Title: The Greatest Secret
Author: CLA
Rated: T
Genre: Fantasy, Family(?)
Words/ Length: 5k+/ chaptered
Pair: none, but eunhae are the main cast here. Setidaknya di chapter-chapter awal mereka main cast ._.
Disclaimer: I own the story. God own the casts. I just borrow their name.
Warning: AU, Ooc, typos, etc. Please do remember this is just a fiction, which means, not real.
Please note tidak akan ada unsur romance yang masuk dalam FF ini. tidak seperti biasanya, aku coba tulis personality mereka dengan sifat mereka setiap kali di super show/ SNS ^^
ENJOY!
.
"Donghae, bantu ibu ambil kardus dan plastik!"
"Donghae, bantu aku membawakan makanan!"
"Donghae, tolong ibu ambil kain kecil!"
"Donghae tolong ambilkan kue di ruang tamu!"
"Donghae tolong-"
"Donghae-"
"Donghae-"
"Dongha-"
"YA! YA! YAAAAA! Ada apa sih? Kenapa repot-repot begini?"
Ibu dan Donghwa menoleh ke pintu utama dan menghela nafas melihat Donghae yang sedari tadi masih terpaku di depan pintu dengan seragam sekolahnya. Mereka melihat jam dan menggeleng-gelengkan kepala. Donghwa menaruh beberapa plastik makanan serta kotak berisi kue sementara ibu melanjutkan aktifitasnya memisah-misahkan antara makanan ringan atau berat.
"Cepat mandi, sudah hampir malam. Kalau perlu langsung ganti baju saja!" Donghwa mengambil tas Donghae dan mendorong Donghae ke tangga, menyuruhnya cepat-cepat bersiap.
"Hei! Hei! Kalian mau apa sih?"
"Kita akan ke rumah Hyukjae bertamu. Sekarang."
"MWOYA?"
.
.
.
.
.
.
.
Lee Hyukjae adalah sosok yang Donghae takuti (sebenarnya lebih bisa dibilang kurang suka) sejak ia pindah ke rumah di sebelah Donghae. Keluarganya baik, ramah, tapi hal yang sama tidak berlaku kepada Hyukjae. Hyukjae cenderung lebih kalem dan kurang ramah, malah yang ada ia terkesan seperti anak yang meng-ansoskan diri (atau mungkin diansoskan karena sifat menyebalkannya) dari dunia luar.
Pernah sekali saat keluarga Hyukjae bertamu ke rumahnya, sebagai salam perkenalan. Semuanya tersenyum ramah bahkan mencubit pipi Donghae gemas seakan Donghae adalah bocah padahal dia sudah masuk SMA kelas 3. Sementara itu, Hyukjae malah menatapnya tak menentu, sebelum akhirnya menyemburkan sepatah kalimat yang membuat Donghae luar biasa syok.
"Sebentar. Donghae laki-laki?"
Dan malam itu Donghae menangis meraung-raung di kamar, bersumpah akan meninggikan badan, membentuk otot, memberatkan suaranya setiap berbicara, dan menumbuhkan rambut di wajahnya (kumis dan kawan-kawan) biar terlihat manly.
Walaupun sejak dulu hingga sekarang, bulu ketiak saja hampir tak terlihat. Apalagi kumis...
"Donghae, ayo cepat! Nanti kita kemalaman!"
"Ibuuu, mereka kan sudah pernah bertamuuuu!" Rengek Donghae. Terlihat sekali kalau dia memang anti dekat-dekat dengan Hyukjae.
"Tapi kita belum pernah ke rumah mereka sayang, kita terlalu sibuk seminggu ini!" Ibunya berteriak dari bawah.
Dan jadilah Donghae berdiri di depan pintu rumah keluarga Hyukjae setelah diseret paksa oleh Donghwa.
"Ayo Donghae! Tekan bel-nya!"
"Kenapa tidak ibu saja sih yang tekan?" Donghae berbisik kesal. "Aku saja yang bawa barangnya deh!"
"Tidak! Bisa hancur barang ini di tanganmu. Lagipula apa salahnya sih? Hyukjae kan anak baik. Mungkin waktu itu Hyukjae tak bermaksud menyinggungmu Hae."
Donghae menghentak-hentakkan kakinya kesal. Dengan berat hati tangannya yang gemetaran bergerak memencet bel. Donghae sudah berkomat-kamit berdoa semoga bukan saja Hyukjae yang membuka pintunya.
CKLEK
"Ah?"
Donghae mengerjapkan matanya dan menatap Hyukjae yang sekarang berdiri di depannya. Badan Hyukjae yang faktanya lebih tinggi daripada Donghae membuatnya merasa terintimidasi. Di belakang Hyukjae, seekor anjing berbulu cokelat lebat berlari-lari dan mengelilingi si majikan, dan ikut menatap Donghae dengan mata bulatnya.
"A-a-"
"Eh, Hyukjae-ah! Maaf bertamu malam-malam, orangtua-mu ada di rumah?" Ibu Donghae tersenyum ramah. Hyukjae membalas senyumannya dengan senyuman kecil dan menggeser tubuhnya, memberi ruang untuk Donghae sekeluarga masuk.
"Ada, silahkan masuk ke dalam."
Donghae mengerjapkan matanya, alis matanya mengernyit. Batinnya tak bisa berhenti bergulat, rasanya jantungnya mau lepas. Haruskah dia masuk ke dalam? Ibu dan Donghwa sendiri sudah di dalam sejak tadi.
Hyukjae mengernyitkan alisnya saat melihat Donghae yang terus berdiam di tempat. Masalahnya sekarang sudah malam, ia takut rumahnya kemasukan banyak nyamuk atau laron.
"Kau tak masuk?"
Donghae menenggak ludah, lalu mengangguk kecil dan ikut masuk ke dalam. Karena faktor takut dikatai lagi oleh Hyukjae, ia masuk terlalu cepat hingga nyaris jatuh karena terserimpet anjing. Hyukjae mengernyitkan alis dan menyipitkan mata. Anjingnya pasti kesakitan karena tertendang.
"Donghae-yah! Baru lewat seminggu kamu semakin tampan!" Ibu Hyukjae berbasa-basi. "Dan semakin..."
Mata ibu Hyukjae memutar ke segala arah, mencari kalimat yang tepat dijadikan pujian. "Dan semakin... tinggi! Duh, padahal kamu baru umur 16, tapi sudah semakin tinggi! Eh lihat, sudah mulai tumbuh kumis, beda sama minggu lalu!" Heboh ibu Hyukjae. Donghae hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas segala pujiannya, yang Donghae tau semuanya hanyalah kebohongan belaka.
Kumis... sehelai pun tak dapat ia rasakan. Mungkin ibu Hyukjae merasa tidak enak dengan ucapan anaknya minggu lalu.
"Kamu main ke kamar Hyukjae saja dulu." Ibu Hyukjae mendorongnya hingga memasuki kamar yang Donghae yakini adalah kamar Hyukjae. Donghae membulatkan matanya horor.
"T-tidak usah, tidak apa-apa. T-tak usah repot-repot."
"Haduh, Hyukjae juga pasti tak keberatan kok! Kamu main saja dulu di dalam, tante dan ibu-mu mau membereskan makanan dulu. Nanti akan tante panggil saat makan malam oke?"
"E-eh tapi-"
BLAM
Pintu kamar Hyukjae terlebih dahulu tertutup. Donghae menatap pintu horor. Dengan tertutupnya pintu itu, dia sudah officialy berada di dalam kamar Hyukjae.
Padahal Donghae takut...
Donghae menarik nafas. Ia mencoba mengingat-ngingat apakah Hyukjae sempat masuk ke kamar ini tadi, karena, jujur Donghae takut memutar balik badannya. Saat dipastikan kalau Hyukjae masih diluar, Donghae perlahan-lahan memutar badannya dan menarik nafas lebih panjang.
Gorden kamar Hyukjae yang setengah terbuka menampilkan sebuah jendela besar dengan pemandangan taman yang luas di belakangnya. Di sekeliling jendela, tertempel banyak bintang-bintang glow in the dark hingga ke langit-langit kamar. Persis di sebelah jendela, ada kamar mandi pribadi. Di sebelah pintu kamar Hyukjae, terdapat meja nakas beserta dengan single bed dan di depannya terdapat televisi flat yang terletak di atas lemari kecil namun panjang. Di sebelahnya terdapat meja belajar dan terakhir, di paling pojok terdapat lemari pakaian yang cukup besar.
Bahkan Donghae baru sadar kalau sedari tadi dia sedang menginjak karpet berbulu halus yang membentang hampir setengah kamar di tengah-tengah. Ah tunggu. Jendela besar itu sebenarnya pintu geser?
"Wow."
Bahkan ruang tamu Hyukjae terlihat lebih normal daripada kamar ini. Kamar Hyukjae terlihat mewah. Apa karena kamarnya memakai tanah sisa ya? Mengingat rumah Hyukjae terletak di ujung kompleks, yang awalnya masih menyisakan tanah seukuran setengah rumah Donghae.
Donghae melangkahkan kakinya kemana saja yang ia mau. Mumpung Hyukjae masih diluar, ia merasa berani untuk menelusuri kamarnya yang lebih besar daripada kamar Donghae.
Donghae memiringkan kepala saat melihat sebuah buku di atas meja belajar, yang ditempeli dengan kertas bertuliskan 'Jangan dibuka atau dibaca!' Buku itu terlihat seperti baru saja dibuka dan belum dibaca habis oleh pemiliknya. Iseng, Donghae mengintip buku itu. Manatahu buku itu mengandung rahasia penting Hyukjae seperti, mungkin Hyukjae takut cicak? Jadi suatu saat Donghae bisa membawa mainan cicak untuk mengerjai Hyukjae.
Sekali lagi Donghae mengecek keadaan karena jujur, kalau ketahuan Hyukjae bisa mengerikan. Remaja dengan rambut di cat kecokelatan itu duduk di sudut ranjang Hyukjae dan memangku buku aneh itu.
Saat membuka halaman pertama, ia mengernyit bingung. Tulisan-tulisan aneh yang tak Donghae ketahui dari negara apa tergores di atas lembaran kertas polos putih. Donghae yang penasaran mengendikkan bahu dan terus melanjutkan halaman seterusnya. Semakin dilihat, buku itu semakin tidak terlihat menarik.
Sampai Donghae berjanji ia akan membalik halaman untuk yang terakhir kalinya jika tak menemukan apapun, Donghae mengerjapkan mata. Di halaman terakhir ada ilustrasi menarik yang terlihat begitu mendetail, sampai rumput pun di gambarkan per-helai.
Donghae membalik halaman lagi atas rasa penasarannya. Siapa tau saja, di halaman berikutnya akan ada gambar yang lebih menarik. Dan benar, jika halaman pertama menggambarkan hutan dari negeri dongeng, maka halaman kedua menggambarkan desain sebuah rumah yang nampak klasik namun terlihat elit. Donghae mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia membalik halaman berikutnya, hanya untuk menemukan tulisan tangan yang terlihat sangat rapih, dan mencakup beberapa paragraf.
Setelah membaca dengan seksama, Donghae baru paham kalau tulisan tangan itu merupakan sebuah cerita. Cerita dongeng yang sepertinya karya sendiri namun dituliskan dalam bahasa novel.
Pengaruh kebiasaan, Donghae membaca buku itu penuh ketertarikan sambil terlentang di ranjang. Ia bahkan sudah lupa di kamar siapa ia membaca. Halaman demi halaman, entah mengapa cerita itu semakin membuatnya tertarik.
"Jadi ceritanya si Eunhyuk ini sejenis peri? Sebentar. Kenapa tidak elf saja? Kenapa harus fairy? Fairy kan agak... feminim..." Donghae mengoceh sendiri. Ia lupa ada peri laki-laki. Yang ada dalam bayangan Donghae, peri itu Tinker Bell. Berarti pemeran laki-laki disini... memakai dress? Pfft.
"Kenapa tidak sekalian diberi ilustrasi sih! Uhhh..." gerutunya. Donghae sedikit mengerucutkan bibirnya dan melanjutkan membaca.
Sampai akhirnya, buku itu jatuh menimpa wajahnya yang tampan berkali-kali, matanya perlahan mulai tak fokus dan perlahan terpejam, dan tubuhnya terasa lemas...
BRAK
CKLEK
Donghae melompat kaget dan matanya membulat, buku yang ia baca terpental dan jatuh ke lantai. Donghae yang awalnya tertidur, bangun seutuhnya dengan posisi terduduk.
Di dekat pintu, Hyukjae tengah menatapnya sambil tertawa kecil. Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya lalu membungkukkan tubuh untuk mengambil buku yang terlempar tak jauh dari kakinya. Ia menepuk-nepuk buku itu, mengangkatnya, dan menaikkan sebelah alis sambil menatap Donghae.
"Kau membacanya?"
Donghae menenggak ludah. Bernafas terasa berat baginya dan kalau boleh, ia ingin melompat bebas dari jurang saking gugupnya. Apa yang akan terjadi jika ia menjawab iya? Apa yang akan terjadi jika ia menjawab tidak?
"Tak usah gugup seperti itu." Hyukjae melempar bukunya ke kasur dan berdiri mendekati Donghae yang membeku. Menatap mata Hyukjae membuat respon tubuhnya terasa menghilang begitu saja. Donghae bisa merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya.
"Kau orangnya penasaran kan?" Hyukjae menarik tangan Donghae, membuat laki-laki itu tersentak. Hyukjae menariknya hingga berdiri dan membawanya ke dekat pintu besar berkaca yang menyambung ke taman. Pintu yang sedari tadi Donghae kira jendela.
Donghae mengernyit tak mengerti apa yang Hyukjae lakukan dan ingin tunjukkan, tapi karena rasa takut, ia lebih memilih untuk diam dan mengikuti apa maunya. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Hyukjae, dari pegangan tangannya pada Donghae yang terasa lebih erat hingga tangannya menarik pintu dorong tersebut perlahan.
GREK
WUSHHH
Donghae refleks memejamkan matanya erat saat angin bertiup sangat kencang dan cahaya menyilaukan matanya secara tiba-tiba. Tangannya yang ditarik paksa membuatnya maju beberapa langkah dan hampir tersandung.
Tersan... dung...?
Donghae membuka matanya perlahan untuk membiasakan cahaya yang terasa sangat janggal. Setahu dia, sekarang sudah malam, lalu cahaya apakah ini?
Hal pertama yang Donghae sadari saat membuka matanya adalah, ia kebingungan. Matanya mengerjap beberapa kali, kepalanya menoleh kesana-kemari. Tak sampai 10 detik, ia menjerit panik.
"UWOOHHH AKU NYARIS TERSANDUNG AKAR POHON!"
"HUWAAAA! KENAPA JADI PAGI?"
"ASTAGA AKU DIMANA?"
Dan masih banyak lagi komentar-komentar yang keluar dari mulutnya dalam volume suara yang besar hingga terdengar seperti orang norak. Bahkan dia mungkin lupa Hyukjae masih memegang tangannya dan sekarang tengah mengorek sebelah telinganya karena faktor jeritan Donghae yang terdengar sangat menyebalkan.
"UWAAAHH ITU-"
"SSHHHHTTTT!"
"O-oke." Donghae menutup mulutnya, menahan teriakan heboh lainnya untuk keluar. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain saat Hyukjae terus memberikan tatapan tajam dan penuh aura gelap. Sepertinya Hyukjae benar-benar kesal.
"J-jadi kita dimana?"
Hyukjae mengendikkan bahu. Matanya melirik ke sekeliling dan keningnya mengernyit. Donghae yang memperhatikan ekspresi Hyukjae langsung berkeringat dingin. Dilihat dari ekspresinya, jangan-jangan Hyukjae tak tau mereka ada dimana.
"Hmm... Sepertinya kita di Jurassic Park."
"MWO-mphhh! Mphh!"
Donghae meronta-ronta minta dilepas. Hyukjae membekap mulutnya erat, sangat erat, bahkan terlalu erat untuknya bernafas. Hyukjae melepaskan tangannya perlahan, memastikan Donghae tidak akan berteriak lagi.
"Jangan keras-keras. Kau mau dimakan Tyrex kalau ketahuan?"
Donghae menggeleng keras. Tatapan matanya seperti orang yang melihat hantu, bahkan wajahnya juga terlihat sangat pucat. Ia mengambil nafas dalam-dalam, lalu menampar pipinya sendiri. Siapa tau ia sedang bermimpi.
"Oh ayolah," Hyukjae tertawa kecil dan menepuk bahu Donghae, "Aku hanya bercanda. Aku tau tempat ini dimana, tapi bukan Jurassic Park."
Donghae mengerjapkan matanya berkali-kali, tak dapat mencerna dengan baik maksud Hyukjae. Donghae lalu mengangguk kecil saat mengerti apa yang baru Hyukjae ucapkan. Ia menatap sekeliling dan sepertinya baru sadar.
"Sebentar. Kenapa kita ada disini?"
Telat memang, tapi apa boleh buat. Dari pertama kali menginjakkan kaki di tempat aneh ini, Donghae terlalu kaget dan heboh sehingga ia lupa kalau ia baru saja melangkahkan kakinya dari kamar Hyukjae, yang berada di sebuah rumah di daerah kompleks perumahan. Dan tunggu. Bukannya tadi masih malam?
"Kenapa? Karena kau penasaran. Kau ingin tau rahasiaku kan? Inilah rahasiaku."
"B-bisakah kita kembali saja? Tempat ini keren sekali tapi sepertinya rumahmu terlihat lebih nyaman." Donghae menatap sekelilingnya takjub sekaligus ngeri. Keren sih, tapi ia masih ingin hidup di dunia normal.
"Sepertinya tidak."
"Eh?"
Hyukjae menunjuk kearah belakang Donghae dengan dagu. Donghae memiringkan kepalanya dan mengernyit, lalu menoleh ke belakang...
"Jangan teriak."
Donghae menutup mulutnya. Ia melepaskan tangan Hyukjae dan berjalan ke belakang, ke tempat yang ia yakini adalah kamar Hyukjae sebelumnya. Tangannya meraba-raba udara, dan saat tidak menemukan apa-apa, ia berlari 10 langkah. Hyukjae memperhatikannya bingung. Donghae terlihat seperti orang gila yang berlarian kesana-kemari tanpa sebab.
"Hyukjaeeeee!" Donghae berlari kembali ke samping Hyukjae. Saking cepat dan paniknya, ia hampir tersandung lagi.
"Dimana pintunya? Dimana tadi kita keluar? Dimana kamarmu? Dimana Seoul?"
Tak ambil pusing dengan pertanyaan Donghae yang beruntun, Hyukjae mengendikkan bahu.
"Yah, saat kau heboh tadi kau tak sengaja menendang pintunya. Lalu sekarang pintunya tertutup dan menghilang entah kemana."
Donghae melongo.
"T-terus kita baliknya gimana?"
Hyukjae mengendikkan bahu. "Entahlah, pintunya sudah hilang, berarti kita harus mencari dimana pintunya berpindah."
Donghae menarik nafas kasar.
"Astaga... Jadi kita semacam... Terperangkap?"
"Yah, bisa dibilang."
Keheningan melanda Donghae dan Hyukjae.
"Mau sampai kapan kau bengong? Ayo kita jalan! Setidaknya aku kenal beberapa orang disini, dan aku bisa menjamin kita balik dengan... Lupakan."
Donghae mengernyitkan dahi. Bisa menjamin balik dengan apa? Keadaan hidup? Keadaan mati? Atau terperangkap dan Donghae akan sekarat disini?
"A-aku tunggu disini saja deh." Donghae yang takut mengambil resiko mulai memundurkan langkah kakinya perlahan. Lebih baik ia menunggu di tempat dibandingkan harus mengelilingi dunia asing ini.
"Yah... Terserah kau saja sih, paling-" Hyukjae membulatkan matanya, membuat Donghae mengernyit kebingungan. "Oh shit."
Hyukjae menarik tangan Donghae dan segera berlari, membuat Donghae memprotes kebingungan. Kakinya terpaksa melangkah karena takut jatuh, karena jujur, tenaga Hyukjae terlalu besar untuk ditahan.
"Hyukjae! Kenapa tiba-tiba lari? Aku bilang aku mau menunggu disana!"
"Diam dulu! Ikuti saja aku!"
Mereka terus berlari walaupun sedikit kesulitan mengingat banyaknya akar pohon tersembunyi dan banyaknya daun musim gugur yang berjatuhan menghalangi jalan mereka, apalagi mengingat tempat ini adalah hutan. Donghae tak sempat menoleh ke belakang saking cepatnya Hyukjae berlari, namun ia sempat mendengar suara-suara aneh seperti... suara mendesis? Donghae menggelengkan kepalanya dan mencoba tak peduli. yang penting ia terus berlari dan bisa menyamai langkah kakinya dengan Hyukjae. Bocah ini tak mau tangannya terlepas dari Hyukjae dan tertinggal sendirian.
"Sedikit lagi!"
Donghae tak mengerti apa yang dimaksud Hyukjae dengan sedikit lagi karena, ia yakin Hyukjae sedang menariknya untuk berlari ke pinggir tebing. Apakah mereka akan terbang? Tapi sepertinya mustahil. Berarti mereka akan... bunuh diri? Tunggu tunggu tunggu! HYUKJAE MENGAJAKNYA BUNUH DIRI?
"Hyukjae! Kau mau lari kemana? Kau gila?!" Donghae mencoba berhenti lari karena panik, namun tak bisa karena tenaga Hyukjae yang jauh lebih besar daripada dia, mengingat Donghae kurang suka... melakukan pekerjaan berat. Oke, oke, Donghae akui dia 'sedikit' pemalas.
Hyukjae tak menggubris pertanyaan Donghae. Ia terus berlari dan tersenyum puas saat melihat ujung tebing yang sudah dekat. Langkah kakinya semakin cepat dan ia berteriak pada Donghae.
"Ambil nafas dalam-dalam Donghae! Dalam hitungan ketiga kita akan melompat!"
"Apa Hyukjae?"
"3"
"T-tunggu kau menyuruhku mengambil nafas?"
"2"
"Untuk apa? Maksudku kita tidak akan melompatkan?"
"1"
"Hyukjae jawab pertanyaan- HUWAAAAAAAA!"
BRUSHHH
.
.
.
.
.
.
.
"HUATCHIM!"
"LEDAKKAAAANN!"
Hyukjae tersentak kaget dan mengerjapkan matanya berkali-kali. Tak jauh darinya, Donghae bangkit dan terduduk kaget. Kepalanya menoleh kesana-sini kebingungan. Matanya juga mengerjap berkali-kali dan dadanya bergerak naik turun, beserta dengan nafasnya yang tak beraturan. Ia menjulurkan lidahnya saat merasakan air laut yang tertinggal dilidahnya. Donghae memeletkan lidahnya jijik dan terasa ingin muntah.
"Kau sudah bangun rupanya."
Donghae tak merespon, ia masih memeletkan lidahnya dan terbatuk-batuk karena rasa menjijikan di lidahnya. Donghae memukul-mukul dadanya sendiri dan terus memaksa untuk batuk, sampai lumut yang ada di mulutnya keluar. Hyukjae mengernyit.
"Aw, pasti rasanya menjijikan."
Donghae bernafas dengan sedikit sulit. Ia membuka mata seutuhnya dan menatap Hyukjae. Baru beberapa saat kemudian saat ia sudah ingat segalanya, ia melontarkan pertanyaan.
"Dimana kita?"
Hyukjae menautkan alis. "Di gua?"
"Kenapa kau menggunakan tanda tanya?"
"Karena tempat ini tak bisa dibilang gua juga."
Donghae memiringkan kepalanya dengan wajah bingung. Ia lalu mengendikkan bahunya dan menunduk. Ia baru sadar bajunya sudah hilang dan sekarang hanya berbalut celana.
"Ngomong-ngomong dimana bajuku?"
Hyukjae mengangkat ranting panjang yang ia pegang sedari tadi. "Bukannya ini bajumu?"
Donghae mengernyit. Selain ia baru sadar kalau Hyukjae sedari tadi memegang bajunya, ia juga kebingungan kenapa ada api unggun di bawahnya.
"Kau apakan bajuku?"
"Keringkan." Jawab Hyukjae santai, "Kalau tidak kau bisa masuk angin. Aku tidak membawa obat-obatan kesini."
"Oh." Donghae menundukkan kepala dan mengigit bibirnya. "Bajumu sendiri dimana?"
Hyukjae menoleh dan kembali mengangkat rantingnya, lalu matanya melirik ke arah Donghae. Bukan. Lebih tepatnya kebawah Donghae.
"Kaosku disini, varsity-ku alas tidurmu."
Donghae mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia meraba-raba alas yang ia tiduri dan mengangkat sedikit tubuhnya, mengambil varsity yang sudah menjadi alas tidurnya. Mulut Donghae menganga saat melihat varsity hitam-putih Hyukjae yang menjadi kotor. Berkali-kali ia meminta maaf pada Hyukjae karena telah mengotori varsity-nya. Hyukjae memutar bola mata.
"Ada yang lebih perlu dikhawatirkan daripada baju kotor-ku. Lebih baik kau makan apa adanya. Sebentar lagi kita akan kembali berangkat." Hyukjae menunjuk ke samping Donghae dengan dagunya. Tak seberapa jauh dari Donghae duduk, ada 2 ekor ikan yang sudah matang dan tersaji diatas sehelai daun besar. Donghae mengernyitkan kening. Ia mendekati pusat makanan dan duduk disampingnya.
"Apa ini?" Donghae mencium bau makanannya. Ia mengangkat ekor si ikan dan membolak-balik tubuhnya.
"Salmon."
Donghae memasang wajah masam dan jijik. Ia segera menaruh ikan yang katanya salmon itu kembali ke atas daun.
"Aku tidak suka salmon."
"Makan saja."
"Tapi aku tidak suka."
Hyukjae menoleh dan mengangkat baju mereka yang sudah kering. "Makan saja. Tidak ada makanan lain. Kalau tidak mau, tak usah makan."
Donghae mengedipkan matanya dan memasang wajah masam. Perutnya sudah ribut lapar, tapi lidahnya mengatakan tidak kepada salmon. Pada akhirnya, Donghae terpaksa mengambil salmon dan memakannya sambil berderai air mata.
.
.
.
.
.
.
.
"Aku mau muntah." Donghae menepuk-nepuk perutnya dan memeletkan lidahnya. Rasa salmon yang ia tidak suka masih membekas di lidahnya dan sepertinya tidak akan hilang sebelum memakan makanan yang lain. Makan seekor salmon saja butuh perjuangan, apalagi Hyukjae menyuruhnya untuk menghabiskan 2 salmonnya. Hyukjae juga menggeleng-gelengkan kepala saat melihat Donghae memakannya sambil menangis dan bergumam, memaksakan opini kepada otaknya bahwa rasa salmon enak.
"Uhh... Mau muntah~" Hyukjae kembali menggelengkan kepala untuk sekian kalinya. Sudah berkali-kali Donghae merengek mau memuntahkan isi lambungnya. Kalau Hyukjae izinkan, apa gunanya Hyukjae memburu ikan? Donghae juga pasti kelaparan kan?
"Kalau kau muntahkan, kutinggal kau." jawabnya, yang lagi-lagi dibalas gerutuan Donghae. Ibunya saja tak pernah memaksa Donghae makan makanan yang ia suka, tapi Hyukjae malah terus memaksanya.
"Hyukjae, kau belum menjawab pertanyaanku tadi." Donghae kembali mengalihkan pembicaraan untuk kesekian kalinya. "Kenapa tiba-tiba kita lari seperti orang dikejar anjing sampai harus melompat ke laut?"
Hyukjae menoleh walaupun ia tak yakin Donghae dapat melihatnya. Ia menghela nafas dan mengeratkan genggamannya pada Donghae. "Kita bicara saat sudah keluar dari gua ini saja ya?"
"Aku saja tidak tau sedang melihat apa. Kan hanya kau yang bisa melihat di tempat segelap ini!"
Memang benar, hanya Hyukjae yang dapat melihat benda apapun dengan jelas di kegelapan seperti ini. Mungkin karena faktor Hyukjae sering menyendiri di tempat gelap.
Goa atau bisa disebut lorong ini, kata Hyukjae memiliki ujung yang akan membawa mereka ke tempat yang lebih baik. Donghae tak tau Hyukjae mendapat informasi itu darimana, yang jelas Hyukjae menjawabnya hanya karena insting. Dan sekarang mereka sudah berjalan entah berapa lama dan berapa kilo sampai kaki Donghae tak kuat lagi, namun mereka masih belum menemukan jalan keluar.
"Aku tak kuat lagi."
"Sebentar lagi kita keluar kok."
"Tapi kau sudah mengatakan hal yang sama lebih dari 5 kali!"
"Karena kau menanyakannya setiap 3 menit sekali!"
Donghae mendengus. Hyukjae menghela nafas.
Dalam sekejap, Donghae sudah berada di punggung Hyukjae dengan keadaan kaki yang tidak berpijak. Donghae mengerjapkan matanya berkali-kali, nafasnya masih tidak beraturan karena kaget.
"Hei! Kalau kau mau menggendongku, seharusnya beritahu dulu!"
"Aaaaahhh, berisik! Sudah! Tidur saja sana!"
Donghae kembali mendengus.
Tak tau sudah berapa lama, suara dengkuran halus Donghae terdengar. Hyukjae cukup takjub dengan kemampuan Donghae untuk tidur cepat. Kesimpulan yang Hyukjae bisa ambil, Donghae itu pemalas.
Hyukjae sendiri sudah lumayan lelah karena membawa 2 beban sekaligus. Hyukjae berhenti berjalan dan menghela nafas. Ia memejamkan matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Seketika cahaya kehijauan berkumpul di sekeliling Hyukjae dan dalam hitungan detik, tubuh Hyukjae sudah menghilang dari dalam goa bersama Donghae.
.
.
.
.
.
.
.
.
"...hae"
Donghae melihat sekelilingnya dengan bingung. Seingatnya tukang es krim di depannya tidak tau namanya.
"...hae"
Lagi-lagi Donghae mendengar suara itu. Sambil menerima es krimnya, ia menoleh ke kanan dan kiri, lalu berjalan kearah suara itu memanggil.
"...nghae"
Di depan sana, Donghae melihat taman bermain. Donghae mengerjapkan matanya saat menyadari ia seharusnya bersama Hyukjae. Tapi dimana Hyukjae?
Donghae menarik nafas tajam saat tiba-tiba tubuhnya berada di atas roller coaster. Donghae berteriak panik saat melihat disekelilingnya tidak ada pegangan sama sekali, dan yang menaiki wahana ini hanya ia sendiri.
"... Donghae..."
Donghae memejamkan matanya erat saat melihat adanya putaran di depan, ia menutup telinganya dan berteriak sekencang yang ia bisa. Tiba-tiba ia merasakan tepukan di bahunya dan menoleh, melihat Hyukjae disampingnya yang sedang menyeringai dan menunjuk ke depan. Donghae mengerjapkan mata dan berteriak saat...
PYASH!
"HUWAAAAAAA TOLONG! TOLONG! TOLONG! AAAAHHH! AKU BELUM MAU MATIIIIII! UHUK UHUK!"
Hyukjae mengeryitkan keningnya saat melihat Donghae yang meronta-ronta dan menggeliat sendirian di rumput. Ia menggaruk kepala. Apa ia menyiram terlalu banyak air ya? Tapi hanya seukuran sebaskom susu sapi kok.
"Apa ia tidak apa-apa?"
Hyukjae menoleh dan memastikan sang penggembala kalau semuanya baik-baik saja. Penggembala itu mengangguk ragu dan sedikit memundurkan dirinya saat Hyukjae memintanya.
"Tenang saja, aku bisa mengatasinya."
Hyukjae berjongkok di sisi Donghae yang masih meronta-ronta. Ia menggeleng-gelengkan kepala saat melihat kondisi kritis Donghae yang seperti orang kerasukan sampai membuat orang-orang sekitarnya ketakutan.
"Hei." Tangan Hyukjae menggoyangkan lengan Donghae, mencoba membuatnya sadar. Namun Donghae malah memegang tangannya erat dan menjerit-jerit.
"HYUKJAE JANGAN LEPASKAN AKU HYUKJAEEEEE! JANGAN! NANTI AKU JATUH! HYUKJAE INI TINGGI SEKALI JANGAAAN! AKU MASIH MAU HIDUPPPP!"
Hyukjae mengernyitkan kening. Mimpi apaan sih sampai begini? Jatuh? Apaan? Donghae mau jatuh kemana? Cengkraman tangan Donghae padanya benar-benar erat sekali sampai tangannya terasa sakit. Apa sebegitu mengerikannya kah mimpinya?
Dengan rasa kasihan, Hyukjae akhirnya secara mau tak mau menampar wajah Donghae. Keras. Cukup keras. Sangat keras sampai-sampai penggembala di belakangnya tersentak dan memejamkan mata erat.
Mata Donghae terbelalak. Ia mengerjap berkali-kali dengan keadaan masih terlentang. Perlahan, air mata mulai menggenang di matanya. Donghae menggerutu sambil mengusap air matanya yang hampir-hampir jatuh.
"Sudah sadar? Sudah selamatkan? Nggak mati kan?" Goda Hyukjae. Donghae menggigit bibirnya. Ia merasa terhina.
"Apaan sih!"
Donghae berjalan sejauh yang ia bisa, asal tidak dekat-dekat Hyukjae. Begitu menyadari sesuatu, Donghae memutar badannya dan menggaruk kepala sambil menyengir. Ia menatap Hyukjae dengan tersipu.
"Hehehe... Ini dimana ya?"
.
.
.
.
.
.
.
"Aww! Pelan sedikit!"
"Ah! Ah! Ah! Itu sakit!"
"Hwaaaaa! Kompresannya terlalu dingiinnnnn!"
"GYAAAAA! JANGAN DITEKAN KERAS-KERAAASSSS!"
Kalau saja perempatan jalan bisa pindah, mungkin sudah sejak tadi pindah ke kening Hyukjae. Dari ekspresinya yang datar hingga kesal, Donghae masih ribut seperti anak kecil. Sudah bagus ditolong, tangan Hyukjae malah dicakar.
"Aduh duh duh! Hyukjae pelan se-"
"Bisakah kau diam?"
Donghae memajukan bibirnya. "Tapi ini sakiiiittttt! Salahmu kenapa menamparku keras sekali! Sampai membengkak begini. Kalau memar bagaimana?" protesnya.
"Salahmu sendiri tidur seperti kerbau!"
Donghae semakin memajukan bibirnya."Uuuhh, aku mau dikompresi penggembala tadiiiii." rengeknya.
"Banyak maunya! Tadi protes sakit lah, terlalu dinginlah, apalah. Giliran aku yang membantu mengompres wajah-mu malah semakin ribut!"
"Tapi kan-"
"Diam! Bicara lagi, kupukul wajahmu dengan balok es!"
Donghae kembali memajukan bibirnya dan mendengus, lalu tak berapa lama merintih. Donghae menyentak tangan Hyukjae dan mengambil kompresannya dengan wajah kesal. Apa Hyukjae selalu seperti ini? Selalu melakukan segalanya dengan kasar?
"Oh jadi kau mau memegang kompresan sendiri? Kenapa tidak dari tadi? Aku kan tidak perlu capek-capek."
Donghae mengabaikan Hyukjae. Tangannya gemetar saat mencoba mendekatkan kompresan ke pipinya. Matanya terpejam erat, takut-takut kalau pipinya lagi-lagui terasa seperti ditusuk-tusuk. Salahkan ia yang hampir tak pernah terluka (karena keluarganya yang sangat protektif) sehingga tak terlalu tau rasanya sakit.
"AAAHHH!" Saking gemetarannya, tangan Donghae tak sengaja malah memukul memar di pipi-nya hingga membuat bocah itu meringkuk dan membola di kasur. Tangannya mencengkeram seprai erat.
Hyukjae menyeringai. Wajahnya terlihat berkali-kali menyebalkan di mata Donghae dan senyuman yang Hyukjae berikan jelas-jelas meledeknya. "Bagaimana? Mengkompres sendiri enak kan?"
"Berisik!"
Hyukjae mengendikkan bahu lalu berbalik badan. "Yah, kalau memang menurutmu aku mengganggu, aku pergi saja. Lebih baik aku keluar sendirian dari dunia ini. Kau tinggal disini saja. Adaptasi dengan orang-orang dari dunia ini."
Kalimat penuh ancaman itu menggertak Donghae. Ia menggigit bibir dan berpikir berbagai macam kemungkinan. Apa Hyukjae benar-benar berani meninggalkannya?
Donghae melirik pintu dan terkejut saat Hyukjae sudah nyaris menghilang. Ia panik dan langsung mengejar Hyukjae, kompresnya di tinggalkan.
"HYUKJAE TUNGGU TUNGGU TUNGGU! AKU IKUUUUTTT!"
.
.
.
.
.
.
.
"Maaf atas kerusuhan di rumahmu, terima kasih karena telah mengurusi kami." Hyukjae dan Donghae membungkuk hormat. Donghae masih memasang wajah kesal karena Hyukjae dan Sunny, penggembala itu, hanya tersenyum maklum. Walaupun dia awalnya terkejut melihat bagaimana Hyukjae dan Donghae berinteraksi, karena menurutnya cukup aneh.
"Maaf aku hanya bisa menolong kalian sampai disini saja." Sunny yang sebenarnya kurang mengerti tata krama mereka juga membungkuk, mengikuti bagaimana Hyukjae dan Donghae memberi salam. "Mendengar cerita kalian, kurasa yang dapat menolong kalian hanyalah penyihir disana." Sunny kembali menunjuk ke puncak gunung tertinggi yang ada di wilayahnya. Hyukjae dan Donghae lagi-lagi menenggak ludah untuk yang kesekian kalinya karena, ASTAGA PUNCAK GUNUNG DISANA TERLIHAT HOROR.
"K-kau benar-benar yakin penyihir itu baik?"
"Yap." Sunny mengangguk. "Jangan melihat sesuatu dari luarnya saja. Tempat beliau tinggal memang agak seram, tapi beliau baik kok. Hanya saja ia suka meminta bayaran atas permintaan kalian dan permintaanya selalu mudah dan tidak akan membebani kalian." Ia tersenyum. Donghae menenggak ludah. Mendengar tentang si penyihir tidak terlihat mengerikan, tapi melihat tempat hidupnya di puncak gunung sana membuat bulu kuduknya berdiri. Rasa kesalnya terhadap Hyukjae berkurang seiring berjalannya waktu dikarenakan rasa takutnya yang jauh lebih besar.
Setelah beberapa saat berbasa-basi dan mengucap terima kasih, Hyukjae dan Donghae menggerakkan kakinya ke daerah yang mereka tuju. Memang tempatnya masih satu negeri, tapi entah kenapa auranya terkesan sangat berbeda.
"Oke, perjalanan ini lebih seru daripada yang kuduga."
"Hah? Lebih seru katamu?" Donghae membulatkan mata. Melihat Hyukjae yang mengabaikannya, Donghae mendengus.
"Ah, sayang sekali kita harus meninggalkan tempat itu begitu cepat, padahal indah." Donghae mengoceh. Hyukjae memang mendengar, namun tak menyahutinya. Donghae kembali mendengus. Sifat Hyukjae memang aneh dan suka berubah seenaknya. Yah... mirip sih dengan sifatnya, tapi sifat Hyukjae terkesan lebih menyebalkan.
Perjalanan terus berlanjut dengan keheningan. Kaki mereka terus menapak kemana pun, yang penting mereka bisa sampai pada tujuan mereka. Dari awalnya keluar dari perbatasan kampung Sunny, sampai melewati padang rumput yang luas dan sungai lebar yang hanya memiliki batu sebagai jembatannya. Sampai akhirnya Donghae mengeluh capek dan terduduk di rumput, Hyukjae menghentikkan langkahnya.
"Masa kau sudah tidak kuat?"
"Orang mana yang kuat jalan sampai berkilo-kilo seperti ini?" gerutu Donghae.
"Kau saja yang pemalas. Ibuku saja bisa sanggup berjalan sampai puluhan kilo."
"Hiperbola." dengus Donghae. Memang benar, Hyukjae hanya melebih-lebihkan fakta saja untuk memancing semangat Donghae, jadi Hyukjae hanya mengendikkan bahu tak peduli.
"Lalu bagaimana kita bisa melanjutkan perjalanan kalau kau sudah tidak kuat? Kau mau terperangkap terus disini?"
"Tapi aku capeeeek!"
"Ayolah, sebentar lagi sampai!"
"Iya, tapi kita harus mendaki gunung!"
Hyukjae mendecih. "Memang ribet mengajakmu kemana-mana. Seharusnya dari awal tidak kuberi lihat dunia ini saja." Ia berjalan duluan, meninggalkan Donghae. Donghae mengerjap, mulutnya ternganga tak percaya.
"E-eh! Eh! Istirahat sebentar kenapa? Ayolah, aku capek!" Namun Hyukjae tak berbalik. Donghae memutar bola matanya. "Hei, tunggu aku!" Dengan langkah sedikit tertatih, Donghae mengejar Hyukjae hingga tersandung. Suara sesuatu yang terjatuh terdengar begitu besar, membuat Hyukjae mau tidak mau menoleh ke belakang. Matanya membulat saat melihat Donghae yang sudah terlungkup mencium tanah.
"Hei, sampai separah itu kah?" Hyukjae berjongkok di sisi Donghae. Donghae mengangkat wajahnya dan menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca. Baru sehari ia bertahan hidup, tubuhnya sudah dipenuhi dengan luka-luka tidak jelas, apalagi jika ia sudah kembali ke Seoul nanti? Bisa-bisa tubuhnya sudah remuk semua hingga ibunya sendiri pun tak bisa mengenalinya.
