Second Change from The Hero
Chapter I: He was Never Happy
.
.
.
Disclaimer : Masashi Kishimoto
A/N : Hai, salam kenal... saya sudah lama berdiam diri di Fanfiction ini. Hanya saja saya baru update Fanfic sekarang. Padahal sudah setahun lebih buat akun. Saya masih sangat pemula. Tolong jangan bully saya, dan emmm... happy reading.
.
.
.
Siang hari di Desa Konoha terasa begitu cerah. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada perubahan sama sekali. Namun, hari yang cerah bukan berarti menjamin bahwa keadaan para Penduduk Desa juga secerah sinar mentari. Tidak, mereka mungkin tersenyum satu sama lain. Tapi di saat yang sama mereka juga menangis, hati mereka menahan perih yang teramat di hati yang sudah setahun lebih sakit itu bersemayam di dalamnya. Ya, sejak mereka kehilangan sosok yang begitu mendominasi Desa. Sosok Shinobi bersurai pirang cerah keemasan dengan kedua manik Blue Sapphire yang tertanam indah di kedua matanya. Cengiran itu... kini tidak lagi bisa mereka lihat. Cengiran hangat dari Bocah tersebut, yang menampikkan sederet gigi putihnya. Dan jangan lupakan kedua Kristal di dalam kedua matanya yang tajam.. yang mampu menenangkan sekaligus menenggelamkan siapapun yang menatapnya ke Dasar Samudra paling dalam.
.
Semangat dan senyumnya sudah terlanjur menemani hari-hari Penduduk Desa. Kini apalah arti Desa tanpa Bocah Pembuat Onar yang menjelma menjadi Seorang Pahlawan itu?
.
.
Dia... seseorang yang telah membuka lebar Gerbang Perdamaian dengan menumpahkan tetesan darahnya... Justru harus lenyap ditelan Keegoisan Perang yang melolong meminta tumbal.
.
.
.
Dia...
.
.
.
.
.
Naruto Uzumaki..
.
.
.
.
.
.
.
oooOOOooo
.
.
Suara langkah kaki memecah kesunyian malam yang begitu larut, sesosok laki-laki terlihat berjalan menerobos pekatnya malam menuju Gerbang yang berdiri kokoh tidak jauh di depannya, Konohagakure.
.
Ya, pria itu dengan tenangnya masuk ke Desa tersebut. Tidak ada penjaga yang menjaga di Gerbang. Entah apa yang terjadi pada Desa ini setelah sekian lama ia meninggalkannya, apa kini keamanan Desa tempatnya lahir ini menurun drastis? Ah, dan anehnya.. Pria itu berpikir sampai sejauh itu tentang Desa ini. Seolah-olah ia kini punya pemikiran dan rasa cemas terhadap Desa Konoha ini. Seolah-olah ia kini peduli pada tanah kelahirannya.
.
.
.
Peduli... Ya, sepertinya ia memang mulai peduli. Ia terkekeh kecil sambil memejamkan mata dan sedikit menunduk begitu mengakui hal tersebut.
.
.
'Coba lihat sejauh apa kau sudah merubahku, bodoh...'.
.
.
.
.
Dan di detik berikutnya, sebuah siluet hitam terlihat dengan tiba-tiba di hadapan pria tersebut. Pria pendatang itu tidaklah terkejut atau panik, ia hanya mengangkat wajahnya dengan tenang dan membuka matanya, menampilkan iris hitam kelam layaknya langit malam yang ia miliki. Ah, tidak. Bukan sepasang, tepatnya hanya satu yang beriris kelam. Sedangkan satu mata lainnya terlihat memiliki pola seperti riak air... Itu Rinnegan. Tampak si pendatang itu juga menghentikan langkahnya. Ia menatap lurus kepada sosok yang tiba-tiba muncul di depannya.
.
.
.
.
"Jadi... Kau sudah datang?" Siluet hitam yang baru saja datang itu membuka suara, untuk sedikit berbincang-bincang dengan seseorang yang baru masuk melewati Gerbang Konoha tadi.
.
.
"Jadi, kau sendiri yang menyambutku?" Dan pria yang diberi pertanyaan itu bukannya menjawab justru kembali melontarkan pertanyaan kepadanya.
.
.
"Aku tidak tahu kau akan datang selarut ini."
.
.
"Aku sengaja. Aku takut membuat keributan, Kakashi."
.
.
Ya, siluet hitam yang baru muncul itu adalah Kakashi Hatake. Helaian surai keperakan miliknya tampak cukup berkilau terkena pantulan sinar rembulan. Jubah putih dengan motif api merah yang merupakan khas seorang Hokage itu terlihat berkibar, bermain dengan udara malam. Ia masihlah terlihat sama, dengan masker biru donker yang menutupi setengah dari wajahnya.
.
.
"Kenapa kau bisa berpikir begitu?" Kini, pria silver itulah yang memejamkan matanya. Ia kemudian berbalik memunggungi pria pendatang tersebut.
.
.
"Mereka sudah menunggumu. Teman-temanmu.."
.
.
.
Teman...
.
.
.
Kini kata itu malah terngiang-ngiang di kepala pria pendatang tersebut. Satu kata itu... selalu mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang selalu menyatakan dengan yakin kepadanya bahwa dirinya adalah seorang teman, bukan musuh.
.
.
.
Ah, ini akan berat...
.
.
.
"Ayo ke ruanganku sebentar, Sasuke..."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sepertinya berita kepulangan Sasuke memang begitu cepat tersebar sampai ke pelosok Desa Konoha. Buktinya sekarang ini, pria berambut raven tersebut tengah berjalan dengan dikelilingi oleh teman-teman Ninja seangkatannya. Lengkap. Mereka semua dengan senangnya berjalan bersama Sasuke sambil sesekali bercanda tawa satu sama lain. Mereka juga bercanda dengan Sasuke, namun bukan Sasuke namanya jika ia merespon. Jadi tiap mereka mencoba berinteraksi dengan dirinya, si Uchiha ini hanya mengatakan satu kata favoritnya sebagai respon. 'Hn..'
.
Dan tentu saja itu membuat beberapa dari mereka ber-sweatdrop ria karena ternyata pria dingin itu masihlah sedingin dulu.
.
Mengapa siang ini Sasuke bisa berakhir bersama mereka? Ya, awalnya Sasuke hanya ingin tertidur sampai matahari meninggi di bekas rumah miliknya yang sudah lama ia tinggalkan. Namun, teman-teman seangkatannya tampak tidak mengizinkan hal itu terjadi. Mereka dengan hebohnya mengetuk pintu... Ralat, mendobrak pintu rumahnya, yang kemudian Sasuke sadari itu adalah perbuatan Lee yang ternyata masih terobsesi dengan sesuatu yang bernamakan Semangat Masa Muda. Dan... Karena kehebohan itu, dan karena Sasuke sudah tak lagi bisa memejamkan matanya, akhirnya pria Uchiha itu mengiyakan tawaran mereka, yaitu untuk makan bersama di Berbeque.
.
.
.
"Tidak bisakah kalian lebih cepat? Perutku sudah meronta ingin makan!"
.
"Chouji, tak bisakah kau pelan-pelan sedikit? Kedai Berbeque itu tidak akan pergi kemana-mana!"
.
"Tapi aku lapar... Lapar~"
.
.
Iris Sasuke itu sesekali mencuri lirik kepada mereka yang sedari tadi begitu berisik. Sebenarnya mereka ini kenapa? Mereka bersikap seperti... Naruto. Ia tahu, tidak semua orang sudah menerimanya, ia tahu ada di antara teman-temannya yang juga belum bisa menerima keberadaan dirinya di Konoha. Tapi kenapa mereka harus berpura-pura bahagia?
.
.
Hanya karena satu alasan... Naruto.
.
.
Semua orang tahu Sasuke adalah seseorang yang selalu Naruto anggap berharga.
.
.
Sebenci apapun mereka pada Sasuke, mereka harus menahannya.
.
.
Setidaknya itu mungkin bisa jadi bentuk penebusan dosa mereka, walaupun pasti itupun takkan cukup.
.
.
"Kiba, berhenti mengejek Chouji. Kalian berdua berisik sekali, merepotkan..,"
.
"Dia yang mulai duluan!"
.
"Uwooo! Aku bisa melihat semangat masa muda kalian! Tapi kalian tidak boleh bertengkar!"
.
"Berisik, Lee.. Kau diam saja."
.
.
.
.
Itu semua membuatnya menghela nafas dalam-dalam dan kemudian membuangnya dengan berat. Ia merasakannya, ini akan berat untuknya. Dan ini semua harus ia lalui.
.
"Sasuke-kun...,"
.
Iris Sasuke itu melirik ke samping, menatap kepada seorang gadis bersurai soft pink yang telah memanggilnya.
.
"Hn...?"
.
.
"Doushite? Kau terlihat tidak sehat,"
.
Dan Sasuke hanya mendengus dalam hati mendengarnya. Tidak, Sakura. Ia bukannya tidak sehat. Ia hanya... Yah, ini tidak bisa dijelaskan sesederhana itu.
.
.
"Iie.. Daijobu." Jawabnya singkat. Kepalanya kini sedikit terangkat, membuat kedua iris miliknya menatap langit biru yang cerah dan sedikit berawan. Itu mengingatkannya kepada Si Pemilik Sapphire itu.. Kalau dia di sini kira-kira apa yang akan dia lakukan? Apakah akan ikut berdebat dengan mereka?
.
.
Tapi... jika itu Naruto.. mungkin Sasuke juga akan coba ikut berdebat dengannya..
.
.
Ya, Naruto.. Kini ia seolah-olah bisa melihat wajahnya di pandangan matanya. Bentuk wajahnya, matanya, hidungnya, bibirnya, tiga garis khas di masing-masing pipinya... Ia bisa membayangkannya dengan jelas.
.
.
Membayangkannya... dengan sangat amat jelas...
.
.
Dan sepasang mata berbeda warna milik Sasuke membulat.
.
.
Ia bukan membayangkannya, ia benar-benar melihatnya..
.
.
.
Langkah pria Uchiha itu terhenti. Membuat mereka semua, teman-teman seangkatannya, ikut menghentikan langkahnya. Dengan gerakan yang hampir bersamaan, mereka menoleh kepada Sasuke.
.
.
"Ada apa, Sasuke?"
.
.
Sasuke tidak menjawabnya, kedua manik hitamnya masih membulat shock melihat apa yang ia lihat. Tunggu, itu kan...
.
.
"Jadi kau baru melihatnya, huh?" Pertanyaan itu sukses Shikamaru lontarkan kepada Sasuke, nada malas masih kentara dalam suaranya.
.
"Ya, seperti yang kau lihat... Itu Naruto."
.
.
Shikamaru kemudian ikut menoleh kepada apa yang Sasuke lihat. Mereka melihat jauh ke depan, yaitu melihat deretan ukiran wajah tujuh Hokage di tebing itu. Tunggu, tujuh? Bukankah Hokage saat ini hanya ada sampai Kakashi yang merupakan Hokage keenam? Jadi, apa maksudnya ukiran wajah patung ketujuh yang ikut diukir di sana?
.
.
Kenapa ada ukiran wajah Naruto di tebing para Hokage itu?
.
.
Apa maksudnya?
.
.
"Sepertinya malam yang gelap membuatmu tak menyadari ukiran wajah Naruto di sana, ya?" Kiba terkekeh melihat pria Uchiha itu hanya bisa terdiam. Benar, saat ia memasuki Konoha semalam, ia sama sekali tidak memperhatikan tebing itu.
.
.
Dan akhirnya Sasuke menoleh kepada mereka, tatapannya tampak meminta penjelasan.
.
"Sebenarnya apa maksud dari semua ini?"
.
.
Sedangkan Shikamaru masih setia menatap ukiran wajah pemuda bersurai pirang yang merupakan temannya itu. Memang itu membuat hatinya terasa teriris, tapi ia selalu ingin melihatnya seperti ini. Shikamaru akhirnya menarik nafas dan membuka suara.
.
"Kami sudah menganggapnya sebagai Hokage... Tidak, tepatnya kami telah mengangkatnya menjadi Hokage."
.
.
Mendengar jawaban itu, tentu saja Sasuke hanya bisa menaikkan satu alisnya. Tentu saja ia tidak mengerti, Naruto tewas setelah Perang berakhir karena tidak sanggup bertahan dengan luka-lukanya yang parah. Dan selama itu, Sasuke tahu bahwa Naruto tidak pernah diangkat resmi menjadi Hokage. Lalu kapan itu terjadi?
.
.
"Kami mengangkatnya menjadi Hokage, tepat seminggu setelah Naruto dimakamkan, Sasuke." Kini Shino-lah yang menyahut, tanpa mendengar pertanyaan Sasuke lagi. Seolah ia dapat mengerti maksud dari mimik wajah Uchiha itu.
.
. .
Seminggu setelah dimakamkan.. Itu berarti mereka—tidak, bukan hanya mereka, penduduk Desa ini sepakat untuk mengangkat seseorang yang sudah tidak bernyawa menjadi Pemimpin mereka?
.
"Kami tidak bisa terus begini... Hidup di dalam ketenangan yang Naruto berikan pada kami, sedangkan kami tahu bahwa kami tak pernah sekalipun membahagiakannya." Ujar Shikamaru kembali, kedua mata kelamnya yang sendu dan tampak menerawang itu masihlah tertuju kepada ukiran wajah Naruto. Memandangi tiap inchi dari wajahnya, berharap wajah itu akan tetap ada di memorinya sampai kapanpun. Berharap ia bisa kerahkan seluruh sel otaknya untuk mengingat setiap inchi dari wajahnya, seakan-akan itu adalah bahan bakar untuknya hidup.
.
.
"Dia hanya ingin menjadi seorang Hokage.. Seluruh perjuangannya ia tempuh hanya agar ia diakui sebagai seorang Shinobi yang hebat... Karena itulah, tidak ada alasan untuk kami untuk tidak mengangkatnya menjadi Pemimpin kami."
.
.
Sasuke terdiam mendengar penjelasan pria berkuncir itu. Wajah Sasuke kini kembali biasa. Namun sebenarnya ia kini sedang berusaha mencerna baik-baik kata per-kata yang diutarakan dari mulut Putra Clan Nara itu.
.
.
.
"Lalu Upacara Peresmiannya?"
.
.
"Kami melakukan Upacara Pengangkatan Naruto sebagai Hokage secara resmi. Kami semua, para Penduduk Konaha sampai para Kage dari berbagai Desa, mendatangi Makam Naruto dan mengadakan Upacara tersebut." Jawab Sakura dengan nada lirih, terlihat manik Emerald miliknya yang sendu dan sayu itu mulai berkaca-kaca. Berbeda dengan Hinata yang sejak tadi sudah berlinang air mata. Bagaimana tidak? Mereka sedang membicarakan seorang pria yang ia cintai sejak lama yang kini telah tiada. Bagaimana ia bisa sekuat itu sampai mampu menahan air mata yang sudah memupuk di matanya? Dirinya tidak sekuat itu dan langit tahu sedalam apa cinta gadis Hyuuga itu pada Naruto. Jadi, Hinata hanya bisa menunduk diam sambil menggigit bibir bawahnya. Setidaknya walau ia menangis, isak tangis itu tidak boleh sampai terdengar.
.
"Aku masih ingat Upacara itu, dimana para Tetua dan Daimyo Konoha-lah yang membuka Upacara tersebut, dengan disaksikan oleh para Penduduk dan Shinobi. Mereka mengajak bicara pada Monumen Makam Naruto, menegaskan bahwa dirinya akan jadi seorang Hokage. Namun tentunya, ia terlepas dari tanggung jawab melindungi Konoha. Sampai kemudian Nona Tsunade memberikan nasehat kepada Naruto, sambil tersenyum sedih ia mengatakan bahwa kau harus begini, kau harus begitu, seolah-olah Naruto masih berada bersama kami saat itu..," Sakura menceritakan hal itu dengan agak terisak. Namun gadis itu masih berusaha menguatkan dirinya. Bayang-bayang Upacara itu membuat hatinya terenyuh. Bagi semua orang, Upacara tersebut begitu berbekas di benak mereka... sebagai Upacara paling menyedihkan yang pernah ada. Tidak, bukan karena pengangkatan Naruto menjadi Hokage yang membuat mereka sedih. Mereka justru sangat senang. Mereka bangga jika harus mengatakan pada orang-orang dari Desa lain bahwa Naruto-lah Hokage mereka. Namun, cara pengangkatan itulah yang membuat mereka miris.
.
"Saat itu.. kau sudah pergi lagi dari Konoha, menjalankan tugasmu untuk berkelana dan menebus dosa.. Dan kami tak tahu kau dimana.. Jadi.. kami tak bisa memberitahumu, Sasuke-kun.. Maaf..,"
.
Tak ada satupun kata yang terucap dari bibir pria Uchiha itu, ia terlihat... terkejut, mendengar hal ini. Bahkan Kakashi yang tadi malam menyambutnya tidak memberitahukan soal ini. Jika tadi ia tidak berhenti karena melihat patung wajah Naruto, akankah mereka memberitahukan tentang hal ini? Ah, mungkin teman-temannya ini juga takkan memberitahukan hal tersebut.
.
Mungkin menurut mereka Naruto tidak penting untuk Sasuke..
.
Ya, tentu saja. Mereka semua banyak yang menduga begitu. Setelah semua yang terjadi, merupakan hal yang wajar jika mereka beranggapan demikian.
.
Dan Sasuke hanya bisa terkekeh pasrah menerima hal itu. Tidak, sebenarnya ia tidak bisa terima hal itu. Tapi mau bagaimana lagi? Mau diapakan lagi?
.
.
.
"Setelah ini biarkan aku menemui Hokage ketujuh itu..."
.
.
.
.
.
.
.
Zraaaaassshhh
.
Sore yang seharusnya masih secerah siang hari dimana banyak burung-burung berkicau dan orang-orang yang melakukan aktivitas masing-masing itu lenyap seketika saat hujan yang terbilang deras turun begitu saja.
.
Di sinilah Sasuke berada, di padang rumput hijau yang rapi, berhadapan dengan sebuah Monumen Emas yang indah, yang tidak lain itu adalah Monumen teman pirangnya yang bodoh.
Naruto tertidur di bawahnya. Di bawah Monumen emas ini.
.
Kedua iris onyx itu menatap kosong kepada nama yang terukir indah di Monumen megah tersebut, Naruto Uzumaki.
.
Air hujan membuat tulisan nama itu menjadi sedikit tidak jelas, dan saat itu, terbesitlah pemikiran-pemikiran konyol di kepala pemuda berambut raven itu.
.
Apakah hujan ini tak suka bila dirinya menatap Nama Suci itu?
.
Seburuk itukah dirinya sampai Dewa juga tidak mengizinkannya memandang nama itu?
.
Atau mungkin langit memang tidak bisa menahan air matanya sehingga ia menangis, sama seperti saat Naruto dimakamkan...
.
.
Entahlah, ia tidak tahu. Ia tidak pernah tahu. Karena Dunia ini bahkan melarangnya untuk tahu... segalanya tentang Naruto.
.
.
.
Untuk kesekian kalinya, pemuda berambut raven itu menarik nafas dalam-dalam guna menguatkan diri. Entah kenapa berada dekat dengan Naruto membuatnya merasa tidak kuat. Ya, tentu saja. Karena yang ia temui ini bukan Naruto Bodoh yang selalu memberikan cengiran Bodohnya itu, yang ia temui sekarang ini adalah sebuah Monumen... Benda tidak bernyawa yang dingin, yang tidak mungkin mewakilkan Naruto dan tak mungkin bisa memberikan cengiran Bodoh khas Naruto.
.
Walaupun Monumen ini memang sudah seakan-akan mewakilkan Naruto, tapi ia tidak bisa membuat rindu semua orang kepada pemuda pirang itu lepas begitu saja.
.
.
"Naruto..." akhirnya setelah cukup lama pemuda itu membuka suara. Dan hanya nama itulah yang bisa ia ucapkan. Perlu jeda yang cukup lama untuknya mampu melanjutkan ucapannya, mengungkapkan apa yang ia pendam selama ini.
"Aku membencimu... Benar-benar membencimu..."
.
Suara hujan yang jatuh membasahi rumput menjadi saksi atas ucapan Sasuke barusan.
.
"Kau... memberikan segalanya padaku... dan mati.."
.
Ia kemudian melanjutkan perkataannya, terdengar suaranya mulai naik satu oktaf walau belum bisa menandingi suara hujan deras tersebut. Gigi pria itu bergemerutuk, tangannya terkepal, seolah benar-benar menahan emosi.
.
"KAU PIKIR AKU BAIK-BAIK SAJA JIKA SEPERTI INI SITUASINYA, HAH!?"
.
.
Buk!
.
Emosi yang tadi tampak di raut wajah pemuda Uchiha itu kini seakan tak lagi mampu ia bendung. Sasuke menendang keras Monumen Emas di hadapannya itu. Ia harap Naruto mendengar dan merasakan amarahnya. Ia sangat, sangat, sangat, berharap Naruto bisa merasakan amarahnya sekarang ini. Bentakan keras keluar dari pemuda yang biasanya selalu irit bicara tersebut.
.
.
Dan siapa yang membuatnya begitu?
.
Naruto-lah pelakunya..
.
.
Setelah satu tendangan kencang itu, Sasuke masih terlihat frustasi. Jadi ia menjatuhkan tubuhnya agar terduduk berlutut tepat di hadapan Monumen Pahlawan Dunia itu.
.
"Mereka bertingkah seolah aku tidak harus tahu apapun tentangmu.. Kau pikir bagaimana aku sekarang?"
.
Ia tertunduk, seakan ia mengadukan segala keluh kesahnya kepada Monumen sahabatnya itu. Ia terus menyalahkannya dan mengajaknya berdebat, dalam hati sebenarnya ia amat berharap Naruto mendengarkan keluhannya dan menjawab tiap pertanyaannya. Ia ingin Naruto memarahinya karena sudah seenaknya menyalahkan pengorbanan yang telah diberikan. Bahkan jika Naruto harus bangun dan melancarkan Rasengan padanyapun tak masalah. Ia hanya ingin Naruto melakukan sesuatu yang bisa membuatnya terlihat hidup.
.
Ya... Bukannya ia ingin Naruto bertanggung jawab karena situasi ini. Sebenarnya Sasuke seperti ini... karena ia ingin Naruto bangun, ia ingin merasakan keberadaan Naruto secara nyata.
.
Hanya itu...
.
Dan bukan untuk alasan lain..
"Kau pasti membenciku sampai kau harus menghukumku dengan menggunakan segala tekanan yang kurasakan ini.."
.
Bukan untuk meminta pertanggung jawaban..
.
"Jika kau membenciku, seharusnya kau bunuh aku dalam Perang itu..."
.
Tapi untuk membuatnya bangun... untuk membuatnya kembali ada...
.
"Dari awal seharusnya bukan kau yang terbunuh di sana... Seharusnya aku saja yang tewas.."
.
Walaupun ia tahu, harapan itu sangat tidak mungkin terjadi..
.
"... Dengarkan aku, Bodoh.. Jika kau memang membenciku.."
.
Tapi bukankah Naruto juga seperti itu? Lahir bersama kepahitan hidup, dengan secercah harapan yang terlihat mustahil... bahwa kelak ia akan bahagia?
.
Namun dibalik semua itu, kini semua orang di Dunia ini tahu..
.
"Harusnya saat itu kau sempatkan diri untuk membunuhku..,"
.
Bahwa sampai akhirpun...
.
"... Agar aku bisa bersamamu... Teman..."
.
... .Dia tidak pernah bahagia...
.
.
Yah, begitulah ide Fanfic yang muncul di kepaa saya.
Aku hanya minta reviewnya ya minna-san.
.
