SAVE THE RINGS

A SasuHina fanfiction

By AngryDeer007

.

Main Cast :

Uchiha Sasuke & Hyuuga Hinata

Supporting cast :

Uchiha Sarada, Haruno Sakura, Uchiha Mikoto, Hyuuga Hiash, etc.

(cr Masashi Kishimoto)

.

Genre :

Marriage life, drama, family, angst, romance

Warnings :

Typo, crack pair, weird plot, mature content, NC.

At least you must be 18 years old and above for reading this.

Note : Bagi para penganut official pair yang close minded, silahkan close tab.

.

Chapter 1

.

.

Pagi itu Hinata tengah mempersiapkan sarapan untuk suaminya. Sebuah rutinitas baru setelah dirinya menyandang sebagai Nyonya Uchiha dua bulan yang lalu. Walaupun masih terhitung pengantin baru, namun agaknya Hinata cukup telaten saat melakukan pekerjaannya sebagai seorang istri. Ia bahkan tidak kesulitan saat menggunakan alat-alat masak tersebut.

Meskipun terlahir dari keluarga kaya raya, namun Hinata tak kesulitan untuk melakukan pekerjaan rumah. Dimana biasanya para gadis bangsawan enggan dan gengsi untuk melakukan pekerjaan rumahan semacam itu. Tapi bagi Hinata, ia ingin melayani suaminya dengan baik.

Hinata memasukkan dua buah roti tawar ke dalam toaster lalu menekan tuasnya ke bawah. Sementara menunggu rotinya siap, wanita itu menuangkan air panas ke dalam dua buah cangkir yang berisi kopi dan mengaduknya hingga rata.

Ting! Hinata bergegas mengambil piring ketika suara khas dari toaster yang menandakan bahwa roti telah matang. Hinata membuat sandwich roti panggang yang ia isi dengan lelehan mentega dan keju serta menyiramnya dengan lelehan caramel yang menggugah selera. Kemudian ia meletakkan sandwichnya itu di meja makan, sambil menunggu suaminya selesai bersiap.

Pada saat Hinata hendak mengambil cangkir kopi yang ada di atas counter, ia mendengar suara deritan kursi yang ditarik dan hidungnya mencium aroma segar shampoo dengan wangi yang mulai terasa familiar. Itu adalah suaminya. Uchiha Sasuke.

Tuk! Hinata meletakkan cangkir kopi di depan Sasuke, dan ia memutari meja dengan kopi miliknya dan duduk berseberangan dengan pria tampan berambut gelap itu.

Tidak ada sapaan selamat pagi. Ya, Hinata agaknya masih harus membiasakan diri dengan sifat dingin dan acuh suaminya itu. Sempat terbesit sebuah kelakar di kepalanya saat ia pertama kalinya membuat sarapan untuk Sasuke, Hinata merasa bahwa ia seperti menikahi kulkas berjalan lantaran saking dinginnya sifat Sasuke.

Hinata nyaris menarik sebuah senyum simpul, saat memperhatikan ekspresi serius Sasuke yang tengah mengecek email di ponselnya. Setelah selesai dengan urusan kecilnya, Sasuke mengambil garpu dan mengambil sepotong roti yang telah Hinata siapkan.

Amethys Hinata terus memperhatikan bagaimana Sasuke melahap makanannya dengan tenang.

"Kau tidak makan?" tanya Sasuke ketika menyadari bahwa hanya ada cangkir kopi di depan wanita yang menjadi istrinya itu.

Hinata memberikan senyum kecilnya yang terlihat anggun seraya menjawab. "Aku belum lapar."

Sasuke tak memperpanjang lagi dan ia mengambil cangkir kopinya dan meminum kopi buatan Hinata. Dahinya agak mengerut ketika cairan pekat itu melewati tenggorokannya.

"Kau tidak menaruh gula didalamnya." Sasuke berkomentar.

"Benarkah?" Hinata menggigit bibirnya karena merasa malu. "Aku akan mengambikan gulanya."

"Tidak usah." Sergah Sasuke cepat. "Aku pergi sekarang." Katanya dan pria itu bangkit dari kursinya dan beranjak dari dapur.

Hinata hanya tertegun melihat kepergian Sasuke. Amethysnya kemudian meredup dan pandangannya turun ke tempat dimana Sasuke tadi duduk. Pria itu menyisakan setengah sandwich dipiringnya.

