Dia tidak bisa bergerak. Jelas tidak—tangan dan kakinya di tahan dengan kuat oleh tangan-tangan para ksatria, belum lagi dengan kayu yang menahan lehernya. Benar-benar keterlaluan, dia mengutuk dalam hati. Beginikah caranya untuk memperlakukan teman lamanya? Pantaslah orang itu tidak memiliki teman lain selain dia.
Dia mendongak, menatap langsung sepasang mata merah-emas milik wanita itu. Entah seperti apa tatapan yang ia gunakan sekarang, wajah wanita itu semakin terlihat marah. Dia mengangkat tongkat yang sejak tadi ia pegang—tongkat dengan hiasan emas dan permata berbentuk hati di ujungnya—kemudian menunjuk kearahnya dengan tongkat tersebut.
"Hukuman mati."
Para ksatria mengangguk patuh atas perintah sang ratu hati yang absolut, kemudian sebilah pisau besar jatuh dengan cepat menuju lehernya.
.
Akashi in Wonderland
Warning: AU, fem!Akashi, fem!Kuroko, plot super cepat
i don't own kuroko no basuke
.
"If allowed, do you want to stay in wonderland forever, dear Alice?"
.
Kalau yang lain langsung belajar setelah pulang sekolah di minggu ujian, maka Kouki Furihata adalah satu dari orang-orang yang tidak peduli dengan nilai mereka dan memilih untuk bermain-main dan pasrah akan nilainya nanti.
Perbaikan; dia tidak bermain-main, sungguh. Walaupun dia memang pasrah akan nilainya—dia tidak sepintar anak-anak lain di kelasnya, dia berada di atas rata-rata, tipis. Kalau bisa, mungkin sekarang dia sudah belajar di rumahnya, bukannya berlarian di sekitar kompleks apartemennya untuk mencari seseorang.
Ya, yang membuat Kouki harus melewati sesi belajarnya adalah sahabatnya sendiri—Seika Akashi, yang entah kenapa tidak datang di ujian tadi pagi.
Pagi itu, Kouki dan Seika berjalan menuju sekolah bersama-sama, berhubung mereka tinggal di satu apartemen dan sudah mengenal satu sama lain sejak mereka sangat kecil. Hingga tiba-tiba, Seika mengatakan sesuatu yang sangat tidak sopan di telinga Kouki—dia sendiri lupa apa itu, yang jelas dia sangat marah—dan memutuskan untuk meninggalkan Seika di pinggir jalan raya. Masa bodoh dengan perempuan yang tidak bisa menyebrang jalan tanpa bantuan orang lain, supaya telat sekali-sekali.
Lagipula, jika dia terlambat-pun nilainya akan selalu bagus.
Sayang sekali, perempuan yang sudah dilabel paling manis dan pintar di kelas masih memiliki sifat chuunibyou. Ditambah dia tidak pernah berbicara dengan orang lain selain Kouki dan beberapa orang dari klub basket perempuan.
(Sekarang Kouki baru menyadari kenapa dia terkadang menemukan pesan ancaman tentang tidak boleh terlalu dekat dengan 'Seika-sama' dalam lokernya.)
Kouki mendesah ketika mengingat perbedaan mereka yang begitu jauh. Anehnya, Seika masih tetap bersikeras untuk berada di sisinya, mengatakan kalau 'tidak ada yang cocok sebagai pelayannya selain dia.'. Aneh sekali Seika; terkadang bisa terlihat manis, namun tiba-tiba kembali lagi menjadi perempuan yang aneh.
Kembali ke topik sebelumnya—Kouki sudah mengunjungi tempat-tempat yang ia rasa akan dikunjungi oleh Seika ketika dia sedang marah, mulai dari beberapa tempat yang menyajikan tofu paling enak—menurut Seika—hingga taman tempat mereka sering bermain bersama. Pencariannya tidak menghasilkan apapun, dan dengan berat hati Kouki kembali ke apartemennya.
Tepat ketika dia memasuki halaman depan apartemennya, dia sekilas melihat sesuatu yang merah, yang menghilang menuju ke halaman depan. Dan Kouki yakin, hanya ada satu orang di apartemen ini yang bisa terlihat berwarna merah seperti itu—
"Seika!" Kouki memanggil nama perempuan itu dan langsung berlari mengejarnya.
Halaman belakang apartemennya hanyalah sebuah taman yang cukup luas dan dipenuhi dengan rumput yang terawat. Tempat itu berbatasan langsung dengan sebuah hutan kecil, yang sebentar lagi akan ditebangi untuk dijadikan sebuah tempat perbelanjaan. Kouki jarang berada di taman itu, lagipula dia tidak memiliki alasan untuk berada di tempat itu. Dan dia juga tidak yakin apakah Seika sering berada di sana.
