah menarik napas panjang beberapa kali, Jou kembali melangkah menuju meja nomer 3. Kali ini, jantungnya berdegup dengan kencang, seolah-olah dadanya akan pecah. Ia bahkan khawatir Kaiba dan teman bisnisnya bisa mendengar detak jantungnya.
"Mau pesan apa, Tuan-Tuan?" tanya Jou dengan suara wanitanya. Ia berusaha sebaik mungkin untuk mengeluarkan senyum manisnya, meskipun itu dibuat-buat.
"Aku mau pesan makanan pembukanya udang goreng tepung, makanan utamanya sirloin steak, dan makanan penutupnya banana split. Oh, iya. Aku mau satu gelas Firewhiskey ukuran besar, ya." tuturnya sambil tersenyum dan mengembalikan buku menu kepada Jou. "Dan Kaiba, kau pesan apa?"
"Ah. Ya." Kaiba melirik menu yang ada di tangannya dengan singkat. "Aku pesan tuna sandwich dan kopi. Itu saja." katanya sambil mengembalikan menunya.
Benar-benar tipikal Kaiba Seto. Kalimatnya jelas, tertata rapi, dan tanpa cela. Nada suaranya menunjukkan kesuperiorannya. Wajahnya yang tanpa ekspresi dan sorot matanya yang dingin itu membuat sosoknya semakin disegani oleh siapapun.
Oh... Betapa Jou merindukannya...
"Baik. Silakan tunggu beberapa menit." Jou membungkuk sopan dan segera pergi untuk menyerahkan pesanan kedua orang itu kepada koki.
"Pesanan untuk meja nomer 3!!"
Jou segera mengambil nampan berisi pesanan Kaiba dan rekan bisnisnya dengan cekatan. Sejujurnya, ia tidak mau kembali ke meja itu, tapi apa boleh buat. Sebagian besar pelayan sedang sibuk melayani tamu-tamu kafe yang entah kenapa hari ini membludak. Jadi, terpaksa ia kembali menghadapi tatapan dingin seorang Kaiba Seto seorang diri...
Jou berjalan dengan hati-hati sambil membawa nampan berisi sirloin steak, tuna sandwich, secangkir kopi, dan segelas besar Firewhiskey. Jou begitu fokus pada jalurnya, ia bahkan tidak menyadari kalau Kaiba terus mengikutinya sejak ia keluar dari dapur.
"Kau tahu," bisik Kaiba pelan, sehingga hanya ia dan Jou yang mendengar perkataannya. "Sejak pertama kali aku melihatmu, aku langsung jatuh hati. Bahkan aku sudah menyimpan fotomu di dalam loket ini." lanjutnya sambil memainkan kalung berbentuk kartu yang menggantung di lehernya.
Jou mendengus. "Yeah... Kenapa kau tidak bilang saja sekalian di dalam situ kau menyimpan foto Pegasus? Jelas-jelas foto di dalam situ foto adikmu, Mokuba..."
Langkah Jou terhenti. Wajahnya memucat. Ia baru saja menyadari apa yang baru saja ia ucapkan.
Gawat...
Jou melirik ke arah Kaiba dengan perasaan bercampuraduk; panik, takut, khawatir, dan perasaan-perasaan lainnya yang sulit dideskripsikan oleh Jou. Ia sangat berharap Kaiba tidak mendengar apa yang baru saja ia ucapkan, apalagi suaranya tidak terlalu keras. Semoga... Sialnya, Kaiba memiliki pendengaran yang sangat baik, dan sekarang, laki-laki berambut coklat itu tersenyum penuh kemenangan. Tangannya dilipat di depan dadanya, menambahkan kesan angkuh dan mengintimidasi.
"Sudah kuduga itu kau, Mutt." bisiknya. Ada sedikit nada bangga pada dirinya sendiri yang telah berhasil membongkar penyamaran Jou.