Hinata menghela napas. Ia sudah mencoba terbiasa dengan peran barunya sebagai istri Sasuke. Ia mencoba memahami sikap dingin Sasuke. Mencoba melayaninya dengan baik. Tapi Hinata tetap kalah oleh perangai laki-laki itu yang membuatnya sulit terbiasa dengan keadaannya sekarang.

Tidak ada sapaan selamat pagi, tidak ada kalimat sampai jumpa ketika pria itu ke kantor, bahkan tak ada kecupan mesra sebelum pria itu pergi.

Well, memangnya apa yang Hinata harapkan dari sebuah pernikahan yang dilandaskan sebuah perjanjian bisnis kedua orang tua mereka?

Tidak ada.

Tidak ada hal semacam cinta dan perasaan sejenisnya untuk menjadi pondasi pernikahan mereka. Pernikahan mereka adalah sebuah tanda dari otoritas sebuah kesepakatan bisnis masing-masing.

Meskipun tak ada cinta diantara dirinya dan Sasuke. Tapi Hinata tidak bohong saat ia merasa ada sebuah lubang menganga dihatinya. Lubang besar yang menyiratkan sebuah kekosongan hati dan butuh disempurnakan. Tapi Hinata tidak tahu harus mengisinya dengan apa untuk membuat lubang itu tertutup dan nampak sempurna.

Hinata membawa langkahnya menuju ruang tamu apartemen. Ia duduk dengan lemah di atas sofa empuk buatan Kartell.

Hinata menatap ke arah televisi LED berukuran 50 inch di depannya dan pikirannya menerawang.

.

Besar dengan latar belakang keluarga yang konservatif, membuat Hinata harus menukar kebebasannya. Bahkan ibunya tidak sanggup untuk terus terbelenggu dalam sangkar Hyuuga hingga ketika ia berusia 13 tahun, kedua orang tuanya resmi berpisah. Dengan hak asuh Hinata jatuh pada Hiashi, sedangkan adiknya Hanabi, di asuh oleh ibunya.

Alih-alih untuk bersedih, Hinata justru harus berpura-pura tegar. Karena itu akan mempengaruhi kredibilitas seorang Hyuuga. Segala hidup Hinata seolah telah diatur dan ia tak punya pilihan selain mengikuti kemauan ayahnya. Termasuk pernikahannya.

Hinata memijit pelipisnya ketika ingatan bagaimana untuk pertama kalinya ia bertemu Sasuke saat jamuan di salah satu Hotel mewah beberapa waktu lalu muncul di kepalanya. Tanpa pembicaraan sebelumnya, tanpa pemberitahuan apapun, malam itu Hiashi memutuskan bahwa Sasuke dan Hinata akan bertunangan.

"Aku tahu bahwa aku tidak bisa mengandalkanmu untuk meneruskan bisnisku di perusahaan." Kata Hiashi setelah ia dan Hinata tiba di rumah. "Aku perlu seseorang yang kompeten untuk melanjutkan apa yang sudah kubangun. Dan Uchiha itu adalah yang paling tepat." Lanjutnya.

Hinata tahu, bahwa ia tidak pernah bisa menjadi apa yang ayahnya inginkan. Walaupun ia selalu melakukan apa yang ayahnya perintahkan, tapi nyatanya itu tak cukup membuat ayahnya puas dengan apa yang Hinata lakukan.

Saat itulah Hinata merasa bahwa ia benar-benar tidak berguna. Bahkan ayahnya lebih mempercayai orang lain untuk mengurus perusahaannya ketimbang memberikan kesempatan pada putrinya.

Dan sekali lagi, tanpa protes apapun. Hinata melangsungkan pernikahan dengan Sasuke sesuai keinginan kedua orang tua mereka.

Orang-orang mungkin akan merasa iri dengan seseorang seperti Hyuuga Hinata. Cantik, sempurna, kaya raya, dan yang paling membuat hampir seluruh wanita patah hati adalah ketika dirinya resmi menikah dengan cassanova paling diincar di negeri itu, Uchiha Sasuke.

Dan disaat seperti ini, Hinata tidak tahu bahwa ia harus bersyukur atau mengeluh. Ketika ia ingin bersyukur, nyatanya ia tak merasa bahagia dengan alur hidupnya yang terbelenggu, namun ketika ia ingin mengeluh ia merasa tak pantas untuk melakukannya disaat Tuhan telah begitu murah hati memberikan segala kemewahan dan kemudahan yang ia nikmati selama ini.

