Three Magical Words For Park Jihoon
by Illan
Ch. I
Whats the right answer?
.
.
"Can you say three magical words to me, Park Woojin?" Ujar Jihoon sambil memainkan ponselnya. Dia tak menatap Woojin atau lebih tepatnya menghindari tatapan tajam bercampur bingung pemuda busan itu.
Woojin mencoba memahami apa yang dikatakan sahabatnya itu. Dia rasanya pernah mendengar ungkapan itu entah dimana tapi tak bisa mengingatnya dan untuk mengartikannya sendiri, maaf saja Woojin bukan seorang jenius, lagipula kalau sampai ia salah menerka bisa-bisa jadi bahan lelucon Jihoon.
Tak sabar menunggu balasan Woojin akhirnya Jihoon memilih pergi ke dapur. Sejujurnya ia gugup, jantungnya pun berdebar tak karuan. Mencoba meredakan kegugupannya dengan segelas air dingin, Jihoon menarik nafas panjang. Dia mengecek keadaan sekitar untuk memastikan tak ada yang melihatnya dan merutuki dirinya sendiri. Harusnya dia tak mengatakan itu pada Woojin hanya untuk melihat reaksinya, rasa penasaran ini benar-benar akan membunuhnya suatu hari nanti. Sebenarnya dia melakukan ini bukan tanpa alasan, itu semua berkat kelakuan Woojin belakangan ini yang kerap membuat Jihoon berharap. Sebut saja saat backstage di ajang penghargaan MAMA Hongkong kemarin ketika Guanlin menyuruh mereka untuk membuat kalimat dengan awalan Ma. Saat itu Woojin menyatakan cinta dalam logat busan sambil menatapnya dengan gelagat akan mencium. Jihoon setengah mati menahan diri untuk tak langsung pingsan ditempat atau menerjang pria itu. Dia tahu itu semua hanyalah satu dari candaan Woojin tapi tetap saja hatinya tak bisa berkompromi. Belum lagi semua perhatian Woojin yang membuatnya kadang salah paham. Jihoon berharap semua yang dilakukan Woojin memiliki arti. Arti yang sama dengan apa yang Jihoon rasakan selama setengah tahun belakang pada pemuda busan itu.Tapi ia sadar kalau mereka adalah sahabat dan kemungkinan Woojin merasakan hal yang sama seperti satu berbanding sejuta.
"Aah.. aku benar-benar sudah gila" rutuk Jihoon sambil membenamkan wajah ditelapak tanganya.
Woojin mengekori kepergian Jihoon sampai siluet pemuda imut itu hilang. Dia buru-buru buka beranda pencarian di ponselnya untuk mencari apa yang Jihoon maksud. Three magical words. Dan voila itu tak membantu sama sekali karena banyak yang membahas tentang itu. Ada yang mengatakan three magical words itu adalah sorry, please, and thank you. Ada juga yang menyebutkan itu adalah at, on, and in, Woojin bahkan tak paham maksudnya. Namun, ada pula yang mengatakan tiga kata ajaib itu adalah i love you. Woojin tak yakin itu adalah yang Jihoon maksud. Mana mungkin Jihoon memintanya mengatakan aku mencintaimu, tidak mungkinkan?
Dan seingat Woojin yang seharusnya mengatakan sorry, please, and thank you itu Jihoon bukan dia, karena yang sering melakukan segala sesuatu seenaknya itu kan Jihoon. Bahkan mereka bisa sangat dekat seperti sekarang karena Woojin bisa menerima sisi kekanakan Jihoon itu. Well, kadang dia juga kekanakan sih.
"Aah ini benar-benar membuatku pusing" keluh Woojin seraya mengacak rambutnya.