Jou tertawa panik. Keringat dingin mulai mengucur di keningnya dan tubuhnya gemetar. "A... Apa maksud Tuan? Aku tidak mengerti sama sekali. Bukankah ini kali pertamanya kita bertemu?"
"Jangan pura-pura bodoh, Jounouchi." kata Kaiba ketus. "Kau pikir kau bisa mengelabuiku dengan penyamaran bodoh seperti itu? Walaupun awalnya aku sempat terkecoh dan mengira kau perempuan sungguhan..."
"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan." Jou berbalik dan mulai berjalan menuju meja nomer 3. Ia berusaha sebisa mungkin untuk menghiraukan Kaiba yang terus mengekornya. Bahkan, CEO Kaiba Corp itu mengikutinya dengan jarak yang terlalu dekat bagi Jou. Tiap kali pundak mereka selalu bersentuhan entah tanpa sengaja atau disengaja.
"Aku yakin kau tahu maksudku, Jou." desis Kaiba. Ia terus mengikuti Jou sambil berbisik di telinga duellist pirang itu. "Aku hanya penasaran, sebenarnya apa yang kau lakukan disini?"
"Bukan urusanmu, Moneybags!" Sial. Jou kelepasan lagi...
Jou betul-betul ingin menghajar senyum penuh kemenangan yang terpampang di wajah tampan sang CEO muda itu. Dari dulu hingga sekarang, hanya senyum itu saja yang selalu sukses membuat darah Jou mendidih. Kalau bukan karena tamu-tamu yang memenuhi kafe, ia pasti sudah mendaratkan pukulan telak ke wajah CEO muda itu. Lagipula, Jou tidak perlu menarik perhatian tamu-tamu lainnya dengan menghajar Kaiba. Perhatian semua tamu, bahkan para pelayan, sudah terarah padanya dan Kaiba. Sebagian besar seperti mencurigai kedekatan Jou dan Kaiba yang melebihi batas seorang pelanggan dan pelayan.
"Menjauhlah sedikit, Kaiba." bisik Jou dengan gusar. "Kau menarik perhatian yang lainnya kalau berdiri sedekat ini!"
"Aku tidak mau menjauh kalau kau tidak mengakui dirimu, Jounouchi." balas Kaiba dengan tenang. Bahkan untuk mempertegas pernyataannya, ia semakin memperkecil jarak diantara mereka berdua hingga sama sekali tidak ada udara hampa yang membatasi tubuh mereka.
Merasakan keintiman yang tiba-tiba itu, wajah Jou memerah. "Oke! Aku mengaku! Ini aku, Jounouchi! Kau puas sekarang, Kaiba?!" geram Jou.
Kaiba tersenyum puas dan kemudian menjauh. "Sangat puas." balasnya. Ia terus mengikuti Jou sampai ke mejanya sendiri, yaitu meja nomer 3. Jou tersenyum pada pria gemuk yang ada di meja itu sambil meletakkan pesanan. Jou baru saja memutar tubuhnya, namun Kaiba menghalanginya dan berbisik pelan, "Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau bisa ada disini?"
"Dan aku sudah bilang kalau itu bukan urusanmu. Permisi." Dan Jou pun pergi meninggalkan Kaiba.
Alice, Dora, dan Carrie segera menghampiri Jou dengan raut wajah sangat khawatir.
"Kau tidak apa-apa?"
"Dia tidak melukaimu, kan?"
"Apa perlu kuhajar pria tadi?"
Jou mendesah saat mendengar perkataan teman-temannya yang kelewat khawatir itu. Senyum kecil menghiasi bibirnya ketika teringat dengan teman-temannya saat ia tinggal di Domino. Mereka juga sama protektifnya pada Jou. Apalagi Yuugi. Tiap kali Jou terlihat murung, pria mungil itu pasti akan menghampirinya dengan wajah khawatir dan berusaha semampunya untuk membuat Jou kembali ceria.
Betapa Jou merindukan Domino. Dengan kehadiran Kaiba hanya membuat hatinya semakin rindu akan kehangatan teman-temannya.