Dan untuk menghargai hidupnya, Hinata cukup menjalankan perannya dengan baik. Setidaknya, ia cukup dengan tidak membuat masalah.

Tapi Hinata tidak tahu, bahwa akan ada kejutan lain yang menunggunya. Sesuatu yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya dari seorang Uchiha Sasuke.

.

Tingtong!

Suara bel membuyarkan kilas balik Hinata. Dan dengan segera wanita itu bangkit dari sofa menuju pintu apartemennya.

Klik! Hinata membuka pintu dan mendapati wanita 50-an berdiri di depannya.

"Bibi Yukari?" kata Hinata saat amethysnya menatap wajah wanita yang ia ketahui adalah seorang maid yang biasa Sasuke sewa untuk membersihkan apartemennya.

"Mr Uchiha meminta saya datang untuk melakukan beberapa pekerjaan." Ujarnya pada wanita cantik yang kini telah resmi menikah dengan tuannya.

"Tapi, aku bisa melakukannya sendiri. Bibi tidak perlu repot." Kata Hinata. Dia hanya merasa bahwa setelah ia menikah dengan Sasuke, maka pekerjaan rumah adalah tugasnya sekarang. Lagipula Hinata juga tidak keberatan melakukannya.

"Itu yang dikatakan Tuan Uchiha."

Kalau sudah begitu, Hinata tak punya pilihan lain. Ia mempersilahkan Bibi Yukari masuk dan membiarkan wanita itu melakukan tugasnya sesuai perintah Sasuke. Kecuali memasak. Karena Hinata ingin memasak untuk suaminya dengan tangannya sendiri. Dan perihal pekerjaan Bibi Yukari, Hinata akan membicarakannya nanti setelah Sasuke pulang.

"Maaf, Nona, saya sudah menyelesaikan semuanya. Apa anda butuh bantuan?" ujar Bibi Yukari saat Hinata tengah menyiapkan makan malam.

"Tidak perlu. Aku ingin memasak sendiri untuk suamiku." Ujarnya lembut.

Bibi Yukari tersenyum kecil. Menurutnya sifat Hinata yang lembut sangat cocok dengan sifat Sasuke yang keras kepala. Selama bekerja untuk Sasuke, Bibi Yukari merasa bahwa Hinata satu-satunya wanita yang mampu mengimbangi kepribadian tuannya.

Ya, setidaknya itu yang terlihat dari luar.

"Jika begitu, saya mohon pamit." Kata Bibi Yukari.

Hinata mengangguk dan tersenyum ramah pada Bibi Yukari. "Terima kasih banyak. Dan maaf karena telah merepotkanmu." Ujar Hinata.

Bibi Yukari mengangguk. "Tidak masalah, Nona. Kalau begitu saya permisi." kata Bibi Yukari dan segera berlalu dari apartemen Sasuke.

Tak berselang lama, Sasuke muncul. Pria itu baru saja kembali dari kantor. Setelah membersihkan diri, Sasuke bergabung dengan Hinata di meja makan dan keduanya makan dengan kondusif, yang mana nyaris tanpa sebuah obrolan.

Entah Sasuke sadar atau tidak, tapi Hinata selalu memperhatikannya saat makan dengan sesekali melirik pada Sasuke. Karena ketika melihat Sasuke makan dengan lahap dan tanpa komplen, dalam hati Hinata cukup puas dengan apa yang telah dia lakukan untuk Sasuke. Itu berarti masakannya cocok dengan lidah pria itu.

.

Setelah selesai membereskan sisa makan malam. Hinata berjalan menuju kamarnya dan menemukan suaminya tengah berdiri di depan lemari pakaian dan atensinya sepenuhnya terfokus pada layar ponsel miliknya.

Hinata tengah berdiri tepat di ambang pintu kamarnya. "Sasuke," panggil Hinata pelan obsidian pria itu melirik pada Hinata sekilas. Yang artinya Hinata telah mendapatkan atensinya.

"Tentang Bibi Yukari," mulainya. "Kurasa dia tak perlu datang lagi."

"Kenapa?" tanya Sasuke dengan suara baritonnya yang khas.

"Aku bisa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Aku tak ingin merepotkan orang lain." Kata Hinata.

"Itu sudah menjadi tugasnya. Dan untuk itulah dia dibayar."

"Tapi aku tidak—"

"Kudengar putri bungsunya sedang sakit." Potong Sasuke. "Jika kau ingin dia kehilangan pekerjaannya, aku akan mengatakan padanya."

