The Return : First Year

Disclaimer : i own nothing, lucky for JK Rowling.

WARNING: ada beberapa yang aku edit/ubah di chapter 1 & 2, cuma mau mengingatkan buat kalian yg sudah baca.

A/N : sorry, beberapa kalimat ada yg aku copas dari novel aslinya. I'm so sorry JK Rowling! Kalau ada typo, plot ancur, gaje, OOC, ya...sudahlah. maklum.

Read and Review plz!

CHAPTER 1 - Keluarga Potter

Pagi pertama bulan September terasa segar bagaikan apel, dan sementara keluarga kecil Potter bergerak sepanjang jalan yang penuh suara gaduh menuju stasiun King Cross, asap kendaraan dan nafas para pejalan kaki mengambang bagaikan jaring laba-laba di udara dingin. Tiga benda yang bisa dibilang tak biasanya dibawa-bawa, dua sangkar besar berisikan burung hantu dan yang satunya sebuah sapu, berderik-derik di bagian paling atas troli penuh muatan yang masing-masing di dorong oleh seorang bocah laki-laki dan dua lainnya perempuan kembar. Sementara kedua orang tua mereka berjalan berdampingan jauh di belakang.

Bocah laki-laki itu tiba-tiba berhenti, mendapati burung hantu kesayangannya dalam sangkar bertingkah aneh. Burung itu mulai ber-hoot-hoot keras dan memekik sambil mengepakkan sayapnya beberapa kali seolah-olah ingin memberitahu bocah itu sesuatu. Beberapa orang yang lewat memandanginya heran, bahkan kedua kakak kembarnya berhenti berjalan untuk menengok apa yang sedang terjadi di belakang mereka.

"tenanglah Holly, semua orang menatap kita?"

Burung hantu itu berhenti bersuara lalu menyembunyikan kepalanya di bawah sayapnya seperti takut akan sesuatu, kemudian lama-kelamaan tubuh burung itu menggelembung seperti ikan balon dan,

BOOM!

Suara ledakan itu tak begitu keras tapi cukup untuk menarik perhatian beberapa orang lagi. Mungkin ini adalah hal yang paling aneh yang pernah mereka lihat, seekor burung hantu putih meledak dan anehnya lagi burung hantu itu tidak mati, hanya saja hampir semua bulu putihnya yang seputih salju itu rontok di mana-mana, membuat burung hantu itu menggigil kedinginan.

Orang tua bocah itu segera menghampiri anak bungsu mereka yang sedang menatap tak percaya dengan apa yang terjadi pada burung hantu kesayangannya. Ibunya terlihat cemas, ayahnya terlihat seperti sedang menyembunyikan tawanya. Well, ini memang lucu kalau saja bukan burung hantunya yang sedang jadi bahan lelucon.

"kenapa kau selalu mengerjaiku?!" Albus menatap tajam ke salah satu kakak kembarnya, Rose, yang sedang menahan tawanya.

Sekejap ekspresi Rose berubah menjadi seolah-olah tak percaya bahwa adik kesayangannya menuduhnya melakukan hal kejam seperti itu.

"kau menuduhku melakukan itu?"

"Siapa lagi yang suka mengerjaiku kalau bukan kau."

"Kenapa aku? Mungkin saja Holly tak sengaja menemukan permen dari Paman George dan memakannya." Rose menyembunyikan gelinya.

"Dia tak mungkin memakannya kalau kau tak memberinya."

"Terserah apa katamu."

Kekesalan Albus rasanya semakin bertambah melihat seriangan kecil kakaknya yang diikuti juluran lidah mengejek.

"Rosella!" nada tegas keluar dari ibu mereka, Rose menunduk seperti orang bersalah padahal dia hanya ingin menyembunyikan tawan kecilnya.

Ibu mereka mendengus kesal,

"sekarang aku harus menghapus ingatan mereka tentang ini,"

"obliviate." Ibu mereka merapalkan mantranya ke orang-orang di sekitar mereka.

"kenapa kalian selalu ribut? Apa kalian tidak sadar kita masih di dunia muggle? Kalau masih ada hal janggal yang terlihat lagi oleh mereka dari kalian, kalian berdua tidak akan boleh pulang saat liburan."

"baik Mum." Rose dan Albus serentak sambil menunduk, sementara Lily, kembaran Rose, terlihat terseyum kasihan sambil menggeleng pelan.

"minta maaf kalian berdua."

"tapi mum, Rose yang salah-"

"kau juga Albus, apa kau tak ingat siapa yang menaruh stiker meleleh di esainya Rose? Kau belum minta maaf 'kan?"

Rose langsung mendongak menatap tajam adiknya, membentak "jadi kau yang merusak esai ramuanku!"

"sorry, aku tak sengaja, aku cuma mau uji coba, kupikir perkamen itu tak berguna!" balas Albus membela diri

"tak berguna?! Seharusnya kamu-"

"sudah cukup!" Mrs. Potter sangat marah sekarang, dia menghela nafas dalam-dalam.

Albus dan Rose menunduk lagi, dari sudut matanya dia melihat ayahnya dan Lily menggeleng pelan bersamaan.

"seharusnya aku tidak mengizinkan barang-barang George di rumah kita." Gerutu ibunya kesal.

"well, tenanglah 'Mione, itu hanya lelucon lagipula barang-barang itu tidak berbahaya" Albus melihat ibunya mendelik ke ayahnya yang hanya nyengir seraya kedua tangan terangkat tanda menyerah, takut kalau ikut mendapat amukan dari sang istri.

"Mum," semua melihat Lily yang sedang menunjuk jam tangannya, pukul sebelas kurang tiga puluh menit.

"Merlin", ucap ibu mereka, "ayo cepat."

Lily berlari duluan, mendorong trolinya kencang ke arah pembatas peron 9 dan 10 dan menghilang. Diikuti Rose yang menarik nafas lalu tersenyum kecil.

"maaf, apa gadis-gadis itu baru saja menembus dinding itu?"

Tiga orang yang masih tersisa dari keluarga Potter itu menengok ke orang yang bertanya, ketiganya terkejut.

Ayahnya bingung harus menjawab apa. Orang tadi, wanita, terlihat bingung, seperti menimbang-nimbang sesuatu,

"mm, saya cuma mau tanya, apa anda tahu di mana peron 9 ¾, putri saya harus cepat-cepat pergi ke sekolahnya?" tanyanya ragu.

Wanita itu memperlihatkan putrinya dengan kacamata kotak yang berdiri di depan troli penuh barang-barangnya. Wanita dan putrinya itu sama-sama berambut hitam.

Albus menengok ke orang tuanya, wajah mereka sedikit lega mengetahui kalau dua orang di depan mereka ini bukan muggle biasa tapi yang sudah tahu tentang dunia mereka.

"iya, kami tahu. Putri anda murid baru Hogwarts ya?" tanya ayahnya ramah.

"iya. Ini tahun pertamanya." Wanita itu tersenyum penuh kelegaan sambil menengok sekilas ke putrinya yang juga sedang tersenyum, tapi terlihat dipaksakan.

"anda hanya perlu berlari kecil menembus palang rintangan antara peron 9 dan 10, dan jangan takut saat akan menembusnya. Silahkan."

Wanita itu terlihat ragu-ragu untuk mempercayai penjelasan ayahnya tapi dia tetap mencobanya. Setengah berlari wanita dan putrinya itu mendorong troli bersama-sama menembus pembatas, dan menghilang.

"ayo Albus."

Albus mendorong trolinya bersama ayah dan ibunya, masing-masing di kedua sisinya. Mereka berlari kecil.

Ketika mencapai palang, Albus mengeryit tapi tidak terjadi benturan. Malahan keluarga itu muncul di peron 9 ¾ yang diselimuti uap putih tebal yang keluar dari kereta Hogwarts Express. Sosok-sosok tak jelas bergerak bergerombol menembus kabut.

"Di mana mereka?" tanya Albus antusias sambil mengamati sosok-sosok kabur yang mereka lewati.

"ayo kesini." Ibunya memimpin berjalan mencari dua putri kembarnya.

Kabut itu sangat tebal, dan sulit mengenali wajah orang. Suara-suara yang terucap tanpa orangnya terlihat, terdengar keras tak wajar.

" 'Mione, sepertinya itu mereka" mendadak ayahnya berkata.

Sekelompok orang muncul dari kabut, berdiri di samping gerbong terakhir. Wajah mereka makin jelas ketika Harry, Hermione, dan Albus mendekat.

"hai Albus." Seorang gadis berambut merah tersenyum manis menyapanya.

"oh hai." Narcissa, anak kedua dari Paman Draco dan Bibi Ginny, dia juga masuk Hogwarts tahun ini. Kakaknya, Scorpius, masuk tahun ketiga bersama Lily dan Rose. Dia di asrama Slytherin, sama seperti Rose, Potter pertama yang masuk Slytherin, sedangkan Lily masuk Ravenclaw, kabar itu membuat keluarga terkejut tapi mereka tetap senang.

"kau tak akan percaya Harry, coba tebak." Paman Ron menampakkan senyum lebarnya,

"kau lulus ujian tes mengemudi?" tebak ayahnya.

"bukan. Kalau itu masalah kecil, aku memakai mantra confudus supaya lebih gampang."

"apa!" Ibunya dan Bibi Astoria serentak terkejut,

"oh tidak-tidak, masudku, aku membujuk petugasnya supaya lebih gampang itu saja." Paman Ron tak tahu harus mengatakan apa lagi untuk menutupinya. Ibunya dan Bibi Astoria mendengus kesal bersamaan lagi.

"jadi apa?" ayahnya mengembalikan topik semula

Paman Ron tersenyum lebar lagi, "coba tebak lagi."

"dia baru saja dapat tawaran dari Cannon untuk menggantikan pelatih Bunner." Bibi Astoria yang menjawab. Paman Ron tersenyum lebih lebar lagi.

"selamat Ron!" ayahnya memberikan pelukan bangga.

"dimana Ginny dan Draco?" ibunya bertanya

"ada sesuatu yang mendesak di kementrian katanya," Bibi Astoria kembali menjawab.

"memangnya ada apa? Apa ada hubungannya dengan berita itu? Kemarin aku baca di Prophet, kantor Unspeakable telah kemasukan orang luar" suara ibunya terdengar sangat cemas.

"entah, mereka Unspeakable, mereka tak bisa memberitahu orang luar 'kan. Mereka hanya menitipkan Narcissa dan Scorpius padaku."

"aku masih bingung dengan berita itu, kantor mereka kemasukan orang luar tetapi mereka pastikan tidak ada yang hilang, tidak ada yang dicuri?" lanjut Bibi Astoria.

"mungkin, mereka tidak menemukan apa yang mereka inginkan." Ibunya menyimpulkan dengan suara pelan, lalu bertukar pandang dengan ayahnya seolah mereka berdua tahu apa yang diinginkan orang luar itu.

"apa kau percaya kalau hantu di Hogwarts suka mencekik orang saat tidur?"

Albus mengembalikan perhatiannya pada Narcissa, dia menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaannya. Di pikirannya masih terngiang kalimat ibunya yang terakhir itu lalu pandangan yang diberikan ayahnya pada ibunya.

"aku juga tidak. Aku tahu itu hanya akal-akalan Fred untuk menakut-nakutiku, dan Scorpy tak ada bedanya." Narcissa mendengus kesal. Albus kembali mendengarkan gadis di sampingnya.

Sebenarnya Albus merasa canggung berbicara dengan gadis ini. Di suatu musim panas di The Burrow, waktu itu Albus baru berumur tujuh tahun, Narcissa dengan sembunyi-sembunyi mencoba untuk terbang dengan sapu terbang milik salah satu sepupunya, Arthur – anak pertama Paman Ron dan Bibi Astoria. Karena dia tak pernah diajari jadi dia tak tahu betul cara mengendalikannya, Narcissa hampir jatuh. Refleks, Albus yang baru saja bisa naik sapu terbang yang melihatnya bergelantungan, segera mengambil sapu lainnya berusaha untuk menolong gadis kecil itu. Tidak mulus, tapi akhirnya Narcissa selamat. Semenjak itu, Narcissa sering menganggap Albus sebagai pahlawannya, yang membuat Albus sedikit tak enak. Pernah beberapa kali dia diejeki oleh sepupunya Narcissa, Fred – anaknya Paman George Wesaley, dengan lagu Kissing In the Tree itu, sangat menyebalkan. Tapi, sepertinya ejekan itu sudah tak didengar Albus lagi, mungkin mereka sudah lupa. Tapi tetap saja, Albus masih merasa canggung dengan Narcissa.

Jauh di depan mereka, samar-samar Albus melihat kedua kakak kembarnya berjalan mendekat melewati kabut tebal Hogwart Express. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu. Jika dilihat sekilas, mereka memang sangat mirip, dari rambut coklat bergelombang, mata coklat madu seperti Ibunya, tinggi sama, seperti tak ada perbedaan. Tapi kalau dilihat lagi muncul perbedaannya, Rose terlihat seperti orang yang selalu punya rencana jail, sedangkan Lily terlihat orang yang hangat dan ramah, meskipun kadang galak. Tapi mereka berdua sama menyenangkannya bagi Albus dan yeah, menyebalkan juga. Sering kemiripan mereka mengingatkan Grandma Weasley kepada anaknya, Fred Weasley kembaran Paman George yang meninggal saat perang dulu sekali sebelum Albus lahir. Perang besar melawan Pangeran Kegelapan, Lord Voldemort, beberapa orang masih memanggilnya dengan sebutan Kau-Tahu-Siapa atau Dia-Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut. Berbagai cerita heroik tentang ayahnya bersama dua sahabatnya, ibunya dan Paman Ron, yang berhasil mengalahkan Pangeran Kegelapan membuat nama Potter menjadi sangat terkenal sampai sekarang.

"hai Narcissa." Lily menyapa.

"kalian tahu, Teddy baru saja mengajak kencan Victoire, tadi aku dengar mereka akan ketemuan saat pekan liburan Hogsmade." kata Rose langsung tanpa basa-basi.

"iya, kalau saja Teddy tidak merubah rencanya gara-gara kau ketahuan menguping. Pasti Teddy khawatir kalau kau akan merusaknya." Lily menyambung. Rose memutar bola matanya.

"kupikir mereka manis, aku senang mereka pacaran. Lagipula Victoire sudah lama naksir Teddy 'kan." Narcissa ikut pembicaran itu.

Lily mengangguk setuju.

"katamu Victoire pacaran dengan Kapten Ravenclaw, Michael Yew?" Albus bertanya ke Lily.

"tidak, mereka sudah putus sebulan yang lalu kukira." Narcissa yang menjawab sambil menerawang, mengingat-ingat.

Lily mengangguk lagi, sedangkan Rose mulai memperlihatkan senyum jailnya sambil berpikir, sangat tidak bagus kalau dia mulai tersenyum sambil berpikir seperti itu, menurut Albus.

"aku ingin memergoki mereka saat mereka sedang ciuman. Ah, pasti Teddy malu sekali. Kalau saja aku bisa memasukan serbuk bau nafas naga-nya Paman George ke dalam minumannya-"

"hush! kau ini." Lily segera memarahinya, "jangan ganggu mereka." Narcissa tertawa pelan.

"iya-iya." Rose menjawabnya dengan tak serius.

"bagaimana caramu menaruhnya agar tak ketahuan? Kalau kau ketahuan, Teddy pasti curiga dan mungkin tak akan meminumnya." Albus merasa tertarik dengan ide Rose.

Rose mengangkat kedua pundaknya, "biar kupikirkan nanti." Sambil tersenyum kecil.

Lily menghela nafas, membiarkan kedua saudaranya menjalankan rencana mereka.

"aku tak sabar untuk mengunjungi Desa Hogsmade, pasti menyenangkan."

"apa itu benar kalau murid-murid tahun pertama tidak boleh ikut berkunjung?" Narcissa bertanya.

Lily dan Rose mengangguk. Narcissa mendengus kesal.

"tak apa." Lily tersenyum ramah, selanjutnya dia menyapa Sarah, anak bungsu Paman Ron dan Bibi Astoria, yang berjalan ke arah mereka dengan raut wajah kesal. Di belakangnya dengan rambut merah menyala, Arthur, kakaknya membuntuti.

Gadis kecil dengan rambut gelap seperti ibunya itu tidak menjawab sapaan Lily, melainkan menggerutu.

"kalau saja aku dilahirkan bukan di tanggal 2 September, ini sangat tidak adil."

"sudahlah Sarah, itu memang takdirmu dilahirkan tanggal 2 September." Kakaknya menenangkannya, yang menurut Albus tidak berefek sama sekali, Arthur melanjutkan "lagipula masih ada Hugo, aku yakin Paman Bill dan Bibi Fleur akan sering berkunjung ke The Burrow, kau tak akan kesepian lagi 'kan?"

"Hugo masih lima tahun,"

"lalu kenapa?" Arthur memotong,

"aku 'kan sudah hampir sebelas tahun besok, aku sudah besar dia masih kecil, aku tidak mau main dengan anak kecil."

"well, terserah adik kecilku yang manis,"godanya sambil mengacak-acak rambut Sarah, "jadilah anak yang baik, okei? Nanti akan kukirimi kau hantu Hogwarts agar kau tak kesepian lagi, tentu saja kalau mereka bersedia atau, kau bisa mengajak bermain hantu di loteng The Burrow", tambahnya. Sarah semakin menekuk mukanya,

"sabar ya Sarah." Kata Rose dengan senyuman manis yang menjengkelkan. Albus memberinya senyuman prihatin saat gadis itu mendongak melihatnya.

"hullo everyone!" seorang anak laki-laki dengan rambut pirang menyapa, Scorpius, dia menyeringai lebar, mata abu-abunya berkilat jahil. Albus pernah diberitahu kalau dia sangat mirip dengan Paman Draco waktu muda dulu, sampai-sampai kemiripannya bisa menandingi kemiripan Albus dengan ayahnya, Harry Potter, mulai dari rambut hitam acak-acakan, bentuk wajah yang sama, mulut, hidung, mata hijau cemerlang –orang-orang menyebutnya mata Lily, dari tiga bersaudara hanya dia yang punya- , tapi Albus tidak berkacamata bulat seperti ayahnya dan tidak punya bekas luka berbentuk petir di dahi yang melegenda.

"hello Twinpotts." Rose memutar kedua bola matanya, Lily mengerutkan dahinya dengan tatapan tak suka, kedua mata coklat hazelnya menyipit tajam.

"aku dengar kau mau ikut seleksi, Potter?"

"Potter yang mana yang kau maksud?" tanya Rose yang tak kalah menunjukkan seringaiannya sekarang.

"tentu saja kau, kalau yang satu ini –menunjuk Lily- pasti tidak mungkin. Aku hanya ingin memastikan kau tidak berminat menjadi Seeker karena bagian itu sudah kuambil, aku tak ingin kau menangis nanti." Scorpius memperlihatkan raut wajah kasihannya, mengejek.

"oh ya? kita lihat saja." Jawab Rose dengan suara menantang. Albus tahu kalau Rose berminat menjadi Beater, dia mengatakan padanya tiga jam yang lalu saat masih di rumah sambil mengecek barang-barangnya.

Detik berikutnya peluit kereta terdengar, membuat orang-orang berjingkat kecil kaget. Suasana peron itu yang mulanya memang sudah berisik tambah berisik lagi. Para orangtua memeluk anaknya lagi lebih erat, beberapa ada yang meneteskan air mata tak ingin berpisah lagi dengan anak-anaknya.

"Lily, Rose, Albus!" Hermione atau Mrs. Potter menyuruh ketiga anaknya merapat.

"apa sudah siap semua? Tak ada yang ketinggalan 'kan? Buku-buku? Kuali? Tongkat? PR kalian sudah selesai semua 'kan?"

Hermione menatap Lily dan Rose yang mengangguk serentak.

"kalian yakin?"

"iya Mum, kami sudah mengeceknya sampai ribuan kali." Rose menjawab.

Harry tersenyum melihat. Hermione menghela nafas,

"ya sudah. Tapi jika ada yang ketinggalan cepat tulis surat, nanti kami antar." Ketiga Potter muda itu mengangguk lagi.

Hermione menghela nafas lagi sambil memandangi ketiganya.

"ingat, belajar yang rajin, baca buku kalian, taati aturan, jangan melanggarnya jika tak ingin terkena detensi." Mata Hermione tertuju ke Rose,

"jangan lupa belajar yang rajin, kerjakan PR tepat waktu –mata Hermione melirik ke suaminya- , jangan menunda-nundanya. Perhatikan pelajaran, dan jangan mengantuk saat pelajaran –mata Hermione melirik ke Harry lagi yang tersenyum- meskipun itu membosankan, itu akan sangat berguna bagi kalian nanti. Jadi murid yang baik, dan belajarlah yang rajin-"

"Mum, kau sudah mengatakan belajar yang rajin untuk yang ketiga kali ini." Potong Albus.