Kouki menemukan perempuan berambut merah itu di depan pagar yang membatasi taman belakang dengan hutan, memunggunginya. Dengan ragu, Kouki kembali memanggil namanya, "...Seika?" dan begitu wanita itu berbalik, dia melanjutkan, "Kemana saja kau? Kenapa tidak ikut ujian?"
Wajahnya terlihat datar sebentar, kemudian dia memiringkan kepalanya dan tersenyum, "Untuk apa ikut ujian?"
"Untuk nilai, tentu saja." Laki-laki berambut cokelat itu membalas, memutar bola matanya.
Seika mendengus—dan kali ini Kouki benar-benar terkejut, berhubung Seika tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Dan lagi, seharusnya perempuan itu paling tahu untuk tidak melakukannya, karena itu bukanlah sikap seorang yang akan menjadi penerus perusahaan terbesar di Jepang milik orang tuanya.
"Itu tidak penting sekarang, Kouki!" Dia tersenyum lebar, kemudian kembali berbalik dan membuka pintu pagar di hadapannya. "Bagaimana kalau kita pergi ke Wonderland?"
"Kau sudah SMA, demi tuhan. Berhentilah berpura-pura sebagai Alice." Kouki menggerutu. Seika memang menyukai dongeng Alice in Wonderland, dan selalu menganggap dirinya sendiri Alice, karakter utama dari cerita tersebut. Bahkan sekarang juga begitu; dia mengenakan sebuah gaun musim panas biru dengan celemek putih, dan sebuah pita putih besar yang menghiasi puncak kepalanya.
Perempuan itu berbalik, memberikannya tatapan paling tidak suka yang pernah ia lihat. Mata merah dan kuning yang terpicing itu membuat Kouki merinding. "Aku serius, Kouki." Kemudian dia kembali tersenyum, "Aku akan mengajakmu."
Belum sempat Kouki membalas, Seika sudah kembali berbalik, berlari menuju hutan. Dia langsung mengingat perintah pemilik apartemen untuk tidak memasuki hutan tersebut, dan bergegas untuk mengejar dan menghentikan sahabat sejak kecilnya itu.
Kouki memperhatikan punggung sahabatnya yang makin menjauh, seolah tidak terganggu dengan ranting-ranting pohon yang terus melukai kulitnya. Namun Kouki tidak peduli dengan itu, dia sudah bertekad untuk menghentikan sahabatnya.
Dan kemudian, dia melihat Seika menghilang di tengah cahaya di ujung hutan yang gelap ini. Kouki terus berlari, berusaha untuk meraih punggung Seika, dan langsung menutup matanya begitu cahaya yang terang itu terasa menusuk matanya—
"—Kita sudah sampai, Kouki."
Laki-laki berambut cokelat itu membuka matanya perlahan-lahan, berusaha untuk membiasakan dirinya dengan cahaya putih yang menyilaukan tersebut. Dia mengerjap sekali, dua kali, kemudian membiarkan matanya merekam pemandangan yang indah di hadapannya.
Dia berada di tengah padang bunga mawar yang tertata rapi, yang tersusun sesuai dengan warna mereka—di hadapannya adalah warna merah, di sebelah kirinya adalah warna putih, dan disebelah kanannya adalah warna biru (dia baru tahu ada mawar berwarna biru), dan dia yakin masih ada berbagai macam warna dan jenis di belakang sana.
Kouki merasakan tangan Seika yang lebih kecil, namun lebih hangat, menggenggam tangannya. Kemudian membimbingnya berjalan di jalan setapak, lebih dalam ke dalam taman tersebut. Sesuai dengan dugaannya, bukan hanya bunga mawar yang ada di tempat itu, melainkan banyak bunga lain dengan berbagai warna di sana.
Tempat ini sudah seperti surga. Tidak, dia yakin tempat ini memang surga.
"Ini bukan surga," Seika tiba-tiba berkata, seolah membaca pikirannya—atau dia tidak sengaja mengatakan itu? "Ini Wonderland."
"Berapa lama kau menanam bunga di tempat ini?"
Mereka berhenti berjalan, berdiri di depan sebuah gerbang yang mengingatkannya akan sebuah torii, dan Seika kembali berbalik. Dia terlihat tidak senang. "Ini Wonderland, Kouki." Hening sebentar, lalu dia melanjutkan, "Dan mulai sekarang, kau harus memanggilku Alice."
Kini giliran Kouki yang mengernyit, "Tapi, Seika—"
Perempuan itu meletakkan satu jari di mulut Kouki. "Alice." Dia menekankan setiap hurufnya, jelas-jelas jengkel dengan sikap keras kepala Kouki. "...Atau, kau ingin dihukum karena tidak mendengarkanku, Kouki?"
Mata dwiwarna Seika terlihat serius. Dan Kouki benar-benar bisa merasakan gunting-gunting yang selalu Seika bawa hendak tertancap di lehernya—
"Tentu saja dia akan memanggilmu dengan itu."