Dua hari berlalu tanpa Jihoon maupun Woojin mengungkit bahasan tentang tiga kata ajaib. Jihoon langsung tidur ketika kembali ke kamar hari itu, Woojin yang belum menemukan jawaban tepat pun memilih bungkam dan sampai sekarang tak ada satupun dari mereka yang membahasnya. Seakan pertanyaan Jihoon dua hari lalu tak pernah ada. Hari ini udara sangat dingin, mereka tetap harus melakukan syuting variety show khusus Wanna One yaitu Wanna One Go: Zero Base dan episode kali ini mengharuskan mereka ke Jepang untuk menyusul member lain yang sudah ada disana. Jihoon merasa seperti diculik saat baru bangun tidur dan mereka harus ke Jepang tanpa persiapan apapun, bahkan ia masih mengenakan kostum rudolp. Saat akan berangkat ke bandara Jihoon sengaja tidak duduk disamping Woojin seperti biasanya di van. Dia agak menjaga jarak dengan Woojin semenjak dua hari lalu, meskipun Woojin yang tidak peka tetap menemaninya kadang. Sebenarnya Jihoon ingin sekali menagih jawaban Woojin tempo hari tapi dia takut mendengar penolakan. Woojin yang tidak memberikan jawaban saja sudah membuatnya ngedrop apalagi kalau sampai dia mendengar penolakan langsung.
Woojin sadar belakangan Jihoon agak mengacuhkannya. Jihoon yang biasanya selalu menempel padanya sekarang duduk bersebrangan dengannya, bahkan Guanlin pun heran. Menjauh dari Jihoon adalah satu dari sekian hal yang tidak disukai Woojin, dan dia merasa sedikit frustasi sekarang.
Apa jihoon marah ya? Perasaan kita ngga ada masalah tapi kenapa dia ngejauh gitu, batin Woojin. Woojin sepertinya lupa tentang pertanyaan Jihoon tempo hari. Salahkan kebodohannya yang tak kunjung mendapatkan jawaban sampai ia kelupaan akan pertanyaan itu.
Selama syuting dalam van, Woojin tak bisa melepaskan pandangannya dari Jihoon, ia mencuri pandang ke arah pemuda imut itu selagi tak tertangkap kamera. Guanlin yang duduk disebelahnya sampai merasa risih, tampak jelas dari wajahnya. Dia pun memilih pindah ke kursi depan untuk tidur sebentar sebelum mereka sampai bandara, meninggalkan ruang kosong antara Woojin dan Jihoon. Merasa terus dipandangi, akhirnya Jihoon balas menatap Woojin.
"apa?" Ucapnya dengan gaya khas galak tapi imut. Woojin cengengesan melihat tingkah Jihoon yang selalu bisa jadi hiburan untuknya, dia pun mengibaskan tangan menyuruh Jihoon duduk disebelahnya. Jihoon awalnya enggan untuk pindah tapi tak kuasa menolak Woojin yang berkali-kali memintanya pindah. Bahkan Jisung ikut mengomeli mereka untuk tidak ribut.
"Jihoonie apa kau marah?" tanya Woojin sambil menunduk agar tak tertangkap kamera. Jihoon hanya meliriknya tanpa menjawab sampai mereka tiba di bandara. Woojin teracuhkan. Sial, sepertinya dia beneran marah.. apa salahku?, batin Woojin nelangsa. Manager pun menyuruh mereka berganti pakaian sebelum take off ke Osaka. Selama berganti pakaian di toilet Woojin terus memikirkan apa gerangan yang menyebabkan kemarahan sahabatnya. Seingatnya mereka tidak pernah bertengkar beberapa hari belakangan, dan seingatnya lagi dia tak melakukan sesuatu yang bisa membuat Jihoon marah kecuali... benar, dua hari lalu. Woojin akhirnya ingat pertanyaan Jihoon dua hari lalu. Tiga kata Ajaib. Tapi dia benar-benar belum mengerti maksud Jihoon. Tapi berdiam diri terus begini juga takkan mengubah keadaan, mengingat sahabatnya itu tipe yang selalu mendapatkan segala sesuatu yang diinginkannya.
Ah terserahlah ku coba saja semuanya!, batin Woojin frustrasi.
Woojin berpapasan dengan Jihoon diluar toilet dan pria itu malah melengos pergi meninggalkannya. Tak tinggal diam dia mengikuti Jihoon sambil mencoba menjawab pertanyaan tempo hari.
"Jihoonie at, on, in!" ujarnya lantang. Jihoon yang mendengarnya berhenti sebentar dan menatapnya bingung. Woojin salah tingkah melihat Jihoon yang hanya mengerjapkan matanya bingung. Sepertinya dia salah memberikan jawaban. Alhasil, Jihoon benar-benar meninggalkannya sendiri kali ini dengan tatapan-jangan ikuti aku orang aneh!.