Hermione mengerutkan dahinya mengingat-ingat dan tersenyum malu, lalu menggelengkan kepalanya sebentar dan menambahkan "jangan lupa sampaikan salam kami pada Hagrid, Paman Neville, Minerva, dan Profesor Flitwick. Oh- jangan lupa Aberforth dan-"

"kami juga tak akan lupa dengan hal itu, semuanya akan diberi salam hangat dari Mr. dan Mrs. Potter." Rose nyengir.

Hermione tersenyum, bola matanya bergantian memandangi ketiganya. Dia menghela nafas lagi.

"aku pastikan semua dalam kondisi aman, tentram dan terkendali, aku janji." Kata Lily tersenyum.

"aku sayang kalian. Jaga adik kalian baik-baik." Ibunya memeluk satu persatu dari mereka. Lily, Rose, kemudian Albus.

Ekspresi ibunya berubah jadi semakin sedih melihat Albus, lalu dipeluknya.

"jaga baik dirimu. Jangan lupa tulis surat, kalau bisa tiap minggu atau tiga hari sekali."

"iya Mum akan kuusahakan, aku juga sayang Mum." Ibunya mengecup keningnya.

Albus tak tahu kenapa, tahun lalu saat Lily dan Rose pergi ibunya tidak sampai sesedih ini. Mungkin karena dia anak bungsu, jadi reaksi ibunya seperti ini.

Sekarang gilirannya pamit ke ayahnya yang tersenyum bangga.

"dengarkan kata Mum. Dan jangan macam-macam dengan Peeves, jauh-jauh darinya. Jangan berduel dengan siapapun jika belum tahu caranya." Ayahnya merangkulnnya beberapa saat.

"dan menjauhlah dari masalah, oke?" ucap ayahnya diikuti kerlipan mata. Kalau Albus tak salah mengartikan, ada pesan tersembunyi di balik kerlipan mata itu. Albus mengangguk,

"iya Dad." dan tersenyum.

Ayahnya berkata lagi, "bye Al, sampai jumpa Natal nanti."

Peluit kereta terdengar lagi, peringatan terakhir. Asap hitamnya membumbung ke atas semakin tebal dan sekitarnya, menutupi penglihatan orang-orang. Albus bergegas melompat ke kereta, mengikuti kakak-kakaknya sambil melambaikan tangannya ke kedua orangtuanya. Ibunya menutup pintu di belakangnya,

"bye Al, kami menyayangimu." Sekilas ucap ibunya.

Albus langsung menemukan kompartemen kakak-kakaknya, dia menengok ke jendela kereta itu seperti Rose dan Lily, melihat ayahnya merangkul pundak ibunya, mereka berdua tersenyum, airmata ibunya terlihat beberapa kali menetes. Albus melambaikan tangannya lagi sambil tersenyum. Ayahnya membisikan sesuatu pada ibunya yang dijawab dengan pukulan kecil ke pundaknya, ayahnya nyengir lalu tersenyum melambai ke Albus. Kereta bergerak menjauh tapi dia masih bisa melihat kedua orangtuanya, ibunya tampak berhenti tersenyum tapi ayahnya membisikkan sesuatu lagi, membuat ibunya mulai tersenyum lagi meskipun terlihat berat sambil melambaikan tangannya.

Jauh di belakang mereka Paman Ron, Bibi Astoria, Teddy, Paman George, Bibi Angelina, dan masih banyak rambut merah menyala lainnya ikut tersenyum, beberapa melambai. Beberapa orang lainnya juga mengikuti gerakan tersebut, dan perlahan mereka mengecil. Jejak uap Hogwarts Express menguap di udara musim semi. Kereta membelok ke tikungan, dan Albus tak lagi bisa melihat kedua orang yang sangat ia sayangi itu.

A/N : bagaimana menurut kalian? Jelek? Bagus? Tengah-tengah? Aku belum tahu, mau aku jadiin multichapter atau nggak, kalau kalian banyak yang mau aku usahain.

Don't forget, REVIEW please! Itu sangat sangat membantu.