"Kau itu sudah malas, ceroboh, manja pula. Bagaimana kau mau menjadi kuat kalau begini terus?"
Awalnya Hyukjae hanya berniat mengutarakan pendapatnya, tapi saat melihat Donghae yang matanya semakin membanjir, Hyukjae mulai panik. Mungkin Hyukjae tak sadar akan seberapa sensitifnya Donghae dan seberapa tajam mulutnya saat berkomentar sampai-sampai ia tak tau apa yang membuat Donghae malah semakin ingin menangis. Tak mau ambil pusing, Hyukjae membelakangi Donghae dengan kondisi masih berjongkok.
"H-hei! Jangan menangis dong! Aku salah ngomong ya? Ya sudah deh, sini!" Hyukjae menepuk punggungnya, "Kita lanjutkan lagi perjalanannya bersama!"
Donghae mengerjapkan matanya berkali-kali, lalu mengusapnya kasar. Tanpa berpikir 2 kali, Donghae langsung menaiki punggung Hyukjae. Hyukjae pun berdiri dan kembali melanjutkan perjalanan dengan beban yang bertambah berkali-kali lipat. Kali ini, Hyukjae yakin dia yang akan tewas karena menggendong Donghae sambil mendaki gunung hingga ke puncaknya.
"Hyuk," Donghae tiba-tiba memanggil, disahut dengan gumaman Hyukjae. "Aku lupa bertanya, kenapa kita harus melompat kemarin?"
Hyukjae menghentikkan langkahnya sebentar. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, lalu lanjut berjalan. "Oh itu."
"Kemarin kita dikejar dengan ratusan ular viper."
Donghae membulatkan matanya. Terlihat sekali ia syok saat mendengarnya.
"Biar kutebak kau syok." Hyukjae terkekeh. "Tenang saja, yang penting kita selamat kan?"
Donghae hanya diam, tak tau mau menjawab apa.
"L-lalu kita selamat? Bukankah biasanya ular bisa melompat ke air juga?"
Hyukjae menggeleng, "Di dunia ini, ular-ular itu tak bisa mengejar melebihi batas jurang. Jika mereka nyaris melewatinya, mereka akan kembali terpental ke belakang. Seperti ada barrier begitu." Terangnya. Donghae hanya mengangguk-ngangguk maklum. Ia baru saja mau menghela nafas lega, namun Hyukjae tiba-tiba melanjutkan kalimatnya.
"Tapi sepertinya kau sudah pingsan duluan ya kemarin? Terlalu syok kah?" Hyukjae kembali terkekeh, membuat Donghae merasa bumi harus terbelah dua agar ia bisa masuk ke dalamnya. "Kemarin ada yang seru loh. Aku sih tidak memprediksi kalau di laut tempat kita terjun, banyak Siren yang kelaparan."
"Siren?"
"Yap, Siren. Katanya sih aslinya berbentuk seperti burung, tapi di dunia ini ia berbentuk seperti Mermaid. Hanya saja ia memakan manusia dan makhluk yang mirip-mirip."
Donghae menahan nafasnya. Mendadak bulu kuduknya kembali berdiri.
"T-terus kita bisa selamat? Bagaimana bisa?" Ia mengucap sedikit terpatah.
"Hmm... Gimana yah? Karena... Magic!" canda Hyukjae, dihadiahi pukulan pelan di kepalanya (Donghae masih mau hidup oke).
"Oke, oke, bagaimana kita selamat itu tidak penting."
"Penting!"
"Tidak!"
"Penting!"
"Tidak!"
"Penting!"
Hyukjae menghela nafas. "Donghae, kau mau kuturunkan di tengah jalan ya?"
"Yah! Jangan!" Donghae langsung mengeratkan pegangannya pada Hyukjae. "Oke, aku ganti pertanyaan. Kenapa bisa banyak ular yang mengejar kita?"
"Karena peri dan penguasa gugur menginginkannya. Mereka tidak suka dengan keberadaan tamu baru yang akan menetap lama di dunia ini sehingga mereka akan mengiramu musuh."
"Aku?"
"Yap. Aku tidak memprediksi kalau kau akan menutup pintunya jadi yah, jangan salahkan aku."
Donghae memajukan bibirnya. Memang sih, semuanya terjadi karena kecerobohannya, jadi mau bagaimana lagi, Donghae tak bisa menyalahkan Hyukjae atas apa-apa.
"Kau sepertinya banyak mengetahui tentang dunia ini ya?"
"Kan aku sudah bilang, aku pernah mengunjungi dunia ini berkali-kali meskipun belum semuanya."
"Oh iya, aku lupa. Eh, mengingat ini dunia yang aneh, jangan-jangan kamu juga punya kekuatan-"
"Kita sudah sampai." ucapan Donghae terpotong begitu saja. Hyukjae menurunkan Donghae dan menggerakkan tubuhnya, meregangkan ototnya yang benar-benar sudah lelah karena menggendong Donghae sambil mendaki gunung.
Donghae menganga. Matanya mengerjap berkali-kali, lalu menatap Hyukjae. Telunjuk kanannya mengarah ke tempat yang diyakini adalah tempat bermukimnya si penyihir yang katanya baik itu. Hyukjae juga terlihat sedikit terkejut, namun ia tidak mengambil pusing. Wajahnya kembali normal dalam hitungan detik.
"Oh."
"W-wow?"
.
.
.
TBC
.
.
.
p/s: ini requestnya Meonk and Deog :D sori ya kalau gak sesuai imajinasi kalian TT
p/p/s: aku bakal hiatus-in dark & light demi misi mengcomplete kan ff kyumin sama ff ini dulu, nanti kalau ff ini udah selesai, dark & light ku lanjutin lagi ^^
p/p/p/s: yakin banget deh bayangan kalian tentang tempat-tempat yg ku deskripsiin pasti beda-beda /o\ jadi aku mau nanya, kalian mau ku kasih link supaya imajinasiin tempatnya lebih gampang gak? ^^
p/p/p/p/s: ... lupa mau ngetik apa lagi
see U ^^