"Sudahlah." ucap Jou. "Yang penting aku tidak apa-apa, kan? Lagipula, kami teman sekolah, jadi tadi itu hanya percakapan biasa."
"Percakapan biasa?" ulang Alice. Ia melirik ke arah meja nomer 3 dimana Kaiba dan rekan bisnisnya sedang menyantap makan malam mereka. Kaiba terlihat tenang sementara sang pria gemuk yang duduk di depannya berusaha menyantap steak dan Firewhiskey dengan sekali suap. Alice kembali mengalihkan pandangannya pada Jou. "Apa kau yakin? Soalnya, tadi kau terlihat kurang nyaman."
"Bagaimana mungkin bisa nyaman!?" geram Carrie – yang sebenarnya adalah Remus – sambil merangkul pundak Jou. "Pria tadi tahu identitas Joey! Tentu saja ia merasa tidak nyaman."
"Benarkah itu?" tanya Alice sambil menatap tidak percaya, yang kemudian dibalas oleh duellist pirang itu sebuah senyum hambar.
"Sayangnya, ia tahu." gumam Jou. "Biarkan saja. Lagipula, aku yakin dia tidak akan membeberkannya ke semua pengunjung atau pelanggan kafe. Dia tipe orang yang berusaha menghindari sorotan orang, dimanapun dan kapanpun."
Sudah hampir 2 minggu berlalu sejak Jou pertama kali bertemu Kaiba di kafe. Dan sejak saat itu pula Kaiba menjadi pelanggan tetap kafe itu. Ia selalu datang setiap hari sejak pukul 11 malam dan pulang paling terakhir (selain seorang pelanggan lainnya yang bernama Sirius Black. Mereka berdua selalu menjadi pelanggan yang pulang paling terakhir, bahkan sampai harus diusir oleh keamanan). Selama kunjungannya ke kafe, Kaiba tidak pernah mau dilayani oleh pelayan lain selain Jou (begitu pula dengan Black yang tidak mau dilayani oleh pelayan lain selain Carrie). Jika ada pelayan yang berani menghampiri mejanya, walaupun dengan senyum semanis apa pun, Kaiba akan memandangnya dengan dingin dan mengusirnya.
"Aku hanya mau dilayani oleh Jou." ucapnya dengan nada dingin khas seorang Kaiba. Mata birunya menusuk tajam, membuat Alice yang waktu itu terpaksa harus menghampiri mejanya karena tidak ada pelayan yang lowong, termasuk Jou.
Ujung mata Alice berkedut sedikit karena menahan kesal. "Tapi, Joey sedang sibuk." kata Alice dengan suara dan senyum manis yang dibuat-buat."Untuk sementara biar aku yang..."
Kaiba membanting gelas minumannya dengan cukup keras, membuat semua orang yang berada tak jauh dari mejanya terlonjak. Tak terkecuali Alice yang sewaktu itu berdiri persis di depan Kaiba.
Kaiba mendongak, menatap Alice dengan tatapan mata ekstra dingin. "Apa kau tuli? Aku bilang, aku hanya mau dilayani oleh Jou!"
Tidak tahu harus berdebat seperti apa lagi, Alice segera menyingkir dari hadapan Kaiba dan memanggil Jou.
"Dia memintamu untuk melayaninya. Lagi..." gumam Alice. Mukanya pucat. Itu adalah kali pertama ia berhadapan langsung dengan sang CEO Kaiba Corp. yang terkenal galak. Selama ini, ia hanya menertawakan setiap pelayan yang mencoba untuk melayaninya. Wajah pucat dan tubuh mereka yang gemetaran selalu menghibur Alice disela-sela waktu kerja. Sekarang, ia mengalami sendiri dan ia tidak menganggap hal ini lucu sama sekali.
Jou mendesah. "Bisa kau layani ia sebentar?" ucapnya. "Aku harus melayani meja nomer 14." lanjutnya sambil mengambil nampan berisi pesanan meja nomer 14.
Belum sempat Jou membalikkan badannya dan pergi menuju meja nomer 14, Alice langsung menyambar nampan itu dan berjalan menuju meja nomer 14. Jou mendesah panjang. Lagi-lagi ia harus melayani Kaiba. Dengan malas-malasan, ia mengambil buku menu serta sebuah catatan, dan segera berjalan menuju meja dimana Kaiba berada.
"Silakan, menunya." gumam Jou sambil menyerahkan menu pada Kaiba yang membalas 'hnh'. "Kau tahu, Kaiba. Tidak seharusnya kau membentak Alice dan pelayan-pelayan lainnya seperti itu. Mereka ketakutan setengah mati, kau tahu?"
Kaiba mendengus sambil membolak-balik lembar-lembar menu. "Mereka saja yang terlalu rendah untuk berbicara denganku. Dasar pengecut. Sama saja seperti bawahan-bawahanku yang tidak kompeten semua. Ugh. Bicara tentang bawahan jadi mengingatkanku akan perusahaan." Kaiba menyerahkan kembali buku menu pada Jou sambil memijit-mijit pelipisnya. "Aku pesan yang seperti biasanya saja."
Jou segera mencatat pesanan Kaiba dan berbalik menuju dapur. Sebelum Jou beranjak dari tempatnya, Kaiba meraih pergelangan tangan Jou dan dengan efektif menahan pelayan berambut pirang itu untuk pergi.
"Pertanyaan yang sama, Mutt." bisik Kaiba. Matanya terus menatap kedua bola mata coklat milik Jou. "Kenapa kau ada disini?"
Pertanyaan itu selalu dikeluarkan oleh sang CEO pada Jou tiap kali ia berkunjung ke kafe. Kaiba tidak mengerti apa yang membuat Jou mau merendahkan dirinya sampai serendah ini. Ia selalu melihat Jou sebagai duellist yang penuh rasa percaya diri dan harga diri. Ia tidak pernah membayangkan – apalagi sampai melihat secara langsung – seorang Jounouchi Katsuya mengenakan pakaian perempuan. Padahal, Jou terlihat sangat terpukul saat harus mengenakan kostum anjing, tapi kenapa sekarang ia malah dengan sukarela memakain baju maid seperti ini? Jangan salah paham. Bukan berarti Jou terlihat mengerikan saat mengenakan pakaian maid ini. Justru malah sebaliknya. Jou terlihat berlipat-lipat lebih manis dengan balutan maid. Begitu manisnya hingga membuat Kaiba bersemu merah tiap kali memikirkannya.
"Dan untuk sekian kalinya, Kaiba, itu bukan urusanmu! Lagipula, apa pedulimu!?" Jou menarik tangannya hingga lepas dari cengkraman Kaiba dan segera pergi. Jou sudah muak harus terus berhadapan dengan pertanyaan Kaiba. Tidak bisakah CEO sombong itu membedakan mana yang menjadi urusannya dan mana yang bukan? Menyebalkan, gerutu Jou dalam hatinya.
Kaiba terus memandang sosok Jou yang terus menjauh dari hadapannya dengan dahi sedikit berkerenyit. ".... Bodoh..." bisiknya. "Kalau aku tidak peduli, untuk apa aku terus datang kemari dan menemuimu?"
A/N : JENG JEEEEENNNGGG!! Apa yang bakal terjadi berikutnya? Tenang, chapter 2 udah on-the-way, kok. Sebenernya ini seharusnya jadi oneshot, cuma setelah gue pikir-pikir oneshot panjang bener. Kasian mata pembaca, ah. Jadi, gue pisah, deh. Hehehe. Mungkin jadi 2 chapter atau 3 chapter, masih gak tau. Buat yang membaca dan pengen ninggalin review, sangat disarankan, lho. Hehehe. Mari, mari yang mau ninggalin review! Gak ada review, gue ogah lanjut (ngancem). Hahaha! Bercanda, kaliii!!
Coolkid, pamit!