Bodohnya Park Woojin, tentu saja Jihoon takkan mengerti. Dia memilih jawaban paling aneh dari hasil pencarian kemarin. Akhirnya Woojin bergabung dengan anggota lain, hyung line, saat menyerahkan paspor dan tiket.
Beruntungnya Woojin karna dia duduk bersebelahan dengan Jihoon dan Guanlin. Kesempatan kedua datang dan kali ini dia tak boleh menyia-nyiakannya. Semoga saja jawaban yang kedua ini sesuai dengan yang diinginkan Park Jihoon.
Manajer memberikan mereka kamera untuk rekaman saat didalam pesawat, Guanlin memegang kendali kali ini. Dia mau menjadi asisten direktor sparrow katanya. Saat menuju pesawat Woojin mencoba peruntungannya.
"hoonie-ya sorry, please, thank you?" Jihoon balas menatap Woojin aneh lagi. Dia kehabisan akal dengan manusia satu itu, tingkahnya selalu random sesuai dengan ucapannya yang kadang tidak jelas. Kenapa juga Woojin bilang sorry, please, thank you kepadanya?.
"Kau beneran aneh woojin.. Maksudmu apa sih daritadi ngomong ngga jelas gitu"
Jihoon meninggalkan Woojin, dan Park Woojin pun gagal lagi.
Jihoon duduk dikursi paling dekat dengan jendela, diikuti Woojin disebelahnya. Dia menghela nafas pelan, sudah cukup dia memikirkan Woojin, harusnya pria itu jangan dekat-dekat dulu dengannya tapi malah mereka harus duduk bersebelahan begini. Saat mau melepaskan jaketnya kejadian tak disangka terjadi. Woojin hampir menciumnya! Kalau saja Jihoon tak reflek menghindar mungkin bibir mereka sudah bersentuhan. Jihoon menatap Woojin kaget sedangkan pemuda itu acuh seperti tidak terjadi apa-apa malah Guanlin yang sedang melakukan rekaman heboh sendiri. Jantungnya berdebar tak karuan saat ini, mereka hampir ciuman. Oh god, we almost kissing!, batin Jihoon histeris. Ini bukan fanservice seperti biasanya kan? maksud Jihoon, bahkan saat ini tak ada penggemar yang melihat mereka. Apa ini salah satu candaan Woojin lagi? Mendadak hati Jihoon berdenyut nyeri. Kalau yang tadi itu candaan, Park Woojin benar-benar keterlaluan. Jihoon tak berani menatap atau menanyakan maksud Woojin tadi. Sekali lagi dia takut yang dipikirkannya menjadi kenyataan kalau itu hanya candaan. Ia memilih memasang headset bluetoothnya dan main gim.
Woojin menatap Jihoon dari tadi, ia sedang mempelajari ekspresi Jihoon. Sebenarnya ia sedang melakukan gambling saat ini. Karena jawaban keduanya pun gagal akhirnya tinggal satu jawaban tersisa dari tiga kata ajaib, tapi Woojin ragu apa yang dimaksud Jihoon adalah kata itu. Makanya tadi dia iseng coba mencium Jihoon untuk melihat reaksinya. Jihoon tampak kaget awalnya dengan semburat merah sedikit terlihat di pipinya tapi sekarang dia masa bodo dan seperti sedih? Woojin merasa belum yakin dengan reaksi ini. Akhirnya dia memutuskan melakukan hal lain. Tangan Woojin menyentuh telinga sebelah kanan Jihoon membuat pemuda imut itu menatapnya kaget dan kali ini Woojin bisa melihat jelas semburat merah diwajahnya karena jarak wajah mereka yang dekat. Ah jadi begitu, batinnya sambil tersenyum. Woojin pun melepaskan sebelah headset Jihoon dan memakainya.
"aku juga ingin dengar musik jihoonie" ucapnya sambil tersenyum menatap Jihoon yang dibalas kerlingan bingung pemuda imut itu. Jihoon yang sudah sadar kembali, buru-buru mengalihkan pandangan ke layar ponselnya, jantungnya berdebar lagi sekarang. Woojin tersenyum dalam hati, sepertinya jawaban yang terakhir harus ku katakan saat kita berdua saja, jihoonie.
.
.
.
To Be Continue