"Tidak perlu." Sergah Hinata cepat. Dia tidak memikirkan kemungkinan itu.

"Kalau begitu, biarkan dia melakukan tugasnya." Tukas Sasuke. Dan ia hendak berjalan melewati Hinata keluar kamar.

Amethys Hinata menatap Sasuke dengan ekspresi keberatan. "Tunggu," Hinata menginterupsi, menahan lengan pria itu lalu segera melepaskannya. "Aku yang akan membayar gajinya, tapi dia tak perlu datang setiap hari."

"Terserah." Kata Sasuke kemudian pria itu benar-benar keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang kerjanya.

Hinata menyampirkan anak rambutnya ke telinga dan menghela napas pelan.

.

Sasuke telah selesai dengan pekerjaannya diruang kerja miliknya dan kembali ke kamarnya dan Hinata. Ketika masuk dan kembali menutup pintu, secara kebetulan Hinata baru saja keluar dari dalam kamar mandi dan telah berganti pakaian mengenakan sleep robe selutut berwarna ungu muda.

Tatapan mata mereka bertemu membuat Hinata agak bersemu. Kemudian dengan canggung Hinata berjalan ke depan meja rias sementara Sasuke duduk dipinggir ranjang.

"Kemarilah." Ujar Sasuke dengan suara beratnya yang mengusik bulu kuduk Hinata. Hinata kemudian melangkah mendekati Sasuke dan duduk disamping pria itu.

Keduanya saling diam dan Hinata memberanikan diri menatap obsidian Sasuke yang tengah menatapnya intens. Percayalah, bulu kuduk Hinata mulai meremang hanya karena ditatap seperti itu oleh Sasuke. Dan pipinya terasa agak panas karena menahan malu.

Sasuke meraih wajah Hinata dan mencumbu bibir wanita itu dengan perlahan. Hinata menyambut lumatan bibir Sasuke dengan tempo yang lebih pelan.

Tangan Sasuke yang berada di pinggang Hinata secara perlahan menarik lepas tali sleep robe yang dikenakan wanita itu tanpa melepas tautan bibir mereka, Sasuke mendorong tubuh istrinya hingga terbaring di atas ranjang.

Suara decakan tercipta saat Sasuke melepaskan tautan bibir mereka. Pria itu menyadari istrinya yang merona tengah menatap balik ke arahnya.

Hinata begitu cantik. Sasuke tak akan pernah menyangkal hal itu.

Hinata mungkin mulai terbiasa dengan sikap dingin Sasuke dan perangai tegasnya. Dan sama sekali tak kesulitan untuk melakukan kegiatan rumah tangganya. Namun, ia masih begitu gugup jika menyangkut urusan ranjang seperti making love. Walaupun ini bukan pertama kalinya mereka berhubungan seks, tapi perasaan canggung ini sama seperti ia pertama kali bercinta dengan Sasuke.

Katakanlah dia... malu. Karena dia melakukannya hanya sebatas tugasnya sebagai seorang istri, dan ia yakin bahwa Sasuke pun sama. Tidak ada cinta dalam seks mereka, hanya ada sebuah otoritas dari pernikahan keduanya.

Hinata membiarkan ketika tangan Sasuke mengelus punggungnya dan membuka lepas kaitan bra yang dipakainya lalu membuangnya ke bawah ranjang. Kemudian pria itu kembali mendekatkan wajahnya dan Hinata menyambut cumbuan suaminya lagi. Hinata selalu takjub pada kemampuan Sasuke dalam berciuman. Istilah the great kisser agaknya memang pantas di sematkan untuk pria itu.

Dan malam itu, Hinata mengikuti alur permainan yang diciptakan oleh Sasuke.

.

.

Tingtong!

Hinata segera melangkah ketika suara bel pintu terdengar. Saat itu ia tengah membereskan alat makan sisa sarapan tadi sementara Sasuke sudah berangkat ke kantornya.

Hinata meraih tuas pintu dan menariknya lalu dari celah pintu muncul sosok Bibi Yukari.

"Selamat pagi, Nona." Sapa Bibi Yukari. "Atau haruskah saya memanggil anda Nyonya Uchiha?"

Hinata agak bersemu mendengarnya. Dan ia hanya tersenyum kecil tanpa menjawab ya atau tidak. Tapi sebagai gantinya, wanita cantik itu mempersilahkan Bibi Yukari untuk masuk.

"Bibi Yukari, bisakah saya bicara sebentar pada anda?" kata Hinata setelah keduanya berada di ruang tamu apartemen.

"Ya tentu Nona." Jawab Bibi Yukari.

"Kudengar anakmu sedang sakit, apa itu benar?" tanya Hinata dengan lembut.

"I-iya" Bibi Yukari mengangguk.

Hinata kemudian mengambil sebuah amplop cokelat yang telah ia siapkan di atas meja ruang tamu. Lalu menyerahkannya pada wanita paruh baya itu. "Ambilah," katanya. Bibi Yukari menatap tak mengerti pada majikan cantiknya.

"Untuk putrimu. Bawalah dia ke dokter. Kupikir kau tengah membutuhkannya."

"Tapi..." Bibi Yukari agak menimbang dengan perasaan malu.

"Terimalah... kumohon."

Dengan perasaan segan, Bibi Yukari menerima amplop tersebut lalu membungkuk kecil pada Hinata. "Terima kasih, Nona."

"Dan... kau tidak perlu datang setiap hari kemari."

Kalimat Hinata sontak membuat wanita paruh baya itu mengerutkan alis dengan ekspresi terkejutnya. Lalu matanya tiba-tiba menjadi sendu dan penuh kekhawatiran.

"Kenapa? Apa anda tidak puas dengan pekerjaan saya."

Amethys Hinata seketika memancarkan ekspresi penyesalan. "Oh tidak." Ujarnya. "Ini tidak ada hubungannya dengan kinerja Bibi. Aku... hanya tidak ingin merepotkanmu." Kata Hinata dengan nada menyesal.

"Tapi ini memang sudah menjadi tugasku. Tuan Uchiha akan marah, jika anda melakukan pekerjaan rumah sendirian."

"Sasuke tidak akan marah. Aku sudah bicara padanya."

Bibi Yukari terdiam. Hinata seketika menjadi tidak enak hati, karena telah mengatakan hal yang mungkin membuat Bibi Yukari sedih.

"Jadi apa yang harus saya lakukan?" tanya Bibi Yukari kemudian.

"Bibi masih bisa bekerja disini, namun kau tak perlu datang setiap hari."

"Anda yakin?"

Hinata mengangguk pasti. "Dan hari ini Bibi boleh pulang. Kau harus menemani anakmu, kan?"

"Tapi..."

"Bibi tak perlu khawatir. Kau sudah membersihkan apartemen ini kemarin. Jadi hari ini kau tak perlu melakukannya. Mungkin besok atau lusa kau bisa datang lagi setelah putrimu sembuh."

Ada sepercik binar kelegaan di mata wanita tua itu. "Baiklah, Nona. Terima kasih banyak." Ujar Bibi Yukari dengan senyuman kecil.

Hinata balas dengan senyuman lembutnya yang selalu kelihatan anggun. Kemudian Bibi Yukari segera undur diri dari apartemen Sasuke.

Ketika Hinata hendak menuju ke dapur tiba-tiba suara bel pintu apartemennya kembali berbunyi. Dan dengan langkah santai, Hinata kembali berjalan menuju pintu. Dia sempat berpikir, mungkin itu Bibi Yukari lagi.

Ketika Hinata membuka pintunya, ternyata bukan Bibi Yukari yang sempat ia perkirakan, namun seorang pria tinggi berambut ash-grey yang kalau tidak salah bernama Hidan, seorang kepala keamanan yang bekerja di Mariott, tempat dimana apartemennya berada.

Tiba-tiba amethys Hinata menangkap sosok mungil yang berdiri di samping pria tegap itu. Seorang anak perempuan berusia tiga tahunan melihat ke arahnya dengan tatapan polosnya.

"Permisi, Nyonya Uchiha." Ujar pria bersetelan jas hitam ala bodyguard itu.

"Ya?"

"Seseorang meminta saya untuk mengantarkan anak ini ke apartemen Tuan Uchiha." Kata Hidan memberi tahu.

Kening Hinata berkerut. "Seseorang? Siapa? Dan Siapa anak ini?" tanya Hinata heran.

"Maaf, saya tidak tahu, wanita itu berada di lobby saat mengantar anak ini."

Yang Hinata tahu, kau memerlukan akses untuk masuk ke apartemen atau meninggalkan tanda pengenal di resepsionis untuk berkunjung ke salah satu apartemen di Mariott. Jika orang itu memang kerabat Sasuke pasti orang tersebut akan datang langsung ke apartemennya.

Kenapa orang itu harus meminta Hidan untuk mengantarkan anak ini? Dan apa pula hubungan anak ini dengan Sasuke?

Merasa tak menemukan pencerahan apapun dari Hidan, Hinata membiarkan anak itu untuk masuk ke apartemennya. Sedangkan Hidan telah undur diri dan melanjutkan tugasnya.

Anak perempuan itu menatap canggung pada Hinata ketika Hinata menggiringnya dengan pelan ke ruang tamu apartemennya. Hinata juga merasakan kecanggungan yang ganjil dan dadanya berdegup dengan perasaan was-was yang tak ia harapkan.

"Hai, siapa namamu?" tanya Hinata dengan lembut untuk mencairkan suasana.

"Sarada," sahut anak itu dengan suara imutnya. "Uchiha Sarada." Lanjutnya yang membuat Hinata mematung seperti batu dengan amethysnya yang agak melebar.

Bukan. Pasti bukan. Mungkin anak ini hanya kerabat jauh Sasuke, keponakannya atau apapun itu. Pikirnya setengah panik.

"Jadi Sarada ke sini untuk menemui siapa?" lanjutnya lagi, namun ekspresi Hinata telah sedikit pias dari sebelumnya.

"Papa."

Seperti sebuah peluru yang melesat cepat, tepat menembus dadanya. Hinata merasakan getir yang membuatnya tak mampu berpikir. Dan logikanya yang tersisa membuat wanita itu kembali pada raganya dan ia menatap Sarada yang masih memperlihatkan binar kepolosan saat menatapnya.

"Papa?" kata Hinata mengulang ucapan anak kecil itu sebelumnya. Sarada kecil mengangguk pelan lalu perhatian Hinata teralihkan oleh sebuah amplop surat yang di bawa oleh Sarada.

"Apakah itu untuk Papa?" tanya Hinata mencoba agar Sarada memperlihatkan lebih jelas amplop itu.

Sarada kecil tersenyum lalu mengangguk lucu. "Ibu bilang ini untuk Papa." Beritahunya.

Hinata sekuat tenaga mencoba mengabaikan sesuatu yang kemungkinan Sasuke benar-benar terlibat dengan hal ini.

"Bolehkah aku melihatnya?" tanya Hinata dengan mempertahankan nada lembutnya dan Sarada kembali mengangguk lalu Hinata mengambil amplop tersebut untuk dibuka.

Mungkin ia tidak sopan, dan membuka surat orang lain adalah kelancangan pertama dalam hidupnya. Tapi Hinata perlu tahu.

.

.

Tidak ada yang memperingatkan Sasuke soal kejutan yang akan membuat hidupnya berbubah 180 derajat. Bahkan hari ini kelihatan begitu cerah walaupun musim panas telah berada di penghujung waktunya.

Siang itu ketika Sasuke baru saja selesai dengan meeting pentingnya dan telah kembali duduk di ruangannya. Tiba-tiba ponselnya bergetar dan dahinya agak mengerut ketika nama wanita yang telah resmi menjadi istrinya dua bulan lalu menghubunginya.

Tidak biasanya Hinata menghubunginya di jam kerja.

"Ada apa?" jawab Sasuke ketika Hinata menyebut namanya.

Hinata menahan sakit yang berdentum di dadanya, hingga ia memberi jeda ketika Sasuke telah menunggu dirinya untuk bersuara. Hinata melirik pada Sarada yang masih memperhatikannya.

"Sasuke, seorang anak bernama Sarada mencarimu." kata Hinata ragu.

Ditempatnya, alis Sasuke berkerut mendengar pertanyaan nonsense Hinata. "Apa yang kau maksudkan? Bicara yang jelas."

"Putrimu... apa kau benar-benar memiliki seorang anak? Dia datang Sasuke, anakmu."

Sasuke sempat-sempatnya mendenguskan tawa dan entah kenapa ia ikut merasa gusar dengan cara Hinata menyampaikan kalimatnya. "Ini bukan waktunya bercanda, Hinata. Karena sangat tidak lucu." Kata Sasuke dingin.

"Tapi dia ada disni."

Sasuke tertegun oleh suara Hinata yang berujar begitu pelan. Tidak terdengar ada niatan untuk bergurau sama sekali dalam nada suaranya.

"Papa?"

Bersambung

Hm, gimana permulaannya? I know this ain't my best. But I just try to throw up the whole idea out of my head. btw ini juga saya up di wattpad kok.