Tensi di antara mereka lenyap ketika mendengar suara datar. Mereka menengok ke arah datangnya suara itu. Dari belakang Kouki, seorang perempuan berambut biru cerah yang sedikit lebih pendek dari Seika berdiri dengan wajah datar. Dia mengenakan pakaian yang hampir mirip dengan Seika, hanya saja berwarna hitam.
Jari Seika meninggalkan bibir Kouki. Kemudian dia memutar bola matanya, "Tentu saja, Tetsuna." Lalu kembali menatap Kouki, seolah perempuan di belakangnya tidak ada. "Bagaimana kalau kau ikut denganku, Kouki? Aku ingin menunjukkan sesuatu yang menarik padamu."
Kouki perlu mengatakan kalau kengerian di mata Seika belum menghilang dari yang sebelumnya. Makin bertambah, malah.
"Aku yakin Furihata-kun ingin melihat sekeliling dulu." Ketika mendengar nama keluarganya disebut pada orang yang—entah mengapa—tidak terlalu asing itu, Kouki berbalik padanya.
"Kouki adalah teman baikku, Tetsuna. Tolong jangan ikut campur."
Suara dingin Seika sepertinya tidak membuat Tetsuna gencar—gadis itu masih memasang wajah datar, tetapi lebih meyakinkan daripada wajah aneh yang Seika berikan sekarang.
Karena sejak dia menginjakkan kaki di tempat yang disebut Wonderland ini—tidak, mungkin sejak sebelumnya—dia sudah merasa ada yang aneh. Terutama tentang Seika.
Laki-laki berambut cokelat itu berdeham sambil menunjuk gadis di belakangnya, "Aku setuju dengannya." Ketika Seika menatap tajam gadis yang disebut Tetsuna itu, Kouki cepat-cepat menambahkan, "Aku ingin melihat indahnya Wonderland ini. Tidak apa-apa, kan?"
"Yah..." Seika kembali menatapnya, kemudian mendesah. "...Baiklah. Tapi kau harus kembali padaku nanti, oke?" Dia tersenyum lagi, dan Kouki bisa merasakan dirinya sendiri mendesah lega. "Aku menantimu di istana di balik hutan."
Perempuan berambut merah itu berbalik dan mulai berjalan. Tiba-tiba dia terhenti, dan menoleh ke arah Tetsuna, yang sejak tadi tidak mengatakan apapun. "...Aku tidak akan memaafkanmu jika terjadi sesuatu pada Kouki."
"Kau bisa percaya padaku akan hal itu." Tetsuna membalas. Biru beradu dengan merah dan kuning. "...Kau yang paling tahu akan hal itu, Alice-san."
Kouki samar-samar mendengar Seika menggumamkan 'terserah', kemudian kembali berbalik dan berjalan lebih jauh ke dalam hutan.
Kedua yang tersisa hanya diam dengan suasana canggung di antara mereka. Berhubung Kouki sama sekali tidak mengenal gadis yang dipanggil Tetsuna ini, sementara gadis ini terlihat seperti mengenalnya. Walaupun nama Tetsuna sendiri tidak terlalu asing di telinga Kouki.
Ketika gadis berambut biru cerah itu menarik ujung bajunya, Kouki menoleh pada gadis itu. Wajahnya masih datar seperti biasa, seolah tidak terpengaruh oleh ancaman Seika sebelumnya—hal yang baru, sepertinya. "...Bagaimana kalau kita pergi sekarang, Furihata-kun?"
"Sebenarnya aku masih belum mengerti," Dia menggaruk belakang lehernya, "tentang apa yang terjadi di sini—wonderland, Seika, juga kau."
Tetsuna memiringkan kepalanya, kemudian terlihat sebuah kerutan samar di keningnya. "Kau tidak mengenalku?" Setelah terdiam beberapa saat, dia akhirnya mendesah. "Tidak masalah. Itu selalu terjadi. Aku akan menjelaskanmu tentang semua yang kau perlu ketahui di sini." Akhirnya sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. "...Ayo kita pergi, Furihata-kun."
Kouki mengangguk pelan, kemudian mulai mengikuti Tetsuna, yang sudah berjalan di depannya.
Maka, mulailah perjalanan seorang Kouki Furihata untuk menjelajahi tempat yang disebut sebagai Wonderland oleh sahabatnya sendiri, Seika Akashi.
.
to be continued
saya tahu saya nista, kebanyakan juggle multific itu nggak bagus :l #dihajar
untuk pertama kali buat FuriAka setelah buat banyak AkaFuri, dan fem!Akashi pula c: #menghindardarigunting
fic ini bakalan pendek banget. dan berhubung saya udah mulai ngetik chapter-chapter berikutnya, kemungkinan bisa cepet selesai ini hahah- #jduk
i don't own kuroko no basuke c:
